Charlene memang tidak cocok dengan ibu Axel. Namun, bukan berarti dia akan mendukung keputusan kekasihnya itu. Sebab, tidak pernah sekalipun terbersit dalam pikirannya agar Axel memutuskan hubungan dengan ibunya.Bagaimanapun juga, wanita itulah yang melahirkan Axel. "Kau tidak serius, bukan?" O, jelas Charlene tahu bahwa Axel tidak sedang bercanda. Ia hanya ingin memastikan saja. "Aku rasa kau yang paling tahu bahwa aku tidak pernah main-main dengan ucapanku," tekan Axel di seberang sana. Kepala Charlene seketika itu juga terasa sakit dan berputar-putar. Ia pun memijit kedua pelipisnya dengan satu tangannya yang bebas—menggunakan jari tengah dan ibu jarinya. Sementara tangan yang lainnya masih memegang telepon genggam yang menempel di telinganya. "Sebaiknya kau tenangkan dirimu dulu," saran Charlene. "Kau mungkin hanya sedang emosi." "Menenangkan diri? Kau pikir aku mendadak memutuskan hal ini? Tidak. Aku sudah cukup lama memikirkannya, Charlene." Charlene terkejut mendenga
Lee memasuki kamarnya dan melemparkan jasnya ke atas ottoman di ujung tempat tidur. Ia meletakkan satu tangan di pinggang, kemudian mengusap kasar wajahnya dengan tangan yang lain, sebelum menyugar rambutnya dengan wajah frustrasi. Pria itu bergegas membuka kancing bajunya yang tersisa sembari melangkah ke kamar mandi. "Damn it!" umpatnya.Malam ini dia harus mandi air dingin lagi, meskipun hal itu bukan masalah di tengah cuaca yang sangat panas seperti sekarang. Namun, cuaca yang panas itu, tidak seberapa panas jika dibandingkan dengan atmosfer yang ia rasakan di kala berdekatan dengan Charlene tadi. Ia benar-benar membutuhkan air dingin!Jika hal itu tidak bisa cukup membantunya, mungkin ia akan berenang, kemudian mandi lagi. Sampai efek Charlene terhadap dirinya menghilang.Dia hampir mencium asistennya tadi—walaupun bukan untuk pertama kalinya, mengingat ia sudah pernah mencium gadis itu. Namun, setelah apa yang terjadi kemarin malam, Lee tidak bisa menjamin bahwa dia tidak akan
"Sama sekali tidak lucu!" ketus Charlene. "Siapa yang bilang kalau aku sedang melucu?" "Tidak ada." "Kesimpulannya?" tanya Lee.Deg! "Habislah aku kalau Tuan Montana serius dengan ucapannya," batin Charlene. "Kamasutra Goddess," panggil Lee. Charlene meringis karena panggilan tersebut. Sebab, terdengar seperti alarm tanda bahaya baginya. "Baiklah, kalau kau tidak ingin menjawab pertanyaanku. Mungkin kau lebih suka jika aku mendatangi kamarmu." Glek! Charlene melebarkan matanya. Otaknya langsung bekerja keras menghitung seberapa cepat waktu yang diperlukan oleh Lee dan dirinya untuk mencapai pintu kamarnya jika mereka berlomba. Apakah ia bisa mencapai pintu terlebih dahulu dibanding Lee?Ia harus mengunci pintu secara manual karena tadi tidak menambahkan pengait pintu—mengingat Lee yang menutupnya sendiri sewaktu keluar dari kamar. Charlene sama sekali tidak berpikir bahwa Lee akan ke kamarnya lagi.Karena itulah ia merasa tidak perlu menambahkan pengait pintu. Kini, me
"Kecuali kau lebih suka aku hukum," tandas Lee sebelum berlalu meninggalkan Charlene. Charlene mengembuskan napas berat dan menjatuhkan punggungnya hingga mencium kasurnya yang empuk. Tatapannya tertuju ke langit-langit kamar. "Ehmm ... apa yang akan dia lakukan?" Charlene bermonolog.Ingin rasanya ia mengintip atasannya. Namun, kondisinya jelas tidak memungkinkan, karena ia tidak bisa bergerak dengan lincah dan bebas untuk saat ini. Bisa-bisa ia tertangkap basah dan kembali mendapat masalah.Charlene kemudian mendudukkan dirinya kembali. Ia menundukkan pandangan ke arah baju tidur yang melekat di tubuhnya. Terpikir olehnya untuk berganti pakaian sebelum Lee tiba.Gadis itu lantas beranjak dari tempat tidur. Namun, baru berjalan beberapa langkah, ia kembali menangkap suara pintu yang terbuka. Charlene mengembuskan napas pasrah.Sebenarnya dia sangat ingin meneruskan langkahnya menuju walk in closet. Namun, Charlene yakin jika Lee pasti akan menemukan dirinya sebelum mencapai ruanga
Lee mendorong pelan jidat Charlene dengan jari telunjuknya, sehingga kepala gadis itu terdorong sedikit ke belakang. "Apa semua penulis novel pikirannya se-absurd dirimu?"Charlene mencebikkan bibirnya dengan wajah cemberut. "Mana aku tahu isi pikiran mereka." Ia memalingkan wajahnya ke samping, membuang tatapannya ke sembarang arah. Ada jeda beberapa saat, sehingga membuat atmosfer di kamar itu terasa begitu sunyi. Charlene tahu Lee sedang menatapnya. Hal itu membuat pipinya terasa panas dan dia pun menjadi salah tingkah.Jika ia tetap setia dengan posisinya seperti saat ini, bisa-bisa sebelah pipinya menjadi terbakar karena ditatap oleh pria itu begitu lama. Mau tidak mau, Charlene pun kembali mendaratkan pandangannya ke arah Lee. "Anda serius kalau pernah membunuh?" "Tentu saja. Apa tadi aku terlihat seperti sedang bercanda?" Deg! "Ja-jadi, siapa orang yang Anda bunuh?"Charlene benar-benar masih tidak percaya jika Lee sanggup melakukan hal seperti itu. Namun, ia semakin
"Ti-tidur di sini?" ulang Charlene.Lee yang berdiri membelakangi jendela yang belum Charlene tutup tirainya, tidak menjawab pertanyaan Charlene. Pria itu justru mengangkat kaus yang ia kenakan dan meloloskannya dari kepala. Tindakannya itu berhasil membuat kedua bola mata Charlene membulat dengan sempurna.Dalam keremangan cahaya kamar Charlene berpadu dengan lampu-lampu di luar gedung dan sinar bulan, sosok Lee tampak begitu mengagumkan. O, memang bukan pertama kalinya Charlene melihat tubuh pria itu. Charlene tahu betapa menawannya Lee dengan kulit kecoklatan dan otot-otot tubuh yang terpahat dengan sempurna.Namun, setiap kali Charlene melihat tubuh pria itu, setiap kali pula ia dibuat terhipnotis karenanya. Meski berwajah dingin, tetapi Lee sangat tampan dan memiliki kharisma yang sulit ditolak oleh wanita mana pun. Well, Charlene memang selalu mengakui kalau Lee memiliki fisik yang sangat sempurna.Charlene yang terpaku melihat keindahan itu, segera tersadar dan buru-buru memal
Tidak, tidak! Charlene tidak ingin tidur sekamar dengan pria itu. Terlalu berbahaya.Sebab, jika bukan Lee yang memangsanya, maka dialah yang akan memangsa pria itu karena telah membuat salivanya menetes dengan tampil topless. Tentu saja bayangan tentang salivanya yang menetes itu, hanya ada dalam imajinasinya."Hei! Kau baik-baik saja?" Lee melambaikan tangannya ke arah mata Charlene karena gadis itu berdiri dengan memicingkan matanya ke arah Lee tanpa berkedip sama sekali.Charlene tersentak dari lamunannya, lalu mengetuk pelipisnya berulang kali, sembari membatin, "Sepertinya otakmu harus dibersihkan, Charlene.""Kenapa dengan kepalamu?" tanya Lee."Eh? Tidak. Tidak ada apa-apa."Charlene kemudian beranjak untuk mengambil bantal yang ada di samping Lee—pada sisi yang sempat ia tempati ketika Lee memijat kakinya tadi. "Mau ke mana kau?" selidik Lee. "Tidur di sofa."Charlene menyeberangi tempat tidur dengan membawa dua buah bantal di tangannya yang kemudian ia taruh di sofa. Lalu,
Charlene menggeliatkan tubuhnya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia membuka matanya yang terasa berat. Namun, ia hanya melihat secara samar-samar, sebelum memutuskan untuk kembali memejamkan matanya. Gadis itu lantas memiringkan badannya, membelakangi jendela. Entah jam berapa sekarang. Untuk mencari tahu, ia pun menjulurkan tangannya untuk menggapai ponsel yang semalam ia taruh ke atas meja yang ada di depan sofa, tempat di mana ia tidur. Namun, yang ia raih hanyalah ruang kosong.Merasa ada yang ganjil, Charlene pun membuka matanya. Tidak ada meja di depannya. Perlu beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa ia tidak sedang berada di atas sofa.Awalnya ia masih terlihat tenang ketika menyadari bahwa dirinya saat ini tengah berada di atas tempat tidurnya. Namun, mendadak kedua netranya melebar. Charlene segera mengecek ke bawah dan menemukan bahwa ia masih berpakaian dengan lengkap seperti semalam.Ia pun kemudian menghela napas lega. Namun, tampaknya ia tidak memiliki waktu