Halo Readers, sekadar info, untuk bab ini, merupakan bagian dari bab 61. Kita Lanjutkan di Kamar, saat Lee berkencan dengan Winter di Mermaid Bay.
Lee mengulas senyum tipis. "Ada satu hal yang perlu kau ketahui, kalau kencan ini diatur oleh asistenku," ujar Lee. Winter menatap Lee beberapa saat. Dari ucapan Lee, ia bisa menduga jika pria itu akan menolaknya. Tentunya Lee akan mengatakan hal itu secara halus. "Kenapa tidak kau katakan secara langsung saja, kalau kau tidak tertarik dengan wanita yang memiliki lima orang anak?" tembak Winter.Lee kembali tersenyum dengan ekspresi tenang. Wanita di hadapannya ini memang benar-benar tidak suka membuang waktu. "Biar aku selesaikan dulu perkataanku." Winter kali ini tidak menyela. Ia memberi kesempatan pada Lee, seperti yang pria itu minta. "Kau wanita yang menarik. Tetapi sebelum aku mengetahui bahwa kau memiliki lima orang anak, aku memang tidak berniat untuk menjalin hubungan asmara denganmu," aku Lee. Winter tertegun mendengar pengakuan Lee, tetapi detiknya berikutnya ia tampak tersenyum jenaka bercampur lega. Lee menatap wanita itu dengan perasaan bercampur heran. Ia pik
Charlene tertegun setelah mendengar cerita Winter."Jadi ... malam itu, kalian tidak tidur bersama?"Charlene masih sulit untuk mempercayai apa yang Winter katakan. Namun, Winter sama sekali tidak merasa tersinggung. Wanita itu menggeleng sembari melempar senyumannya ke arah Charlene. "Tidak.""Tetapi keesokan harinya Anda datang ke sini dan aku jelas mendengar pembicaraan Anda dengan Tuan Montana kalau kalian ingin melanjutkan apa yang terjadi pada malam sebelumnya."Tawa Winter meluncur dengan bebas dari bibirnya setelah mendengar apa yang Charlene katakan. Butuh beberapa saat bagi Winter untuk bisa meredam tawanya."Iya, tentu saja melanjutkan pembicaraan bisnis kami pada malam sebelumnya," jelas Winter. "Bisnis dalam arti sesungguhnya, bukan seperti apa yang kau pikirkan."Charlene menekuk bibirnya sembari termangu. Ia lantas melempar tatapan penuh pengamatan ke arah Winter. Jelas sekali ia masih belum 100% mempercayai apa yang Winter sampaikan.Charlene masih punya satu amunisi
"Me-menyukaiku?" Itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin Lee menyukainya? Mereka bahkan seperti tokoh kartun tikus dan kucing. "Jadi kau benar-benar tidak tahu?" tanya Winter tidak percaya.Ia pikir Charlene hanya sedang berpura-pura tidak mengerti. Namun, Charlene menggeleng lagi. Gadis itu terlihat benar-benar tidak tahu. "Tidak. Itu tidak mungkin, Nona. Anda tahu, kami selalu bertengkar hampir setiap saat. Itu membuatku tidak tahan," aku Charlene."Mungkin Tuan Montana pun merasakan hal yang sama." Charlene mencoba melihat dari sisi Lee juga.Winter lantas mengangkat telunjuknya mengarah ke atas, kemudian menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. "Kau salah besar lagi. Kalau Lee tidak menyukaimu, untuk apa dia akan menikahimu?" "Aku—."Charlene membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi ia urung melakukannya kala teringat kalau tidak ada seorang pun yang boleh tahu jika dirinya dan Lee hanya akan menikah kontrak. "Kenapa?" Charlene menggeleng. "Tidak, tidak
Lee jelas tidak puas mendengar jawaban Charlene, padahal ia sudah melibatkan Winter untuk membantunya. Charlene memang memiliki alasan kenapa dirinya menjawab 'mungkin saja'. Namun, ia tidak akan mengatakan apa alasannya pada Lee.Setidaknya untuk saat ini. Tidak mungkin ia menanyakan pada bosnya itu mengenai malam di mana pertama kali Lee berkencan dengan Winter dan pulang dengan noda lipstik yang menempel pada kemeja pria itu, serta beberapa tanda merah di leher. Lee pasti akan menggodanya jika Charlene sampai menanyakan hal tersebut.Well, Charlene memang sangat penasaran. Semakin ia berusaha untuk mengabaikan hal itu, semakin besar pula rasa penasarannya. Winter memang sudah menyarankan padanya agar menanyakan hal itu secara langsung pada Lee."Bisa saja kau menyuruh Nona Frost untuk mengarang cerita," tuding Charlene."Memangnya keuntungan apa yang aku dapatkan dengan menyuruh Winter berbohong?""Agar aku bersedia menikah dengan Anda, sehingga Anda bisa menyelesaikan utang budi k
