Charlene terjatuh ke atas tubuh Lee. Pria itu langsung mengungkung tubuh Charlene dengan kedua tangannya. "Lepas!" Charlene menggeliat, berusaha melepaskan diri dari belenggu Lee. Namun, pelukan Lee justru semakin erat. Untuk ukuran orang yang sedang mabuk, tenaga Lee sangat kuat. "Tuan, tolong lepaskan aku," bujuk Charlene. "Sadarlah! Anda sedang mabuk." Charlene tahu percuma saja bicara pada orang yang mabuk. Namun, setidaknya ia sudah berusaha agar terbebas dari Lee. Sayangnya, hal yang tidak Charlene duga lantas terjadi. Lee tiba-tiba saja membuka matanya."Siapa bilang aku sedang mabuk, ehm?"Charlene mengernyit. "Jadi, Anda sedang berpura-pura sejak tadi?" tuding Charlene yang terlihat kesal.Gadis itu lantas menekan dada bidang Lee, berusaha untuk bangun, tetapi Lee justru mengubah posisi mereka dalam satu gerakan. Dari yang tadinya Charlene berada di atas tubuhnya, kini ia memutar tubuh mereka hingga berbaring menyamping, dengan posisi saling berhadapan di atas tempat t
Lee kemudian melempar obat itu ke dalam mulutnya dan mengisi air dari keran ke dalam gelas yang ada di atas wastafel, lalu meneguknya. Selanjutnya, ia membasuh wajahnya dengan air keran yg mengalir. Sepertinya sisi kesadarannya lebih mendominasi saat ini.Lee mengangkat wajahnya dan menatap seseorang yang sedang balik menatapnya dari pantulan di dalam cermin. Ia mengangkat kepalanya dan menyentuh tanda kemerahan yang ada di lehernya. Ada beberapa tanda di sana dan itu adalah perbuatan Winter. Karena sedang berada dalam keadaan cukup sadar, Lee pun melakukan hal lainnya yang menjadi alasan dirinya ke kamar mandi. Well, ia harus menyikat giginya dan berkumur. Mengingat Charlene tadi mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai bau alkohol yang menguar dari mulut Lee. Selesai melakukan semua itu, Lee lantas menyambar handuk wajah dari keranjang kecil yang terdapat di ujung meja wastafel. Ia mengeringkan wajahnya, lalu keluar dari kamar mandi, melangkah dengan sesekali berpegangan pada dindi
Charlene menatap Lee yang berada di bawah tubuhnya. Pria itu tampak memejamkan matanya."Tuan?" panggil Charlene untuk memastikan apakah Lee sedang mengigau."Jangan menolakku, Charlene. Aku membutuhkanmu," ucap Lee lagi masih dengan kedua mata yang terpejam dan ekspresi yang terlihat antara mirip dengan orang mabuk dan kelelahan.Membutuhkanmu.Agh ... Lee bisa mengatakan hal seperti itu karena dia sedang mabuk. Tentu saja Charlene tidak menggubrisnya terlalu jauh. Namun, karena Lee terus-menerus meminta Charlene untuk menemaninya, mau tidak mau Charlene harus memutuskan."Baik. Aku akan menemani Anda malam ini. Tetapi Anda harus memegang kata-kata Anda. Jangan bertindak di luar batas atau aku bisa melakukan sesuatu yang tidak akan Anda duga sebelumnya." Charlene tidak peduli apakah Lee menangkap ucapannya atau tidak. Yang jelas ia sudah menegaskan pada pria itu bahwa Lee tidak boleh melanggar janjinya. Kalau boleh jujur, ia sendiri juga sudah sangat lelah."Ehmm." Hanya jawaban it
"Tuan, tolong–." "Kenapa? Kau merasa risih jika aku membahas hal ini?" potong Lee.Pria itu mengambil air putih dan meneguknya sedikit sebelum meraih garpu dan pisau, lalu mulai mengoyak sandwich yang ada di hadapannya dengan kedua alat itu. "Ngg ... aku rasa tidak seharusnya kita membahas tentang masalah ini," ujar Charlene sembari memperhatikan Lee yang sedang menancapkan garpu pada potongan sandwich itu dan meloloskannya ke dalam mulut. "Anda tahu bahwa saya akan segera menikah. Sementara Anda sendiri sekarang juga menjalin hubungan dengan Nona Frost."Lee tidak membalas ucapan Charlene karena pria itu sibuk mengunyah roti lapisnya. Ia lantas memasukkan sesuap sandwich lagi ke dalam mulutnya. Mengunyahnya dengan ekspresi serius. "Kenapa sandwich buatan Nyonya Cullen hari ini agak berbeda?" lontar Lee ketika ia tampak memperlambat gerakan pada rahangnya karena hampir selesai meloloskan semua makanan yang ada di mulutnya melewati tenggorokan. "Eh? Kenapa? Apa tidak enak?" sel
