Aku menghela napas panjang. “Saya sudah usaha, Pak. Tapi hasilnya nihil. Kalau Bapak bisa membujuk orang tua untuk membatalkan, silakan,” tantangku.
Pak Ezar semakin mengeratkan cengkramannya.Ia mengerang frustasi dengan wajah yang kian didekatkan padaku. Tatapannya mengintimidasi. Bahkan, boleh jadi siapa pun yang melihat kami sekarang mengira akan berciuman.Aku tak bisa bergerak banyak dalam situasi seperti ini. Menelan ludah pun rasanya susah payah.Sepertinya, Pak Ezar sengaja menekanku agar aku mengubah keputusan pernikahan yang akan berlangsung 2 hari lagi.Sialnya, akan tak semudah itu. Aku juga berada di situasi rumit.“Aezar, Asha! Astagfirullah ... belum waktunya kalian melakukan itu atuh.”Mendengar itu, aku dan Pak Ezar menoleh bersamaan ke arah suara yang terdengar panik.Di teras rumah, sudah ada Tante Ola yang histeris melihat kami nyaris tak berjarak.Tuh, kan. Aku bilang juga apa? Siapa pun yang melihat akan salah paham. Pasti Tante Ola sudah mengira kami akan lepas kontrol.“Pak lepasin.” Aku mencoba melepaskan tangan dari cekalan Pak Ezar, tapi ia seakan enggan untuk melepaskan.Entah sedang panik dengan kehadiran ibunya sehingga dia lupa melepaskanku atau mungkin tangan ini punya pelet yang membuatnya betah menggenggam?“Ada apa, La?” Kudengar suara Ibu bertanya pada Tante Ola. Seketika membuatku semakin panik.Tidak lucu, kalau Ibu juga sampai melihatku seperti ini. Dia akan mem-bully siang malam. Barangkali dikatain gak tahan lihat body dosen galak ini yang perkasa.Tadi saja sudah mulai menggodaku.Perkasa dari mana? Malah yang ada kaku persis kanebo kering.Segera saja kuinjak kaki Pak Ezar dengan keras.“Aw!” Dia sontak merintih kesakitan, tapi tak kupedulikan.Setelahnya, aku berlari menghampiri Tante Ola dan Ibu yang saling berpandangan sembari bergelung dengan pikiran masing-masing.*****“Saya terima nikah dan kawinnya Asha Fredella binti Jian Prasaya dengan mas kawin tersebut tunai.”Dengan satu tarikan napas, Pak Ezar mengucapkan kalimat sakral di depan keluarga dan tamu undangan yang hadir. Ucapannya begitu lugas seolah tak terbebani sedikit pun.Padahal, sebelum sampai pada hari ini kami sempat melakukan tawar menawar dengan keluarga untuk membatalkan perjodohan atau minimal menunda pernikahan.Kami mengaku belum cocok dan akan melakukan pendekatan lebih lama, tapi Tante Ola langsung menolak.Bagi Tante Ola, maksudku Bunda Ola—aku dan putranya sudah sama-sama tak bisa menahan naluri orang dewasa dan harus segera untuk ditunaikan sebelum terjadi hal-hal tak diinginkan.Tak terasa, kami berlanjut pada prosesi selanjutnya.Pak Ezar menyematkan cincin di jari manisku. Lantas, mencium kening dengan perasaan yang kutahu sangat berat untuk dilakukan.Namun, karena menghormati orang tua, jadi ia terpaksa melakukannya.Sepanjang duduk di singgasana pelaminan, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Pak Ezar. Tersenyum pun jika hanya ada tamu yang menegurnya dengan sebuah candaan.Aku sangat mengerti posisinya yang tak mengharapkan pernikahan ini, tapi aku pun demikian sungguh tak menginginkan pernikahan ini terjadi.****‘Ini benaran gue udah jadi istri?’Saat malam tiba, Pak Ezar masuk ke kamar dengan wajah kusut bak kebanyakan tekanan. Aku yang duduk di kasur hanya bisa melirik sesekali menghela napas berat.Masih tak bisa kubayangkan, jika dosen paling ngeselin yang membuat mentalku diaduk-aduk selama menjadi mahasiswa akhir benar-benar sudah bergelar suamiku.Entah bagaimana tanggapan anak-anak di kampus kalau tau hal ini?“Sha, saya mau mandi. Ada handuk gak?” tanyanya cuek.Aku yang semula mengutak-atik ponsel melihatnya sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. Aku selalu tak bisa menatap mata orang lama-lama.“Sebentar.” Aku bangkit menuju lemari dan mengambilkan handuk baru yang sudah disiapkan Ibu di sana. “Ini, Pak.“Pak Ezar melongos pergi ketika sudah mengambil handuk dariku.Oh my Allah. Selain galak dan kejam, rupanya dia benar-benar titisan kanebo.Beberapa saat kemudian, dia sudah keluar kamar mandi. Sialnya, karena penampilannya yang tak biasa membuatku terperangah. Ia keluar hanya dengan handuk melilit di pinggang. Hal itu pun membuat perut kotaknya yang tak berbentuk-bentuk amat terekspos sempurna.Aku memalingkan pandangan dan pura-pura sibuk pada ponsel seraya menetralkan detakan jantung melihat pemandangan asing itu.Astaga, tidak bisakah dia untuk mengenakan baju di kamar mandi saja?