Kate lantas menghela napas berat. Kate memandangi wajah Rachel yang kini menundukkan kepalanya sembari mengerakkan kukunya, tidak berani menatap ke arah Kate.
"Anak itu ya, benar-benar. Malam pertama malah menyuruh istrinya tidur di luar kamar," dengus Kate seraya mengeleng sebal.
Kedua tangan Kate terkepal. Ia hendak berjalan pergi, tapi langkahnya seketika terhenti."Mamah, mau kemana?" tanya Rachel saat melihat Kate hendak menaiki tangga."Mau ke atas, ngasih pelajaran ke suami kamu itu." Rachel terus memegangi lengan Kate, mencegahnya pergi ke kamar Dave."Tidak usah, Mah. Lagipula sekarang sudah larut malam. Nanti malah menganggu yang lain. Dave juga sepertinya sudah tidur," ucap Rachel sambil menahan Kate.Kate menghela napas berat, lalu beralih melihat ke arah Rachel. Sedangkan, Rachel hanya bisa diam saja sembari matanya menatap penuh harap ke arah Kate."Ya, sudah. Sekarang kamu ikut mamah. Ayo!" ucap Kate sembari menuntun Rachel ke suatu tempat.Rupanya Kate mengajak Rachel ke kamar lain yang ada di rumah itu."Kamu tidur di kamar ini dulu ya untuk malam ini. Biasanya hanya tamu dari kerabat jauh yang tidur disini, mamah tidak menyangka menantu mamah harus tidur disini sekarang," lirih Kate terdengar sedih."Tidak apa-apa. Kamarnya bagus juga ko, Mah."Kate kembali mendesah berat."Mamah masih tidak habis pikir dengan kelakuannya. Dia itu bukan tipe laki-laki yang kasar pada wanita. Dengan mamah dan Cindy saja, Dave tidak pernah seperti itu. Kenapa Dave jadi seperti itu padamu?" "Entahlah, Mah. Mungkin karena awalnya dia tidak suka denganku. Aku juga tidak mengerti," ucap Rachel sambil mengangkat kedua bahunya."Maafkan kelakuan anak mamah yang satu itu ya. Bersabarlah menghadapinya, kelak dia pasti akan sadar akan perbuatan buruknya.""Iya, Mah. Lagipula, aku belum terlalu mengenalnya juga. Kami berdua masih perlu mengenal satu sama lain lebih dalam. Jadi aku tidak ambil pusing dengan sikapnya ini," ucap Rachel sembari tersenyum.Kate ikut tersenyum, kemudian menyuruh Rachel beristrirahat.Keesokan harinya, Dave terkejut saat Kate membangunkannya dengan menyiram air ke wajahnya. Dave mengerang kesal."Apa-apaan sih, Mah? Baju Dave basah 'kan jadinya nih," keluh Dave seketika."Kamu yang apa-apaan? Kenapa kamu suruh Rachel tidur diluar? Suami macam apa kamu tega berbuat begitu pada istrinya?""Mah, ini masalah rumah tangga Dave. Kenapa mamah mau ikut campur juga sih?" dumel Dave menahan kesal."Mamah bukannya mau ikut campur, tapi kamu kelewatan. Istri kamu salah apa sampai harus tidur di luar begitu?"Dave bungkam seketika, tidak tau harus berkata apa. Jika ia asal menjawab, bukan tidak mungkin dirinya akan tambah disalahkan oleh mamahnya yang sudah terlihat sangat kesal itu."Tidak bisa jawab kan kamu. Berarti bukan masalah serius kan?—"Kate menatap tajam ke arah Dave."Asal kamu tau ya. Walaupun kami bertengkar hebat sekalipun, papahmu itu tidak pernah menyuruh mamah tidur diluar. Eh, anak mamah sendiri yang malah bertindak begitu. Mau kamu mamah laporkan ke papah sekarang juga? Biar nanti kamu dihajar lagi, begitu maumu?" ancam Kate dengan berapi-api."Eh. Jangan, Mah.""Ya, kalau gitu kamu jangan bikin ulah begitu. Jadi suami yang baik saja masa gak bisa," kesal Kate."Iya, Mah. Iya. Dave minta maaf dan mengaku salah.""Minta maaf sama istrimu sana, bukan sama mamah."Dave mengangguk patuh, kemudian berjalan ke luar kamar. Sedangkan, Kate hanya bisa mengeleng sembari memandangi punggung Dave yang perlahan menghilang dari pandangan matanya.Dave kemudian mencari Rachel disekitar rumah, tapi tidak juga bertemu dengan sosoknya. Hanya satu tempat yang belum dikunjunginya, yaitu kamar kosong. Ia sempat memandang sebentar di depan pintu kamar. Suara batinnya lantas bertanya, "mungkinkah wanita itu ada di dalam sana?" Saat pintu kamar dibuka, Dave mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang ada dikamar itu. Ia lantas masuk dan duduk di atas ranjang. Memandangi sekeliling kamar itu, sembari menunggu Rachel yang sedang mandi."Lama sekali mandinya," keluh Dave mulai bosan. Clek...Tidak berselang lama, terdengar suara kenop pintu yang terbuka. Dave menoleh ke arah suara itu.Rachel keluar kamar mandi dengan sehelai handuk yang membelit tubuhnya. Rambut panjangnya tergerai basah. Terlihat beberapa tetesan air dari rambutnya yang jatuh. Dave terdiam sejenak, susah payah menegak saliva yang tertahan di tenggorokannya.Rachel terbelalak melihat sosok Dave yang saat ini tengah berbaring terlentang di ranjang sambil menatap wajahnya."Aku mau ganti baju sekarang. Kau sengaja kemari hanya untuk melihatku berganti pakaian," sindir Rachel seketika.Mendengar nada suara Rachel, Dave seketika tersadar. Kemudian mengeleng kuat dan beralih memandang ke arah lain. Posisi Dave sekarang tengah menghadap Rachel."Kita harus bicara," ucapnya datar."Ya, sudah. Bicara saja." "Pakai dulu bajumu. Baru setelah itu kita berbicara," titah Dave memberi perintah."Kalau gitu balikkan badanmu sekarang. Cepat! Aku tidak mau kau mengintipku.""Cih... Sok jual mahal. Sudah kulihat semuanya juga," cibir Dave seketika.Walaupun mengerutu, Dave tetap berbalik badan. Namun ia sempat mengendus sebal saat Rachel menyuruhnya."Jangan mengintip," ujar Rachel memberi peringatan."Iya, cepat ganti bajumu. Sudah belum?" tanya Dave mulai tidak sabar."Sebentar. Jangan balik badan dulu,"Rachel berganti pakaian dengan cepat sembari melirik ke arah punggung Dave.Memastikan laki-laki berambut pirang itu tidak menoleh ke belakang.
"Sudah. Kau mau bicara tentang apa?" ujar Rachel sembari berjalan mendekati ranjang."Mamah tadi protes kau tidur disini. Dia mau kau tidur diatas."Rachel mengangguk paham. Ia yakin mertuanya itu pasti sudah memarahi laki-laki dihadapannya ini, jika melihat dari sikapnya saat ini.Dave mengernyitkan dahi saat Rachel hanya memberi anggukan kepadanya."Semalam kau mengadu sama mamah ya," tuduhnya seketika."Tidak. Mamah tau sendiri," elak Rachel berbicara apa adanya."BOHONG..."Dave seketika berteriak sembari menatap tajam ke arah Rachel. Dave bangkit dari tempat tidur, kemudian berjalan ke tempat Rachel berdiri."Bagaimana mamah bisa tau hal ini, kalau bukan kau yang mengadu padanya?"Dave menuduhnya tanpa bertanya lebih dulu."Sudah kubilang 'kan mamah tau sendiri. Dia melihatku bawa bantal keluar kamar," terang Rachel menjelaskan."Kau pikir saya akan percaya semudah itu. Tidak mungkin ada orang rumah yang berkeliaran di jam segitu. Terlebih seharian kami habis pesta. Kalau mau berbohong cari alasan yang masuk akal."Rachel hanya terdiam memandanginya. Toh, dia tidak seperti yang Dave tuduhkan. Mertuanya sendirilah yang langsung tau saat melihatnya semalam, tanpa perlu Rachel katakan."Kenapa sekarang malah diam?" tanya Dave wajah menatang.BERSAMBUNG...Novel ini karya pertama author di platfrom ini. Semoga suka dengan ceritanya. Selamat membaca,
Rachel menghela napas berat sembari mengeleng heran."Rupanya kau kemari hanya ingin bertengkar denganku.""Hah?""Terserahlah, kalau tidak percaya. Tidak penting juga bagiku," ujar Rachel seraya berjalan pergi meninggalkannya."Yak.. Saya belum selesai bicara. Kau mau pergi kemana?" teriak Dave dengan lantang."Ambil sisir."Suara Rachel terdengar samar-samar di telinga Dave, membuatnya mengendus sebal.☆☆☆Rachel yang kesal karena ulah Dave yang membuat moodnya buruk itu, memutuskan pergi ke cafe langganannya. Ia ingin menenangkan diri sembari meminum secangkir kopi cappucino late.Sesampainya di cafe, Rachel terkejut saat melihat Alex tengah memesan kopi."Lex..."Alex juga sama terkejutnya dengan Rachel."Mau pesan kopi juga?" sapa Alex basa-basi.
"Kamu tau 'kan selama ini aku berjuang mengumpulkan uang agar kita bisa nikah." "Aku tau, tapi seenggaknya jawab telpon sekali aja masa gak bisa. Aku bingung saat itu dan gak bisa nolak lamaran Dave karena kamu menghilang." Suara Rachel terdengar parau. Alex lantas menarik Rachel kedalam dekapannya. Tangis Rachel pecah seketika. "Maaf. Sinyal disana gak memungkinkan aku buat jawab telpon," ujar Alex sembari menepuk-nepuk punggung Rachel. "Ceritakanlah! Apa yang sebenarnya terjadi," pinta Alex dengan nada lembut. Rachel lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Dave yang berakhir dengan pernikahan yang mendadak. Alex mendengarkan dengan seksama. Tangan Alex seketika terkepal, menahan kesal. Alex tidak menyangka rencananya yang sempat gagal itu malah dimanfaatkan baik oleh Dave. "Kalau saja Emilio tidak datang malam itu, pasti aku yang lebih dulu mencicipi Rachel." Batin Alex bersuara dala
"Asal kau tau. Ayahmu sendiri yang menitipkan dirimu padaku. Bukan ke mamah ataupun papah. Jadi kau adalah tanggunganku sampai tiba saatnya saya mengembalikan kau ke ayahmu setelah kita bercerai nanti—""Jangan pernah coba-coba melanggar aturan yang saya buat untukmu, jika tidak mau menanggung akibatnya. Karena saya yang lebih berhak atas dirimu dari pada siapun dirumah ini," ancam Dave.Arah pandangan Dave tanpa sengaja melihat ke arah bibir Rachel.Dave mengejapkan kedua matanya, memandangi bibir merona Rachel. Seketika muncul pikiran nakalnya yang ingin mencium Rachel. Namun saat ia beralih menatap ke arah mata Rachel. Seketika Dave tersadar."Apa maksudnya itu? Kau..."Dave menghendus sebal dan pergi meninggalkan Rachel yang belum selesai berbicara."Hey, jangan pergi. Aku belum selesai bicara," teriak Rachel seketika.Teriakan Rachel tidak menghentikan langkah kaki Dave yang
Dave yang baru keluar kamar mandi, melihat Rachel tengah menatap ke bagian dadanya yang tidak tertutup handuk. "Rupanya kau sudah bangun," ucap Dave datar. Suara bass Dave seketika menyadarkan Rachel dari lamunannya. Dave mengernyitkan dahi saat melihat Rachel yang tidak juga bergeming duduk di sofa. "Kenapa masih diam disitu? Cepat mandi sana," ketus Dave mengusir Rachel ke kamar mandi. Rachel yang masih mengantuk itu, berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Dave hanya memperhatikannya dalam diam. Begitu Rachel selesai mandi, ia melihat Dave berdiri dengan lemari pakaiannya yang terbuka. Saat ini Dave telah memakai kemeja polos dan celana panjang. Namun kepalanya menoleh ke segala arah, seakan tengah mencari sesuatu. Rachel berjalan mendekatinya. "Kau cari apa? tanya Rachel menyamakan arah pandangan Dave. "Gesper hitam. Kau tidak membuang gesperku 'kan?" Rachel mende
Rachel yang tiba-tiba merasa penasaran itu, lantas menoleh ke Cindy."Dave kalau lagi kesal itu biasanya sikapnya bagaimana?" tanya Rachel manatap Cindy penuh minat."Ka Dave kalau sudah kesel pasti bakal ngomel, mengerutu terus sepanjang jalan. Pusing denger ocehannya.""Kamu sering di marahin dia juga ya.""Dirumah ini yang paling kalem cuma aku, Ka. Mamah juga sebenarnya, tapi dia kalo udah marah seremnya lebih dari papah. Ka Dave 'kan kaya papah sebenarnya gampang marah, tapi marahnya bentar doang. Jadi harap maklum ya ka."Rachel mengangguk pelan, kemudian mengajak Cindy turun ke bawah.Sesampainya mereka berdua di halaman rumah, Dave sudah berkaca pinggang di samping mobil banteng ngamuk warna hitam."Tuh 'kan, Ka. Bentar lagi bakal ngomel deh pasti," bisik Cindy di tepat telinga Rachel.Rachel dan Cindy berjalan bersamaan, mendekati Dave yang tengah be
Dave mengamati setiap lekuk wajah di hadapannya itu dengan tatapan yang sulit di artikan.Tangan Rachel tanpa sadar bergerak mengusap-usap lengan dengan mata tertutup seakan merasakan hawa dingin yang menyerang.Seketika Dave sadar selimut yang di kenakan Rachel terkesiap. Kedua tangan Dave lantas terulur menarik ujung selimut itu sampai batas pundak Rachel.Baru setelah itu Dave berjalan naik ke ranjang, memposisikan dirinya berbaring dengan nyaman.Dave menatap ke atas. Kedua matanya menerawang memandangi lama atap langit-langit kamarnya. Entah apa yang di pikirkan laki-laki berambut pirang itu pada malam hari. Lelah berkutat dengan pikirannya, perlahan mata Dave terpejam dengan sendirinya.☆☆☆Sinar mentari pagi yang menyilaukan mata tertutup, membuat Dave terbangun dari tidurnya. Ia mengerang pelan sembari meregangkan otot-otot persendiannya.Dave mengejapka
Rachel yang tadinya hendak mengambil baju dari dalam kopernya itu lantas menarik resleting koper dan menutupnya kembali.Melihat kecangungan Rachel, seketika Dave menatapnya dengan kening berkerut."Aku mau ganti baju. Kalau kamu tidak ada yang mau di bicarakan lagi. Tolong keluarlah. Aku tidak nyaman membuka koper dan memperlihatkan pakaian dalamku padamu."Mendengar perkataan Rachel, Dave lantas mengeleng sembari mendesah pelan."Ehm.. Itu.. Selama kau tinggal disini, kau yang urus dapur dan segala keperluan makan harian. Kau boleh mengunakan kartu kreditku tapi, buatlah laporan pengeluarannya tiap bulan. Saya akan menagih laporan itu tiap bulan. Jika nominalnya tidak sesuai, saya akan menuntut ganti rugi. Mengerti?" ujar Dave nampak serius.Rachel kembali mengangguk patuh."Kalau kau sudah puas melihat-lihat, cepat buatkan makanan. Batas kesabaran saya saat lapar hanya lima belas menit," uca
Rachel menoleh ke arah Dave. Bahu Rachel seketika bergetar dengan sebelah tangan menutup mulutnya sembari mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia erusaha keras menahan tawa yang ingin meledak. Dave terlihat ketakutan saat melihat wanita tengah memainkan pisau berukuran besar ditangannya. Dihadapan wanita itu nampak seekor ikan yang sesekali bergerak-gerak. Wanita itu terlihat asyik membersihkan bagian ingsang ikan. "Kau tidak suka ikan atau takut liat ikan?" bisik Rachel di telinga Dave. "Siapa yang takut? Saya hanya geli lihatnya," kata Dave sambil membalikkan badan saat wanita itu mengeluarkan bagian dalam kotoran ikan. Rachel terkekeh geli melihat ekpresi wajah Dave. "Ya, sudah. Ayo jalan. Kita cari yang lain saja," kata Rachel sambil mendorong pelan bahu Dave. Dave mengangguk, kemudian berjalan dengan kepala lurus seperti tidak ingin menoleh lagi ke arah deretan ikan segar. Mata Rachel berkeli
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin