Beranda / Romansa / Istri Dadakan si Dosen Tampan / Part 2 - Tak Disangka-Sangka

Share

Part 2 - Tak Disangka-Sangka

Penulis: Kharamiza
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-25 22:00:14

Bodo amat dikira stress sama mereka.

Toh, aku memang sudah hampir gila gara-gara dosen sialan itu.

Pak Ezar benar-benar tak punya hati. Padahal, dia sendiri yang janji hari ini. Tapi, malah membatalkan dengan alasan urusan pribadinya. Sepenting apa memang urusannya? Dipikir aku juga tidak punya urusan apa?

Aku sampai mengambil libur lebih awal demi bertemu dengannya. Tapi, nyatanya apa? Dosen PHP. Omongannya pedas dan lurus, tapi tidak bisa dipercaya.

Tak habis thinking dengan Pak Ezar yang menentukan dan membatalkan janji seenak udelnya.

“Gue sumpahin, dosen sialan itu jodohnya jauh,” ucapku kesal.

Sadar tak ada yang bisa dilakukan, kupilih tetap keluar dari kos dan menuju rumah saja.

*****

“Assalamualaikum,” ucapku yang langsung masuk rumah karena pintunya tak tertutup.

Hanya saja, tak ada satu pun yang menjawab.

‘Ke mana perginya orang rumah?’ batinku bingung.

Biasanya, mereka akan menyambut di teras kalau tahu aku akan datang.

Apa mungkin mereka sedang sibuk berkutat di dapur karena besok lebaran?

Kulangkahkan kaki masuk. Namun, begitu tiba di ruang tamu, aku terpana dan sedikit terkejut melihat tampilan rumah yang sudah didekorasi warna putih campur ungu dengan tambahan bunga-bunga.

Walaupun terlihat belum selesai, tapi bisa kutebak kalau dekorasinya persis dekorasi kawinan.

Jujur ... perasaanku mulai tak enak.

“Ibu, Bapak, aku pulang!” teriakku berharap mereka keluar. Namun, masih juga tak tampak batang hidungnya.

“Pada ke mana sih siang-siang begini?” Aku mengerucutkan bibir kesal, kemudian duduk dan meletakkan barang bawaan di meja.

Beberapa saat kemudian, pintu kamar adikku terbuka. Naila yang berusia 16 tahun itu keluar dengan daster melekat di tubuhnya yang bongsor. Dari raut wajah, sepertinya dia baru bangun tidur.

“Eh, udah datang, Teh Asha?” tanyanya sembari menghampiri dan mencium tanganku dengan takzim.

“Bapak sama Ibu ke mana, dek?”

“Bapak sama Ibu lagi ke pasar. Ada keperluan yang belum kebeli katanya.”

Aku manggut-manggut mendengar pernyataannya yang tanpa kutanya sudah menjawab rasa penasaran sedari tadi.

Tak lama, kuberikan paper bag warna pink bergambar princes yang kubawa tadi padanya. “Buat kamu.”

“Apa ini, Teh?”

“Liat aja. Kalau gak mau, bisa dibalikin,” jawabku kemudian bangkit menenteng tas hendak menuju kamar.

“Mau, dong. Itu paper bag yang dua buat Naila juga, Teh?” tanyanya saat aku sudah membuka kamar.

“Dih, maruk. Punya Agam yang warna biru, warna kuning punya Ibu sama Bapak.”

Setelah meletakkan tas di kasur dan membuka sepatu. Aku keluar lagi karena mengingat sesuatu.

Ada keganjalan batin yang harus kutanyakan pada Naila.

Sayangnya, anak itu sudah tak ada di ruang tamu! Jadi, aku gegas masuk ke kamarnya tanpa izin.

“Suka gak bajunya?” tanyaku mengutas senyum melihat dia tengah mencoba baju pemberianku di depan cermin.

“Suka. Teteh mah paling tau yang pas buat Naila. Terima kasih ya, Tetehku tersayang.” Naila spontan memelukku, membuat tubuh ini terasa terhimpit. Nyaris susah bernapas.

“Iya, gak usah lebay.”

Naila mengerucutkan bibir kesal. Tentu, membuat tanganku tak bisa tinggal diam untuk mencubit pipinya yang gemoy.

