"Bu, Aku pergi lagi. Doakan ya, Bu. Mudah-mudahan Aku bisa bertemu Bapak Boy Azka itu!" Akbar pamit dengan setengah berbisik pada istrinya. "Jadi mau ambil motor Syafa, Pak?" tanya Rita. "Jadi,Bu. Dari pada bayar ojeg, lebih baik aku tebus saja motor Syafa yang di bengkel. "Hati-hati, Pak! " Rita melambaikan tangannya pada Akbar yang sudah mempercepat langkahnya. Pria paruh baya itu tidak mau kehilangan jejak pria bernama Boy Azka itu. Beruntung bengkel tempat motor Syafa dibetulkan setelah kecelakaan waktu itu tidak jauh dari rumahnya. Sebenarnya Rein sudah memberikan uang untuk membetulkan motor itu sejak lama. Namun Akbar dan Rita masih fokus pada kesembuhan Syafa hingga lupa menebus motor itu di bengkel. Karena pemilik bengkel sudah kenal baik dengan mereka, maka motor Syafa masih aman di sana. Setelah dari bengkel, Akbar segera melajukan motornya menuju kantor Boy Azka yang tadi pagi ia datangi. Saat tiba di sana, Akbar menunggu di.depan sebuah warung rokok tak jauh dari
"Ritaaa, Ritaaa! Suami kamu itu pulang babak belur!" "Bu Ritaaaa, cepet atuh, Bu! Bapaknya Syafa itu hampir pingsan!" Rita terlonjak mendengar teriakan dari beberapa tetangganya. "Bapak, Bu! Bapaaaak!" Syafa pun sontak ikut berteriak panik. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa tetap duduk di kursi rodanya. Rita melompat keluar. Ia melihat orang-orang berkerumun di ujung gang. Rita lantas setengah berlari menuju ke arah kerumunan itu. "Bapak, Bapak!" Rita berteriak melihat Akbar bersandar lemas pada salah satu bahu tetangganya. Mereka membantu Akbar yang sudah lemas dan kelelahan untuk berjalan. Sementara tetangga yang lain mendorong motornya sampai ke rumah. "Bapak! Bapak kenapa sampai begini?" Rita mengikuti Akbar dari belakang sambil terus memberondong dengan berbagai pertanyaan. Akbar yang masih terlihat lemas masih belum menjawab satupun pertanyaan dari Rita. Pria paruh baya itu di rebahkan di sofa panjang yang sudah lusuh yang teronggok di ruang tamu Rita. "Terim
"Syukurlah Aku tiba di sini masih pagi." Akbar melirik jam tua pada pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul delapan pagi. Saat ini ia berdiri tepat di depan rumah Boy Azka yang gerbangnya tertutup rapat. Seperti komplek perumahan lainnya, ada beberapa tukang sayur dan pedagang lainnya yang lewat. Namun rata- rata mereka berjualan mamakai motor, bukan gerobak. Sepertinya Akbar mendapat ide baru untuk usahanya nanti. Mungkin ia bisa memanfaatkan motor Syafa untuk mencari uang. Ia tidak lagi menjadi pemulung. Karena akan membuat malu keluarganya. Terutama anak dan calon menantunya. Tak lama kemudian salah satu pedagang sayur menghentikan motornya di depan rumah Boy Azka. Sepertinya tukang sayur itu sedang menuggu penghuni rumah keluar dari dalam untuk membeli dagangannya. Beberapa kali tukang sayur itu melirik ke arah gerbang yang tak kunjung terbuka. Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu pagar dibuka. Seorang wanita usia lima puluhan keluar dan menghampiri tukang sayu
"Astaga, Pak! Uangnya banyak sekali!" Rita membelalak melihat uang ratusan ribu yang terisi penuh di dalam amplop coklat itu. "Kira-kira jumlahmya berapa, ya Pak?" Rita masih menghitung jumlah lembaranya yang tak habis-habis. Selama ini suami istri itu tidak pernah melihat apalagi memiliki uang sebanyak itu. "Bapak, Aku gemetaran ini,loh!" ujar Rita yang gugup melihat lembaran merah yang begitu banyak di hadapannya. Sesekali ia menggenggam uang itu, lalu meletakkannya kembali. Sementara Akbar hanya diam memandang uang itu dengan wajah murung. Ia menduga Boy Azka memberikan uang itu sebagai bentuk penyelesaian masalahnya. "Untuk apa uang sebanyak ini. Yang kita butuhkan itu adalah kehadirannya sebagai Wali nikah Syafa, bukan uang." Akbar nampak kecewa. Ia khawatir Boy Azka menganggap semuanya akan beres hanya dengan uang. "Dasar orang kaya, penguasa. Mereka pikir, dengan uang semuanya langsung beres," Akbar terus mengumpat. "Lalu uang sebanyak ini mau kita apakan, Pak?" tanya Ri
