Aku memasuki gedung kampus dengan langkah terburu-buru dan langsung melipir ke ruangan Pak Ezar.
Hari ini, aku akan menemuinya kembali untuk konsultasi proposal yang tertunda pekan lalu.Namun, nyatanya setiba di sana, ruangannya masih tertutup rapat.Lampunya juga belum menyala. Artinya, Pak Ezar belum datang.Bukankah saat kuhubungi tadi ia bilang akan tiba di kampus pukul 9:30?Sekarang sudah pukul 10, tapi dia belum datang.Padahal, dia tipikal dosen yang disiplin. Satu detiknya terlalu berharga.Biasanya juga suka marah-marah kalau mahasiswa datang terlambat.Aku pernah jadi korbannya!Sesaat, aku mengembuskan napas berat dan memilih duduk di kursi depan ruangannya.‘Di rumah ketemunya gampang, sekali di kampus malah ngilang.’Ah, seandainya Pak Ezar mau diajak diskusi pas di rumah saja.Sayangnya, walaupun sudah jadi suami, agaknya dia tak mau sedikit saja memban“Eh, ada si Ukhti juga,” ucapnya tersenyum ke arah Vina. “Sha, lu kenapa sih gak pernah ngerespons deem gue?” tanyanya padaku. “Jangankan direspons, kayaknya itu deem gue di ig betah banget nangkring di fitur permintaan.”“Gue lagi gak ada waktu buat buka-buka deem,” ucapku dengan nada judes. “Sha, tau gak? Lu kalo judes-judes gitu makin bikin hati gue ketar-ketir berasa pengen langsung seret ke KUA.”‘Dasar playboy cap kadal!’ makiku dalam batin.“Astagfirullah. Kak Fadly, Asha udah—” Belum sempat Vina melanjutkan ucapannya, aku sigap mencubit pinggangnya disertai dengan delikan judes. Untungnya, dia langsung sadar dan paham sehingga mengunci mulut.“Udah apa, Vin?”“Udah gak usah bucin mulu. Kelarin itu kuliah lu yang gak kelar-kelar.”“Gue masih betah di kampus, selagi masih ada Asha yang menenangkan hati.”“Stress!” cibirku. “Lu yang bikin gue stress sampe segininya,
Aku masih melongo tanpa kata, berusaha menerawang jauh ke belakang sembari mencari letak tanda-tanda yang menunjukkan kalau Bu Aina dan suamiku punya hubungan darah. Astaga, apakah dunia benar-benar hanya selebar daun kelor?Sejauh mata memandang dan sepanjang perjalananku meniti karir di Aina Fashion, aku betul-betul tak tahu menahu hubungan Bu Aina dan Pak Ezar.“Kenapa pada kaget gitu?” Bu Aina melihatku dan Vina bergantian. Aku menggeleng pelan, seolah kehabisan kata-kata menerima kenyataan. Padahal, sebenarnya ada banyak tanya yang terbesit dalam hati. Untung saja, kami tak pernah mereview perilaku dosen galak itu di hadapan Bu Aina.“Bu, Asha doang yang dikasi kado? Kami berdua nggak?” protes Mika. “Nikah dulu, baru Ibu kasih juga.”“Nikah, Vin.”“Dih, kamu aja yang duluan. Kamu kan lebih tua sebulan dari aku,” sanggah Vina. “Si Asha aja lebih muda setahun dari kita udah nikung duluan.”“Ya kan udah jodohnya.”Aku memijat kening mendengar dua cewek cantik itu sedang adu mu
Keesokan harinya, aku dan Pak Ezar mengunjungi rumah orang tuanya.Ini kali pertama aku bertandang ke rumah mertua. Jujur saja, rasanya cukup gugup. Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, mobil Pak Ezar memasuki halaman rumah yang sangat luas. Bisa kutebak ini adalah rumah mertuaku. Hamparan rumput hijau terawat dan air mancur di halaman depan menambah keindahan rumah yang tak kalah besar dari rumahnya Pak Ezar. ‘Mimpi apa gue nikah sama sultan?’Aku turun dari mobil lebih dulu dan mendapati Bunda Ola sudah berdiri di teras sambil tersenyum ke arah kami. Dengan takzim, aku mencium tangannya memberi penghormatan. Dia juga menarikku ke dalam pelukannya seakan baru saja bertemu dengan putrinya yang pulang dari rantauan. Entah mengapa, perlakuan Bunda Ola yang sangat manis membuatku seperti tengah melihat Mama yang kembali.Seandainya, Pak Ezar juga begitu. Ah, memangnya apa yang kau harapan darinya, Asha? Jangan terlalu banyak berkhayal. Perbanyaklah sadar diri. “Bag
Upaya pendekatanku dengan Pak Ezar tampaknya memang agak butuh perjuangan. Hatinya barangkali benar-benar sudah terkunci untuk satu orang wanita yang sangat dicintainya. Setidaknya, aku merasa kesulitan mendapat kesempatan untuk memperbaiki hubungan pernikahan kami. Apalagi, semenjak kejadian di rumah orang tuanya, ia bahkan tak banyak berbicara padaku.Entahlah, padahal aku sendiri hanya mengikuti permainannya yang ingin kami terlihat baik-baik saja di depan keluarga.Lagian, aku tak terlalu berlebihan, kok? Hanya sebatas memanggil ’sayang’, apa salahnya?Akan tetapi, bukan Asha namanya kalau menyerah. Walaupun mungkin suatu hari nanti aku mengalah, tetapi saat ini entah dorongan dari mana sehingga aku seakan tak rela melepas pernikahan ini begitu saja.Jujur, aku dapat merasakan kehangatan di keluarga suamiku. ‘Kalau memang tak dapat hatinya Pak Ezar, minimal bisa menjungkirbalikkan jantungnya. H
Pandangan kami bertemu cukup lama menciptakan getaran aneh dalam tubuh ini. Jantung berpacu dengan kecepatan maksimal. Tetapi napasku justru seperti terhenti di saat tubuh kian membeku.Aku meneguk ludah susah payah, memandangi wajah dosen yang meskipun galak tetap menjadi pemegang tahta tertinggi idola cewek-cewek di kampus.Alisnya yang tebal, mata yang sedikit sipit tapi sekali menatap bikin nyali menciut. Hidungnya, bibirnya, dagunya ... paras yang sempurna.Ah, jadi membayangkan kalau ... Tidak-tidak!Rambut basahnya tiba-tiba menitikkan air tepat di pipiku, tetapi yang dingin malah hatiku. Menyadari kami sudah tak berjarak, aku mendorong dadanya yang telanjang agar berpindah dari atasku. Jujur, aku kesusahan bernapas.“Aduh!” ringisku merasakan bokong yang sakit begitu berhasil duduk. Untungnya, karena tadi Pak Ezar melindungi kepala ini dengan tangannya saat kami terjatuh. Seenggaknya terhindar dari geger otak.Aku melihat Pak Ezar gelagapan tampak salah tingkah. Kini ia me
Aku melambaikan tangan ketika mobil Pak Ezar mulai melaju. Ia membalas, tak lupa menebarkan senyuman yang bikin hati jungkir balik. Tuhan, senyumnya manis sekali! Sayangnya, dia jarang senyum dan lebih betah dengan wajah galaknya. Jadi tak sabar menunggu kepulangannya di hari Minggu. Ah, Asha! Kamu gimana sih? Dia baru saja pergi, malah sudah menunggunya pulang. Kau benar-benar aneh sekarang!“Duh, senyum-senyum. Orang kalau jatuh cinta gini, nih,” sindir Ibu mertua. Senyumku yang tadi mengambang, memudar perlahan menyadari Ibu mertua sedari tadi bersamaku.Astaga. Bisa-bisanya aku melupakan keberadaannya? Apa aku benaran jatuh cinta? Tapi, masa secepat itu? Tidak ada angin, hujan juga belum turun, masa iya semudah itu aku jatuh cinta? Memangnya hatiku terbuat dari apa? Kok, mudah sekali goyah?‘Gak, ah! Kalaupun iya sejak kapan?’‘Masa gue jatuh cinta sendirian?’“Bunda apa-apaan, ih,” gerutuku sebal. Bunda Ola terkekeh. “Jatuh cinta pada suami ... halal kok, Sayang. Memang s
Setidaknya, mataku menghangat dalam seketika. Aku tak bisa berkata-kata, tetapi cukup mampu menyunggingkan senyum tipis di atas luka.Kenyataan yang baru saja disuguhkan semesta kuakui sedikit membuat terluka. Padahal semangat api perjuangan baru berkobar, tetapi sekejap saja dipadamkan menyisakan bara yang masih berasap. Semula, aku mengaku tak cemburu. Tetapi, tidak dengan sekarang. Aku cemburu, tapi ada hak apa aku padanya? Bahkan, hatinya saja belum menjadi milikku.“Udahlah, biarkan aja,” ujarku. Nyatanya, berlagak bodo amat pun tidak bisa menjamin hati tak sakit. “Minimal hargai istri sah,” cetus Mika. KREK!Spontan, aku menoleh ke arah sumber suara. Betapa kagetnya melihat Mika meremas kasar lembaran proposalku yang terlapisi dengan map plastik. “Maaf, Mbak. Proposal gue terlalu berharga,” kataku menarik pelan tumpukan kertas itu. Begitu sadar hampir merusak barang pentingku, Mika menyeringai tipis. Dari raut wajahnya terlihat tak ada sedikit saja raut bersalah. “Erosi
Mika menatapku penuh emosi. Seenggaknya aku melihat ia salah tingkah. Tapi tak lama, napasnya berembus kasar. “Skip! Balik ke Vina,” katanya malas. Selalu saja begitu, dia mengalihkan pembicaraan jika pembahasan sudah merujuk pada kisah cintanya yang abu-abu.“Orangnya baik gak Vin? Gak kasar?” tanyaku. “Baik. Aku pernah beberapa kali ngobrol dengannya,” jawab Vina.“Seharusnya kalau lu udah tau gimana-gimananya dia, lu bukan butuh mau apa gaknya lagi sama dia, tapi lu butuh yakinin diri untuk sama dia. Ikutin kata hati lu aja maunya gimana,” ujar Mika.“Ya deh. Aku harus salat istikharah.”Seketika itu Mika memukul pahaku. “Nah. Harusnya lu kemarin juga salat istikharah, Sha.” “Jangankan salat istikharah. Gue napas aja belum sempat udah keburu nikah aja.”Mika tertawa terbahak-bahak seakan memang senang banget temannya berada di situasi yang bikin jumpalitan. “Menari-nari di atas penderit
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.