Dave terkejut, tidak menyangka papahnya akan semudah itu memutuskan.
"Aku menolak pernikahan ini, Pah."
Dave berbicara dengan tegas. Ia tidak ingin mengorbankan hidupnya dengan menikahi wanita yang tidak jelas asal usulnya. Terlebih ia baru bertemu dengan Rachel semalam.
Dave yang memiliki prinsip hidup akan menikah dengan wanita yang dicintainya itu, sudah pasti akan menentang rencana gila papahnya.
"Apa kau bilang? Mau bikin malu papah rupanya kau."
"Bukan begitu, Pah. Dave hanya tidak mau menikah dengan sembarang wanita.
Lagipula dia juga belum tentu bakal hamil. Lebih baik kita pastikan dulu sebelun mengadakan pernikahan," ucap Dave seraya melirik ke arah Rachel.
"Pukulan papah tadi rupanya belum cukup menyadarkan otak dangkalmu itu. Enteng sekali kau bicara," geram Damian seketika.
"Jangan begitu, Dave. Bagaimana kalau wanita ini nantinya hamil? Pikirkan kesusahan yang akan keluarga kita hadapi kalau sampai ada yang tau kau menikah karena telah menghamili anak orang. Pikirkan juga nasib wanita ini nantinya," ujar Kate mencoba menasehati anaknya.
"Ya. Kalau dia nantinya hamil pun masih bisa digugurkan bukan, Mah?"
Kate seketika mengelus dada, mendengar jawaban tidak bertangung jawab yang keluar dari mulut anaknya.
"Anak ini benar-benar—"
Damian seketika bangkit dari tempat duduknya."Sini kau. Sepertinya kau perlu dihajar lagi agar otakmu dapat bekerja dengan semestinya," berang Damian sembari mengepalkan kedua tangan.
Bukan cuma kedua orang tua Dave saja yang kesal, Rachel yang duduk di sebelah Dave mengeleng tidak percaya dengan perkataannya.
Rachel kini telah menyadari lelaki macam apa yang duduk di sebelahnya. Rachel jadi sangat mengerti alasan Damian bersikap kasar kepada Dave.
"Hey, kau bantu aku. Saat ini kau sedang dalam masa subur atau tidak?" tanya Dave sambil menyenggol lengan Rachel.
Seketika Rachel memandang tajam ke arah Dave, kemudian bangkit dari tempat duduknya.
"Maaf om, tante. Saya tau menikah itu bukan perkara yang mudah. Saya bisa mengerti niat baik kalian, tapi saya juga punya harga diri. Saya tidak akan memaksa kalau laki-laki itu tidak menginginkannya—"
Damian seketika berdiri menatap wajah Rachel yang juga menatap ke arahnya.
"Tidak masalah jika dia tidak menginginkan pernikahan ini. Saya janji tidak akan menuntutnya, jika saya nanti hamil," kata Rachel dengan penuh ketegasan.
Damian sempat terkejut dengan perkataan Rachel. Namun, sedetik kemudian ia diam-diam tersenyum kecil.
Melihat tidak ada tanggapan apapun, Rachel kembali membuka mulutnya.
"Sepertinya tidak ada lagi yang ingin kalian bicarakan. Maaf kalau kehadiran saya sudah mengusik kehidupan kalian—"
Rachel menuduk ke arah Damian dan Kate secara bergantian.
"Kalau begitu saya pamit, karena saya juga harus kembali. Saya permisi," ucap Rachel seraya berjalan pergi.
"Tunggu dulu sebentar."
Suara berat Damian menghentikan langkah kaki Rachel. Damian lalu bangkit dari tempat duduknya, kemudian berjalan mendekati Rachel.
"Saya meminta maaf atas perbuatan anak saya. Sebagai permintaan maaf, tolong izinkan supir pribadi kami mengantar mba sampai ke tujuan."
Rachel memandang sekilas wajah Damian, kemudian mengangguk pelan. Damian lantas memanggil supir pribadinya.
"Pak Jiman..."
Tidak berselang lama, seorang laki-laki paruh baya datang menghampiri Damian.
"Iya, Tuan. Ada apa?" seloroh laki-laki yang disapa dengan panggilan Jiman oleh Damian.
"Tolong antar wanita ini pulang ya, Pak."
"Baik, Tuan Damian."