“Oh, iya. Dek, rumah kenapa banyak dekor-dekor macam mau kawinan segala, ya?”

Kulihat Naila mengangkat alis. “Loh, emang Teteh gak tau? Bukannya, Ibu ada bilang sesuatu ke Teteh?”

Aku mengernyit. “Ada. Soal perjodohan dan pertunangan H+3 lebaran kan? Tapi kan cuma pertunangan, ngapain itu sampe dekor-dekor begitu?”

“Lah? Teh ... pekan lalu keluarganya calon suami Teteh datang ke rumah. Dia minta pertunangan Teteh nanti sudah sekaligus dengan akad, mumpung mereka sedang cuti lebaran barengan. Ibu dan Bapak setuju, karena Teteh juga liburnya susah diprediksi.”

“Bahkan, dekorasi dan segala macam mereka yang urus, Teh.”

“HAH?!” pekikku melotot tajam. Nyaris saja bola mata loncat keluar.

Cobaan apa lagi ini?

Mengapa alur hidupku benar-benar tak bisa ditebak? Semesta agaknya doyan sekali bercanda dengan mentalku yang sangat rapuh ini.

Setelahnya, aku langsung memilih menuju kamarku.

Cukup lama, aku terpaku dalam keheningan.

“Bukan lamaran, tapi nikahan?” lirihku tak percaya.

Tok tok tok!

“Makan dulu, Neng. Kata Naila, kamu belum makan semenjak pulang tadi,” ujar Ibu lembut setelah mengetuk pintu kamarku.

Seketika, aku sadar dari lamunan. “Belum pengen, Bu. Dalam kondisi seperti ini rasanya sudah gak punya semangat hidup lagi.”

“Eh, bicara apa sih kamu ini? Jangan ngomong gitu, pamali tau ah.”

Aku menghela napas berat. Pandanganku masih fokus keluar jendela.

“Kemarin waktu nelepon, Ibu bilang hanya lamaran, tapi kenapa jadinya akad juga, Bu? Ibu ngedekor rumah, padahal Neng sendiri gak tau mau nikah. Neng syok saat lihat semuanya, Ibu tau?”

Aku mengeluarkan unek-unek pada Ibu.

Sepekan yang lalu, Ibu memang sempat menelepon dan menagih janjiku untuk bertemu dengan calon mantu idamannya. Tapi, aku tak bisa menepatinya. Sibuk menjadi alasan paling utama agar tak didesak. Aku merasa, ide mereka menjodohkanku sangat konyol.

Walaupun begitu, aku yang males didesak, akhirnya menerima perjodohan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Toh, Ibu bilang kami akan tunangan.

Taunya, malah sekalian dengan akad?!

“Ibu hanya ingin kamu bahagia, Neng. Maafkan Ibu karena tak memberitahu lebih awal,” ujar Ibu mengusap lembut rambutku.

“Bersama Ibu, Bapak, Naila, dan Agam sudah cukup membuat Neng bahagia. Ibu tau kan, Neng selalu tak bisa untuk terlalu percaya pada orang baru, apalagi sama laki-laki,” tuturku sesekali masih terisak pilu. “Apa Ibu sudah gak mau merawat Neng?”

Ibu tak langsung menjawab. Ia melepaskan pelukan di antara kami, lalu menangkup wajahku. “Kenapa Neng berpikiran seperti itu? Ibu sudah anggap Neng anak sendiri. Ibu benar-benar tidak ada maksud apa-apa dari perjodohan ini. Ibu hanya ingin Neng bahagia dan gak takut lagi dengan kehidupan pernikahan,” jelas Ibu. “Cepat atau lambat, Neng juga akan menikah. Mau sampai kapan tak mau buka hati sama laki-laki?”

Tatapan wanita yang sebenarnya istri pamanku itu begitu dalam dan penuh kasih.

Aku sampai tak bisa berkata-kata pada wanita yang sudah membesarkanku di saat ayah dan ibu kandungku memilih berpisah dengan cara yang menyakitkan.

“Cinta bisa tumbuh setelah pernikahan, Neng,” tambahnya lagi.

Aku memilih diam.

Mau menolak pun, tak akan ada gunanya.

