Charlene tersenyum kecut. Tidak hanya itu saja, ia merasa bagian hatinya terasa nyeri. Dan ia menebak bahwa mungkin asam lambungnya kumat.Well, Charlene memang berusaha untuk menyangkal, karena sebenarnya ia tahu hal apa yang membuat hatinya terasa sakit."Baguslah jika Anda tidak keberatan dengan status Nona Frost yang memiliki lima orang anak tanpa suami."Pernyataan bodoh yang mengandung rasa iri. Charlene menyadari hal itu dan ia membenci dirinya yang sedang mencoba memprovokasi Lee dengan mengungkit soal Winter yang tidak memiliki suami. Demi Tuhan, ia bukan orang yang licik dan tidak berniat untuk menjadi orang seperti itu.Ia harus bisa menerima kenyataan kalau Lee benar-benar menyukai Winter. Jika tidak, mana mungkin pria itu pulang dalam keadaan baju terdapat noda lipstik dan leher penuh tanda merah. Mengingat hal itu bukannya meredakan rasa nyeri yang Charlene rasakan, justru membuatnya terasa semakin sakit. Charlene tidak tahu ada apa dengan dirinya. Di saat ia berulang k
Memangnya ia bisa menolak permintaan itu? Tidak."Baik. Permisi Tuan Montana, Nona Frost."Charlene melangkah dengan tenang melintasi ruangan. Saat melewati Winter dan Lee yang sedang mengobrol dengan akrab, ia merangkai wajah sedatar mungkin."Aku minta maaf jika semalam terasa kurang memuaskan," lontar Winter."Tidak apa-apa. Kita ulangi lagi sekarang."Demi Tuhan, Charlene tidak tahan mendengar pembicaraan itu. Ia menarik langkah dengan tergesa-gesa. Hal itu tidak luput dari perhatian Winter. Sedangkan Lee tampak tidak acuh.Berbeda dengan Winter yang menatap punggung Charlene hingga gadis itu menghilang dari hadapan mereka. "Ada apa?" tanya Lee pada Winter. Winter segera mengalihkan pandangan dari Charlene ke arah Lee. Ia mengulum senyum lebar saat bertukar pandang dengan Lee, membuat pria itu menautkan kedua alisnya."Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?" Winter tertawa. "Tidak," jawabnya tanpa menanggalkan senyum di wajahnya.Ia berdiri dan melangkah ke arah sofa tempat di
Charlene mengalihkan tatapannya dari layar laptop kala mendengar suara siulan yang datangnya dari arah kamarnya dengan kamar Lee. Pria itu sedang menarik langkah menuju ke arahnya dan terlihat bahagia. Charlene berpikir semua ini karena Winter.Well, dalam dua minggu terakhir ini, hampir setiap hari Charlene memesan tempat di restoran untuk Lee dan Winter yang akan berkencan. Ia mengatakan pada dirinya bahwa itu bukan masalah baginya. Dia bukan siapa-siapa Lee, hanya asisten pria itu.Jadi, kenapa dia harus merasa kesal atau keberatan jika Lee berkencan dengan Winter? Lagi pula harus ia akui kalau Winter membawa hal positif dalam kehidupan Lee. Sejak Lee berkencan dengan Winter, sikap pria itu jauh lebih ceria dan jauh lebih baik terhadap Charlene. Mungkin benar yang dikatakan oleh para rekan kerjanya, kalau Winter merupakan jalan keluar bagi Lee dan perusahaan pria itu. Mungkin saja sikap dingin dan arogan Lee selama ini diakibatkan oleh stress karena pekerjaan. Kini setelah mengena
"Ada apa denganmu?" "Eh?" Charlene mengangkat kepalanya."Dari tadi aku bicara, sepertinya kau tidak menyimaknya sama sekali," tuding Lee yang sedang duduk di balik meja kerjanya sembari mengetik."Ngg ... maaf," sesal Charlene yang duduk di seberang Lee sembari membantu pria itu mengecek dokumen.Bukan tanpa alasan Lee menuduhnya demikian, karena sejak tadi pria itu diam-diam memperhatikan Charlene yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan melamun daripada memeriksa dokumen yang diminta oleh Lee."Aku lihat akhir-akhir ini kau tidak konsentrasi. Ada masalah apa?" selidik Lee. "Eumm ... tidak ada," dusta Charlene. Ia tidak mungkin menceritakan masalahnya pada Lee. Pria itu pasti hanya akan mengatakan hal-hal yang menyakitkan jika mengetahui masalah yang sedang dialami oleh Charlene. Sebab, entah kenapa Charlene merasa bahwa Lee memang tidak menyukai Axel.Charlene memang tidak bisa fokus akhir-akhir ini karena selalu terbayang pembicaraannya dengan Axel tempo hari. Dia sangat yak
"Ada apa? Apa kau keberatan dengan pilihanku?" selidik Lee."Ngg ... bukan begitu." Charlene melambaikan kedua tangannya dengan cepat."Lalu apa masalahnya?""Gaun itu sepertinya akan membuatku terlihat salah kostum," terang Charlene. "Jadi, maksudmu pilihanku sangat buruk?" "Tidak. Aku tidak mengatakan hal seperti itu. Gaun itu bagus, hanya saja itu cocoknya di pakai di musim dingin, bukan di musim panas." "Memangnya kau mau mengenakan gaun seperti apa?" selidik Lee."Hmm ... gaun yang sesuai dengan musimnya."Lee memicingkan matanya."Jadi, kau ingin memakai gaun yang terbuka sepeerti kemarin? Apa kau ingin menggoda Tuan Alpheus?" tuding Lee. "Meng-menggoda Tuan Alpheus?" Charlene tertawa tidak percaya. "Jauh sekali pikiran Anda. Aku tidak suka dengan pria yang beristri," tegas Charlene. "Benar, kau tidak suka?" "Di dunia ini ada begitu banyak pria yang masih single. Jadi kenapa harus memilih suami atau kekasih orang?" "Aku masih single, tetapi kau tidak tertarik padaku," te
"Gaun dan sepatu yang indah," sanjung Givella Alpheus kala bertemu dengan Charlene malam itu. Well akhirnya Charlene mengenakan gaun terakhir yang dipilihnya tadi, karena memang gaun itulah yang tampilannya paling sopan. Semua gara-gara Lee yang mengatakan bahwa gaun-gaun lainnya bisa mengundang fantasi para lelaki yang melihatnya. Tentu saja Charlene tidak suka menjadi objek para lelaki itu, demi menghindari hal yang tidak diinginkan seperti pelecehan contohnya."Terima kasih, Nyonya Alpheus," balas Charlene.Ia menatapsekilas sepatunya yang berwarna senada dengan dress yang ia kenakan. Sepatu itu memiliki desain simple dengan hiasan pita mutiara pada bagian depan. Itu adalah sepatu baru pemberian Lee dan Charlene tidak bisa menampik bahwa sepatu itu sangat indah."Kau bisa memanggilku Givella dan Tuan Alpheus dengan Damon. Karena Lee juga memanggil kami demikian. Bukan begitu, Lee?" "Iya." Lee melempar senyum ke arah Givella. "O, iya, silakan duduk," ujar Lee pada Damon dan Givell
Charlene menghentikan langkah dan membekap mulutnya sendiri agar tidak sampai mengeluarkan suara tangisan. "Sial! Kau selalu berhasil membangunkan milikku."Wanita yang bersama Axel lantas terkikik. "Apa kekasih bodohmu itu tidak bisa memuaskanmu?""Aghhh ...." Giliran Axel yang mendesah. "Dia tidak pernah bisa membuatku bergairah. Hanya kau yang bisa membuatku turn on, Sweetie."Sweetie. Itu adalah panggilan kesayangan Axel untuknya. Selama ini Charlene mengira jika panggilan itu sangat spesial. Namun, ternyata itu tidak berarti sama sekali bagi Axel.Charlene kemudian mendengar wanita itu mendesah lagi, disusul dengan suara cecapan yang menggema di dalam kamar itu. Ia tidak sanggup berada di sana lebih lama lagi. Charlene ingin berbalik, tetapi ia berpikir bahwa lari bukanlah jalan keluar terbaik.Lebih baik ia menyelesaikan ini sekarang. Ia menegakkan tubuhnya kemudian mengatur napasnya agar bisa tetap tenang. Lalu, ia pun menyusuri lorong sepanjang ruang kamar mandi yang ada di b
Lee tidak mengejar Charlene. Ia berbalik dengan tatapan membunuh dan langsung melayangkan tinjunya ke wajah tampan Axel. Bukkkk! "Akkkkkkkh!" teriak wanita selingkuhan Axel sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan.Axel mengarahkan wajahnya yang terempas ke samping kembali ke Lee. Ia lalu mengusap sudut bibirnya yang terasa perih. Ada darah di sana.Wajar saja, karena pukulan Lee sangat keras. "Pukulan itu hanya peringatan awal. Jika kau berani menyakiti Charlene lagi, aku akan melakukan lebih dari ini.""Heuh, jangan bertingkah seakan kau paling peduli dengan Charlene. Bukankah ini yang kau inginkan?"Lee hanya melayangkan tatapan tajam sebagai balasan. Ia tidak punya waktu untuk berdebat lebih panjang dengan Axel karena harus segera mengejar Charlene sebelum kehilangan jejak gadis itu. Lee kemudian meninggalkan Axel bersama dengan wanita selingkuhan pria itu. Si wanita mendekati Axel dan memindai wajah pria itu dengan serius. Selain luka berdarah pada sudut bibir pria itu, p