Jiman mengangguk patuh, kemudian wajahnya beralih melihat ke arah Rachel.
Rachel lalu dibawa pergi oleh pak supir itu.Keesokan harinya, Rachel yang tengah makan pagi dirumahnya itu tiba-tiba saja dikejutkan dengan suara ketukan pintu.
Anggraini lantas bergegas membukakan pintu untuk menengok siapa tamu yang datang sepagi ini.
Rachel awalnya tidak perduli dan tetap melanjutkan sarapannya itu, namun makannya mulai terusik saat ia mendengar suara yang tidak asing di telinganya.
"Siapa ya tamunya?" batin Rachel bertanya dalam hati.
Ia lantas mencuci kedua tangannya, kemudian bergegas mengintip ke ruang tamu.
Dari balik sekat pembatas, samar-samar Rachel melihat beberapa orang duduk diruang tamu. Rachel berusaha menajamkan indera pengelihatannya.
Mata Rachel terbelalak seketika."Bukankah itu Dave? Mau apa dia kesini?" batin Rachel kembali berseru.
Rachel melihat sosok Dave tengah duduk di sofa rumahnya. Bukan cuma Dave, Rachel juga melihat Damian dan Kate duduk di sana mengampit Dave yang tengah tertunduk.
Rachel lantas mendekatkan telinganya, agar dapat mencuri dengar percakapan orang tuanya dengan kedua orang tua Damian.
"Kedatangan saya sekeluarga kesini sebenarnya berniat ingin melamar putri kesayangan bapak dan ibu, Rachel."
Nada suara Damian terdengar sangat sopan, berbeda sekali dengan saat Rachel pertama kali bertemu.
"Anak saya, Dave berniat menikah dengan Rachel." Sambung Damian disertai senyuman.
Rachel sontak terkejut mendengar ucapan Damian. Ia sungguh tidak menyangka, Dave akan melamarnya secepat ini.
"Bagaimana, Pak, Bu? Apa Dave di izinkan menikah dengan Rachel?" tanya Kate terdengar lembut.
"Sepertinya saya harus tanya dulu pada anaknya. Sebentar ya saya panggilkan," ujar Anggraini seraya pergi menemui anaknya.
Anggraini terkejut saat melihat Rachel berdiri di belakang sekat pembatas ruang tamu dengan ruang makan.
"Eh, kamu sudah di sini rupanya—"
Ibu Rachel lantas mengandeng lengan anaknya."Ayo ke depan. Ada pemuda tampan yang berniat melamarmu," ucapnya terlihat bersemangat.
Saat Rachel sudah berdiri di ruang tamu, ia dapat melihat senyum lembut Kate dan juga seorang gadis perempuan yang duduk di sebelah Kate. Sedangkan, Dave duduk tertunduk sambil memandangi lantai rumahnya.
Ayo duduk dulu sini," ujar Anggraini seraya menarik tangan Rachel agar duduk di sebelahnya.
"Hel, ini ada yang ingin melamarmu. Namanya Dave,"ucap Robert membuka obrolan dengan anaknya.
Rachel kemudian menoleh ke arah Dave yang saat ini tengah memandang wajahnya. Kedua mata mereka saling bertemu pandang untuk beberapa saat. Namun, Rachel segera mengalihkan pandangannya.
"Gimana? Apa kamu mau menikah dengannya, Nak?" tanya Anggraini dengan lembut.
Rachel bingung harus menjawab apa saat ibunya bertanya soal lamaran Dave di seluruh keluarganya. Alhasil, Rachel hanya tersenyum kecil sembari melirik ke arah Dave yang nampak terdiam dengan wajah datar.
☆☆☆
Saat ini Dave dan Rachel sedang berada di depan teras rumah Rachel. Rachel sebelumnya mengajak Dave keluar rumah dengan dalih ingin mengenal Dave lebih dalam.
"Kau terlihat tidak keberatan sama sekali menikah dengan saya," sindir Dave saat mereka sedang berduaan.
"Lantas aku harus bagaimana?"
Rachel malah bertanya balik, membuat Dave tidak bisa berkutik.
"Setelah kemarin dengan semangat berkobar menentang, pada akhirnya kau datang kemari juga. Tidak kusangka," sindir balik Rachel.