"Pak, Bapak kemana aja seharian ini? Aku bingung di rumah banyak tamu. Mereka semua nyariin Bapak.!" Rita menghampiri suaminya yang baru saja tiba di rumah selepas maghrib. Wajah Akbar nampak murung dan bingung. "Sssst, Pak. wajahnya jangan murung gitu. Nggak enak masih banyak tamu!" bisik Rita Para tetangga sejak siang tadi ada saja yang datang. Rita memang menyuguhkan banyak makanan sejak pagi tadi. Ia juga menyewa banyak kursi untuk para tamu dan diletakkan di depan rumahnya. Karena kondisi rumahnya yang sempit tidak memungkinkan menerima tamu di dalam. Bebeapa hari yang lalu Paul memberi Rita uang untuk mengadakan syukuran. Namun karena selama ini Rita dan Akbar tidak pernah datang ke pengajian, ia hanya mengantarkan puluhan nasi kotak ke masjid dibantu oleh para tetangganya. "Bagaimana bisa Aku tersenyum di saat begini, Bu? Bagaimana nasib Syafa besok?" Akbar nampak putus asa. Pria paruh baya itu mejatuhkan tubuhnya di atas sofa tua miliknya. "Tadi Aku lihat di media sosia
"Ayo semua sudah siap ya, Kita menuju restoran sekarang!" Maira memberi aba-aba pada semuanya. Saat ini mereka semua telah berkumpul di lobby hotel. "Selamat pagi, Maira, mungkin ada yang bisa ikut bareng Ayah. Kebetulan Ayah sendirian dan bawa mobil!" "Loh, Ayah?" Maira terkejut melihat Ayahnya tiba-tiba sudah muncul di hotel pagi-pagi. Ia merasa heran, karena seingatnya ia tidak pernah mengatakan pada ayahnya bahwa ia sedang berada di hotel angkasa ini. Namun ia tak mau ambil pusing karena masih banyak yang perlu ia cek bersama WO pagi ini. Diam-diam Laura pun tak kalah terkejut. Ia hampir saja terlonjak melihat keberadaan pria itu di lobby. "Baiklah, Yah. Kalau begitu Mama Laura , Kaisar dan Nina ikut mobil Ayah aja. Syafa sama aku. Yang lainnya dengan Pak Rein. Pak Pardi sudah jalan sejak subuh jemput Paul di hotel yang berbeda."Paul dan semua karyawan club menginap di hotel yang berbeda sejak semalam. Perjalanan menuju restoran itu hanya memakan waktu sepuluh menit. Restor
"Selamat pagi! Apa Saya belum terlambat?" Semua orang menoleh pada suara berat yang tiba-tiba terdengar berasal dari pintu masuk restorant. Semua orang hampir ternganga melihat pria gagah dan tampan yang wajahnya sudah tak asing lagi bagi banyak orang. Seorang pria tampan dan gagah dengan aura kewibawaannya. Walau usianya yang tak muda lagi, pesona pria itu tetap sangat menghipnotis semua orang. Pria dengan jas berwarna hitam yang dipadu kemeja hitam dan dasi marun itu melangkah tegap dan gagah menuju meja tempat akad nikah berlangsung. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana mengikuti pria itu dari belakang. Wanita itu sedikit membungkuk dan mengangguk sopan pada setiap tamu yang ia lewati. "Bapak Boy Azka!" Sontak Akbar menyebut nama Pria yang baru saja datang itu dengan lantang. Hatinya sangat lega. Ternyata Tuhan mendengarkan doanya. "Terimakasih Bapak akhirnya mau datang. Terimakasih, Pak!" Akbar membungkukkan badannya sebagai tanda hormat dan rasa terimakasihny
"Syafa ... Syafa ... tunggu! Aku mohon tunggu sebentar!" Syafa menghentikan kursi rodanya saat mendengar suara Paul yang menyusulnya. "Maafin Aku, Kak!" "Bapak Boy masih menunggu kita." Paul mencoba untuk membujuk Syafa yang kini sudah menjadi istrinya. Ia meliriik Boy Azka yang masih berdiri menatap mereka berdua. Syafa menggeleng. "Dia tidak mungkin menungguku, Kak. Aku bukan siapa-siapa. Tolong bawa Aku ke ruang rias, Kak. Aku lelah." Syafa tak mau lagi menoleh pada Boy Azka. Saat ini ia berusaha untuk melupakan kenyataan bahwa ia adalah anak kandung laki-laki itu. Entah siapa ibunya. Ia tak ingin peduli. Saat ini yang dia anggap sebagai orang tuanya hanyalah Akbar dan Rita. Tak lama kemudian terdengar suara MC mempersilakan para tamu untuk mencicipi hidangan. Suara musik mulai terdengar mengalun. Para tamu mulai bebas sambil menunggu acara resepsi yang akan diadakan di ballroom restoran ini. "Non, Non Syafa, tunggu, Non!" Paul kembali menghentikan kursi roda Syafa saat me