Sorry, Kakak-kakak, hari ini tidak jadi 2 bab ya karena otak dan mata sudah tidak bisa diajak kompromi. Happy reading :)
Beberapa orang yang berada di lobi, tampak kembali memperhatikan Charlene yang kini berada dalam gendongan Lee, sedangkan sebagian lagi tampak acuh tak acuh, sisanya memilih untuk tidak peduli. Begitu pula dengan Lee dan Charlene yang tidak menghiraukan orang-orang yang sedang memperhatikan mereka. Atensi keduanya hanya terfokus pada satu sama lain. "Diamlah, kecuali kau lebih suka jalan sendiri dengan kondisi kaki seperti ini?" Charlene lantas mencebikkan bibir karena merasa tidak ada gunanya ia menolak kebaikan hati Lee. Hah! Kebaikan hati. Mendadak ia menjepit bibirnya untuk menahan senyum yang hampir menyebar di wajahnya. Ya, kalau dipikir-pikir, ternyata Lee juga memiliki sisi baik. "Berpeganganlah," titah pria itu. Charlene memperlihatkan keraguan yang timbul di wajahnya. "Kalau kau jatuh atau merasa tidak nyaman, maka jangan salahkan aku," ucap Lee ketika Charlene tak kunjung juga menuruti perintahnya.Charlene kemudian mengangkat kedua tangannya. Namun, ia masih tampak ra
Wajah Charlene memerah bagaikan ketiping rebus. "Tidak, terima kasih." Ia memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan mata pria itu."Berhentilah bersikap malu-malu. Bukankah sudah kukatakan kalau aku telah—." "Stop!" Charlene mengarahkan telapak tangannya ke arah Lee. Hal itu membuatnya terpaksa kembali melakukan kontak mata dengan sang CEO"Jangan dilanjutkan lagi." Charlene terdiam sesaat karena sedang mencari alasan untuk mengusir pria itu dari kamarnya "Ini sudah malam.Aku rasa sebaiknya Anda kembali ke kamar Anda. Bukankah besok kita harus bekerja?" "Aku bosnya. Kalau besok tidak bekerja, tentu tidak masalah bagiku." "Dan aku hanyalah seorang karyawan. Aku bisa mendapat masalah jika sampai terlambat masuk kerja atau boros." Charlene sengaja menyindir pria itu karena selama ini, Lee memang sering memperlakukan dirinya dengan semena-mena. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak akan memberi hukuman pada Charlene?"Well, dan aku adalah atasanmu. Aku rasa kau tidak lupa
Charlene memang tidak cocok dengan ibu Axel. Namun, bukan berarti dia akan mendukung keputusan kekasihnya itu. Sebab, tidak pernah sekalipun terbersit dalam pikirannya agar Axel memutuskan hubungan dengan ibunya.Bagaimanapun juga, wanita itulah yang melahirkan Axel. "Kau tidak serius, bukan?" O, jelas Charlene tahu bahwa Axel tidak sedang bercanda. Ia hanya ingin memastikan saja. "Aku rasa kau yang paling tahu bahwa aku tidak pernah main-main dengan ucapanku," tekan Axel di seberang sana. Kepala Charlene seketika itu juga terasa sakit dan berputar-putar. Ia pun memijit kedua pelipisnya dengan satu tangannya yang bebas—menggunakan jari tengah dan ibu jarinya. Sementara tangan yang lainnya masih memegang telepon genggam yang menempel di telinganya. "Sebaiknya kau tenangkan dirimu dulu," saran Charlene. "Kau mungkin hanya sedang emosi." "Menenangkan diri? Kau pikir aku mendadak memutuskan hal ini? Tidak. Aku sudah cukup lama memikirkannya, Charlene." Charlene terkejut mendenga
Lee memasuki kamarnya dan melemparkan jasnya ke atas ottoman di ujung tempat tidur. Ia meletakkan satu tangan di pinggang, kemudian mengusap kasar wajahnya dengan tangan yang lain, sebelum menyugar rambutnya dengan wajah frustrasi. Pria itu bergegas membuka kancing bajunya yang tersisa sembari melangkah ke kamar mandi. "Damn it!" umpatnya.Malam ini dia harus mandi air dingin lagi, meskipun hal itu bukan masalah di tengah cuaca yang sangat panas seperti sekarang. Namun, cuaca yang panas itu, tidak seberapa panas jika dibandingkan dengan atmosfer yang ia rasakan di kala berdekatan dengan Charlene tadi. Ia benar-benar membutuhkan air dingin!Jika hal itu tidak bisa cukup membantunya, mungkin ia akan berenang, kemudian mandi lagi. Sampai efek Charlene terhadap dirinya menghilang.Dia hampir mencium asistennya tadi—walaupun bukan untuk pertama kalinya, mengingat ia sudah pernah mencium gadis itu. Namun, setelah apa yang terjadi kemarin malam, Lee tidak bisa menjamin bahwa dia tidak akan