"Itu semua karena paksaan papah. Lagipula saya hanya ingin memastikan kau tidak hamil saja. Jadi bersabarlah selama sebulan ini," ucap Dave datar.
"Sebulan? Apa maksudmu?" tanya Rachel nampak bingung.
BERSAMBUNG...
Dave yang stres karena tekanan pekerjaan ditambah sikap keras Damian yang kerap mendoktrinnya itu, kerap mencari hiburan dengan datang ke klub malam. Ditemani botol-botol minuman keras, Dave menghabiskan waktu malamnya. Tak jarang beberapa wanita cantik datang mendekatinya, berperan sebagai pelipur hati laki-laki kesepian semacam Dave. Jika Dave suka, mereka akan duduk mengampit tubuh Dave. Kemudian menemani Dave sepanjang malam. Seperti malam hari ini, Dave kembali mengunjungi klub untuk bersenang-senang. Namun malam ini, Dave sedang dalam mood yang tidak baik. Tidak seperti biasanya, malam ini Dave mengabaikan wanita-wanita yang datang mendekat. Jengah karena tidak dihiraukan, satu persatu dari mereka lantas memilih pergi. Alhasil, Dave hanya duduk sendirian di sofa sembari memandangi punggung wanita yang tadi diacuhkannya.
Sesampainya di rumah Dave, Rachel terlihat bingung. "Kita ada dimana sekarang?" tanya Rachel seraya menegok ke kiri dan kanan. "Rumahku," kata Dave santai. Rachel terkejut mendengarnya. Ia lantas menatap tajam ke arah Dave. "Kenapa kau bawa aku ke rumahmu?" "Eh... Anu.." Dave gelagapan, bingung harus menjawab apa. Saat Dave ingin membuka mulutnya, tanpa di duga Rachel menarik ujung kerah baju Dave dan menciumnya dengan ganas. Dave membalas ciuman Rachel. Ia menarik pinggang Rachel, mengikis jarak di antara keduanya. Kedua tangan Rachel meremas rambut Dave saat ciuman Dave beralih turun ke lehernya. Entah apa yang ada di pikiran Rachel saat itu. Ia menikmati setiap sentuhan yang diberikan Dave, terus menginginkan lebih walaupun batinnya berkata lain. Tubuh Rachel seakan sedang tidak sejalan dengan pikirannya saat ini. Rachel malah pasrah serta
Dave menoleh ke belakang, menatap ke arah daun pintu kembar di ruangan itu yang perlahan mulai terbuka. Rachel perlahan muncul dari balik pintu itu. Ia melangkah kaki dengan kedua tangannya mengapit lengan kekar Robert. Kedua orang itu jalan beriringan memasuki ruangan. Dave seketika terpana melihat Rachel dalam balutan dress putih panjang. Rachel terlihat nampak berbeda daripada waktu pertama kali bertemu dengan Dave. Entah karena senyumnya yang mengembang atau mungkin pula dari riasan wajah, yang menambah pancaran kecantikan di wajahnya. Sesampainya di depan altar, Robert memberikan tangan Rachel pada Dave. Di pandangnya wajah Dave sekilas, sembari menepuk pundaknya. "Titip Rachel ya," bisik Robert di telinga Dave. Dave mengangguk pelan, lalu menoleh sekilas ke arah Rachel. Mereka berdua kemudian saling mengucap janji suci pernikahan di hadapan pendeta.Kate melihat pasangan pe
Kate lantas menghela napas berat. Kate memandangi wajah Rachel yang kini menundukkan kepalanya sembari mengerakkan kukunya, tidak berani menatap ke arah Kate."Anak itu ya, benar-benar. Malam pertama malah menyuruh istrinya tidur di luar kamar," dengus Kate seraya mengeleng sebal.Kedua tangan Kate terkepal. Ia hendak berjalan pergi, tapi langkahnya seketika terhenti."Mamah, mau kemana?" tanya Rachel saat melihat Kate hendak menaiki tangga."Mau ke atas, ngasih pelajaran ke suami kamu itu."Rachel terus memegangi lengan Kate, mencegahnya pergi ke kamar Dave."Tidak usah, Mah. Lagipula sekarang sudah larut malam. Nanti malah menganggu yang lain. Dave juga sepertinya sudah tidur," ucap Rachel sambil menahan Kate.Kate menghela napas berat, lalu beralih melihat ke arah Rachel. Sedangkan, Rachel hanya bisa diam saja sembari matanya menatap penuh harap ke arah Kate."Ya, sudah. Sekara
Rachel menghela napas berat sembari mengeleng heran."Rupanya kau kemari hanya ingin bertengkar denganku.""Hah?""Terserahlah, kalau tidak percaya. Tidak penting juga bagiku," ujar Rachel seraya berjalan pergi meninggalkannya."Yak.. Saya belum selesai bicara. Kau mau pergi kemana?" teriak Dave dengan lantang."Ambil sisir."Suara Rachel terdengar samar-samar di telinga Dave, membuatnya mengendus sebal.☆☆☆Rachel yang kesal karena ulah Dave yang membuat moodnya buruk itu, memutuskan pergi ke cafe langganannya. Ia ingin menenangkan diri sembari meminum secangkir kopi cappucino late.Sesampainya di cafe, Rachel terkejut saat melihat Alex tengah memesan kopi."Lex..."Alex juga sama terkejutnya dengan Rachel."Mau pesan kopi juga?" sapa Alex basa-basi.
