Halo, Readers, kalau berkenan, boleh bagi gems-nya sebagai dukungan buat Author. Thank you, Dear. Happy reading :)
Lee mendorong pelan jidat Charlene dengan jari telunjuknya, sehingga kepala gadis itu terdorong sedikit ke belakang. "Apa semua penulis novel pikirannya se-absurd dirimu?"Charlene mencebikkan bibirnya dengan wajah cemberut. "Mana aku tahu isi pikiran mereka." Ia memalingkan wajahnya ke samping, membuang tatapannya ke sembarang arah. Ada jeda beberapa saat, sehingga membuat atmosfer di kamar itu terasa begitu sunyi. Charlene tahu Lee sedang menatapnya. Hal itu membuat pipinya terasa panas dan dia pun menjadi salah tingkah.Jika ia tetap setia dengan posisinya seperti saat ini, bisa-bisa sebelah pipinya menjadi terbakar karena ditatap oleh pria itu begitu lama. Mau tidak mau, Charlene pun kembali mendaratkan pandangannya ke arah Lee. "Anda serius kalau pernah membunuh?" "Tentu saja. Apa tadi aku terlihat seperti sedang bercanda?" Deg! "Ja-jadi, siapa orang yang Anda bunuh?"Charlene benar-benar masih tidak percaya jika Lee sanggup melakukan hal seperti itu. Namun, ia semakin
"Ti-tidur di sini?" ulang Charlene.Lee yang berdiri membelakangi jendela yang belum Charlene tutup tirainya, tidak menjawab pertanyaan Charlene. Pria itu justru mengangkat kaus yang ia kenakan dan meloloskannya dari kepala. Tindakannya itu berhasil membuat kedua bola mata Charlene membulat dengan sempurna.Dalam keremangan cahaya kamar Charlene berpadu dengan lampu-lampu di luar gedung dan sinar bulan, sosok Lee tampak begitu mengagumkan. O, memang bukan pertama kalinya Charlene melihat tubuh pria itu. Charlene tahu betapa menawannya Lee dengan kulit kecoklatan dan otot-otot tubuh yang terpahat dengan sempurna.Namun, setiap kali Charlene melihat tubuh pria itu, setiap kali pula ia dibuat terhipnotis karenanya. Meski berwajah dingin, tetapi Lee sangat tampan dan memiliki kharisma yang sulit ditolak oleh wanita mana pun. Well, Charlene memang selalu mengakui kalau Lee memiliki fisik yang sangat sempurna.Charlene yang terpaku melihat keindahan itu, segera tersadar dan buru-buru memal
Tidak, tidak! Charlene tidak ingin tidur sekamar dengan pria itu. Terlalu berbahaya.Sebab, jika bukan Lee yang memangsanya, maka dialah yang akan memangsa pria itu karena telah membuat salivanya menetes dengan tampil topless. Tentu saja bayangan tentang salivanya yang menetes itu, hanya ada dalam imajinasinya."Hei! Kau baik-baik saja?" Lee melambaikan tangannya ke arah mata Charlene karena gadis itu berdiri dengan memicingkan matanya ke arah Lee tanpa berkedip sama sekali.Charlene tersentak dari lamunannya, lalu mengetuk pelipisnya berulang kali, sembari membatin, "Sepertinya otakmu harus dibersihkan, Charlene.""Kenapa dengan kepalamu?" tanya Lee."Eh? Tidak. Tidak ada apa-apa."Charlene kemudian beranjak untuk mengambil bantal yang ada di samping Lee—pada sisi yang sempat ia tempati ketika Lee memijat kakinya tadi. "Mau ke mana kau?" selidik Lee. "Tidur di sofa."Charlene menyeberangi tempat tidur dengan membawa dua buah bantal di tangannya yang kemudian ia taruh di sofa. Lalu,
Charlene menggeliatkan tubuhnya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia membuka matanya yang terasa berat. Namun, ia hanya melihat secara samar-samar, sebelum memutuskan untuk kembali memejamkan matanya. Gadis itu lantas memiringkan badannya, membelakangi jendela. Entah jam berapa sekarang. Untuk mencari tahu, ia pun menjulurkan tangannya untuk menggapai ponsel yang semalam ia taruh ke atas meja yang ada di depan sofa, tempat di mana ia tidur. Namun, yang ia raih hanyalah ruang kosong.Merasa ada yang ganjil, Charlene pun membuka matanya. Tidak ada meja di depannya. Perlu beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa ia tidak sedang berada di atas sofa.Awalnya ia masih terlihat tenang ketika menyadari bahwa dirinya saat ini tengah berada di atas tempat tidurnya. Namun, mendadak kedua netranya melebar. Charlene segera mengecek ke bawah dan menemukan bahwa ia masih berpakaian dengan lengkap seperti semalam.Ia pun kemudian menghela napas lega. Namun, tampaknya ia tidak memiliki waktu
Charlene tersenyum kecut. "Aku yakin Anda tidak akan tertarik dengan urusanku, Tuan Montana."Entah kenapa Charlene merasa percapakan mereka di pagi ini membawa atmosfer yang menciptakan jarak di antara mereka. Terasa jauh lebih asing daripada di saat pertama kali mereka bertemu. Mungkin karena Lee belum mengungkit tentang kejadian semalam. Tidak, Charlene merasa Lee tidak akan membicarakan hal itu. Jika pria itu ingin membahas soal tadi malam, ia pasti akan mengungkit soal keterlambatan Charlene tadi. Namun, Lee sama sekali tidak memprotes keterlambatan Charlene. Sarapan pagi itu terasa berjalan jauh lebih lama, padahal waktu yang mereka habiskan hanya 15 menit. Biasanya, Lee menghabiskan sarapannya dengan santai, sehingga membutuhkan waktu 30 menit. "Jam berapa kau akan pergi?" tanya Lee setelah menyelesaikan sarapannya dan menyeka mulutnya dengan serbet. "Sebentar lagi."Lee hanya mengangguk, kemudian mendorong mundur kursi yang tengah didudukinya. Pria itu lantas berdiri dan m
Lee tengah duduk di sofa yang ada di sebuah ruangan besar. Ia diminta untuk menunggu sebentar karena orang yang akan ditemuinya belum tiba. Lee memang tidak tiba lebih awal dari waktu yang telah dijanjikan, tetapi ia tiba tepat waktu. Ia masih terduduk di sofa kala mendengar suara pintu di belakangnya dibuka. Lee baru beranjak dari sofa ketika mendengar suara seorang wanita dan seorang pria. Lee lantas membalikkan badannya.Orang yang akan dia temui tampak terdiam sesaat. "Selamat pagi, Tuan Johnson," sapa Lee. Axel menatap Lee sesaat sebelum kembali bicara pada sekretarisnya. Lalu ia pun segera melintasi ruangan untuk menyambut Lee. Sementara sekretarisnya telah pergi meninggalkan ruangan tersebut."Selamat pagi, Tuan Montana. Maaf, membuat Anda menunggu."Axel mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Lee. Namun, Lee hanya mengerlingkan matanya sekilas ke arah tangan Axel, sebelum kembali menatap pria di hadapannya. "Tidak apa-apa. Sekretaris Anda tadi telah memberi tahu sa
"Sekali lagi, terima kasih karena telah memberikan saya tenggat waktu, Tuan White," ujar Charlene sembari menjabat tangan sang pemilik baru rumahnya."Justru saya yang berterima kasih karena Anda telah bersedia membantu merawat rumah baru tersebut sampai waktu kepindahan saya bersama keluarga saya nanti." Charlene tidak menyangka jika Tuan White menemuinya karena ingin memintanya untuk merawat rumah tersebut selama beberapa waktu ke depan, mengingat Tuan White tinggal di kota lain. Sebagai gantinya, pria itu mengizinkan Charlene tetap menyimpan barang-barang di sana, sampai menemukan tempat yang baru atau sampai kepindahan Tuan White nanti. Yang membuat Charlene sedikit terkejut adalah, awalnya ia pikir yang membeli rumahnya merupakan seorang pria tua.Namun, ternyata pria itu jauh lebih muda dari yang ada di dalam bayangan Charlene. Mungkin hanya beberapa tahun lebih tua daripada Charlene. Pria muda itu memiliki sebuah keluarga kecil.Ia mengatakan bahwa dirinya tidak mungkin mengel
"Apa kau sudah mengecek ulang reservasi kamar dan restorannya?" tanya Lee ketika Charlene sedang membantunya mengenakan jas dari belakang. "Sudah." Charlene lantas memutar langkahnya ke depan Lee untuk merapikan dasi dan kemeja yang pria itu kenakan agar tidak terlihat berantakan. Berbeda dengan tadi pagi, kali ini Charlene kembali merasakan sang CEO sedang mengamatinya. Sebab, wajahnya terasa sangat panas. Dan seperti biasa, ia akan berpura-pura tidak tahu jika Lee sedang menatapnya. Charlene melakukannya dengan mencoba memasang wajah yang tenang.Well, sangat kontras dengan kondisi hatinya saat ini. Sejujurnya, dia sedang kesal. Ingin sekali ia marah pada Lee.Namun, alasan apa yang mendasari dirinya sampai marah pada pria itu? Karena Lee berkencan dengan Winter? O, Charlene merasa dirinya sangat konyol. Dia sendiri yang menyarankan pada Lee agar mencari kekasih. Kini setelah pria itu menerima sarannya dan tampak tertarik pada wanita yang ia rekomendasikan, Charlene justru merasa