"Mbah, tolong terawang Istri saya. Akhir-akhir ini dia jadi pendiam dan selalu mengacuhkan saya, hampir setiap pulang kerja, saya tak menjumpai dia di rumah," ujar Aldo dengan sedikit gugup di hadapan pria berjanggut putih yang mengaku sebagai dukun sakti mandraguna di daerah itu.
"Hm ..." Dukun itu berdehem seraya mengelus janggut panjangnya. "Berat Pak, ini berat sekali ...," lanjut Dukun itu kemudian."Kenapa Mbah? Apa yang salah dengan Istri saya?" tanya Aldo gelisah.
"Istri sampean dipelet seseorang," ujar sang dukun pendek.
"Apa dipelet seseorang? Pria mana yang tertarik dengan wanita kucel seperti dia!" Aldo meraup wajah dengan kasar seraya mengepalkan tangan di atas meja. Pria itu mulai berfikir keras serta mulai mengingat-ingat siapa saja yang berinteraksi dengan sang Istri belakangan ini.
Sang dukun menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam, sorot matanya menjelaskan bahwa ada tujuan lain dari setiap ucapannya."Apa kamu sangat mencintai Istrimu?" tanya dukun itu kemudian.
Aldo tampak berfikir, dalam hatinya ia sebenarnya tak terlalu penting mencintai atau dicintai karena yang paling penting baginya saat pulang ke rumah ia harus dilayani dengan baik dan semua kebutuhannya harus disiapkan. Masalah kepuasan bathin, ia bisa dapatkan dengan mudah dari wanita simpanannya di luar sana.Toh tak masalah, selama ini ia mampu memberi makan anak Istrinya tiga kali sehari serta jatah bulanan sebesar satu juta lima ratus, itupun sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta biaya sekolah putranya. "Sepertinya kamu tidak benar-benar mencintai Istrimu?" selidik dukun itu tanpa berkedip. "Aduh Mbah, bagi saya yang terpenting saat saya pulang ke rumah, Istri saya harus melayani saya sebaik mungkin, itu saja, hal sederhana, bukan?" Aldo berujar seolah semua yang ia lakukan selama ini selalu benar.Dukun itu manggut manggut seraya kembali mengusap janggutnya.
"Lalu apa yang kamu mau?" tanya dukun itu kemudian.
Aldo menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
"Saya mau, Istri saya kembali patuh seperti sebelumnya, berada di rumah setiap saat dan menuruti semua kemauan saya," terang Aldo.
"Baiklah, soal itu gampang saja, hanya saja maharnya berat ...," sang dukun berujar seraya memperhatikan jam tangan mahal serta mobil mewah yang tengah terparkir di luar rumahnya.
"Apa itu, Mbah? tinggal sebut saja nominalnya!" Aldo menerangkan kesanggupannya dengan yakin dan penuh kesombongan. Benar-benar tipe pria yang populasinya harus segera dimusnahkan dari muka bumi. "Begini, Mbah punya keris, keris ini bernama cempaka gading, fungsinya untuk mengikat Istri kamu agar kembali patuh dan semakin cinta padamu, saja jamin Istrimu akan sangat tergila gila padamu dan tidak akan menolak semua keinginanmu,"Sang dukun mengeluarkan sebuah benda pipih dari bungkusan kain putih yang terlihat sudah usang dan memberikannya kepada Aldo. Dengan hati-hati Aldo meraih benda itu dan menelitinya sejenak.
"Bagaimana cara kerjanya?"tanya Aldo kemudian.
"Sangat gampang, celupkan ke dalam minuman yang akan diminum Istrimu, paham?" sang dukun berujar sambil menatap Aldo, meminta persetujuan.
"Paham, Mbah! Bagaimana dengan maharnya?" tanya Aldo lagi.
"Dua puluh juta," ujar sang dukun seraya memperhatikan ekspresi pria di depannya.
Mendengar mahar yang lumayan besar, seketika jiwa pelit Aldo meronta ronta tapi ia segera menyanggupinya karena sudah terlanjur koar-koar seakan mampu memenuhi semua syaratnya."Mbah," Aldo tampak ragu seraya memandang sang dukun yang tengah mengantarnya ke parkiran mobil.
"Ada apa?" sang dukun menatap tajam sambil melipat kedua tangan di dada.
"Apa ... apa tidak bisa nego?" Akhirnya dengan semua keberanian yang tersisa, Aldo menanyakan prihal keberatannya.
