"Syukurlah Aku tiba di sini masih pagi." Akbar melirik jam tua pada pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul delapan pagi. Saat ini ia berdiri tepat di depan rumah Boy Azka yang gerbangnya tertutup rapat. Seperti komplek perumahan lainnya, ada beberapa tukang sayur dan pedagang lainnya yang lewat. Namun rata- rata mereka berjualan mamakai motor, bukan gerobak. Sepertinya Akbar mendapat ide baru untuk usahanya nanti. Mungkin ia bisa memanfaatkan motor Syafa untuk mencari uang. Ia tidak lagi menjadi pemulung. Karena akan membuat malu keluarganya. Terutama anak dan calon menantunya. Tak lama kemudian salah satu pedagang sayur menghentikan motornya di depan rumah Boy Azka. Sepertinya tukang sayur itu sedang menuggu penghuni rumah keluar dari dalam untuk membeli dagangannya. Beberapa kali tukang sayur itu melirik ke arah gerbang yang tak kunjung terbuka. Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu pagar dibuka. Seorang wanita usia lima puluhan keluar dan menghampiri tukang sayu
"Astaga, Pak! Uangnya banyak sekali!" Rita membelalak melihat uang ratusan ribu yang terisi penuh di dalam amplop coklat itu. "Kira-kira jumlahmya berapa, ya Pak?" Rita masih menghitung jumlah lembaranya yang tak habis-habis. Selama ini suami istri itu tidak pernah melihat apalagi memiliki uang sebanyak itu. "Bapak, Aku gemetaran ini,loh!" ujar Rita yang gugup melihat lembaran merah yang begitu banyak di hadapannya. Sesekali ia menggenggam uang itu, lalu meletakkannya kembali. Sementara Akbar hanya diam memandang uang itu dengan wajah murung. Ia menduga Boy Azka memberikan uang itu sebagai bentuk penyelesaian masalahnya. "Untuk apa uang sebanyak ini. Yang kita butuhkan itu adalah kehadirannya sebagai Wali nikah Syafa, bukan uang." Akbar nampak kecewa. Ia khawatir Boy Azka menganggap semuanya akan beres hanya dengan uang. "Dasar orang kaya, penguasa. Mereka pikir, dengan uang semuanya langsung beres," Akbar terus mengumpat. "Lalu uang sebanyak ini mau kita apakan, Pak?" tanya Ri
"Pak, Bapak kemana aja seharian ini? Aku bingung di rumah banyak tamu. Mereka semua nyariin Bapak.!" Rita menghampiri suaminya yang baru saja tiba di rumah selepas maghrib. Wajah Akbar nampak murung dan bingung. "Sssst, Pak. wajahnya jangan murung gitu. Nggak enak masih banyak tamu!" bisik Rita Para tetangga sejak siang tadi ada saja yang datang. Rita memang menyuguhkan banyak makanan sejak pagi tadi. Ia juga menyewa banyak kursi untuk para tamu dan diletakkan di depan rumahnya. Karena kondisi rumahnya yang sempit tidak memungkinkan menerima tamu di dalam. Bebeapa hari yang lalu Paul memberi Rita uang untuk mengadakan syukuran. Namun karena selama ini Rita dan Akbar tidak pernah datang ke pengajian, ia hanya mengantarkan puluhan nasi kotak ke masjid dibantu oleh para tetangganya. "Bagaimana bisa Aku tersenyum di saat begini, Bu? Bagaimana nasib Syafa besok?" Akbar nampak putus asa. Pria paruh baya itu mejatuhkan tubuhnya di atas sofa tua miliknya. "Tadi Aku lihat di media sosia
"Ayo semua sudah siap ya, Kita menuju restoran sekarang!" Maira memberi aba-aba pada semuanya. Saat ini mereka semua telah berkumpul di lobby hotel. "Selamat pagi, Maira, mungkin ada yang bisa ikut bareng Ayah. Kebetulan Ayah sendirian dan bawa mobil!" "Loh, Ayah?" Maira terkejut melihat Ayahnya tiba-tiba sudah muncul di hotel pagi-pagi. Ia merasa heran, karena seingatnya ia tidak pernah mengatakan pada ayahnya bahwa ia sedang berada di hotel angkasa ini. Namun ia tak mau ambil pusing karena masih banyak yang perlu ia cek bersama WO pagi ini. Diam-diam Laura pun tak kalah terkejut. Ia hampir saja terlonjak melihat keberadaan pria itu di lobby. "Baiklah, Yah. Kalau begitu Mama Laura , Kaisar dan Nina ikut mobil Ayah aja. Syafa sama aku. Yang lainnya dengan Pak Rein. Pak Pardi sudah jalan sejak subuh jemput Paul di hotel yang berbeda."Paul dan semua karyawan club menginap di hotel yang berbeda sejak semalam. Perjalanan menuju restoran itu hanya memakan waktu sepuluh menit. Restor
"Selamat pagi! Apa Saya belum terlambat?" Semua orang menoleh pada suara berat yang tiba-tiba terdengar berasal dari pintu masuk restorant. Semua orang hampir ternganga melihat pria gagah dan tampan yang wajahnya sudah tak asing lagi bagi banyak orang. Seorang pria tampan dan gagah dengan aura kewibawaannya. Walau usianya yang tak muda lagi, pesona pria itu tetap sangat menghipnotis semua orang. Pria dengan jas berwarna hitam yang dipadu kemeja hitam dan dasi marun itu melangkah tegap dan gagah menuju meja tempat akad nikah berlangsung. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana mengikuti pria itu dari belakang. Wanita itu sedikit membungkuk dan mengangguk sopan pada setiap tamu yang ia lewati. "Bapak Boy Azka!" Sontak Akbar menyebut nama Pria yang baru saja datang itu dengan lantang. Hatinya sangat lega. Ternyata Tuhan mendengarkan doanya. "Terimakasih Bapak akhirnya mau datang. Terimakasih, Pak!" Akbar membungkukkan badannya sebagai tanda hormat dan rasa terimakasihny
"Syafa ... Syafa ... tunggu! Aku mohon tunggu sebentar!" Syafa menghentikan kursi rodanya saat mendengar suara Paul yang menyusulnya. "Maafin Aku, Kak!" "Bapak Boy masih menunggu kita." Paul mencoba untuk membujuk Syafa yang kini sudah menjadi istrinya. Ia meliriik Boy Azka yang masih berdiri menatap mereka berdua. Syafa menggeleng. "Dia tidak mungkin menungguku, Kak. Aku bukan siapa-siapa. Tolong bawa Aku ke ruang rias, Kak. Aku lelah." Syafa tak mau lagi menoleh pada Boy Azka. Saat ini ia berusaha untuk melupakan kenyataan bahwa ia adalah anak kandung laki-laki itu. Entah siapa ibunya. Ia tak ingin peduli. Saat ini yang dia anggap sebagai orang tuanya hanyalah Akbar dan Rita. Tak lama kemudian terdengar suara MC mempersilakan para tamu untuk mencicipi hidangan. Suara musik mulai terdengar mengalun. Para tamu mulai bebas sambil menunggu acara resepsi yang akan diadakan di ballroom restoran ini. "Non, Non Syafa, tunggu, Non!" Paul kembali menghentikan kursi roda Syafa saat me
"Bagaimana Ibra, Apa sudah dipastikan tidak ada yang merekam atau mengambil gambarku di acara tadi?" Boy Azka bertanya pada salah satu orang suruhannya yang berada di dalam mobil. "Sudah, Pak. Kami juga sudah meminta bagian dokumentasi menghapus video rekaman saat akad nikah. Kami juga berkeliling melarang beberapa tamu yang hendak mengambil gambar Bapak," jawab Ibra, pria berpakaian safari yang duduk di sebelah supir. "Bagus! Segera bagikan lagi postingan video keberadaanku di luar negeri. Aku tidak mau sampai ada berita yang merusak citraku!" Pria bersuara berat itu berbicara tegas. "Pak, ada pesan dari Ibu, Bapak kapan nyusul ke Paris?" tanya Ibra setelah membuka ponselnya. "Tidak. Aku tidak akan menyusulnya. Biar saja semua orang tau Aku sedang tidak di Indonesia. Dalam dua minggu ini ada hal yang sedang Aku rencanakan," jawab Boy dengan sebuah senyuman menatap jalan melalui jendela mobil. ia seakan sedang membayangkan seseorang. "Pak, siang ini ada resepsi pernikahan Syafa d
"Hadiah mobil? Hadiah dari siapa, Pak?" tanya Paul sambil memandang mobil mewah itu dengan mengerutkan dahi. Ia tau harga mobil itu hampir mencapai dua milyar. "Maaf, Saya tidak tau dari siapa. Saya hanya bertugas mengantar saja. Ini tanda terimanya silakan ditandatangani!" Pria pengantar mobil itu memberikan selembar kertas pada Paul. "Tidak, Kak. Jangan ditandatangani!" sanggah Syafa sambil meraih tangan Paul. Lagi-lagi para tamu yang penasaran memandang heran pada Syafa. Sebuah hadiah berupa mobil mewah seharga milyaran itu ditolak oleh Syafa. "Huh, udah miskin, sombong! Mobil segitu mewahnya ditolak! Dasar kampungan!" Terdengar umpatan Aina yang ternyata berada diantara tamu-tamu yang berada di luar. Paul mendengar apa yang dikatakan Aina. Namun ia mencoba meredam emosinya. Ia menyesal telah mengundang wanita itu ke acaranya. Sejak tadi datang, Aina terus memandang tidak suka. pada Syafa. "Maaf, Pak. Istri Saya tidak mau menerima. Sebaiknya dikembalikan saja pada pemiliknya
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b