"Sama sekali tidak lucu!" ketus Charlene. "Siapa yang bilang kalau aku sedang melucu?" "Tidak ada." "Kesimpulannya?" tanya Lee.Deg! "Habislah aku kalau Tuan Montana serius dengan ucapannya," batin Charlene. "Kamasutra Goddess," panggil Lee. Charlene meringis karena panggilan tersebut. Sebab, terdengar seperti alarm tanda bahaya baginya. "Baiklah, kalau kau tidak ingin menjawab pertanyaanku. Mungkin kau lebih suka jika aku mendatangi kamarmu." Glek! Charlene melebarkan matanya. Otaknya langsung bekerja keras menghitung seberapa cepat waktu yang diperlukan oleh Lee dan dirinya untuk mencapai pintu kamarnya jika mereka berlomba. Apakah ia bisa mencapai pintu terlebih dahulu dibanding Lee?Ia harus mengunci pintu secara manual karena tadi tidak menambahkan pengait pintu—mengingat Lee yang menutupnya sendiri sewaktu keluar dari kamar. Charlene sama sekali tidak berpikir bahwa Lee akan ke kamarnya lagi.Karena itulah ia merasa tidak perlu menambahkan pengait pintu. Kini, me
"Kecuali kau lebih suka aku hukum," tandas Lee sebelum berlalu meninggalkan Charlene. Charlene mengembuskan napas berat dan menjatuhkan punggungnya hingga mencium kasurnya yang empuk. Tatapannya tertuju ke langit-langit kamar. "Ehmm ... apa yang akan dia lakukan?" Charlene bermonolog.Ingin rasanya ia mengintip atasannya. Namun, kondisinya jelas tidak memungkinkan, karena ia tidak bisa bergerak dengan lincah dan bebas untuk saat ini. Bisa-bisa ia tertangkap basah dan kembali mendapat masalah.Charlene kemudian mendudukkan dirinya kembali. Ia menundukkan pandangan ke arah baju tidur yang melekat di tubuhnya. Terpikir olehnya untuk berganti pakaian sebelum Lee tiba.Gadis itu lantas beranjak dari tempat tidur. Namun, baru berjalan beberapa langkah, ia kembali menangkap suara pintu yang terbuka. Charlene mengembuskan napas pasrah.Sebenarnya dia sangat ingin meneruskan langkahnya menuju walk in closet. Namun, Charlene yakin jika Lee pasti akan menemukan dirinya sebelum mencapai ruanga
Lee mendorong pelan jidat Charlene dengan jari telunjuknya, sehingga kepala gadis itu terdorong sedikit ke belakang. "Apa semua penulis novel pikirannya se-absurd dirimu?"Charlene mencebikkan bibirnya dengan wajah cemberut. "Mana aku tahu isi pikiran mereka." Ia memalingkan wajahnya ke samping, membuang tatapannya ke sembarang arah. Ada jeda beberapa saat, sehingga membuat atmosfer di kamar itu terasa begitu sunyi. Charlene tahu Lee sedang menatapnya. Hal itu membuat pipinya terasa panas dan dia pun menjadi salah tingkah.Jika ia tetap setia dengan posisinya seperti saat ini, bisa-bisa sebelah pipinya menjadi terbakar karena ditatap oleh pria itu begitu lama. Mau tidak mau, Charlene pun kembali mendaratkan pandangannya ke arah Lee. "Anda serius kalau pernah membunuh?" "Tentu saja. Apa tadi aku terlihat seperti sedang bercanda?" Deg! "Ja-jadi, siapa orang yang Anda bunuh?"Charlene benar-benar masih tidak percaya jika Lee sanggup melakukan hal seperti itu. Namun, ia semakin
"Ti-tidur di sini?" ulang Charlene.Lee yang berdiri membelakangi jendela yang belum Charlene tutup tirainya, tidak menjawab pertanyaan Charlene. Pria itu justru mengangkat kaus yang ia kenakan dan meloloskannya dari kepala. Tindakannya itu berhasil membuat kedua bola mata Charlene membulat dengan sempurna.Dalam keremangan cahaya kamar Charlene berpadu dengan lampu-lampu di luar gedung dan sinar bulan, sosok Lee tampak begitu mengagumkan. O, memang bukan pertama kalinya Charlene melihat tubuh pria itu. Charlene tahu betapa menawannya Lee dengan kulit kecoklatan dan otot-otot tubuh yang terpahat dengan sempurna.Namun, setiap kali Charlene melihat tubuh pria itu, setiap kali pula ia dibuat terhipnotis karenanya. Meski berwajah dingin, tetapi Lee sangat tampan dan memiliki kharisma yang sulit ditolak oleh wanita mana pun. Well, Charlene memang selalu mengakui kalau Lee memiliki fisik yang sangat sempurna.Charlene yang terpaku melihat keindahan itu, segera tersadar dan buru-buru memal