Sang dukun tampak kaget tapi berusah tetap tenang.
"Bisa, tapi kualitas kerisnya juga akan berkurang,"
Mendengar ucapan sang dukun, Aldo sedikit terkejut namun buru buru minta maaf dan segera berpamitan.
"Dasar laki laki pelit," gerutu sang dukun sembari berbalik arah menuju teras rumahnya.
Namanya Aldo Suganda, pria berumur 37 tahun dengan perawakan tinggi kekar serta berjambang. Dia tampan dan begitu menggoda, tatapannya tajam, setajam silet.
Dari sekian banyak kesempurnaan fisik yang dimilikinya, Aldo nyatanya adalah sosok Suami dan juga seorang Ayah yang gagal.
Pelit, perhitungan, serta doyan selingkuh merupakan tabiat buruknya yang telah mendarah daging.
Anjani, Istri yang telah dinikahinya hampir 10 tahun lamanya itu sampai kewalahan menghadapi tabiat buruk sang suami.
Sampai pada suatu hari, ia berniat membalas semua perbuatan suaminya dengan bantuan pamannya yang baru datang dari luar kota.
Dukun palsu dengan kemampuan akting yang totalitas, demikian strategi yang akan di pakai Anjani dan sang paman untuk mengeruk habis tabungan Aldo yang telah cukup lama menyengsarakannya selama ini.
Tak lama setelah kepergian Aldo, sang dukun tampak bersantai di teras rumah sambil menikmati semburat senja di ufuk barat.
Beberapa menit berselang, seorang wanita dengan daster lusuh serta rambut yang terlihat gimbal muncul dari dalam rumah sambil membawa nampan berisi segelas kopi hitam kesukaan sang dukun.
"Ini, ambilah .... pakai lah untuk perawatan dan membeli pakaian yang mahal, Suamimu itu benar benar pelit!" ujar sang dukun yang terlihat kesal.
"Terima kasih, Paman. Berkat ide Paman, aku juga bisa segera melunasi biaya tunggakan sekolah Rio," ujar Anjani, binar bahagia terlihat jelas dari kedua netranya.
"Ngomong ngomong, keris apa yang Paman berikan pada Mas Aldo?" tanya Anjani penasaran.
"Keris mainan, paman beli selusin dari pasar malam. Tadinya ingin Paman berikan untuk mainan Rio," terangnya sembari terkekeh.
"Tapi jagalah rahasia ini sebaik mungkin, Paman masih ingin menerima banyak amplop tebal dari suamimu."
Anjani menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Ia tak menyangka kalau pamannya begitu totalitas dalam membantunya beserta putra kesayangannya.
Wanita dengan wajah kusam itu sudah begitu lama kehilangan rona merah di pipinya, sudah tak bisa mengingat dengan jelas kapan terakhir kali ia merasakan hangatnya pelukan sang suami, bahkan terkadang sekedar rasa ingin bercengkrama pun ia tak bisa mengutarakannya
Suaminya sibuk dengan kehidupannya, pekerjaannya dan tentu selalu sibuk dengan wanita wanita cantik di luar sana tanpa peduli bahwa dirinya semakin hari semakin layu, redup dan kehilangan semangat hidup."Paman, jangan terlalu keras padanya," ujar Anjani di sela-sela lamunannya.
Pria berjanggut panjang itu menoleh sebentar kemudian menggeleng lemah.
"Kamu yang terlalu lemah padanya," balas sang paman kemudian.
"Bukankah semua orang pernah khilaf, jika nanti Mas Aldo berubah dan ingin memperbaiki hubungan kami, aku akan memberi kesempatan padanya, Paman." Anjani berujar dengan kedua netra berkaca kaca, ada sesak di hatinya serta keraguan bahwa suaminya akan berubah di kemudian hari.
"Terserah pada mu saja, Paman hanya sekedar membantu," ujar sang paman lembut.
