Suara dentuman musik keras, dan suasana yang hiruk pikuk di dalam ruangan yang remang-remang. Beberapa orang tampak berjoget di bawah cahaya lampu warna-warni dengan keadaan yang setengah mabuk. Lie Zhichun duduk merenung di depan meja bar sambil menikmati minuman alkoholnya yang entah sudah berapa gelas ia teguk. "Pelayan, berikan aku segelas lagi!" ucapnya dengan keadaan yang sudah setengah sadar. Seorang bartender yang bekerja di tempat itu, hanya menuruti permintaan Zhichun tanpa mempertimbangkan lagi keadaannya, yang pada akhirnya membuat lelaki itu benar-benar mabuk. Ia tertidur di depan meja bartender. Sampai menjelang dini hari, saat tempat hiburan itu hendak tutup, Zhichun masih tak beranjak dari tempatnya. "Permisi, tuan.... Kami sudah akan tutup," tegur salah seorang manager di tempat itu. Ia berusaha mengguncang-guncang tubuh Zhichun yang lemas, bahkan lelaki itu hampir terjatuh dari tempatnya. "Bagaimana ini, Pak?" tanya salah seorang pegawai yang mulai frus
"Tuan, lepaskan aku.... Kau salah mengira seseorang," rintih Ana sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Zhichun. Tanpa diduga-duga, lelaki itu membuka kedua matanya dengan lebar, membuat Ana tersentak. Jantungnya berdetak cepat saat jarak wajah mereka sangat dekat. "Xiaoxi...." lirih Zhichun yang masih dalam pengaruh alkohol. "Aku bukanㅡ " belum sempat Ana menjelaskan situasi, lelaki itu dengan cepat mengubah posisi. Kini Ana berada di bawah Zhichun yang terus menatapnya dengan aneh. "Akuㅡ" Wanita itu mendadak bungkam kala bibir Zhichun menempel pada bibirnya yang sedikit kering. Ia melumatnya lembut, yang membuat Ana merasakan sensasi aneh dalam dirinya. Tubuhnya terasa panas meskipun ruangan itu berAC. Ana tidak bisa berkutik, karena kedua tangannya ditahan oleh Zhichun. Ciuman itu semakin memanas, sehingga membangkitkan gelora yang belum pernah dirasakan oleh Ana sebelumnya. "Tuan, ahh.... hentikan," rintih Ana berusaha menahan diri kala bibir lelak
"Tuan.... Bukankah aku hanya part time bekerja di sini? Jika aku harus bekerja secara full time, aku.... aku mengundurkan diri saja," ucap Ana sedikit ragu-ragu. Ia merasa khawatir bahwa ucapannya akan semakin menyulut emosi lelaki yang duduk di hadapannya. "Kamu mengancamku?" Mata lelaki itu menatap wajah Ana dengan tajam. "Aku.... aku t-tidak mengancam. Aku hanya...." Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, Zhichun menggebrak meja dengan keras. Hal itu membuat Ana tersentak. "Kamu pikir, sehebat apa dirimu? Silahkan pergi, dan jangan pernah kembali lagi!" teriak lelaki itu sambil menunjuk ke arah pintu keluar. Ana bergegas meninggalkan ruangan. Dia tidak ingin lelaki itu semakin marah padanya. "Cih! Apa-apaan dia? Dia yang memintaku untuk bekerja di sini, dia juga yang memecatku. Dasar lelaki sinting!" gerutu Ana saat ia berjalan keluar meninggalkan gedung. Suara dering telpon berbunyi nyaring, yang membuat Ana merasa terkejut. Ia merogoh ke dalam tas jinjingnya