Charlene tersenyum kecut. Tidak hanya itu saja, ia merasa bagian hatinya terasa nyeri. Dan ia menebak bahwa mungkin asam lambungnya kumat.Well, Charlene memang berusaha untuk menyangkal, karena sebenarnya ia tahu hal apa yang membuat hatinya terasa sakit."Baguslah jika Anda tidak keberatan dengan status Nona Frost yang memiliki lima orang anak tanpa suami."Pernyataan bodoh yang mengandung rasa iri. Charlene menyadari hal itu dan ia membenci dirinya yang sedang mencoba memprovokasi Lee dengan mengungkit soal Winter yang tidak memiliki suami. Demi Tuhan, ia bukan orang yang licik dan tidak berniat untuk menjadi orang seperti itu.Ia harus bisa menerima kenyataan kalau Lee benar-benar menyukai Winter. Jika tidak, mana mungkin pria itu pulang dalam keadaan baju terdapat noda lipstik dan leher penuh tanda merah. Mengingat hal itu bukannya meredakan rasa nyeri yang Charlene rasakan, justru membuatnya terasa semakin sakit. Charlene tidak tahu ada apa dengan dirinya. Di saat ia berulang k
Memangnya ia bisa menolak permintaan itu? Tidak."Baik. Permisi Tuan Montana, Nona Frost."Charlene melangkah dengan tenang melintasi ruangan. Saat melewati Winter dan Lee yang sedang mengobrol dengan akrab, ia merangkai wajah sedatar mungkin."Aku minta maaf jika semalam terasa kurang memuaskan," lontar Winter."Tidak apa-apa. Kita ulangi lagi sekarang."Demi Tuhan, Charlene tidak tahan mendengar pembicaraan itu. Ia menarik langkah dengan tergesa-gesa. Hal itu tidak luput dari perhatian Winter. Sedangkan Lee tampak tidak acuh.Berbeda dengan Winter yang menatap punggung Charlene hingga gadis itu menghilang dari hadapan mereka. "Ada apa?" tanya Lee pada Winter. Winter segera mengalihkan pandangan dari Charlene ke arah Lee. Ia mengulum senyum lebar saat bertukar pandang dengan Lee, membuat pria itu menautkan kedua alisnya."Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?" Winter tertawa. "Tidak," jawabnya tanpa menanggalkan senyum di wajahnya.Ia berdiri dan melangkah ke arah sofa tempat di
Charlene mengalihkan tatapannya dari layar laptop kala mendengar suara siulan yang datangnya dari arah kamarnya dengan kamar Lee. Pria itu sedang menarik langkah menuju ke arahnya dan terlihat bahagia. Charlene berpikir semua ini karena Winter.Well, dalam dua minggu terakhir ini, hampir setiap hari Charlene memesan tempat di restoran untuk Lee dan Winter yang akan berkencan. Ia mengatakan pada dirinya bahwa itu bukan masalah baginya. Dia bukan siapa-siapa Lee, hanya asisten pria itu.Jadi, kenapa dia harus merasa kesal atau keberatan jika Lee berkencan dengan Winter? Lagi pula harus ia akui kalau Winter membawa hal positif dalam kehidupan Lee. Sejak Lee berkencan dengan Winter, sikap pria itu jauh lebih ceria dan jauh lebih baik terhadap Charlene. Mungkin benar yang dikatakan oleh para rekan kerjanya, kalau Winter merupakan jalan keluar bagi Lee dan perusahaan pria itu. Mungkin saja sikap dingin dan arogan Lee selama ini diakibatkan oleh stress karena pekerjaan. Kini setelah mengena
"Ada apa denganmu?" "Eh?" Charlene mengangkat kepalanya."Dari tadi aku bicara, sepertinya kau tidak menyimaknya sama sekali," tuding Lee yang sedang duduk di balik meja kerjanya sembari mengetik."Ngg ... maaf," sesal Charlene yang duduk di seberang Lee sembari membantu pria itu mengecek dokumen.Bukan tanpa alasan Lee menuduhnya demikian, karena sejak tadi pria itu diam-diam memperhatikan Charlene yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan melamun daripada memeriksa dokumen yang diminta oleh Lee."Aku lihat akhir-akhir ini kau tidak konsentrasi. Ada masalah apa?" selidik Lee. "Eumm ... tidak ada," dusta Charlene. Ia tidak mungkin menceritakan masalahnya pada Lee. Pria itu pasti hanya akan mengatakan hal-hal yang menyakitkan jika mengetahui masalah yang sedang dialami oleh Charlene. Sebab, entah kenapa Charlene merasa bahwa Lee memang tidak menyukai Axel.Charlene memang tidak bisa fokus akhir-akhir ini karena selalu terbayang pembicaraannya dengan Axel tempo hari. Dia sangat yak