Aldo memacu pelan kendaraannya sembari berulang kali mengecek jumlah tabungannya serta mulai menghitung berapa banyak uang yang telah ia keluarkan untuk menyenangkan wanita pujaannya. "Tekor!" ujar Aldo kemudian tatkala teringat amplop coklat berisi uang 20 juta yang harus berpindah tangan begitu saja. Sepulang dari rumah mbah dukun yang katanya sakti sejagat raya itu, Aldo tidak langsung memacu kendaraan mewahnya untuk pulang, ia memilih menuju rumah Sania, wanita idaman lain yang begitu dirindukannya. Sebenarnya Sania tidaklah cantik, remaja cabe cabean dengan rambut pirang sebahu lengkap dengan deretan kawat gigi bewarna biru yang berjajar rapi persis seperti pagar rumah pak lurah, tapi satu hal yang membuat Aldo amat kesemsem dengan Sania ialah Sania memiliki bentuk tubuh yang aduhai, ramping dan menggoda serta goyangannya yang Hot membuat Aldo seketika tidak fokus menyetir lantaran meneguk saliva berkali kali. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, Aldo segera men
Aldo yang tengah sibuk mengotak atik ponselnya di ruang tamu, mulai terganggu dengan suara anjing yang saling bersahutan. Ia bahkan berniat mengecek ke arah sumber suara, tapi niatnya itu segera ia urungkan karena teringat akan keganasan ketiga anjing yang tadi ia temui. Merasa merdengar suara bergaduh, Aldo berdiri sejenak sembari mendekati sumber suara yang tak lain berasal dari dalam kamar Sania.Aldo mendekat perlahan dan menempelkan telinga pada pintu kamar. Di sisi lain, Sania yang tengah berupaya melempari ketiga anjing bertubuh besar itu mulai kehabisan akal lantaran anjing itu tak kunjung pergi. "Sania gimana ini," Jono merengek tak henti henti sehingga Sania harus memutar otak agar Jono bisa segera turun tanpa harus cidera apapun. Aldo yang masih setia menguping dari luar pintu, akhirnya mencoba mengetuk berulang kali. Ia merasa ada yang tidak beres dengan Sania di dalam sana dan satu lagi, gonggongan anjing yang saling bersahutan begitu mengganggu pendengarannya. "Sa
Setiap malam menjadi malam yang panjang bagi Anjani. Ia telah lupa bagaimana bisa tidur dengan nyenyak dengan semua makian yang kerap kali di terimanya dari sang suami. Tubuh ringkihnya kini seolah menjadi bukti bahwa betapa menderitanya ia selama ini. Walaupun demikian, jauh di lubuk hatinya, ia masih berharap suaminya akan berubah. Anjani yang masih sakit hati dengan perbuatan suaminya memutuskan untuk meneruskan rencananya bersama Sang paman, tadinya anjani berfikir bahwa dengan melakukan perawatan serta tampil lebih modis akan membuat suaminya berubah dan mau menganggapnya sebagai istri seperti dulu. Tapi kenyataan kini semakin berbanding terbalik dengan harapannya, suaminya yang dikira akan berubah haluan malah dengan tega memangkas jatah bulanannya bersama Rio yang sebenarnya tidak seberapa. Rio yang tengah mengerjakan PR matematika di samping sang Ibu kini mulai sedikit curi-curi pandang, memperhatikan sosok sang Ibu yang semakin hari semakin murung namun enggan memberitahun
Segelas susu selesai diseduh, Aldo memilih mengantarkannya sendiri menuju kamar Anjani. Tok tok tokSuara ketukan pintu kamar membuat Anjani dan putranya saling berpandangan. Rio yang berfikir bahwa sang Ayah menyusulnya karena ingin memarahinya lagi langsung berlari ke kolong ranjang, bersembunyi. Anjani yang sudah tahu kalau kedatangan suaminya pasti ingin memberikan segelas susu lengkap dengan mantra mantra palsunya, langsung beranjak dan membukakan pintu. "Ada apa, Mas?" tanya Anjani dengan wajah datar. Aldo menatap Sang istri sejenak, kemudian menyuguhkan nampan berisi susu hangat. Anjani dengan ragu meraih nampan itu. "Dihabiskan," ujar Aldo pendek. Anjani tetap memasang wajah datar sampai sang suami berbalik arah meninggalkannya. Wanita dalam balutan dress hitam itu hanya bisa memandangi punggung Sang Suami tanpa bisa menyentuhnya seperti dulu. Setelah kembali menutup pintu kamar, Anjani menatap segelas susu yang ada dihdapannya, meneliti sejenak kemudian meneguknya de