PLAKk!!!! Sebuah tamparan keras tak dapat dihindari oleh Ana, yang secara tiba-tiba mendarat di pipinya. Ana menoleh, menatap seorang lelaki yang berdiri di hadapannya dengan tatapan kemarahan yang menyala di kedua matanya. Ana tidak mengerti, kenapa lelaki itu begitu marah padanya. Entah kesalahan apa yang telah ia buat. Ia sendiri tidak tahu. Ana mengusap pipinya perlahan yang masih terasa perih. Pipinya yang semula putih, menjadi kemerahan dan terdapat tanda samar yang membentuk sebuah tangan. "Ada apa? Kesalahan apa yang telah aku buat kali ini?" tanya Ana dengan ekspresi wajah yang datar. Sebisa mungkin ia menahan emosinya yang terasa seperti akan meledak. "Kamu masih bertanya?" balas lelaki itu dengan senyuman bengis. "Aku tidak tahu kesalahanku di mana," jawab Ana pelan. Ia memalingkan wajahnya dari Zhichun yang semakin lama membuatnya muak. "Kamu tidak berhak berbicara seperti itu pada Xiaoxi! Kamu harus ingat, bahwa pernikahan kita hanyalah sebuah kontrak!" kecam lela
Ana membelalakkan kedua matanya dengan lebar saat ia mencicipi sushi dan sashimi yang telah dibuat oleh Jia untuk Xiao Nai. Sepertinya bukan hanya Ana saja yang merasakan masakan Jia yang terasa mengerikan. Ana menatap Xiao Nai yang tampak bersusah payah mencoba untuk menelan makanan yang telah masuk ke dalam mulutnya. "Bagaimana? Enak kan?" tanya Jia menatap wajah Ana dan Xiao Nai secara bergantian. wajahnya terlihat penuh dengan harap. Ana dan Xiao Nai tampak kompak menganggukkan kepala mereka dengan perlahan, sambil mencoba tersenyum di depan wanita yang terlihat sangat senang. "Kalau begitu, besok aku akan membuatkan lagi makan siang untuk kalian," ucap Jia penuh dengan semangat. "Eh, tidak perlu repot-repot, Jia. Besok sepertinya aku membawa bekal ke kampus," sahut Ana dengan cepat. "Bagaimana denganmu, Nai-Nai?" Jia menatap wajah lelaki itu dengan penuh harap. Xiao Nai menatap wajah Ana selama beberapa saat. Wanita itu tampak tersenyum menahan tawa. "A
"Apakah dia benar-benar membuat sushi ini sendiri?" gumam Zhichun dalam hatinya. Ia memperhatikan lagi tamago sushi yang masih tersisa di dalam kotak makan siang Ana. Ia mengambil satu lagi, dan memakannya dengan perlahan. Ia mengambil lagi, dan lagi hingga sushi itu tidak bersisa. Hal itu membuat Ana merasa terkejut. Ia menarik kotak makan siangnya dari tangan Zhichun. "Kau memakan habis semua sushi ini?" pekik Ana tidak percaya dengan apa yang telah ia lihat. Ana menatap wajah Zhichun dengan tatapan mata yang tajam. Lelaki itu terlihat kesulitan menelan semua makanan yang tertampung di mulutnya. "Aku susah payah membuat ini untuk Xiao Nai, bagaimana aku menjelaskan padanya?" rengek Ana yang mulai merasa kesal. "Bagus dia tidak mencicipi masakanmu! Jika dia memakannya, dia pasti akan trauma untuk makan seumur hidupnya," ucap Zhichun asal, sebelum ia berlalu pergi dari hadapan Ana yang tampak berpikir. "Apakah semengerikan itu masakan buatanku?" gumamnya yang masi
"Pak Lie! Anda sudah tiba?" Suara nyaring yang tiba-tiba menyapa lelaki itu, telah membuyarkan lamunannya. Seketika perhatian Lie Zhichun beralih menatap client yang duduk tidak jauh dari tempat ia berdiri. Lelaki itu tersenyum sambil menghampiri meja client. Ia menyambut uluran tangan Client-nya dengan hangat. "Sudah lama menunggu, Pak?" tanya lelaki itu berbasa-basi. "Tidak, aku baru saja tiba di sini. Silahkan anda pesan makanan anda," sahut Client-nya sambil menyerahkan buku menu pada Zhichun yang segera menerimanya. Lelaki itu melihat-lihat buku menu, dengan tatapan yang sesekali menatap ke arah Ana. "Bagaimana, Pak? Apa yang ingin anda pesan? Biar saya panggilkan pelayan," ucap lelaki berambut sebahu itu, membuyarkan fokus Zhichun. "Apa saja, samakan saja dengan Pak Chen," jawab Zhichun sambil menutup buku menunya. Ia sudah kehilangan selera makannya sejak melihat Ana bercengkrama dengan lelaki lain. Sementara Pak Chen memesan makanan, pandangan Zhichun terarah p