Keputusan ini sudah final.

Tentu, aku tak akan pernah bisa membantah perkataan Ibu, maupun Bapak.

“Baiklah,” ucapku pada akhirnya, “hanya saja, jika Neng memilih menyerah, pintu rumah ini selalu terbuka ‘kan untuk Neng?”

Ibu mengangguk cepat. “Pasti, Neng. Ini rumahmu dan akan tetap jadi rumahmu. Ibu dan Bapak juga akan terus berdoa untuk kebahagiaan Neng.”

Aku memejamkan mata sebentar, merasakan punggung diusap pelan oleh Ibu.

Sejatinya, aku bisa saja membatalkan pernikahan tanpa rencana ini jika mau.

Maksudku, kabur dari rumah mungkin bisa dijadikan sebuah solusi.

Namun, aku tak mau membuat Ibu dan Bapak kecewa.

Aku juga tidak mau mengorbankan Naila. Takut jika kabur, gadis itu malah nekat menjadi pengantin pengganti seperti di novel-novel yang pernah kubaca.

“Ayah tau kalau Neng akan menikah, Bu?” tanyaku memecah keheningan.

“Iya, Neng. kemarin Bapak menghubunginya.”

Keningku berkerut. “Berarti Ayah datang?”

Tak biasanya, pria itu peduli dengan kehidupanku.

Seketika Ibu menggeleng pelan. Raut wajahnya berubah datar. “Dia tak bisa datang, Neng. Ayahmu sekarang kerja di Kalimantan. Dia baru saja bekerja, jadi belum bisa ambil cuti. Tapi, nanti dia bakal Video Call saat akad untuk menyerahkan wali nikah ke Bapak, kok.”

Aku mengangguk dan menyeringai tipis. Sudah kuduga kejadiannya akan seperti itu.“Oh, Neng juga tak berharap dia datang, Bu.”

“Hus. Jangan ngomong gitu. Gak baik. Mau bagaimanapun juga, dia ayahnya Neng.”

“Iya, Bu, iya. Neng selalu tak bisa membantah kalau sudah Ibu yang ngomong.”

Ibu mencubit pipiku gemas. “Ayo makan dulu, Neng.”

“Nanti dulu, Bu. Masih kenyang,” kataku berbohong. Padahal, hanya tak mood.

“Kenyang dari mana? Dari tadi belum makan. Lihat Neng makin kurus, itu efek makan gak teratur. Lama-lama tubuh Neng persis cacing kelaparan. Sudah kalah gede sama Naila.”

“Beban mikirin skripsi yang gak ada habisnya. Bikin mumet, Bu.”

“Nanti abis nikah, minta bantuan sama suami. Dia juga dosen. Mestinya bisa bantu Neng selesai cepat.”

Aku berdehem panjang. Sebelumnya Ibu memang pernah bilang kalau calon mantu idamannya itu seorang dosen.

Jadi ingat Pak Ezar—dosen sialan yang lebih rumit dari cewek PMS.

“Semoga aja gak kayak dospem Neng di kampus, Bu. Punya hati, tapi kayaknya gak dipake.”

“Haih, kebiasaan ngatain orang. Jangan gitu, ah.”

“Maaf, Bu. Lidah Neng suka keseleo.” Aku terkekeh pelan. “Bu, emang pria yang dijodohin dengan Neng namanya siapa?”

Aku mengernyit penasaran. Lucu aja, sudah mau nikah tapi sampai sekarang tak tahu nama calon suami sendiri. Ah, jangankan namanya. Rupanya saja belum tahu.

“Kemarin Ibu suruh Neng ketemu sama orangnya buat kenalan, tapi Neng gak temuin. Sekarang baru penasaran. Pokoknya, lihat nanti aja, ya”

Mendengar godaan ibu, aku tercengang.

Tapi, apalagi yang bisa kulakukan?

Jadi, di sinilah aku mengikuti alur.

Setelah mengikuti perayaan Idul Adha, aku memilih di kamar seorang diri dan menenangkan pikiran yang tengah perang.

Ibu dan Bapak sendiri masih silaturahmi dengan tetangga. Naila dan Agam entahlah ke mana mereka batang hidungnya tak nampak.

Namun, aku tiba-tiba merasa penasaran dengan model calon suami yang sampai saat ini belum kuketahui seperti apa rupanya.

Tidak mau munafik, aku berharap wujudnya tak burik-burik amat.

Paling tidak, nanti kalau disakiti cukup hati yang sakit, mata tak perlu ikutan sakit.

‘Ah, kenapa gak gue buka aja foto yang dikirim Ibu waktu itu?’

Aku meraih ponsel dan membuka room chat Ibu.

Sebelum menerima perjodohan konyol ini, sebenarnya Ibu sudah mengirimkan foto beserta kontaknya. Namun, aku enggan untuk membuka ataupun menghubungi.

Gegas aku menggulir sedikit demi sedikit layar ponsel.

Sampai pada sebuah foto yang membuat mata ini seketika melebar.

‘Tidak, aku pasti salah lihat. Tadi, aku sedang berhalusinasi kan? Iya kan?’

Segera kupperhatikan baik-baik foto pria yang konon adalah calon suamiku.

Hanya saja …fotonya tak berubah.

“Astaga! Pak Ezar?!” pekikku terkejut.

Bab terkait

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 3 - Tak Mau

    Buru-buru aku bangkit dari posisi tengkurap. Berlari cepat ke luar kamar dengan niat menemui Ibu. “Ibu!” teriakku. “Apa, Neng?” tanyanya dari arah dapur. Aku menghampirinya dan menggenggam lengannya erat-erat seakan butuh pertolongan. “Bu, aku ... Neng gak mau nikah sama orang itu,” ucapku cepat. “Ibu boleh deh cari calon lain, Neng bakal terima. Asal tidak dengan dia.” “Pliss, Bu. Neng gak mau.” “Kenapa, Neng? Kemarin bilang mau?” Ibu bertanya dengan santainya. “Iya, tapi kemarin Neng belum tau orangnya. Bu, batalkan aja, ya.” Sengaja, aku menyipitkan mata penuh permohonan. Berharap empati dan sedikit iba dari Ibu. “Oh sekarang udah lihat? Tampan kan orangnya? Dari foto aja keliatan perkasa begitu, apalagi aslinya. Percaya sama Ibu, Neng akan bahagia bersamanya.” “Ibu apa-apaan sih, ah.” Aku menggerutu sebal. Ini bagaimana konsepnya? Apa hubungannya foto sama perkasa? “Gak ada pembatalan,” pungkas Ibu. “Pernikahan bukan barang orderan.” Detik kemudian, suara deru kendaraa

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-26
  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 4 - Galak!

    Aku menghela napas panjang. “Saya sudah usaha, Pak. Tapi hasilnya nihil. Kalau Bapak bisa membujuk orang tua untuk membatalkan, silakan,” tantangku. Pak Ezar semakin mengeratkan cengkramannya. Ia mengerang frustasi dengan wajah yang kian didekatkan padaku. Tatapannya mengintimidasi. Bahkan, boleh jadi siapa pun yang melihat kami sekarang mengira akan berciuman. Aku tak bisa bergerak banyak dalam situasi seperti ini. Menelan ludah pun rasanya susah payah. Sepertinya, Pak Ezar sengaja menekanku agar aku mengubah keputusan pernikahan yang akan berlangsung 2 hari lagi. Sialnya, akan tak semudah itu. Aku juga berada di situasi rumit. “Aezar, Asha! Astagfirullah ... belum waktunya kalian melakukan itu atuh.” Mendengar itu, aku dan Pak Ezar menoleh bersamaan ke arah suara yang terdengar panik. Di teras rumah, sudah ada Tante Ola yang histeris melihat kami nyaris tak berjarak. Tuh, kan. Aku bilang juga apa? Siapa pun yang melihat akan salah paham. Pasti Tante Ola sudah mengira kami a

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-27
  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 5 - Malam Pertama

    Semakin lama suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar kian meresahkan, terlebih gagang pintu juga sedikit bergerak seperti hendak dibuka. Jadi herman, kenapa tak memanggilku saja kalau ada keperluan di kamar ini? Ya kali, mau langsung nyosor masuk. Apa mereka tak berpikir bagaimananya kalau saat pintu dibuka aku atau mungkin Pak Ezar yang sedang ganti pakaian? Sangat tidak lucu, kalau dipergoki setengah telanjang. “Buka bajumu!” titah Pak Ezar sedikit berbisik, tapi penuh penekanan. “Hah?” Aku tak mengerti maksud ucapannya. ‘Enak saja suruh buka baju, dipikir gue cewek apaan?’ “Cepetan buka!” “Bapak mau ngapain saya?” tanyaku yang lantas menyilangkan tangan di depan dada. Berlagak bak gadis polos yang akan digagahi secara paksa. Pak Ezar mengusap wajah gusar. Sejurus kemudian, ia mengangkat kakiku naik ke ranjang dan sedikit mendorong tubuh ini hingga sedikit terbanting. Dia menarik ujung bajuku dan memaksa untuk mengeluarkannya. Sementara aku, meronta dan terus memukul tangan

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-28
  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 6 - Jadi Istri Orang

    Walaupun pernikahan kami cukup mendadak, tetapi aku sudah bertekad untuk menghormati pernikahan ini. Singkatnya, tak pernah terbesit niat di hati untuk mempermainkan pernikahan. Bagaimanapun juga, aku dan Pak Ezar sah secara agama ataupun negara, meskipun acara nikahannya tak terlalu mewah. Konon kabarnya, resepsi gedenya bakal diadakan setelah aku lulus. ‘Halah, proposal aja masih mutar-mutar di tempat. Belum skripsinya. Alamat nambahin beban ini.’ Aku pun pasti melakukan kewajiban sebagai istri—dengan catatan bukan kewajiban ’skidipapap’ karena jika itu jujur saja aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Bukan mau durhaka sama suami, tapi sekamar dengannya saja masih bikin terkaget-kaget. Selebihnya, aku akan menghormati suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Aku tak berniat untuk mengakhiri pernikahan, tetapi jika suatu saat Pak Ezar yang menginginkan perpisahan atau sikapnya yang seakan-akan meminta pergi, maka dengan senang hati aku pasti beranjak. Menyangkut pri

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-10
  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 7 - Nge-date?

    Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku. Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal. Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya. Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi? Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang. Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh. Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak? Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus me

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-12
  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 8 - Tiga Serangkai

    Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya. “Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”‘Ponakan?’Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya? Aku mengernyit tanpa kata. Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu? “Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.” Deg! Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar. Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu. Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah. Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda. Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati. “Manda, pacarnya Aezar,” kat

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-01
  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 9 - Nafkah?

    ‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai. Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar. “Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku. Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika. Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda. “Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetap

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-01
  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 10 - Jalangkung

    Aku memasuki gedung kampus dengan langkah terburu-buru dan langsung melipir ke ruangan Pak Ezar. Hari ini, aku akan menemuinya kembali untuk konsultasi proposal yang tertunda pekan lalu. Namun, nyatanya setiba di sana, ruangannya masih tertutup rapat. Lampunya juga belum menyala. Artinya, Pak Ezar belum datang.Bukankah saat kuhubungi tadi ia bilang akan tiba di kampus pukul 9:30?Sekarang sudah pukul 10, tapi dia belum datang. Padahal, dia tipikal dosen yang disiplin. Satu detiknya terlalu berharga. Biasanya juga suka marah-marah kalau mahasiswa datang terlambat. Aku pernah jadi korbannya!Sesaat, aku mengembuskan napas berat dan memilih duduk di kursi depan ruangannya. ‘Di rumah ketemunya gampang, sekali di kampus malah ngilang.’Ah, seandainya Pak Ezar mau diajak diskusi pas di rumah saja. Sayangnya, walaupun sudah jadi suami, agaknya dia tak mau sedikit saja memban

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-03

Bab terbaru

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 140 - I Love You, Pak Dosen! (END)

    Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 139 - Afgan KW?

    Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 138 - Senandung Rembulan

    Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 137 - Grand Opening Fadhgam Resto

    “Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 136 - Wanita dan Sepak Bola?

    Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 135 - Gak Ada Hidup yang Mulus!

    “Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 134 - Mika Hidup?

    Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 133 - Melongok Baby Sagara

    Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 132 - Euforia Wisuda

    Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.

DMCA.com Protection Status