Tidak perlu waktu lama bagi Charlene untuk mencerna ucapan Lee sekalipun ia sempat terkejut tadi. Ia kemudian mendorong Lee dan segera melompat turun dari atas kitchen island. "Anda pikir apa yang Anda lakukan sangat lucu?! Anda menghancurkan hubunganku dengan Axel!"Charlene tampak murka. Suaranya bahkan terdengar bergetar. Ia ingin melewati Lee dan kembali ke kamarnya, tetapi pria itu menghalanginya. "Biarkan aku lewat." "Tidak, sampai kita selesai bicara." "Apa lagi yang harus kita bicarakan?!" bentak Charlene yang sudah kehilangan kendali dirinya.Ia mengepalkan kedua tangannya dengan begitu kuat hingga kuku-kuku jarinya menancap pada bagian telapak tangannya. Sakit, tetapi tidak sesakit dengan apa yang hatinya rasakan saat ini. Jika saja membunuh bukanlah sebuah dosa, maka ia sudah pasti akan melakukannya sekarang juga."Sebenarnya kesalahan apa yang telah aku lakukan pada Anda sehingga Anda sampai tega membuatku putus dengan Axel?" Suara Charlene kali ini melemah. Wajahnya t
Charlene berdiri di depan pintu kamar Lee dengan perasaan cemas. Entah bagaimana ia harus menghadapi Lee pagi ini setelah tadi malam menginjak kaki pria itu dengan sengaja. Semalam, Charlene sempat berpikir kalau Lee akan mendatangi kamarnya dan memaksanya untuk membuka pintu.Namun, nyatanya Lee tidak melakukan hal itu. Akan tetapi pada pagi ini, ia sudah pasti tidak bisa menghindari Lee lagi. Jadi akhirnya ia menekan tombol bel di pintu kamar Lee. "Masuk." Terdengar suara Lee dari layar di samping pintu. Charlene menekan handle pintu dan dengan perlahan melangkah masuk ke dalam kamar. Ia melewati lorong hingga akhirnya menemukan Lee yang berdiri dengan posisi membelakanginya, sedang mengenakan kemeja.Seakan menyadari kehadiran Charlene, pria itupun berbalik. Charlene bergegas melintasi ruangan untuk membunuh jarak yang ada di antara mereka. Sesekali ia melirik Lee yang tidak sekalipun melepaskan pandangan darinya.Pria itu belum mengancingkan kancing kemejanya sama sekali. Begit
"T-test drive? Te-tetapi aku tidak berencana untuk membeli mobil. Lagi pula, dapat uang dari mana untuk membeli mobil." Lee menaikkan sebelah alisnya. "Jangan berpura-pura tidak mengerti maksudku, Sweetheart. Kau tahu kita sedang membahas apa." Charlene meneguk salivanya. Ia tidak sadar jika dirinya mundur selangkah. Ia membisu beberapa saat. Sedang menimbang antara ingin tetap berpura-pura bodoh tidak tahu apa maksud ucapan Lee atau mengakui tuduhan pria itu. "Ngg ... te-tetapi kita hanya menikah kontrak, bukan menikah karena cinta.""Apa itu menjadi masalah?"Charlene mundur selangkah lagi. Kali ini ia membuat Lee maju selangkah."Bukankah yang terpenting adalah kedua belah pihak suka sama suka? Tanpa pemaksaan," ucap Lee."A-apa itu artinya Anda—kita—akan—."Charlene melemparkan pandangannya ke arah ranjang Lee sembari mundur dua langkah dan Lee membalasnya dengan maju dua langkah. Charlene melempar tatapan horor ke arah pria itu. "Kenapa tidak? Kau tertarik padaku dan aku
"Yang Axel berikan padamu," jelas Lee. Charlene yang masih merasa linglung, butuh waktu beberapa saat untuk mencerna ucapan Lee. "O, iya!" jawab Charlene dengan semangat. "Cincin itu ada di kamarku. Aku akan mengambilnya sekarang!" Ini adalah kesempatan yang bagus bagi dirinya untuk melarikan diri dari kamar Lee. Demi Tuhan ... ia butuh pasokan udara yang lebih banyak karena berbagi oksigen bersama Lee di kamar pria itu, telah membuatnya sesak napas. Charlene buru-buru berlari keluar dari kamar Lee diiringi oleh tatapan Lee yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Begitu tiba di kamarnya, Charlene melangkah ke arah meja di depan sofa, tempat di mana ia meletakkan sebuah kotak berukuran sekitar 40x40 sentimeter. Ia sudah menaruh semua barang-barang pembelian Axel ke dalam kotak tersebut tadi malam, termasuk dengan cincin yang pria itu berikan. Charlene lantas mengangkat kotak tersebut dan membawanya keluar kamar.Saat tiba di luar kamar, ia meletakkan kotak tersebut ke atas lantai ag