"Ana, Bagaimana menurutmu?" tegur Jiang Jia yang sekali lagi membuyarkan lamunan sahabatnya itu. "Apanya yang bagaimana?" Ana balik bertanya. Ia tampak tersenyum canggung. "Apakah aku katakan saja perasaanku pada Xiao Nai? Atau, tunggu dia nyatakan perasaannya?" Jia menatap wajah Ana dengan penuh harap. "Apa pun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu," ucap Ana dengan keterpaksaan. Sejujurnya ia merasa tidak rela jika Jiang Jia menyatakan perasaan pada Xiao Nai, yang pada akhirnya membuat mereka jadian. "Begitu ya? Kalau kamu mendukungku, aku akan menyatakan perasaanku pada Xiao Nai," ucap Jia dengan penuh semangat. Ana tersenyum kaku. Wajahnya tertunduk dalam. Ia tidak punya kuasa untuk melarang Jia melakukan hal itu. "Kamu ikut aku temui Xiao Nai ya?" ucap Jia secara tiba-tiba yang telah membuyarkan lamunan Ana. "Kamu mau menyatakannya sekarang?" Wanita itu sedikit terkejut mendengar keputusan Jia yang ia anggap terlalu cepat. "Bukankah semakin cepat semakin bagus?
Ana duduk di meja yang berhadapan dengan kaca di Seesaw Coffee, tempat di mana ia sering menghabiskan waktunya, saat ia sedang banyak pikiran.Dengan ditemani secangkir coffee latte yang panas, cocok di saat cuaca mendung dan sedikit dingin. Ana menghirup aroma kopinya, sebelum ia menyeruputnya dengan perlahan.Tanpa ia sadari, sepasang mata tengah mengawasinya. Lelaki dengan tubuh yang tinggi dan sedikit kurus, duduk di depan meja barista sambil terus memperhatikannya. Ia sesekali membenarkan earbuds yang terpasang di telinganya, menunggu panggilan tersambung."Halo?" Suara wanita tua yang sudah tidak asing di telinganya, terdengar menyapanya dari seberang telpon."Halo, nyonya besar? Aku sudah menemukan wanita itu. Sepertinya dia sudah tidak mengingatku. Tadi saat kami bertemu di pintu masuk, dia hanya menatapku sebentar tanpa berbicara apa-apa," ucap Sekertaris Lie menjelaskan dengan panjang dan lebar."Bagaimana dengan cucuku? Apakah dia sudah menemukan calon pengantinnya?" tanya
"Sekertaris Lie, tolong bantu aku untuk mendapatkan seseorang yang memiliki golongan darah AB negatif, yang mau mendonorkan darahnya! Buat pengumuman bahwa kita akan memberikan uang satu milyar untuk orang itu," ucap wanita tua itu dengan antusias. Ia menatap wajah lelaki muda yang berada di sebelahnya dengan tatapan yang penuh dengan harap. Lelaki muda itu hanya menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Baru saja ia hendak pergi, Ana yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka dari balik tembok, memberanikan diri untuk muncul di hadapan mereka, yang membuat perhatian mereka tersita padanya. "Saya bersedia membantu! Kebetulan golongan darah saya AB negatif," ucap Ana yang membuat wanita tua itu membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Sebuah senyuman tercetak jelas di raut wajah wanita tua itu. Ia segera meraih tangan Ana yang berdiri di hadapannya, dan menatap wajah wanita itu dengan kedua mata yang berbinar. "Aku tidak tahu siapa kamu? Dari mana asalmu, tapi aku sangat yakin
