"Eh?" Lee menggerakkan salah satu matanya hingga lebih terbuka, lalu memberi anggukan samar sebagai isyarat agar Charlene menerima ajakannya. "Tetapi aku tidak bisa berdansa," aku Charlene.Lee bisa melihat keraguan melalui tatapan mata gadis itu."Aku akan memandumu," pungkas Lee, meyakinkan Charlene. Charlene memperlihatkan lagi ekspresi ragunya itu dengan menatap tangan Lee, lalu berpindah ke netra pria itu. Beberapa saat kemudian, ia pun memutuskan untuk meletakkan tangannya di atas tangan Lee, kemudian beranjak dari kursinya. Lee lantas menuntun Charlene ke arah pagar pembatas yang menjadi pemisah antara restoran dan teluk.Lee melangkah di depan Charlene dengan tangan yang terjulur ke belakang, menggandeng gadis itu. Pandangan Charlene terpaku pada punggung lebar Lee. Ia seakan terhipnotis karenanya.Tidak bisa Charlene pungkiri, jika bosnya itu memang sangat gagah. Lee lantas menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Charlene tanpa melepaskan genggaman tangannya. Keduan
"Aku sungguh tidak sengaja." Charlene menundukkan kepala sebagai tanda kesungguhan atas permohonan maafnya.Gadis itu lantas kembali menegakkan kepalanya dan menatap Lee. Lee tidak menemukan rasa takut dalam paras Charlene. Yang ia rasakan justru gadis itu mencemaskan kondisinya. Hal itu justru membuat Lee tersenyum lebar. "Tidak apa-apa. Untuk orang yang tidak bisa berdansa, kau sudah cukup lumayan," sanjung Lee.Charlene tersenyum dengan canggung. "Kakimu benar-benar tidak apa-apa?" "Aku tidak apa-apa dan terima kasih karena sudah mencemaskanku." "Eh? Aku hanya bertanya saja. Siapa bilang aku mencemaskanmu?" elak Charlene sembari melemparkan pandangannya ke arah seberang dengan salah tingkah. Beruntung pertunjukan Spectacular di seberang sana belum berakhir, sehingga ia bisa berpura-pura seakan sedang melihat pertunjukkan itu. Walau sebenarnya pertunjukan itu tidak tampak begitu jelas, karena jaraknya terlalu jauh. Yang tertangkap oleh indra penglihatannya hanya cahaya yang berwa
Charlene berdiri mematung, tidak menjawab sapaan dari wanita yang tengah berdiri di hadapannya itu. Charlene tahu jika itu hanyalah pertanyaan basa-basi semata. Mana mungkin wanita itu peduli dengan kabarnya."Apa mendadak kau menjadi bisu?" Nada bicaranya terdengar angkuh dan yang jelas, ucapannya sangat menusuk.Kalau Charlene ingat-ingat lagi, wanita itu memang tidak pernah bersikap baik padanya. Begitu juga dengan saat ini. Charlene yang masih membisu, justru membuat wanita itu memiliki kesempatan untuk meninjau penampilan Charlene.Dari atas sampai ke bawah, lalu ke atas lagi. Wanita itu lantas menarik salah satu sudut bibirnya sehingga tercipta sebuah senyuman yang sangat merendahkan. Ia lantas menarik langkah mendekati Charlene. "Well, jadi sekarang kau menjajakan diri? Apakah uang dari Axel tidak cukup, sehingga kau harus menjual diri?" tuding wanita yang tak lain adalah ibu Axel itu.Mata wanita itu memicing tak suka. "Jangan-jangan dugaanku selama ini memang benar. Kau ter
Lee tidak tahu alasan pasti, kenapa dia sampai menugaskan Charlene mencarikan teman kencan untuknya. Ia juga tidak tahu kenapa dia marah saat Charlene menyanggupi perintahnya. Jadi, begitu tiba di depan Universe Hotel and Apartments, ia langsung menuju ke penthouse-nya tanpa menunggu gadis itu. Lee pikir Charlene akan tiba tidak lama sesudah dirinya sampai di penthouse. Jadi, dia sengaja menunggu di pantry dan sesekali menatap ke arah lorong menuju lift. Namun, gadis itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. "Ke mana dia?" Lee bermonolog. "Apa langsung naik lift ke atas?" Lee pikir Charlene langsung menggunakan lift menuju ke lantai 2 penthouse, karena kamar mereka berada di sana. Apa lagi sepertinya kaki Charlene terkilir. Lee menyadari hal itu tadi, ketika Charlene berjalan dengan setengah menyeret kakinya keluar dari resort menuju ke mobil. Namun, saat itu Lee berpura-pura tidak tahu. Lee membuang napas berat setelah mengingat kejadian tadi. Ia lantas menuju ke lantai 2 untu
Beberapa orang yang berada di lobi, tampak kembali memperhatikan Charlene yang kini berada dalam gendongan Lee, sedangkan sebagian lagi tampak acuh tak acuh, sisanya memilih untuk tidak peduli. Begitu pula dengan Lee dan Charlene yang tidak menghiraukan orang-orang yang sedang memperhatikan mereka. Atensi keduanya hanya terfokus pada satu sama lain. "Diamlah, kecuali kau lebih suka jalan sendiri dengan kondisi kaki seperti ini?" Charlene lantas mencebikkan bibir karena merasa tidak ada gunanya ia menolak kebaikan hati Lee. Hah! Kebaikan hati. Mendadak ia menjepit bibirnya untuk menahan senyum yang hampir menyebar di wajahnya. Ya, kalau dipikir-pikir, ternyata Lee juga memiliki sisi baik. "Berpeganganlah," titah pria itu. Charlene memperlihatkan keraguan yang timbul di wajahnya. "Kalau kau jatuh atau merasa tidak nyaman, maka jangan salahkan aku," ucap Lee ketika Charlene tak kunjung juga menuruti perintahnya.Charlene kemudian mengangkat kedua tangannya. Namun, ia masih tampak ra
Wajah Charlene memerah bagaikan ketiping rebus. "Tidak, terima kasih." Ia memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan mata pria itu."Berhentilah bersikap malu-malu. Bukankah sudah kukatakan kalau aku telah—." "Stop!" Charlene mengarahkan telapak tangannya ke arah Lee. Hal itu membuatnya terpaksa kembali melakukan kontak mata dengan sang CEO"Jangan dilanjutkan lagi." Charlene terdiam sesaat karena sedang mencari alasan untuk mengusir pria itu dari kamarnya "Ini sudah malam.Aku rasa sebaiknya Anda kembali ke kamar Anda. Bukankah besok kita harus bekerja?" "Aku bosnya. Kalau besok tidak bekerja, tentu tidak masalah bagiku." "Dan aku hanyalah seorang karyawan. Aku bisa mendapat masalah jika sampai terlambat masuk kerja atau boros." Charlene sengaja menyindir pria itu karena selama ini, Lee memang sering memperlakukan dirinya dengan semena-mena. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak akan memberi hukuman pada Charlene?"Well, dan aku adalah atasanmu. Aku rasa kau tidak lupa
Charlene memang tidak cocok dengan ibu Axel. Namun, bukan berarti dia akan mendukung keputusan kekasihnya itu. Sebab, tidak pernah sekalipun terbersit dalam pikirannya agar Axel memutuskan hubungan dengan ibunya.Bagaimanapun juga, wanita itulah yang melahirkan Axel. "Kau tidak serius, bukan?" O, jelas Charlene tahu bahwa Axel tidak sedang bercanda. Ia hanya ingin memastikan saja. "Aku rasa kau yang paling tahu bahwa aku tidak pernah main-main dengan ucapanku," tekan Axel di seberang sana. Kepala Charlene seketika itu juga terasa sakit dan berputar-putar. Ia pun memijit kedua pelipisnya dengan satu tangannya yang bebas—menggunakan jari tengah dan ibu jarinya. Sementara tangan yang lainnya masih memegang telepon genggam yang menempel di telinganya. "Sebaiknya kau tenangkan dirimu dulu," saran Charlene. "Kau mungkin hanya sedang emosi." "Menenangkan diri? Kau pikir aku mendadak memutuskan hal ini? Tidak. Aku sudah cukup lama memikirkannya, Charlene." Charlene terkejut mendenga
Lee memasuki kamarnya dan melemparkan jasnya ke atas ottoman di ujung tempat tidur. Ia meletakkan satu tangan di pinggang, kemudian mengusap kasar wajahnya dengan tangan yang lain, sebelum menyugar rambutnya dengan wajah frustrasi. Pria itu bergegas membuka kancing bajunya yang tersisa sembari melangkah ke kamar mandi. "Damn it!" umpatnya.Malam ini dia harus mandi air dingin lagi, meskipun hal itu bukan masalah di tengah cuaca yang sangat panas seperti sekarang. Namun, cuaca yang panas itu, tidak seberapa panas jika dibandingkan dengan atmosfer yang ia rasakan di kala berdekatan dengan Charlene tadi. Ia benar-benar membutuhkan air dingin!Jika hal itu tidak bisa cukup membantunya, mungkin ia akan berenang, kemudian mandi lagi. Sampai efek Charlene terhadap dirinya menghilang.Dia hampir mencium asistennya tadi—walaupun bukan untuk pertama kalinya, mengingat ia sudah pernah mencium gadis itu. Namun, setelah apa yang terjadi kemarin malam, Lee tidak bisa menjamin bahwa dia tidak akan