Charlene masih sibuk memikirkan ucapan Lee ketika mereka tiba di kantor. Ia bahkan tidak mendengar Rebecca yang menyapa Lee karena separuh nyawanya entah berada di mana."Selamat pagi, Tuan Montana." Lee mengangguk singkat. "Nona Frost sudah menunggu Anda di dalam," lanjut Rebecca."Terima kasih, Nona Roberts"Pria itu berlalu dari hadapan Rebecca dengan diekori oleh Charlene yang pikirannya entah melayang ke mana. Rebecca yang melihat Charlene, hanya menatap rekan kantornya itu dengan pandangan bingung. Namun, ia juga tidak berniat mengganggu Charlene.Sementara itu, Lee telah memasuki ruang kerjanya. Hal pertama yang pria itu lihat adalah sosok seorang wanita cantik. Tampak Winter langsung berdiri dari sofa yang didudukinya lengkap dengan senyum yang terulas di wajah wanita itu.Pada saat ini, Charlene masih belum menyadari kehadiran Winter. "Selamat pagi, Lee," sapa Winter dengan suaranya yang terdengar lembut. Lee melintasi ruangan sembari berkata," Selamat pagi, Winter." Pa
Charlene melirik ke arah Lee, kemudian kembali menatap Winter. "Kenapa kau terlihat kaget seperti itu?" tanya Winter. "Apa kau juga tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan?" Charlene menggeleng."Tidak, bukan seperti itu. Hanya saja, kenapa aku harus tahu mengenai hal ini? Memangnya apa hubungannya denganku?" Winter kembali menyunggingkan senyum."Jelas ada hubungannya denganmu. Lee bilang kalau kalian akan menikah, tetapi kau tidak percaya padanya bahwa kami tidak berkencan," jelas Winter, to the point. Charlene kembali melirik Lee. Andaikan tidak ada Winter di sana, ia pasti akan kembali bertengkar dengan bosnya karena telah melibatkan Winter ke dalam masalah mereka."Bukan begitu. Aku bukan tidak percaya," kilah Charlene.Winter mengamati wajah Charlene. Ia merasa melihat keraguan di sana. Selain itu, ada satu hal lain yang juga ia lihat dan berhasil menarik perhatiannya. "Apa kau membuatnya menangis karena masalah ini?" selidik Winter yang ditujukan pada Lee. Charl
*Flashback on* Lee turun ke lantai bawah Universe Hotel and Apartments dan segera memasuki mobilnya setelah berpesan pada Charlene kalau gadis itu boleh keluar dari penthouse hanya atas seizin dirinya atau pada kondisi darurat saja. Tatapan Lee lantas tertuju pada sebuket bunga matahari yang tergeletak di samping kursi yang didudukinya. Well, Lee baru tahu kalau wanita yang akan berkencan dengannya malam ini, menyukai bunga matahari.Pria itu lantas tersenyum samar. Ia memang hanya melihat sekilas profil wanita itu. Winter Frost, seorang pebisnis wanita yang sukses.Sungguh menarik. Hal itulah yang membuat Lee tanpa berpikir panjang langsung menelepon Charlene dan meminta gadis itu untuk menyiapkan bunga kesukaan Winter. Lee tidak akan membiarkan kencan malam ini gagal.Ia harus bisa merebut hati Winter Frost dan jelas kesan pertama merupakan hal yang sangat penting. "Kita berangkat sekarang, Tuan?" tanya Marvin yang berada di balik kemudi. "Iya, kita berangkat sekarang." "Apa
Lee mengulas senyum tipis. "Ada satu hal yang perlu kau ketahui, kalau kencan ini diatur oleh asistenku," ujar Lee. Winter menatap Lee beberapa saat. Dari ucapan Lee, ia bisa menduga jika pria itu akan menolaknya. Tentunya Lee akan mengatakan hal itu secara halus. "Kenapa tidak kau katakan secara langsung saja, kalau kau tidak tertarik dengan wanita yang memiliki lima orang anak?" tembak Winter.Lee kembali tersenyum dengan ekspresi tenang. Wanita di hadapannya ini memang benar-benar tidak suka membuang waktu. "Biar aku selesaikan dulu perkataanku." Winter kali ini tidak menyela. Ia memberi kesempatan pada Lee, seperti yang pria itu minta. "Kau wanita yang menarik. Tetapi sebelum aku mengetahui bahwa kau memiliki lima orang anak, aku memang tidak berniat untuk menjalin hubungan asmara denganmu," aku Lee. Winter tertegun mendengar pengakuan Lee, tetapi detiknya berikutnya ia tampak tersenyum jenaka bercampur lega. Lee menatap wanita itu dengan perasaan bercampur heran. Ia pik