Lee baru saja keluar dari ruang kerjanya di penthouse. Pria itu bergegas naik ke lantai atas dan langsung menuju kamar Charlene untuk mengingatkan gadis itu agar segera memindahkan pakaiannya ke kamar Lee. Ia menekan bel pintu kamar Charlene selama beberapa kali, tetapi pintu tetap tidak dibuka. "Ke mana dia?" Lee lantas merogoh ponsel dari saku celananya untuk menelepon gadis itu. Samar-samar Lee mendengar nada dering telepon. Ia menajamkan indra pendengarannya. Lee kemudian berjalan menuju ke arah ruang santai. Suara itu terasa semakin dekat hingga akhirnya Lee menemukan telepon genggam Charlene—yang sedang berdering itu—tergeletak di salah satu sudut sofa yang menghadap ke pemandangan perkotaan itu. Lee menjauhkan ponsel miliknya dari telinga tanpa mengakhiri panggilan, lalu memungut ponsel yang berada di atas sofa tersebut. Jelas itu merupakan ponsel Charlene. Telepon genggam tersebut tetap melantunkan nada deringnya dan berada dalam keadaan menyala. Lee melihat nama yang tert
"Iya. Kau saja yang melakukannya," ulang Lee.Charlene sontak menyuguhkan tawanya karena ia mengira Lee sedang bergurau. "Anda pasti bercanda." Ia memang tidak menganggap serius ucapan Lee. "Sudahlah, sini, kembalikan ponselku. Aku membutuhkannya." Charlene menadahkan tangannya ke hadapan Lee. Ia memang sangat membutuhkan benda tersebut, sebelum ia lupa berbicara pada Christine. Lee menurunkan pandangan ke arah tangan Charlene, lalu mengangkatnya kembali ke wajah gadis itu. "Untuk apa?" tanya Lee. Sama halnya seperti Charlene, terkadang ia juga dibayangi oleh rasa penasaran. "Astaga, Bosku!" Charlene merasa sangat gemas pada sikap bosnya yang membuat pertanyaan mubazir. "Jelas saja untuk menelepon atau mengirim pesan." "Menelepon dan mengirim pesan pada siapa?" buru Lee. Charlene menyipitkan pandangannya. Ia merasa pertanyaan Lee itu terlalu posesif. Namun, rasanya tidak masuk akal jika sikap posesif itu ditujukan untuknya. "Aku rasa itu adalah urusan pribadiku, Tuan Montana.
Pintu lift terbuka dan Charlene menemukan sosok yang telah ia tunggu sejak tadi. Tampak sosok itu tersenyum ke arahnya dan Charlene pun melempar kembali senyuman itu ke arah tamunya. "Tempat ini luar biasa sekali," ujar Christine seraya melangkah menuju ke arah Charlene yang sedang menunggunya di ruangan lift. Christine mengedarkan pandangan ke ruangan tersebut. Meski hanya berisi sedikit perabotan dan pernak pernik seperti tanaman dan patung, tetapi ruangan itu menunjukkan atmosfer kemewahan. "Ayo, kita masuk," ajak Charlene. Christine mengangguk dan sepanjang perjalanan menuju ke ruang tamu, tidak henti-hentinya ia terpukau melihat penthouse Lee. "Silakan duduk. Akan kuambilkan minuman dan kudapan dulu," ucap Charlene. Christine sempat mengangguk sebelum Charlene meninggalkannya sendirian di sana. Ia lantas menyibukkan diri dengan menyapu seisi ruangan tersebut, sembari menunggu Charlene. Tidak berapa lama kemudian Charlene muncul kembali dengan mendorong troli berisi min
Ada sebuah mitos yang dipercaya oleh masyarakat di Middle of Nowhere. Konon katanya, jika seseorang mengucapkan sebuah permohonan dan setelah itu terdengar suara petir, maka permohonan tersebut akan terwujud. *Flashback on* Charlene melangkah dengan tergesa-gesa sembari mengeratkan mantel yang ia kenakan. Jika saja ia tidak sedang menggunakan masker wajah karena sedang terserang flu, maka bisa dipastikan kalau udara yang meluncur keluar dari bibirnya akan terlihat seperti asap yang mengepul. Cuaca hari itu memang jauh lebih dingin dari sebelumnya, bahkan salju mulai memenuhi jalanan. Seharusnya tadi ia tidak menolak tawaran Christine yang ingin menjemputnya menuju ke Black Horse Hotel, tempat di mana mereka akan mengikuti seminar kepenulisan hari ini. Namun, Charlene berpikir jika Christine menjemputnya, temannya itu akan menempuh perjalanan yang berlawanan arah. Maka Charlene pun memutuskan untuk ke sana dengan menaiki bus. Resikonya adalah dia harus berjalan di tengah cuaca deng