"Kamu tau 'kan selama ini aku berjuang mengumpulkan uang agar kita bisa nikah." "Aku tau, tapi seenggaknya jawab telpon sekali aja masa gak bisa. Aku bingung saat itu dan gak bisa nolak lamaran Dave karena kamu menghilang." Suara Rachel terdengar parau. Alex lantas menarik Rachel kedalam dekapannya. Tangis Rachel pecah seketika. "Maaf. Sinyal disana gak memungkinkan aku buat jawab telpon," ujar Alex sembari menepuk-nepuk punggung Rachel. "Ceritakanlah! Apa yang sebenarnya terjadi," pinta Alex dengan nada lembut. Rachel lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Dave yang berakhir dengan pernikahan yang mendadak. Alex mendengarkan dengan seksama. Tangan Alex seketika terkepal, menahan kesal. Alex tidak menyangka rencananya yang sempat gagal itu malah dimanfaatkan baik oleh Dave. "Kalau saja Emilio tidak datang malam itu, pasti aku yang lebih dulu mencicipi Rachel." Batin Alex bersuara dala
"Asal kau tau. Ayahmu sendiri yang menitipkan dirimu padaku. Bukan ke mamah ataupun papah. Jadi kau adalah tanggunganku sampai tiba saatnya saya mengembalikan kau ke ayahmu setelah kita bercerai nanti—""Jangan pernah coba-coba melanggar aturan yang saya buat untukmu, jika tidak mau menanggung akibatnya. Karena saya yang lebih berhak atas dirimu dari pada siapun dirumah ini," ancam Dave.Arah pandangan Dave tanpa sengaja melihat ke arah bibir Rachel.Dave mengejapkan kedua matanya, memandangi bibir merona Rachel. Seketika muncul pikiran nakalnya yang ingin mencium Rachel. Namun saat ia beralih menatap ke arah mata Rachel. Seketika Dave tersadar."Apa maksudnya itu? Kau..."Dave menghendus sebal dan pergi meninggalkan Rachel yang belum selesai berbicara."Hey, jangan pergi. Aku belum selesai bicara," teriak Rachel seketika.Teriakan Rachel tidak menghentikan langkah kaki Dave yang
Dave yang baru keluar kamar mandi, melihat Rachel tengah menatap ke bagian dadanya yang tidak tertutup handuk. "Rupanya kau sudah bangun," ucap Dave datar. Suara bass Dave seketika menyadarkan Rachel dari lamunannya. Dave mengernyitkan dahi saat melihat Rachel yang tidak juga bergeming duduk di sofa. "Kenapa masih diam disitu? Cepat mandi sana," ketus Dave mengusir Rachel ke kamar mandi. Rachel yang masih mengantuk itu, berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Dave hanya memperhatikannya dalam diam. Begitu Rachel selesai mandi, ia melihat Dave berdiri dengan lemari pakaiannya yang terbuka. Saat ini Dave telah memakai kemeja polos dan celana panjang. Namun kepalanya menoleh ke segala arah, seakan tengah mencari sesuatu. Rachel berjalan mendekatinya. "Kau cari apa? tanya Rachel menyamakan arah pandangan Dave. "Gesper hitam. Kau tidak membuang gesperku 'kan?" Rachel mende
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin