"Kamu tau 'kan selama ini aku berjuang mengumpulkan uang agar kita bisa nikah."
"Aku tau, tapi seenggaknya jawab telpon sekali aja masa gak bisa. Aku bingung saat itu dan gak bisa nolak lamaran Dave karena kamu menghilang."Suara Rachel terdengar parau. Alex lantas menarik Rachel kedalam dekapannya. Tangis Rachel pecah seketika."Maaf. Sinyal disana gak memungkinkan aku buat jawab telpon," ujar Alex sembari menepuk-nepuk punggung Rachel."Ceritakanlah! Apa yang sebenarnya terjadi," pinta Alex dengan nada lembut.Rachel lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Dave yang berakhir dengan pernikahan yang mendadak. Alex mendengarkan dengan seksama. Tangan Alex seketika terkepal, menahan kesal. Alex tidak menyangka rencananya yang sempat gagal itu malah dimanfaatkan baik oleh Dave. "Kalau saja Emilio tidak datang malam itu, pasti aku yang lebih dulu mencicipi Rachel." Batin Alex bersuara dalam hati.Rachel mendongak, menatap wajah Alex yang termenung."Lex..." panggil Rachel seraya menepuk pelan punggung tangan Alex."Hah?!"Tepukan ditangannya, menyadarkan Alex dari lamunannya."Kamu dengar cerita aku gak sih?""Aku dengar ko sayang," ucap Alex sambil tersenyum lembut.Alex lantas membelai sayang rambut Rachel."Sorry. Harusnya aku enggak pergi ninggalin kamu sendirian di klub waktu itu. Maafkan kesalahan aku ya," tutur Alex dengan tatapan menyesal.Rachel menghela napas pelan."Sudahlah. Nasi sudah jadi bubur. Semua sudah terjadi. Kita juga gak bisa memutar waktu," lirih Rachel terdengar lemah.Tangan Alex yang tadinya memegang rambut itu, kemudian berpindah menyentuh telapak tangan Rachel. Ia mengenggam erat telapak tangan Rachel dengan kedua tangannya."Aku beneran menyesal, Hel. Enggak seharusnya aku menyalahkan kamu, karena nyatanya semua itu salahku. Maaf, Hel. Aku nggak nyangka kalau bakal jadi kaya gini. Maafkan aku, Rachel."Alex memohon sambil menatap kedua mata Rachel dengan tatapan wajah sendu. "Iya, aku udah maafin kamu. Aku pernah bilang 'kan aku bisa ngerti posisi kamu apapun itu asalkan kamu jujur," ucap Rachel sambil tersenyum tipis."Makasih. Kamu memang wanita yang paling mengerti aku—" Seketika Alex menghela napas lega, sembari tersenyum senang."Kita masih bisa sama-sama kaya dulu lagi 'kan sayang?" tanya Alex penasaran. Rachel terdiam membisu, tak tau harus berkata apa. Saat ini dirinya sudah berstatus istri Dave. Jika ia tetap bersama Alex sama dengan berselingkuh di belakang Dave. Tapi ia tidak bisa mengelak dari perasaannya yang sangat mencintai Alex. Seketika Rachel gamang. "Kamu ingat janjiku 'kan? Aku cuma mau kamu bahagia. Kamu pantas dapat yang terbaik," ucap Alex menyadarkan lamunan Rachel.Melihat Rachel hanya diam saja sembari kepalanya tertunduk, kedua tangan Alex lantas menangkup pipi Rachel agar menatap ke arahnya. "Sekarang lihat aku. Tatap mata aku, Rachel—"Rachel menatap mata Alex setelah mendengar perintah darinya."Apa kamu cinta sama laki-laki itu? Apa laki-laki itu bikin kamu bahagia? Apa kamu senang saat bersamanya?"Rachel menatap sendu kedua mata Alex. Tatapan seakan mengisyaratkan keterpaksaan dan kebimbangan hatinya."Jawab pertanyaan aku Rachel," geram Alex menahan emosi.Bukannya segera menjawab pertanyaan Alex, Rachel malah menitihkan air mata. Alex terkejut saat Rachel menerjangnya dengan pelukan erat di pinggangnya. Tangis Rachel kembali pecah saat Alex membalas pelukan Rachel.Yang bisa Alex lakukan saat ini hanya menepuk-nepuk punggung Rachel dan sesekali mengelus rambutnya dengan kedua tangannya. Setelah Rachel cukup tenang, kepala Alex mendekat ke telinga Rachel."Aku siap nunggu janda kamu, Hel. Saat kamu bercerai nanti kita menikah ya," bisik Alex terdengar lembut di telinga Rachel.Rachel pun mengangguk pelan masih dalam dekapan Alex.☆☆☆☆☆Setelah bertemu dengan Alex, wajah Rachel kembali ceria. Kesalapahaman pasca pernikahan dadakannya telah mereka berdua selesaikan secara baik-baik.Rachel merasa senang dengan kebaikan hati Alex yang mau menunggunya setelah ia resmi bercerai dari Dave. Mereka berdua pun telah berjanji menjaga hati masing-masing dan bersabar untuk sebulan kedepan.
Perasaan suka cita itu mendadak lenyap begitu Rachel sampai di halaman rumah mertuanya. Rachel melihat Dave berdiri sambil berkacah pinggang. Matanya melotot ke arah Rachel."Mau bikin ulah apa lagi sih tuh orang? Kaya gak bisa liat orang senang aja," gerutu Rachel dalam hatinya.Ingin rasanya Rachel memutar balik langkah kakinya, kemudian mencari jalan lain untuk masuk ke rumah. Namun sayangnya tidak ada jalan lain yang bisa dilalui Rachel selain melintasi laki-laki berambut pirang itu.Apalagi posisi tempat Dave berdiri saat ini tepat menghadap ke pintu utama rumah. Mau tidak mau Rachel terpaksa harus melewatinya.
Walaupun Rachel berjalan seperti biasanya, namun sorot matanya nampak waspada. Ia mencoba mengantisipasi kalau Dave menahannya masuk ke rumah.Dugaan Rachel tidak salah. Saat Rachel hendak melintas, Dave langsung menghadangnya. "Habis darimana saja kau?" tanya Dave begitu Rachel berada di hadapannya.Saat ini Dave menatap tajam mata Rachel."Keluar sebentar cari angin," ucap Rachel datar."Jadi begini kelakuan aslimu sebenarnya. Pergi begitu saja tanpa pamit pada yang lain," sindir Dave seketika.Rachel yang hendak melangkahkan kaki itu, seketika menghentikan langkahnya saat mendengar sindiran Dave."Asal kau tau saja. Aku sudah izin mamah tadi," kata Rachel dengan santainya."Mamah? Apa kau sudah lupa kalau punya suami," keluh Dave menatap tajam ke Rachel."Aku sedang malas berdebat lagi denganmu," ucap Rachel datar."Kalau begitu jawab pertanyaanku," sela Dave memotong ucapan Rachel."Pertanyaan yang mana ya?" "Kenapa kau keluar tidak minta izin dulu padaku?""Saat mau pergi, kau tidak ada tadi."Rachel yang malas menanggapi pertanyaan yang keluar dari mulut Dave itu, hanya menjawab asal dengan seadanya."Tidak ada bagaimana? Saya tidak pergi kemanapun hari ini," ucap Dave terdengar bingung.Rachel melirik sekilas ke arah Dave yang kebingungan."Ya, sudah. Lainkali izin dulu denganku kalau mau pergi keluar biarpun hanya sebentar. Dan jangan coba-coba pergi lagi jika belum dapat izin dariku walaupun, kau sudah bilang pada mamah ataupun papah.""Kenapa begitu?" tanya Rachel seketika."Itu aturan pertama yang harus kau patuhi," ucap Dave terdengar serius.Rachel memandang wajah Dave dengan tatapan tidak percaya."Kenapa menatapku begitu? Kau mau protes?" tanya Dave seketika saat menyadari tatapan mata Rachel."Tidak. Aku hanya heran saja. Mengapa aku harus menunggu izin darimu dulu disaat izin dari mamah sudah kudapatkan. Bukannya sama saja ya. Merepotkan sekali," ujar Rachel menyuarakan pemikirannya."Apa kau bilang? Merepotkan?" geram Dave seketika.Rachel mengangguk pelan sembari melirik ke arah Dave yang tengah menatapnya tajam.Seketika Dave menyudutkan Rachel ke tembok. Kedua mata mereka saling menatap tajam satu sama lain.BERSAMBUNG...Terima kasih sudah membaca cerita ini. Jangan lupavote-nya ya. Karena dukungan dari pembaca sangat berarti bagi penulis.
"Asal kau tau. Ayahmu sendiri yang menitipkan dirimu padaku. Bukan ke mamah ataupun papah. Jadi kau adalah tanggunganku sampai tiba saatnya saya mengembalikan kau ke ayahmu setelah kita bercerai nanti—""Jangan pernah coba-coba melanggar aturan yang saya buat untukmu, jika tidak mau menanggung akibatnya. Karena saya yang lebih berhak atas dirimu dari pada siapun dirumah ini," ancam Dave.Arah pandangan Dave tanpa sengaja melihat ke arah bibir Rachel.Dave mengejapkan kedua matanya, memandangi bibir merona Rachel. Seketika muncul pikiran nakalnya yang ingin mencium Rachel. Namun saat ia beralih menatap ke arah mata Rachel. Seketika Dave tersadar."Apa maksudnya itu? Kau..."Dave menghendus sebal dan pergi meninggalkan Rachel yang belum selesai berbicara."Hey, jangan pergi. Aku belum selesai bicara," teriak Rachel seketika.Teriakan Rachel tidak menghentikan langkah kaki Dave yang
Dave yang baru keluar kamar mandi, melihat Rachel tengah menatap ke bagian dadanya yang tidak tertutup handuk. "Rupanya kau sudah bangun," ucap Dave datar. Suara bass Dave seketika menyadarkan Rachel dari lamunannya. Dave mengernyitkan dahi saat melihat Rachel yang tidak juga bergeming duduk di sofa. "Kenapa masih diam disitu? Cepat mandi sana," ketus Dave mengusir Rachel ke kamar mandi. Rachel yang masih mengantuk itu, berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Dave hanya memperhatikannya dalam diam. Begitu Rachel selesai mandi, ia melihat Dave berdiri dengan lemari pakaiannya yang terbuka. Saat ini Dave telah memakai kemeja polos dan celana panjang. Namun kepalanya menoleh ke segala arah, seakan tengah mencari sesuatu. Rachel berjalan mendekatinya. "Kau cari apa? tanya Rachel menyamakan arah pandangan Dave. "Gesper hitam. Kau tidak membuang gesperku 'kan?" Rachel mende
Rachel yang tiba-tiba merasa penasaran itu, lantas menoleh ke Cindy."Dave kalau lagi kesal itu biasanya sikapnya bagaimana?" tanya Rachel manatap Cindy penuh minat."Ka Dave kalau sudah kesel pasti bakal ngomel, mengerutu terus sepanjang jalan. Pusing denger ocehannya.""Kamu sering di marahin dia juga ya.""Dirumah ini yang paling kalem cuma aku, Ka. Mamah juga sebenarnya, tapi dia kalo udah marah seremnya lebih dari papah. Ka Dave 'kan kaya papah sebenarnya gampang marah, tapi marahnya bentar doang. Jadi harap maklum ya ka."Rachel mengangguk pelan, kemudian mengajak Cindy turun ke bawah.Sesampainya mereka berdua di halaman rumah, Dave sudah berkaca pinggang di samping mobil banteng ngamuk warna hitam."Tuh 'kan, Ka. Bentar lagi bakal ngomel deh pasti," bisik Cindy di tepat telinga Rachel.Rachel dan Cindy berjalan bersamaan, mendekati Dave yang tengah be
Dave mengamati setiap lekuk wajah di hadapannya itu dengan tatapan yang sulit di artikan.Tangan Rachel tanpa sadar bergerak mengusap-usap lengan dengan mata tertutup seakan merasakan hawa dingin yang menyerang.Seketika Dave sadar selimut yang di kenakan Rachel terkesiap. Kedua tangan Dave lantas terulur menarik ujung selimut itu sampai batas pundak Rachel.Baru setelah itu Dave berjalan naik ke ranjang, memposisikan dirinya berbaring dengan nyaman.Dave menatap ke atas. Kedua matanya menerawang memandangi lama atap langit-langit kamarnya. Entah apa yang di pikirkan laki-laki berambut pirang itu pada malam hari. Lelah berkutat dengan pikirannya, perlahan mata Dave terpejam dengan sendirinya.☆☆☆Sinar mentari pagi yang menyilaukan mata tertutup, membuat Dave terbangun dari tidurnya. Ia mengerang pelan sembari meregangkan otot-otot persendiannya.Dave mengejapka
