"Apa yang sedang kau pikirkan?" selidik Lee ketika berhasil menangkap bayang-bayang senyuman di wajah Charlene, meski saat itu mereka berada dalam kegelapan malam. Namun, cahaya dari lentera membuat Lee bisa melihat wajah Charlene dengan cukup jelas. Alunan musik yang diputar, berhasil menciptakan atmosfer yang menenangkan dan terasa romantis. Sungguh merupakan sebuah makan malam yang sempurna bagi sepasang kekasih. Sayangnya, Charlene dan Lee bukanlah pasangan, apa lagi jika harus bersikap romantis. Keduanya tidak bertengkar saja sudah merupakan sebuah keajaiban. "Tidak ada," dusta Charlene.Ia tidak mungkin memuji Lee karena bosnya pasti akan menjadi besar kepala. Meskipun selama beberapa jam terakhir, sikap Lee jelas sangat berbeda, tetapi Charlene merasa jika dirinya masih harus bertindak dengan hati-hati.Charlene sendiri tidak tahu apakah Lee mempercayai apa yang ia katakan atau tidak. Namun, pria itu tidak menanggapi jawabannya. Lee justru meraih tangkai gelas yang berisi wi
"Hmm ... dia baik." "Hanya itu?" Charlene mengerling ke atas seraya meletakkan jari telunjuk di tengah bibirnya, memikirkan hal apa lagi yang membuat dirinya menyukai Marvin. "Hmm ... orangnya setia." "Setia?" Sebagai jawaban, Charlene mengangguk dengan cepat ke arah Lee. "Maksudmu, kau dan dia menjalin hubungan?" Lee menipiskan matanya. "Eh, bukan seperti itu. Tidak mungkin aku menjalin hubungan asmara dengan Marvin, tepat di saat aku memiliki hubungan dengan pria lain," sungut Charlene yang menatap tanpa tujuan ke arah teluk. "Aku bukan wanita yang suka berselingkuh." Ada penegasan terselubung dalam kalimat terakhir yang Charlene ucapkan. Ia memang enggan mengatakan secara eksplisit bahwa hal ini berkaitan dengan kejadian tadi malam. Namun, Charlene berharap Lee menangkap maksud dari kata-kata yang ia lontarkan. Tidur dengan Lee jelas merupakan sebuah kesalahan yang tidak ia sengaja. Dan bagi Charlene, hal itu tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori berselingkuh karena ia me
Lee menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Senyum yang mengandung keangkuhan. Begitulah pendapat Charlene setiap kali ia melihat senyum itu."Kalau kau tidak ingin mendapat masalah, kusarankan agar kau mengatakan yang sebenarnya." Charlene tetap bungkam. Namun, bukan Lee namanya jika tidak memiliki cara lain untuk membuat Charlene bicara. "Kau dan informanmu tidak akan mendapat masalah jika kau memberitahuku sekarang." Charlene menghela napas, memejamkan mata sebentar, kemudian membukanya lagi. Ia mengerling ke arah teluk sebelum menatap Lee. "Kau benar-benar menjamin jika tidak akan menyulitkan orang yang memberitahuku?" "Apa perlu aku membuat kontraknya sekarang agar kau yakin dengan ucapanku?" sarkas Lee. "Heuh ... salahmu sendiri karena sering tidak menepati janji." Charlene cukup trauma karena Lee sering membohonginya. "Awalnya bilang A, setelah itu berubah jadi B. Seharusnya sebagai seorang pria apa lagi bos besar, yang dipegang adalah kata-katanya," kritik Charlene.
