Lee menyandarkan bokongnya pada pinggiran meja, melipat kedua tangannya di depan dada, sementara kedua kakinya disilangkan. "Well, itu memang bukan urusanku." Lee tampak begitu santai. "Aku ulangi lagi, aku menawarimu pernikahan sebagai bentuk tanggung jawabku. Selain atas apa yang terjadi tadi malam, juga sebagai balas budi almarhum kakekku pada almarhum ayahmu." Lee jelas menghindari topik mengenai apakah dirinya terusik dengan masalah kegadisan Charlene. Charlene pun tidak membahas hal itu lebih jauh karena dia sendiri sebenarnya juga tidak berniat membahas mengenai masalah itu. Ia hanya terpancing oleh asumsi yang Lee kemukakan."Jawabanku tetap sama, Tuan Montana," tegas Charlene.Dia memang ragu jika Axel akan menerima dirinya. Seperti yang Lee katakan tadi, Axel tidak akan mempermasalahkan keperawanan Charlene. Namun, sayangnya ini bukan tentang masalah keperawanan semata, melainkan tentang pengkhianatan.Pria mana yang bisa menerima jika mengetahui calon istrinya telah tidur
"Aaaagggg ....!" Charlene mengacak-acak rambutnya hingga tak beraturan. Ia menyandarkan punggung pada sofa panjang yang ada di dalam kamarnya, sementara kepalanya ia letakkan pada bahu sofa. Tatapannya saat ini tertuju ke langit-langit kamar. "Fiuuuhh!" Ia meniup helaian-helaian rambut yang menutupi wajahnya. Sejak tadi ia sama sekali tidak bisa mengetik naskah untuk lanjutan novelnya, padahal ia dikejar deadline. Pikirannya benar-benar sedang kusut akibat kejadian tadi malam. "Bagaimana mungkin aku bisa sampai masuk ke dalam kamar Tuan Montana?" Charlene mengetuk-ngetuk pelipisnya setelah bermonolog. Ia sudah mencoba mengingat tentang kejadian tadi malam, tetapi hasilnya nihil. Yang Charlene ingat, dirinya sempat meminum obat tidur. Bukankah seharusnya ia jatuh tertidur? Namun, kenapa ia malah pergi ke kamar Lee? Ia berharap bahwa semua itu hanya mimpi seperti kejadian tempo hari. Namun, harapannya itu pupus mengingat dirinya memang terbangun di atas ranjang Lee tadi pagi, dalam
"Anda benar. Seharusnya aku tahu di mana posisiku. Permisi." Charlene berbalik dan meninggalkan Lee yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Saat Charlene sudah menghilang dari pandangannya, barulah Lee menarik langkah menuju ke kamar untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Pria itu mengambil ponselnya kemudian menelepon seseorang. Pada deringan pertama, teleponnya langsung diangkat. "Halo, Marvin, aku punya tugas untukmu." *** Charlene membuka pintu kamarnya dan menemukan Lee di depan. Well, sebenarnya ia sudah tahu siapa yang memencet bel pintu kamarnya, sebelum ia buka, karena para pelayan sudah pulang. "Ada apa?" "Aku ingin mengajakmu makan malam." Walau perubahan pada wajah Charlene tidak terlalu kentara, tetapi Lee menyadari jika gadis itu tampak bingung dengan apa yang ia sampaikan. "Ngg ... apa sekarang sudah jam 6 lewat?" tanya Charlene. Seingatnya, beberapa saat lalu ia sempat memperhatikan jam yang menunjukkan hampir pukul lima. Sedangkan biasanya mereka
Lee beranjak dari sofa begitu saja. Saking terpananya dengan penampilan Charlene, ia sampai menjatuhkan ponselnya tanpa sadar. Klotakkk! "Aakkh!" pekik Charlene yang seketika menutup mulutnya dengan satu tangannya yang kosong. Ia menatap ngeri ke arah Lee yang sedang memungut ponselnya yang terjatuh ke atas lantai. "Apa ponselnya pecah?" selidik Charlene. Lee menunduk untuk memeriksa kondisi ponsel yang sudah berada di tangannya. Pria itu lantas mengangkat kembali pandangannya ke arah Charlene yang sedang mendekatinya dengan wajah was-was. Lee lantas menggeleng. "Tidak, terselamatkan oleh casing ponsel." Lee menunjukkan layar ponsel ke arah Charlene, sebelum menaruh ponsel tersebut ke bagian dalam saku jasnya. "O, syukurlah." Charlene berhenti di depan Lee dengan jarak tak lebih dari dua meter. Dari posisi itu, Lee bisa memindai dengan jelas keseluruhan penampilan Charlene. Gadis itu mengenakan gaun berwarna soft pink dengan panjang mencapai betis, yang membuat penampilannya te
"Lupakan saja. Aku hanya bercanda," tutur Charlene. Ia tidak berniat untuk melanjutkan pembahasan tersebut. Namun, tidak demikian halnya dengan Lee."Bercanda?" "Aku rasa Anda mengerti maksudku," simpul Charlene. "Aku benar-benar tidak mengerti." Charlene mengamati raut wajah Lee yang terlihat serius dan sepertinya pria itu memang tidak berbohong. "Well, begini. Sejujurnya hari ini terasa sedikit aneh bagiku. Aku rasa Anda mengerti dengan apa yang aku maksud." "Bisakah kita langsung menuju ke intinya?" desak Lee yang masih meraba-raba arah pembicaraan Charlene.Charlene mengangguk dengan melemparkan senyuman samar di wajahnya. "Anda tahu kalau kita lebih sering tidak akur." Itu adalah pernyataan. "Namun, sikap Anda hari ini jelas sangat berbeda. Bukankah agak aneh karena kita bisa bicara dengan keadaan setenang ini?" lontar Charlene. Lee tidak menampik ucapan Charlene, tidak pula marah. "Karena itu aku pikir mungkin Anda lupa meminum obat Anda," imbuh Charlene. "Tetapi lupakan
"Tentu saja tidak," jawab Lee. "Begitu pula denganku, Tuan Montana. Aku tidak akan menjerumuskan diri ke dalam permainan yang jelas-jelas tidak menguntungkan untukku." Lee tidak bisa mengelak lagi, menilik dari jawaban Charlene, gadis itu tampaknya memang tidak hanya sekadar menerka saja."Memangnya kau tahu hadiah dan hukuman apa yang aku maksud?" selidik Lee. "Aku tidak tahu pastinya, tetapi aku pernah menghadapi situasi kurang lebih sama seperti itu." "Apa?" Charlene tidak bisa memberi tahu Lee karena ada Marvin di antara mereka. "Aku tidak bisa mengatakannya." "Kalau begitu, kau gagal meyakinkanku, Nona Flynn," ucap Lee. Tadinya, Lee sempat berpikir jika Charlene akan mendebatnya, setelah apa yang ia katakan barusan. Namun, ternyata Charlene hanya membentangkan senyum di wajahnya. "Dan aku memang tidak sedang berusaha untuk meyakinkan Anda, Tuan Montana. Karena tujuanku adalah menolak tawaran Anda." Jawaban yang cerdas. Lee menyukai keputusan Charlene. Gadis itu menunjukk
"Apa kau menyukai Marvin?" Pertanyaan Lee menarik atensi Charlene, sehingga ia langsung melirik bosnya. "Kenapa Anda bertanya seperti itu?" Lee menghentikan langkahnya, tanpa menatap Charlene. Charlene terpaksa ikut berhenti. Gadis itu masih melihat ke arah Lee karena sedang menanti jawaban pria itu, lantas mengikuti arah pandangan Lee. Air mukanya yang tampak tenang, seketika itu juga tampak terpana. Charlene pernah melihat tempat itu dari video dan foto-foto yang di posting oleh orang-orang. Namun, tampilannya berbeda dengan yang saat ini sedang ia lihat. Tempat itu kosong, tetapi bukan hal itu yang pertama kali menarik atensi Charlene. Ia terpana karena tempat itu dipenuhi oleh lentera-lentera berisi lilin yang menyala. Berjejer dengan indah di atas lantai, meja,meja, dan di sekeliling pagar. Di antara semua meja-meja, tampak sebuah meja tertata dengan apik di tengah-tengah area outdoor itu. Latar pemandangan teluk membuat restoran tersebut tampak semakin estetik. Di kejauhan
"Apa yang sedang kau pikirkan?" selidik Lee ketika berhasil menangkap bayang-bayang senyuman di wajah Charlene, meski saat itu mereka berada dalam kegelapan malam. Namun, cahaya dari lentera membuat Lee bisa melihat wajah Charlene dengan cukup jelas. Alunan musik yang diputar, berhasil menciptakan atmosfer yang menenangkan dan terasa romantis. Sungguh merupakan sebuah makan malam yang sempurna bagi sepasang kekasih. Sayangnya, Charlene dan Lee bukanlah pasangan, apa lagi jika harus bersikap romantis. Keduanya tidak bertengkar saja sudah merupakan sebuah keajaiban. "Tidak ada," dusta Charlene.Ia tidak mungkin memuji Lee karena bosnya pasti akan menjadi besar kepala. Meskipun selama beberapa jam terakhir, sikap Lee jelas sangat berbeda, tetapi Charlene merasa jika dirinya masih harus bertindak dengan hati-hati.Charlene sendiri tidak tahu apakah Lee mempercayai apa yang ia katakan atau tidak. Namun, pria itu tidak menanggapi jawabannya. Lee justru meraih tangkai gelas yang berisi wi