"Oh! Dari temanku, Nek," sahut Ana gugup. Wanita tua itu hanya manggut-manggut, sebelum ia mengajak Ana untuk kembali duduk di sofa. "Jadi, kamu masih belum ingat dengan Nenek?" tanya wanita tua itu hendak memastikan. Ana hanya menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Kita pernah bertemu di rumah sakit, saat hujan deras. Kalau tidak salah.... Kamu sedang membuat surat kesehatan untuk melamar pekerjaan," ucap wanita tua itu membantu Ana kembali menemukan ingatannya yang telah lama hilang. ~~~~ Hujan deras mengguyur kota Shenzhen di pagi hari. Ana yang setengah basah berlari-lari sambil berusaha menutupi bagian kepalanya. Ia berhenti di depan rumah sakit yang berada di pusat kota, sambil sesekali mengusap rok span hitam yang ia kenakan, yang tampak sedikit basah. Ana berjalan menuju ke bagian pendaftaran. Karena ia pertama kalinya datang ke rumah sakit, ia merasakan sedikit kebingungan di hadapan perawat yang saat itu sedang berjaga. "Ada yang bisa saya bantu,
"Nenek!" Zhichun bergegas menghampiri wanita tua yang mengenakan cheongsam berwarna kuning emas, yang baru saja keluar dari pintu kedatangan domestik. Wanita tua itu hanya tersenyum tipis, sambil mendorong koper berwarna hitam, yang segera diambil alih oleh Zhichun. Ana memperhatikan wanita yang rambut tampak berwarna abu-abu penuh dengan uban, yang di gulung menggunakan tusuk konde terbuat dari batu giok. Saat keduanya saling beradu pandang, Ana buru-buru memalingkan wajahnya. Ia merasa gugup di hadapan wanita tua yang terlihat jutek, galak dan juga cerewet. Wanita tua itu hanya tersenyum tipis, sebelum ia mengikuti langkah cucunya menuju ke mobil yang di parkir di halaman parkir bandara. Wanita tua itu duduk di sebelah kursi kemudi. Sesekali matanya menatap ke arah Ana lewat kaca spion yang berada di atasnya. Hal itu membuat Ana yang telah menyadarinya, menjadi salah tingkah. Mobil bergerak menuju keluar bandara, menembus jalanan yang padat dengan kecepatan rata-
Ana menghembuskan nafasnya dengan perlahan. Ia merasa tubuhnya sangat lemas, setelah ia melakukan transfusi darah. Dengan keadaan yang masih sempoyongan, Ana keluar dari ruangan. Wajahnya terlihat pucat menatap Zhichun yang sejak tadi menunggunya. "Kamu, baik-baik saja?" tanya lelaki itu yang mulai terlihat khawatir. "Ya, aku baik-baik sa ㅡ" Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, tubuhnya mendadak ambruk. Zhichun dengan cepat meraih tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Ia menggendong Ana menuju ke unit gawat darurat untuk segera mendapatkan pertolongan. Petugas Nakes segera mengambil tindakan, memberikan cairan infus pada Ana yang tak sadarkan diri. Sementara Zhichun menunggui wanita itu dengan setia. Ia duduk di sebelah ranjang, tempat di mana Ana terbaring, sambil menatap wanita itu dengan tatapan mata yang dalam. Perhatian Zhichun segera tersita saat ia melihat pintu terbuka. Seorang lelaki muda, bergegas menghampiri ranjang Ana dengan raut wajah gelisah. "Ana? Ba
Ana mengemaskan beberapa pakaiannya untuk ia masukkan ke dalam tas ransel, sebelum ia meninggalkan kamarnya. Langkahnya terhenti saat kedua matanya menangkap sosok lelaki arogan yang berdiri di dekat tangga, menatapnya dengan sorot matanya yang tajam. Sambil meletakkan kedua tangannya di dalam saku celana, lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya menyelidik. Kedua matanya memperhatikan ransel hitam yang dikenakan oleh Ana. "Aku.... aku mau ke rumah sakit," jawabnya tergugup. Ia berusaha menghindari tatapan mata lelaki itu. "Untuk apa kamu pergi ke sana?" Lie Zhichun memicingkan kedua matanya, menatap Ana penuh curiga. "Temanku masuk ke rumah sakit, aku ingin menemaninya." "Temanmu? Siapa? Xiao Nai?" tanya lelaki itu menduga-duga. Kedua mata Ana seketika membelalak dengan lebar. "Bagaimana kamu tahu soal Xiao Nai?" Lie Zhichun tersenyum kecut. "Apakah terlalu sulit untuk mencari tahu tentang lelaki itu? Bahkan keluargamu yang berad