Rachel yang tadinya hendak mengambil baju dari dalam kopernya itu lantas menarik resleting koper dan menutupnya kembali.Melihat kecangungan Rachel, seketika Dave menatapnya dengan kening berkerut."Aku mau ganti baju. Kalau kamu tidak ada yang mau di bicarakan lagi. Tolong keluarlah. Aku tidak nyaman membuka koper dan memperlihatkan pakaian dalamku padamu."Mendengar perkataan Rachel, Dave lantas mengeleng sembari mendesah pelan."Ehm.. Itu.. Selama kau tinggal disini, kau yang urus dapur dan segala keperluan makan harian. Kau boleh mengunakan kartu kreditku tapi, buatlah laporan pengeluarannya tiap bulan. Saya akan menagih laporan itu tiap bulan. Jika nominalnya tidak sesuai, saya akan menuntut ganti rugi. Mengerti?" ujar Dave nampak serius.Rachel kembali mengangguk patuh."Kalau kau sudah puas melihat-lihat, cepat buatkan makanan. Batas kesabaran saya saat lapar hanya lima belas menit," uca
Rachel menoleh ke arah Dave. Bahu Rachel seketika bergetar dengan sebelah tangan menutup mulutnya sembari mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia erusaha keras menahan tawa yang ingin meledak. Dave terlihat ketakutan saat melihat wanita tengah memainkan pisau berukuran besar ditangannya. Dihadapan wanita itu nampak seekor ikan yang sesekali bergerak-gerak. Wanita itu terlihat asyik membersihkan bagian ingsang ikan. "Kau tidak suka ikan atau takut liat ikan?" bisik Rachel di telinga Dave. "Siapa yang takut? Saya hanya geli lihatnya," kata Dave sambil membalikkan badan saat wanita itu mengeluarkan bagian dalam kotoran ikan. Rachel terkekeh geli melihat ekpresi wajah Dave. "Ya, sudah. Ayo jalan. Kita cari yang lain saja," kata Rachel sambil mendorong pelan bahu Dave. Dave mengangguk, kemudian berjalan dengan kepala lurus seperti tidak ingin menoleh lagi ke arah deretan ikan segar. Mata Rachel berkeli
Setelah semua urusannya beres, Dave mengendarai mobilnya pulang kembali ke apartemen.Begitu sampai di dalam apartemen, Dave langsung berjalan menuju ke dapur dengan kedua tangannya membawa kantung-kantung plastik belanjaan tadi sore.Setelah mengeluarkan barang belanjaan, Dave lalu berjalan menuju ke kamarnya. Tepat saat itu, ia tidak sengaja melihat Rachel tergeletak di sofa.Perlahan langkah kaki Dave bergerak mendekati Rachel. Di lihatnya wanita cantik ini tengah tertidur dengan napas teratur. Dengkuran halus terdengar keluar dari mulutnya."Sudah pindah rumah tapi masih juga tidur di sofa," gumam Dave sambil mengeleng pelan.Dave lalu mengoyangkan pundak Rachel. Perlahan Rachel membuka kedua matanya. Rachel mengejapkan kedua matanya memastikan pandangan di depannya tidak salah."Dave..." panggil Rachel pelan.Rachel segera terduduk saat menyadari sosok Dave tengah menatap wajahnya.
Rachel menanti jawaban Dave dengan jantung berdegup. Ia berharap suaminya mengiyakan saja perkataannya."Tidak. Biasa saja. Tidak ada yang spesial dari masakanmu," kata Dave dengan wajah datar.Hati Rachel seketika mencelos mendengar jawaban Dave. Sejujurnya ia ingin mendengar pujian— dari lelaki yang kini telah jadi suaminya— akan masakannya. Namun ternyata harapannya terlalu tinggi.Padahal kalau dilihat dari gelagat Dave yang dari tadi makan dengan lahap, seharusnya lelaki itu tidak akan berbicara begitu. Dalam hati Rachel beranggapan, mungkin Dave hanya malu mengakui kelezatan masakannya."Tidak enak tapi malah mau nambah," sindir Rachel tanpa sadar mengerucutkan bibirnya.Dave menoleh."Ini hanya karena saya lagi lapar," kelitnya sembari mengambil nasi."Iya deh. Terserah kamu saja. Masakanku bisa cocok sama lidahmu saja, aku udah senang. Tidak apa-apa juga kalau tidak e
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin