"Sekali lagi, terima kasih karena telah memberikan saya tenggat waktu, Tuan White," ujar Charlene sembari menjabat tangan sang pemilik baru rumahnya."Justru saya yang berterima kasih karena Anda telah bersedia membantu merawat rumah baru tersebut sampai waktu kepindahan saya bersama keluarga saya nanti." Charlene tidak menyangka jika Tuan White menemuinya karena ingin memintanya untuk merawat rumah tersebut selama beberapa waktu ke depan, mengingat Tuan White tinggal di kota lain. Sebagai gantinya, pria itu mengizinkan Charlene tetap menyimpan barang-barang di sana, sampai menemukan tempat yang baru atau sampai kepindahan Tuan White nanti. Yang membuat Charlene sedikit terkejut adalah, awalnya ia pikir yang membeli rumahnya merupakan seorang pria tua.Namun, ternyata pria itu jauh lebih muda dari yang ada di dalam bayangan Charlene. Mungkin hanya beberapa tahun lebih tua daripada Charlene. Pria muda itu memiliki sebuah keluarga kecil.Ia mengatakan bahwa dirinya tidak mungkin mengel
"Apa kau sudah mengecek ulang reservasi kamar dan restorannya?" tanya Lee ketika Charlene sedang membantunya mengenakan jas dari belakang. "Sudah." Charlene lantas memutar langkahnya ke depan Lee untuk merapikan dasi dan kemeja yang pria itu kenakan agar tidak terlihat berantakan. Berbeda dengan tadi pagi, kali ini Charlene kembali merasakan sang CEO sedang mengamatinya. Sebab, wajahnya terasa sangat panas. Dan seperti biasa, ia akan berpura-pura tidak tahu jika Lee sedang menatapnya. Charlene melakukannya dengan mencoba memasang wajah yang tenang.Well, sangat kontras dengan kondisi hatinya saat ini. Sejujurnya, dia sedang kesal. Ingin sekali ia marah pada Lee.Namun, alasan apa yang mendasari dirinya sampai marah pada pria itu? Karena Lee berkencan dengan Winter? O, Charlene merasa dirinya sangat konyol. Dia sendiri yang menyarankan pada Lee agar mencari kekasih. Kini setelah pria itu menerima sarannya dan tampak tertarik pada wanita yang ia rekomendasikan, Charlene justru merasa
Klik! Charlene menekan touchpad pada laptopnya dengan cukup keras. Ia lantas beranjak dari kursi kerjanya dan langsung melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Saat ini jam menunjukkan sudah hampir pukul 12 malam."Sepertinya dia memang tidak akan pulang," ucap Charlene pada dirinya sendiri.Tadinya, Charlene berencana untuk segera tidur setelah mem-publish bab terbaru dari novelnya. Namun, ternyata pikirannya terasa penuh, sehingga ia tidak dapat terlelap. Jadi, ia pun memutuskan untuk kembali mengetik, hitung-hitung untuk menambah tabungan babnya.Ia harus menyibukkan dirinya agar tidak terus-menerus memikirkan Lee yang sedang berkencan dengan Winter. Walaupun konsentrasinya tetap saja terpecah, sehingga ia harus menghabiskan waktu yang lebih lama dari biasanya untuk menyelesaikan satu bab. Namun, cara ini adalah cara yang paling cukup berhasil di antara cara-cara lain yang telah ia coba.Bahkan usahanya mengobrol di telepon dengan Axel tadi, tidak terlalu membantu mengurangi pikira
Charlene terjatuh ke atas tubuh Lee. Pria itu langsung mengungkung tubuh Charlene dengan kedua tangannya. "Lepas!" Charlene menggeliat, berusaha melepaskan diri dari belenggu Lee. Namun, pelukan Lee justru semakin erat. Untuk ukuran orang yang sedang mabuk, tenaga Lee sangat kuat. "Tuan, tolong lepaskan aku," bujuk Charlene. "Sadarlah! Anda sedang mabuk." Charlene tahu percuma saja bicara pada orang yang mabuk. Namun, setidaknya ia sudah berusaha agar terbebas dari Lee. Sayangnya, hal yang tidak Charlene duga lantas terjadi. Lee tiba-tiba saja membuka matanya."Siapa bilang aku sedang mabuk, ehm?"Charlene mengernyit. "Jadi, Anda sedang berpura-pura sejak tadi?" tuding Charlene yang terlihat kesal.Gadis itu lantas menekan dada bidang Lee, berusaha untuk bangun, tetapi Lee justru mengubah posisi mereka dalam satu gerakan. Dari yang tadinya Charlene berada di atas tubuhnya, kini ia memutar tubuh mereka hingga berbaring menyamping, dengan posisi saling berhadapan di atas tempat t
Lee kemudian melempar obat itu ke dalam mulutnya dan mengisi air dari keran ke dalam gelas yang ada di atas wastafel, lalu meneguknya. Selanjutnya, ia membasuh wajahnya dengan air keran yg mengalir. Sepertinya sisi kesadarannya lebih mendominasi saat ini.Lee mengangkat wajahnya dan menatap seseorang yang sedang balik menatapnya dari pantulan di dalam cermin. Ia mengangkat kepalanya dan menyentuh tanda kemerahan yang ada di lehernya. Ada beberapa tanda di sana dan itu adalah perbuatan Winter. Karena sedang berada dalam keadaan cukup sadar, Lee pun melakukan hal lainnya yang menjadi alasan dirinya ke kamar mandi. Well, ia harus menyikat giginya dan berkumur. Mengingat Charlene tadi mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai bau alkohol yang menguar dari mulut Lee. Selesai melakukan semua itu, Lee lantas menyambar handuk wajah dari keranjang kecil yang terdapat di ujung meja wastafel. Ia mengeringkan wajahnya, lalu keluar dari kamar mandi, melangkah dengan sesekali berpegangan pada dindi
Charlene menatap Lee yang berada di bawah tubuhnya. Pria itu tampak memejamkan matanya."Tuan?" panggil Charlene untuk memastikan apakah Lee sedang mengigau."Jangan menolakku, Charlene. Aku membutuhkanmu," ucap Lee lagi masih dengan kedua mata yang terpejam dan ekspresi yang terlihat antara mirip dengan orang mabuk dan kelelahan.Membutuhkanmu.Agh ... Lee bisa mengatakan hal seperti itu karena dia sedang mabuk. Tentu saja Charlene tidak menggubrisnya terlalu jauh. Namun, karena Lee terus-menerus meminta Charlene untuk menemaninya, mau tidak mau Charlene harus memutuskan."Baik. Aku akan menemani Anda malam ini. Tetapi Anda harus memegang kata-kata Anda. Jangan bertindak di luar batas atau aku bisa melakukan sesuatu yang tidak akan Anda duga sebelumnya." Charlene tidak peduli apakah Lee menangkap ucapannya atau tidak. Yang jelas ia sudah menegaskan pada pria itu bahwa Lee tidak boleh melanggar janjinya. Kalau boleh jujur, ia sendiri juga sudah sangat lelah."Ehmm." Hanya jawaban it
"Tuan, tolong–." "Kenapa? Kau merasa risih jika aku membahas hal ini?" potong Lee.Pria itu mengambil air putih dan meneguknya sedikit sebelum meraih garpu dan pisau, lalu mulai mengoyak sandwich yang ada di hadapannya dengan kedua alat itu. "Ngg ... aku rasa tidak seharusnya kita membahas tentang masalah ini," ujar Charlene sembari memperhatikan Lee yang sedang menancapkan garpu pada potongan sandwich itu dan meloloskannya ke dalam mulut. "Anda tahu bahwa saya akan segera menikah. Sementara Anda sendiri sekarang juga menjalin hubungan dengan Nona Frost."Lee tidak membalas ucapan Charlene karena pria itu sibuk mengunyah roti lapisnya. Ia lantas memasukkan sesuap sandwich lagi ke dalam mulutnya. Mengunyahnya dengan ekspresi serius. "Kenapa sandwich buatan Nyonya Cullen hari ini agak berbeda?" lontar Lee ketika ia tampak memperlambat gerakan pada rahangnya karena hampir selesai meloloskan semua makanan yang ada di mulutnya melewati tenggorokan. "Eh? Kenapa? Apa tidak enak?" sel
Charlene tersenyum kecut. Tidak hanya itu saja, ia merasa bagian hatinya terasa nyeri. Dan ia menebak bahwa mungkin asam lambungnya kumat.Well, Charlene memang berusaha untuk menyangkal, karena sebenarnya ia tahu hal apa yang membuat hatinya terasa sakit."Baguslah jika Anda tidak keberatan dengan status Nona Frost yang memiliki lima orang anak tanpa suami."Pernyataan bodoh yang mengandung rasa iri. Charlene menyadari hal itu dan ia membenci dirinya yang sedang mencoba memprovokasi Lee dengan mengungkit soal Winter yang tidak memiliki suami. Demi Tuhan, ia bukan orang yang licik dan tidak berniat untuk menjadi orang seperti itu.Ia harus bisa menerima kenyataan kalau Lee benar-benar menyukai Winter. Jika tidak, mana mungkin pria itu pulang dalam keadaan baju terdapat noda lipstik dan leher penuh tanda merah. Mengingat hal itu bukannya meredakan rasa nyeri yang Charlene rasakan, justru membuatnya terasa semakin sakit. Charlene tidak tahu ada apa dengan dirinya. Di saat ia berulang k