Wanita itu tertegun selama beberapa saat lamanya dengan kedua matanya yang tampak berkaca-kaca. Kedua matanya menatap Ana dan Xiao Nai secara bergantian. Belum sempat kedua orang itu berbicara untuk menjelaskan situasi, Jiang Jia bergegas berlalu dari hadapan keduanya. "Jia!" Baru saja Ana hendak menyusul langkah wanita itu, Xiao Nai dengan cepat menarik tangannya untuk menghentikan langkah Ana, yang segera menoleh menatap lelaki itu dengan penuh keheranan. "Jangan dikejar! Biarkan dia menyendiri untuk sementara waktu. Biarkan dia menenangkan pikirannya," ucap lelaki itu mencoba meyakinkan Ana yang hanya menggigit ujung bibirnya. "Apa benar, semua akan baik-baik saja?" gumam Ana sambil menatap kosong, jalan yang telah dilalui oleh Jiang Jia. *** Ana membuka pintu dengan raut wajahnya yang tampak lelah. Saat ia melangkah masuk ke dalam, ia dikejutkan dengan sosok yang sebelumnya tidak ia sadari berada di sofa. Lelaki yang masih mengenakan setelan jas lengkapnya, ber
Ana menundukkan wajahnya. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Xiao Nai. "Aku.... aku tidak mungkin menghianati Jia," ucap Ana ragu. "Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu sama sekali tidak menyukaiku?" desak Xiao Nai yang tidak sabar menunggu jawaban dari wanita itu. "Ya, sejujurnya aku memang menyukaimu, tapi...." Belum sempat Ana melanjutkan ucapannya, Xiao Nai dengan cepat membungkam mulut Ana dengan sebuah kecupan mendalam di bibirnya, yang membuat Ana membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Suasana di cafe yang sunyi tanpa pengunjung, membuat Ana terbawa gelora yang semakin membara. Cukup lama keduanya saling berpagut mesra, yang membuat Ana semakin menikmati kecupan itu. Tring!!! Bunyi lonceng yang tiba-tiba berbunyi, membuat keduanya tersentak, dan dengan cepat saling menjauh. Ada salah seorang pelanggan yang sepertinya melihat apa yang telah mereka lakukan. Hal itu membuat Ana dan Xiao Nai merasa kikuk dan salah tingkah. "Selamat dat
"Ana, Bagaimana menurutmu?" tegur Jiang Jia yang sekali lagi membuyarkan lamunan sahabatnya itu. "Apanya yang bagaimana?" Ana balik bertanya. Ia tampak tersenyum canggung. "Apakah aku katakan saja perasaanku pada Xiao Nai? Atau, tunggu dia nyatakan perasaannya?" Jia menatap wajah Ana dengan penuh harap. "Apa pun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu," ucap Ana dengan keterpaksaan. Sejujurnya ia merasa tidak rela jika Jiang Jia menyatakan perasaan pada Xiao Nai, yang pada akhirnya membuat mereka jadian. "Begitu ya? Kalau kamu mendukungku, aku akan menyatakan perasaanku pada Xiao Nai," ucap Jia dengan penuh semangat. Ana tersenyum kaku. Wajahnya tertunduk dalam. Ia tidak punya kuasa untuk melarang Jia melakukan hal itu. "Kamu ikut aku temui Xiao Nai ya?" ucap Jia secara tiba-tiba yang telah membuyarkan lamunan Ana. "Kamu mau menyatakannya sekarang?" Wanita itu sedikit terkejut mendengar keputusan Jia yang ia anggap terlalu cepat. "Bukankah semakin cepat semakin bagus?