Akting DimulaiSore itu, Aldo selalu terlambat seperti biasanya. Pria itu pulang ke rumah dengan wajah murung, ciri khas wajah pria yang sedang patah hati akibat ulah sang kekasih, Sania. Pria berkemeja navy itu melangkah menyusuri ruang tamu yang sepi dan gelap. Ia berfikir kemana anak dan istrinya, kenapa ruangan justru dibiarkan gelap bahkan lampu di bagian teras malah belum dinyalakan sama sekali. Aldo melirik arloji mahal yang selalu bertengger dengan setia di lengannya. Ia mengusap lembut wajahnya, menyadari bahwa hari ini ia terlalu banyak menghabiskan waktu di kafe sehingga membuatnya selalu lupa waktu. Aldo melangkah gontai memasuki rumah. Suara ketukan sepatunya yang mengkilat menggema memecah kesunyian rumah. "Anjani!"Gema teriakan Aldo seketika memenuhi ruangan. Pria yang masih mengenakan kemeja navy itu menghempaskan bokong sejenak dan kembali mengulang panggilannya. Sampai pada panggilan kedua pun kembali menggema Anjani tak jua muncul, hanya saja lampu kristal d
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan akibat kemacetan lalu lintas yang luar biasa, aldo akhirnya tiba di kediaman mbah dukun yang sebelumnya sudah berjanji akan bertemu mereka malam ini. Pria berkemeja navy itu disambut sang dukun dengan wajah datar dengan kedua sorot mata menyipit. Rio yang baru pertama kali bertemu Mbah dukun terlihat sedikit takut, raut wajahnya mulai cemas dan sesekali menghindari tatapan langsung sang dukun. Sang dukun yang selama ini hanya melihat Rio melalui foto foto yang ada di handphone jadul milik Anjani, kini menatap langsung bocah berperawakan kurus tinggi itu. Satu hal yang membuat sang dukun tiba tiba kesal, wajah Rio dan Ayahnya mirip sekali, bagai pinang dibelah dua. "Semoga kepribadianmu beda ya, Nak," ujar sang dukun dengan lembut. Aldo yang tengah berupaya membopong tubuh ramping istrinya segera menuju tempat ruang praktek sang dukun dan membaringkannya. "Mbah, Ada apa sebenarnya degan istri saya? " tanya Aldo gugup. Mbah Dukun
Durasi akting yang cukup lama ternyata membuat Anjani sedikit gerah. Ia beranjak, mencari cari teko milik sang paman dan segera menuangkan air di dalam gelas lalu meminumnya. Lidahnya terasa pahit lantaran mengunyah kembang tujuh rupa yang entah termasuk jenis kembang apa itu. Rio yang memperhatikan sang Ibu lantas mendekat, menggoyang goyang tangan Ibunya lalu menatap lekat. "Ibu udah sehat?" tanya anak itu dengan begitu polosnya. Anjani mengangguk dan mengajak anak semata wayangnya duduk di kursi rotan milik sang paman sembari memencet remote Tv. Tak lama terdengar riuh tawa ibu dan anak itu di saat menyaksikan kelucuan dari drama yang sedang mereka tonton. "Bu, Apa masih ada sisa martabak tadi?" tanya Rio kemudian. Anjani menatap datar bocah itu dan mengangguk. Seketika raut wajah Rio menjadi cerah, ia sudah membayangkan pulang ke rumah lalu mengunyah martabak spesial dengan segelas susu hangat. "Bu, Apa orang kesurupan suka makan martabak?" tanya Rio lagi. Anjani terheny
Sepanjang perjalanan kembali ke rumah sang dukun, Aldo lebih banyak membahas mengenai masa masa indah bersama sang Istri dulu. Aldo akui, dahulu Anjani tak lain hanyalah wanita asing dalam kehidupannya, wanita pilihan sang Ibu yang sama sekali tak diinginkannya. Tapi apalah daya, ia adalah seorang putra tunggal, harapan sang ibu satu satunya yang tentunya harus mengabdikan seluruh hidupnya demi kebahagian sang ibu yang sudah lama sakit sakitan. Dahulu, wanita yang telah melahirkannya itu begitu tergila gila akan kebaikan Anjani. Dari pagi hingga menjelang petang yang dibicarakan ibunya hanyalah sosok Anjani yang tak lain adalah wanita kampung penjual jamu gendong langganan sang ibu. Sampai pada suatu hari, saat kesehatan sang ibu menurun. Wanita itu mengutarakan sesuatu yang seketika menghancurkan masa mudanya. Sang ibu menginginkan sebuah pernikahan dengan Anjani sebagai mempelai wanitanya. Aldo pernah marah. Pernah berupaya menjelaskan hingga berkali kali bahwa ia tak bisa menikah