"Kalah di lihat-lihat, orang ini memang mirip banget sama Syafa ya, Pak!" bisik Rita yang masih menatap intens pada layar ponselnya. "Ssstt, jangan keras-keras, Bu! Nanti Syafa dengar. Ya jelas mirip lah, Bu!"Akbar yang berada di sebelahnya juga menatap foto-foto seorang pria paruh baya yang masih sangat tampan di usianya yang sudah tak muda lagi, yang ada pada layar ponsel Rita. "Tapi kenapa dia tidak pernah menengok Syafa? Kirim uang kek, gitu!" lanjut Rita masih dengan berbisik. "Ibu ini bagaimana, Kalau tiba-tiba Syafa dia bawa pergi ibu izinkan?" Rita sontak menggeleng. "Makanya, Bu. Seharusnya kita bersyukur karena ia tidak peduli dengan Syafa. Dia tidak akan mengambil Syafa dari kita." Rita terdiam. Dalam hatinya ia membenarkan ucapan suaminya. Ia yang tidak bisa punya anak lagi, akan sangat merasa kehilangan jika Syafa diambil oleh pria itu. "Tapi kenapa dia tega ya, Pak?"lirih Rita mengingat kejadian sembilan belas tahun yang lalu. "Kita mana ngerti dengan masalah or
"Jangan mimpi, Pak! Karyawan di sini aja susah mau ketemu beliau. Apalagi Bapak yang bukan siapa-siapa!" Sontak ketiga orang keamanan berbadan besar itu tertawa terbahak-bahak. Hati Akbar mencelos. Andai saja ketiga orang di hadapannya itu tau duduk permasalahan sebenarnya. Namun ia tidak mungkin menceritakan hal yang terjadi pada mereka. "M-maaf, Pak. Ada berita yang sangat penting yang harus Saya sampaikan pada beliau." Akbar kembali memberanikan diri untuk bicara. "Memangnya sepenting Apa, Pak? Mau minta sumbangan? Atau mau minta kerjaan? Sampaikan saja pada Kami. Nanti akan Kami teruskan ke stafnya. Bapak bisa buat proposalnya dulu!" Akbar semakin tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh para keamanan itu. Kini ia semakin bingung mau bagaimana lagi. Harapan untuk bertemu dengan Bapak Boy Azka masih hampa. Dirinya semakin cemas. Bagaimana nasib pernikahan Syafa nanti? Akbar semakin resah dan cemas. Beberapa menit kemudian, salah satu dari ketiga keamanan itu melangkah
"Bu, Aku pergi lagi. Doakan ya, Bu. Mudah-mudahan Aku bisa bertemu Bapak Boy Azka itu!" Akbar pamit dengan setengah berbisik pada istrinya. "Jadi mau ambil motor Syafa, Pak?" tanya Rita. "Jadi,Bu. Dari pada bayar ojeg, lebih baik aku tebus saja motor Syafa yang di bengkel. "Hati-hati, Pak! " Rita melambaikan tangannya pada Akbar yang sudah mempercepat langkahnya. Pria paruh baya itu tidak mau kehilangan jejak pria bernama Boy Azka itu. Beruntung bengkel tempat motor Syafa dibetulkan setelah kecelakaan waktu itu tidak jauh dari rumahnya. Sebenarnya Rein sudah memberikan uang untuk membetulkan motor itu sejak lama. Namun Akbar dan Rita masih fokus pada kesembuhan Syafa hingga lupa menebus motor itu di bengkel. Karena pemilik bengkel sudah kenal baik dengan mereka, maka motor Syafa masih aman di sana. Setelah dari bengkel, Akbar segera melajukan motornya menuju kantor Boy Azka yang tadi pagi ia datangi. Saat tiba di sana, Akbar menunggu di.depan sebuah warung rokok tak jauh dari
"Ritaaa, Ritaaa! Suami kamu itu pulang babak belur!" "Bu Ritaaaa, cepet atuh, Bu! Bapaknya Syafa itu hampir pingsan!" Rita terlonjak mendengar teriakan dari beberapa tetangganya. "Bapak, Bu! Bapaaaak!" Syafa pun sontak ikut berteriak panik. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa tetap duduk di kursi rodanya. Rita melompat keluar. Ia melihat orang-orang berkerumun di ujung gang. Rita lantas setengah berlari menuju ke arah kerumunan itu. "Bapak, Bapak!" Rita berteriak melihat Akbar bersandar lemas pada salah satu bahu tetangganya. Mereka membantu Akbar yang sudah lemas dan kelelahan untuk berjalan. Sementara tetangga yang lain mendorong motornya sampai ke rumah. "Bapak! Bapak kenapa sampai begini?" Rita mengikuti Akbar dari belakang sambil terus memberondong dengan berbagai pertanyaan. Akbar yang masih terlihat lemas masih belum menjawab satupun pertanyaan dari Rita. Pria paruh baya itu di rebahkan di sofa panjang yang sudah lusuh yang teronggok di ruang tamu Rita. "Terim
"Syukurlah Aku tiba di sini masih pagi." Akbar melirik jam tua pada pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul delapan pagi. Saat ini ia berdiri tepat di depan rumah Boy Azka yang gerbangnya tertutup rapat. Seperti komplek perumahan lainnya, ada beberapa tukang sayur dan pedagang lainnya yang lewat. Namun rata- rata mereka berjualan mamakai motor, bukan gerobak. Sepertinya Akbar mendapat ide baru untuk usahanya nanti. Mungkin ia bisa memanfaatkan motor Syafa untuk mencari uang. Ia tidak lagi menjadi pemulung. Karena akan membuat malu keluarganya. Terutama anak dan calon menantunya. Tak lama kemudian salah satu pedagang sayur menghentikan motornya di depan rumah Boy Azka. Sepertinya tukang sayur itu sedang menuggu penghuni rumah keluar dari dalam untuk membeli dagangannya. Beberapa kali tukang sayur itu melirik ke arah gerbang yang tak kunjung terbuka. Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu pagar dibuka. Seorang wanita usia lima puluhan keluar dan menghampiri tukang sayu
"Astaga, Pak! Uangnya banyak sekali!" Rita membelalak melihat uang ratusan ribu yang terisi penuh di dalam amplop coklat itu. "Kira-kira jumlahmya berapa, ya Pak?" Rita masih menghitung jumlah lembaranya yang tak habis-habis. Selama ini suami istri itu tidak pernah melihat apalagi memiliki uang sebanyak itu. "Bapak, Aku gemetaran ini,loh!" ujar Rita yang gugup melihat lembaran merah yang begitu banyak di hadapannya. Sesekali ia menggenggam uang itu, lalu meletakkannya kembali. Sementara Akbar hanya diam memandang uang itu dengan wajah murung. Ia menduga Boy Azka memberikan uang itu sebagai bentuk penyelesaian masalahnya. "Untuk apa uang sebanyak ini. Yang kita butuhkan itu adalah kehadirannya sebagai Wali nikah Syafa, bukan uang." Akbar nampak kecewa. Ia khawatir Boy Azka menganggap semuanya akan beres hanya dengan uang. "Dasar orang kaya, penguasa. Mereka pikir, dengan uang semuanya langsung beres," Akbar terus mengumpat. "Lalu uang sebanyak ini mau kita apakan, Pak?" tanya Ri
"Pak, Bapak kemana aja seharian ini? Aku bingung di rumah banyak tamu. Mereka semua nyariin Bapak.!" Rita menghampiri suaminya yang baru saja tiba di rumah selepas maghrib. Wajah Akbar nampak murung dan bingung. "Sssst, Pak. wajahnya jangan murung gitu. Nggak enak masih banyak tamu!" bisik Rita Para tetangga sejak siang tadi ada saja yang datang. Rita memang menyuguhkan banyak makanan sejak pagi tadi. Ia juga menyewa banyak kursi untuk para tamu dan diletakkan di depan rumahnya. Karena kondisi rumahnya yang sempit tidak memungkinkan menerima tamu di dalam. Bebeapa hari yang lalu Paul memberi Rita uang untuk mengadakan syukuran. Namun karena selama ini Rita dan Akbar tidak pernah datang ke pengajian, ia hanya mengantarkan puluhan nasi kotak ke masjid dibantu oleh para tetangganya. "Bagaimana bisa Aku tersenyum di saat begini, Bu? Bagaimana nasib Syafa besok?" Akbar nampak putus asa. Pria paruh baya itu mejatuhkan tubuhnya di atas sofa tua miliknya. "Tadi Aku lihat di media sosia
"Ayo semua sudah siap ya, Kita menuju restoran sekarang!" Maira memberi aba-aba pada semuanya. Saat ini mereka semua telah berkumpul di lobby hotel. "Selamat pagi, Maira, mungkin ada yang bisa ikut bareng Ayah. Kebetulan Ayah sendirian dan bawa mobil!" "Loh, Ayah?" Maira terkejut melihat Ayahnya tiba-tiba sudah muncul di hotel pagi-pagi. Ia merasa heran, karena seingatnya ia tidak pernah mengatakan pada ayahnya bahwa ia sedang berada di hotel angkasa ini. Namun ia tak mau ambil pusing karena masih banyak yang perlu ia cek bersama WO pagi ini. Diam-diam Laura pun tak kalah terkejut. Ia hampir saja terlonjak melihat keberadaan pria itu di lobby. "Baiklah, Yah. Kalau begitu Mama Laura , Kaisar dan Nina ikut mobil Ayah aja. Syafa sama aku. Yang lainnya dengan Pak Rein. Pak Pardi sudah jalan sejak subuh jemput Paul di hotel yang berbeda."Paul dan semua karyawan club menginap di hotel yang berbeda sejak semalam. Perjalanan menuju restoran itu hanya memakan waktu sepuluh menit. Restor
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b