"Eh?" Lee menggerakkan salah satu matanya hingga lebih terbuka, lalu memberi anggukan samar sebagai isyarat agar Charlene menerima ajakannya. "Tetapi aku tidak bisa berdansa," aku Charlene.Lee bisa melihat keraguan melalui tatapan mata gadis itu."Aku akan memandumu," pungkas Lee, meyakinkan Charlene. Charlene memperlihatkan lagi ekspresi ragunya itu dengan menatap tangan Lee, lalu berpindah ke netra pria itu. Beberapa saat kemudian, ia pun memutuskan untuk meletakkan tangannya di atas tangan Lee, kemudian beranjak dari kursinya. Lee lantas menuntun Charlene ke arah pagar pembatas yang menjadi pemisah antara restoran dan teluk.Lee melangkah di depan Charlene dengan tangan yang terjulur ke belakang, menggandeng gadis itu. Pandangan Charlene terpaku pada punggung lebar Lee. Ia seakan terhipnotis karenanya.Tidak bisa Charlene pungkiri, jika bosnya itu memang sangat gagah. Lee lantas menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Charlene tanpa melepaskan genggaman tangannya. Keduan
"Aku sungguh tidak sengaja." Charlene menundukkan kepala sebagai tanda kesungguhan atas permohonan maafnya.Gadis itu lantas kembali menegakkan kepalanya dan menatap Lee. Lee tidak menemukan rasa takut dalam paras Charlene. Yang ia rasakan justru gadis itu mencemaskan kondisinya. Hal itu justru membuat Lee tersenyum lebar. "Tidak apa-apa. Untuk orang yang tidak bisa berdansa, kau sudah cukup lumayan," sanjung Lee.Charlene tersenyum dengan canggung. "Kakimu benar-benar tidak apa-apa?" "Aku tidak apa-apa dan terima kasih karena sudah mencemaskanku." "Eh? Aku hanya bertanya saja. Siapa bilang aku mencemaskanmu?" elak Charlene sembari melemparkan pandangannya ke arah seberang dengan salah tingkah. Beruntung pertunjukan Spectacular di seberang sana belum berakhir, sehingga ia bisa berpura-pura seakan sedang melihat pertunjukkan itu. Walau sebenarnya pertunjukan itu tidak tampak begitu jelas, karena jaraknya terlalu jauh. Yang tertangkap oleh indra penglihatannya hanya cahaya yang berwa
Charlene berdiri mematung, tidak menjawab sapaan dari wanita yang tengah berdiri di hadapannya itu. Charlene tahu jika itu hanyalah pertanyaan basa-basi semata. Mana mungkin wanita itu peduli dengan kabarnya."Apa mendadak kau menjadi bisu?" Nada bicaranya terdengar angkuh dan yang jelas, ucapannya sangat menusuk.Kalau Charlene ingat-ingat lagi, wanita itu memang tidak pernah bersikap baik padanya. Begitu juga dengan saat ini. Charlene yang masih membisu, justru membuat wanita itu memiliki kesempatan untuk meninjau penampilan Charlene.Dari atas sampai ke bawah, lalu ke atas lagi. Wanita itu lantas menarik salah satu sudut bibirnya sehingga tercipta sebuah senyuman yang sangat merendahkan. Ia lantas menarik langkah mendekati Charlene. "Well, jadi sekarang kau menjajakan diri? Apakah uang dari Axel tidak cukup, sehingga kau harus menjual diri?" tuding wanita yang tak lain adalah ibu Axel itu.Mata wanita itu memicing tak suka. "Jangan-jangan dugaanku selama ini memang benar. Kau ter
Lee tidak tahu alasan pasti, kenapa dia sampai menugaskan Charlene mencarikan teman kencan untuknya. Ia juga tidak tahu kenapa dia marah saat Charlene menyanggupi perintahnya. Jadi, begitu tiba di depan Universe Hotel and Apartments, ia langsung menuju ke penthouse-nya tanpa menunggu gadis itu. Lee pikir Charlene akan tiba tidak lama sesudah dirinya sampai di penthouse. Jadi, dia sengaja menunggu di pantry dan sesekali menatap ke arah lorong menuju lift. Namun, gadis itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. "Ke mana dia?" Lee bermonolog. "Apa langsung naik lift ke atas?" Lee pikir Charlene langsung menggunakan lift menuju ke lantai 2 penthouse, karena kamar mereka berada di sana. Apa lagi sepertinya kaki Charlene terkilir. Lee menyadari hal itu tadi, ketika Charlene berjalan dengan setengah menyeret kakinya keluar dari resort menuju ke mobil. Namun, saat itu Lee berpura-pura tidak tahu. Lee membuang napas berat setelah mengingat kejadian tadi. Ia lantas menuju ke lantai 2 untu
Beberapa orang yang berada di lobi, tampak kembali memperhatikan Charlene yang kini berada dalam gendongan Lee, sedangkan sebagian lagi tampak acuh tak acuh, sisanya memilih untuk tidak peduli. Begitu pula dengan Lee dan Charlene yang tidak menghiraukan orang-orang yang sedang memperhatikan mereka. Atensi keduanya hanya terfokus pada satu sama lain. "Diamlah, kecuali kau lebih suka jalan sendiri dengan kondisi kaki seperti ini?" Charlene lantas mencebikkan bibir karena merasa tidak ada gunanya ia menolak kebaikan hati Lee. Hah! Kebaikan hati. Mendadak ia menjepit bibirnya untuk menahan senyum yang hampir menyebar di wajahnya. Ya, kalau dipikir-pikir, ternyata Lee juga memiliki sisi baik. "Berpeganganlah," titah pria itu. Charlene memperlihatkan keraguan yang timbul di wajahnya. "Kalau kau jatuh atau merasa tidak nyaman, maka jangan salahkan aku," ucap Lee ketika Charlene tak kunjung juga menuruti perintahnya.Charlene kemudian mengangkat kedua tangannya. Namun, ia masih tampak ra