“Kamu libur berapa hari?” tanyanya mulai mengenakan baju yang diambil dari kopernya.“Tinggal dua hari lagi,” jawabku.“Oh, baguslah. Artinya kamu gak keberatan kalau besok sore kita pulang ke Jakarta.”Aku bergeming sesaat. Mencerna kalimatnya. Maksudnya, dia akan membawaku bersamanya begitu?Haih, Asha ... Asha, dia sekarang suamimu, jadi semestinya memang kamu ikut bersamanya.“Bapak kalau ada urusan bisa pulang duluan aja, saya pulang besoknya lagi.”“Hei, kau masih muda, apakah otakmu sudah bergeser gara-gara skripsi? Apa perlu pengobatan ke psikiater? Gak lucu kalau kita pulang terpisah, yang ada dapat ceramah sampai 7 purnama dari orang tua, kau tau?”Aku membuang napas berat, memandang punggung Pak Ezar yang tengah menjemur handuknya.Memang yang dikatakan itu ada benarnya. Tapi?“Tapi, kalau saya ikut Bapak, motor saya gimana? Emang bagasi mobil muat nyimpan motor?”‘Kok, gue ngerasa kolot banget ya?’“Astaga Asha. Benar-benar, ya. Motornya gak usah dibawa.”“Kalau gak dibawa, saya ke kampus dan ke tempat kerja pake apa, Pak?”Pak Ezar menghela napas panjang. Dia agaknya tengah frustrasi menghadapiku yang rada-rada geser. Udahlah, setidaknya aku pun sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku tim mager keluar rumah kalau jalan kaki, memang kudunya naik motor.“Odong-odong,” cibirnya. “Di rumah ada motor. Mobil juga ada. Tinggal pilih mau pake yang mana.”Eh, eh. Difasilitasi ceritanya?Pak Ezar berjalan ke arahku, membuat jantung ini semakin berpacu. Astotog, dia mau ngapain? Dia tak berniat untuk me-unboxing diriku yang unyu-unyu ini, kan?‘Aduh, otak mungil gue ternodai.’Jikapun iya, sungguh aku belum menyiapkan diri secara lahir dan batin.“Geser dikit, saya mau tidur,” katanya.“Maksudnya, tidur di kasur saya begitu? Mana boleh, Pak. Ini sempit kalau berdua. Bapak tidur aja di lantai.”“Ogah banget, kamu aja yang tidur di lantai.”“Tapi, ini kamar saya, Pak.”“Di mana-mana tuan rumah harus ngalah sama tamu. Minggir sana, saya ngantuk dan capek. Mau istirahat.”“Mimpi apa harus nikah sama sang duta dosen galak gak punya perasaan macam dia?” gerutuku.“Apa kamu bilang?”Pak Ezar berkacak pinggang di hadapanku. Detik kemudian, dia menarik lenganku agar pindah dari kasur, tetapi aku memilih bertahan meskipun susah payah karena tenaganya lebih kuat dariku.Srak! Srak!Di saat kami meributkan perkara kasur, malah terdengar suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar.Pak Ezar yang juga menyadarinya lantas menoleh ke arah pintu, lalu menatapku. Kami saling melempar pandang seolah bertanya ‘ada apa?’.Semakin lama suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar kian meresahkan, terlebih gagang pintu juga sedikit bergerak seperti hendak dibuka. Jadi herman, kenapa tak memanggilku saja kalau ada keperluan di kamar ini? Ya kali, mau langsung nyosor masuk. Apa mereka tak berpikir bagaimananya kalau saat pintu dibuka aku atau mungkin Pak Ezar yang sedang ganti pakaian? Sangat tidak lucu, kalau dipergoki setengah telanjang. “Buka bajumu!” titah Pak Ezar sedikit berbisik, tapi penuh penekanan. “Hah?” Aku tak mengerti maksud ucapannya. ‘Enak saja suruh buka baju, dipikir gue cewek apaan?’ “Cepetan buka!” “Bapak mau ngapain saya?” tanyaku yang lantas menyilangkan tangan di depan dada. Berlagak bak gadis polos yang akan digagahi secara paksa. Pak Ezar mengusap wajah gusar. Sejurus kemudian, ia mengangkat kakiku naik ke ranjang dan sedikit mendorong tubuh ini hingga sedikit terbanting. Dia menarik ujung bajuku dan memaksa untuk mengeluarkannya. Sementara aku, meronta dan terus memukul tangan
Walaupun pernikahan kami cukup mendadak, tetapi aku sudah bertekad untuk menghormati pernikahan ini. Singkatnya, tak pernah terbesit niat di hati untuk mempermainkan pernikahan. Bagaimanapun juga, aku dan Pak Ezar sah secara agama ataupun negara, meskipun acara nikahannya tak terlalu mewah. Konon kabarnya, resepsi gedenya bakal diadakan setelah aku lulus. ‘Halah, proposal aja masih mutar-mutar di tempat. Belum skripsinya. Alamat nambahin beban ini.’ Aku pun pasti melakukan kewajiban sebagai istri—dengan catatan bukan kewajiban ’skidipapap’ karena jika itu jujur saja aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Bukan mau durhaka sama suami, tapi sekamar dengannya saja masih bikin terkaget-kaget. Selebihnya, aku akan menghormati suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Aku tak berniat untuk mengakhiri pernikahan, tetapi jika suatu saat Pak Ezar yang menginginkan perpisahan atau sikapnya yang seakan-akan meminta pergi, maka dengan senang hati aku pasti beranjak. Menyangkut pri
Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku. Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal. Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya. Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi? Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang. Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh. Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak? Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus me
Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya. “Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”‘Ponakan?’Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya? Aku mengernyit tanpa kata. Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu? “Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.” Deg! Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar. Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu. Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah. Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda. Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati. “Manda, pacarnya Aezar,” kat
‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai. Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar. “Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku. Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika. Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda. “Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetap
Aku memasuki gedung kampus dengan langkah terburu-buru dan langsung melipir ke ruangan Pak Ezar. Hari ini, aku akan menemuinya kembali untuk konsultasi proposal yang tertunda pekan lalu. Namun, nyatanya setiba di sana, ruangannya masih tertutup rapat. Lampunya juga belum menyala. Artinya, Pak Ezar belum datang.Bukankah saat kuhubungi tadi ia bilang akan tiba di kampus pukul 9:30?Sekarang sudah pukul 10, tapi dia belum datang. Padahal, dia tipikal dosen yang disiplin. Satu detiknya terlalu berharga. Biasanya juga suka marah-marah kalau mahasiswa datang terlambat. Aku pernah jadi korbannya!Sesaat, aku mengembuskan napas berat dan memilih duduk di kursi depan ruangannya. ‘Di rumah ketemunya gampang, sekali di kampus malah ngilang.’Ah, seandainya Pak Ezar mau diajak diskusi pas di rumah saja. Sayangnya, walaupun sudah jadi suami, agaknya dia tak mau sedikit saja memban
“Eh, ada si Ukhti juga,” ucapnya tersenyum ke arah Vina. “Sha, lu kenapa sih gak pernah ngerespons deem gue?” tanyanya padaku. “Jangankan direspons, kayaknya itu deem gue di ig betah banget nangkring di fitur permintaan.”“Gue lagi gak ada waktu buat buka-buka deem,” ucapku dengan nada judes. “Sha, tau gak? Lu kalo judes-judes gitu makin bikin hati gue ketar-ketir berasa pengen langsung seret ke KUA.”‘Dasar playboy cap kadal!’ makiku dalam batin.“Astagfirullah. Kak Fadly, Asha udah—” Belum sempat Vina melanjutkan ucapannya, aku sigap mencubit pinggangnya disertai dengan delikan judes. Untungnya, dia langsung sadar dan paham sehingga mengunci mulut.“Udah apa, Vin?”“Udah gak usah bucin mulu. Kelarin itu kuliah lu yang gak kelar-kelar.”“Gue masih betah di kampus, selagi masih ada Asha yang menenangkan hati.”“Stress!” cibirku. “Lu yang bikin gue stress sampe segininya,
Aku masih melongo tanpa kata, berusaha menerawang jauh ke belakang sembari mencari letak tanda-tanda yang menunjukkan kalau Bu Aina dan suamiku punya hubungan darah. Astaga, apakah dunia benar-benar hanya selebar daun kelor?Sejauh mata memandang dan sepanjang perjalananku meniti karir di Aina Fashion, aku betul-betul tak tahu menahu hubungan Bu Aina dan Pak Ezar.“Kenapa pada kaget gitu?” Bu Aina melihatku dan Vina bergantian. Aku menggeleng pelan, seolah kehabisan kata-kata menerima kenyataan. Padahal, sebenarnya ada banyak tanya yang terbesit dalam hati. Untung saja, kami tak pernah mereview perilaku dosen galak itu di hadapan Bu Aina.“Bu, Asha doang yang dikasi kado? Kami berdua nggak?” protes Mika. “Nikah dulu, baru Ibu kasih juga.”“Nikah, Vin.”“Dih, kamu aja yang duluan. Kamu kan lebih tua sebulan dari aku,” sanggah Vina. “Si Asha aja lebih muda setahun dari kita udah nikung duluan.”“Ya kan udah jodohnya.”Aku memijat kening mendengar dua cewek cantik itu sedang adu mu
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.