Alih-alih menunjukan ekspresi senang selepas mendapati Feli melakukan tindakan juga jawaban yang mengarah pada sebuah persetujuan – atau benar-benar mengijinkannya melakukan apa yang sebelumnya ia tanyakan, Nathen malah menatap Feli dengan tatapan penuh selidik.
"Kau ini sebenarnya kenapa, Felicia?" Nathen bertanya dengan nada suara dinginnya.Sontak Feli yang kala itu mengira jika Nathen akan tanpa ragu mencium dirinya, tepat di detik pertama ia selesai berucap, sukses dibuat keheranan.Padahal Feli sudah mati-matian berusaha untuk mempersiapkan diri, jika saja saat ini Nathen langsung melancarkan serangan, benar-benar melakukan apa yang sudah dikatakan, yaitu melakukan ciuman dengan dirinya.Melihat rupanya Nathen malah bereaksi seperti itu, Feli mengernyitkan kening, hampir membuat kedua alisnya yang bersebrangan jadi saling bertautan.Manik matanya gemetar, mencoba menilik setiap inci dari pahatan sempurna yang terpampang nyata berupa"Alasan sikap perempuan berubah." Nathen yang kembali duduk di sofa selepas mengusir Feli, bergumam pelan sembari menundukan pandangan.Pribadi tampan itu membiarkan manik matanya terfokuskan pada permukaan layar ponsel yang menyala dalam genggaman, sedang bantalan kedua ibu jari tangannya mengetik di papan keyboard ponselnya tersebut, berselancar di sebuah aplikasi pencarian.Saat kata kunci yang ia masukan pada kolom pencarian di aplikasi tersebut menunjukan beberapa opsi artikel yang berkaitan, Nathen berdesis pelan sambil memiringkan kepalanya sekilas.Lantas, pria berusia seperempat abad itu meng-klik satu artikel paling atas dan membaca setiap inti point dari hal yang saat ini memang sedang ingin ia ketahui.Sejatinya Nathen sedang dilanda kebingungan juga keheranan yang dalam satu waktu mendera relung, terkait perubahan sikap Feli yang cukup segnifikan, bahkan tidak sampai dalam kurun waktu satu hari satu malam.Nathen yang tidak t
"Paman Nathen?" Feli bergumam pelan sembari menghentikan ayunan tungkai dan menundukan pandangan, membiarkan manik matanya menatap layar ponsel yang menyala dalam genggaman, menunjukan kontak milik Nathen melakukan sebuah panggilan video padanya.Feli saat ini sedang berada di lobby dari perusahaan milik Dean. Mengedarkan pandangan, mencoba menelisik keadaan sekitar, Feli mendapati suasana di sana cukup ramai, tidak memungkinkan dirinya untuk langsung menjawab panggilan video dari Nathen."Kenapa tiba-tiba mau melakukan video call, sih?" Feli berkeluh kesal sembari melanjutkan ayunan tungkai dan tak henti-hentinya mengedarkan pandangan, guna mencari spot yang tidak terlalu ramai.Tepat saat manik matanya berhasil menangkap beberapa rendetan kursi dan meja yang tertata di sudut area lobby yang biasa digunakan untuk menunggu, Feli langsung mempercepat ayunan langkah dan menempati salah satunya.Mendudukan diri di kursi yang letaknya bersebelahan den
Sebuah senyum senang memeta di permukaan bingkai birai Anna, saat wanita cantik yang tengah duduk di sofa tunggal yang ada di ruang kerja sang suami itu, membiarkan manik matanya menatap bahagia ke arah Bastian.Bastian yang duduk di sofa panjang yang saling bersebelahan dengan sofa yang Anna duduki, membuang napas kasar, lalu menengadah, menoleh ke arah sang istri.Permukaan kening Bastian mengernyit, membersamai matanya yang agak memicing, menatap Anna, nanar. "Kenapa kau menatapku sambil tersenyum seperti itu?"Terkekeh kecil, Anna menundukan pandangannya sekilas, lalu menggeleng. "Tidak ada alasan khusus. Aku hanya senang saja, melihatmu mau menghabiskan makanan yang aku bawakan untukmu.""Tidak ada yang spesial dengan itu." Bastian meluruskan pandangan, menilik permukaan meja di hadapan yang di atasnya terdapat beberapa wadah kotor bekas makan siang yang telah ia habiskan isinya. "Memang biasanya aku selalu menghabiskan makanan yang sering ka
Sebuah kekehan sinis yang memberi kesan sedang meremehkan, menguar dari mulut Dean, bersamaan dengan pandangannya yang tertunduk, sengaja memutuskan kontak mata dengan Feli meski hanya sesaat, selepas mendengar apa yang putri cantiknya itu tuturkan.Seakan tidak lebih dari sekadar menganggap tuturan Feli tersebut hanyalah sebuah guyonan, Dean sama sekali tidak menunjukan gelagat, bahwa dirinya memberi reaksi dengan serius.Membuang napas kasar, detik selanjutnya pria paruh baya itu malah tersenyum, saat manik matanya dan Feli kembali beradu pandang dan mendapati sang putri menatapnya, kebingungan. "Kau pasti sedang bercanda dengan Ayah kan, Feli?"Feli menggeleng tidak percaya. Manik matanya yang berkaca dan sudah dikelilingi iris yang memerah itu, menyorotkan tatapan lekat, syarat akan rasa kecewa yang begitu membuncah. "Tidak. Aku sama sekali tidak sedang bercanda," tegasnya, meski masih dengan suara yang terdengar begitu pelan, bahkan parau juga gemetar
Keheningan yang cukup mecekam itu pada akhirnya tak dapat terelakan, terjadi begitu saja, selepas suara gema tamparan keras tadi mengudara.Baik Feli maupun Dean, keduanya sam-sama membeku di tempat mereka masing-masing berdiri.Ruang kerja Dean didominasi suara deru napas Feli yang memburu, sesekali diiringi isak tangis juga senggukan dalam, yang terdengar begitu menyesakan.Sungguh, sampai saat ini benak Feli sama sekali belum bisa mencerna, terkait apa yang sebarnya baru saja terjadi dan menimpa diri.Momen penggiring rasa sakit yang menghujam relung itu, berlangsung begitu cepat sekali.Nyatanya, tamparan dari Dean yang berlabuh di permukaan pipi Feli, tak hanya memberi efeksi sakit di titik di mana tamparan tersebut mendarat, tetapi juga sukses menjelma menjadi ratusan pisau belati tajam, yang detik itu juga mengoyak hati Feli secara brutal.Saking sakitnya, Feli sampai tidak bisa merasakan, jika kedua tungkainya saat ini masih menapak di lantai.Manik mata hazel Feli yang berkaca
"Nenek ...!" Seruan yang diiringi isak tangis dari Feli itu mengudara, begitu sang pemilik suara berjalan memasuki kediaman Elena, diekori oleh seorang asisten rumah tangga yang bekerja di sana – yang beberapa saat lalu, membukakan pintu untuk Feli.Leya – asisten rumah tangga Elena, dikagatekan oleh kemunculan Feli di depan pintu tadi, sambil menangis terisak.Darah yang mengering di sudut bibir Feli, tak gagal tertangkap oleh pandangan Leya, hingga tak dapat dipungkiri, sukses memantik rasa penasaran yang menelusup ke dalam relung, bersamaan rasa khawatir."Nyonya ada di ruang kerjanya, Nona." Leya memberi tahu Feli, saat melihat wanita muda itu menghentikan langkah dan celingukan, agaknya sedang mencoba menerka arah yang musti ditujunya, agar bisa secepatnya bertemu dengan Elena.Mengendus udara dengan serakah, memastikan cairan di hidung tak ke luar dan meleleh, Feli menyempatkan diri memberi Leya lirikan. "Terima kasih, Bi."Wanita c
Dean terlihat duduk termenung di salah satu sofa tunggal yang tertata di hadapan meja kerja dalam ruangannya.Selepas kepergian Feli, Dean belum melakukan terlalu banyak pergerakan, hanya terduduk selagi membiarkan manik mata hitamnya menyalang, menatap tajam ke arah titik di mana Feli sempat berdiri, tepatnya saat ia melabuhkan tamparan kelewat keras di wajah cantik sang putri.Apa yang sudah terjadi, seakan terus terulang lagi dan lagi dalam penglihatan Dean, maupun dalam ingatannya.Mengerang geram, pria paruh baya itu menjambak marah surainya dengan kedua telapak tangan dengan sekuat-kuatnya sambil menundukan kepala dan pandangan, mencoba melampiaskan frutrasi yang dirasa.Deru napas Dean memburu, terengah dan terdengar cukup menyesakan. Saat pelupuk dari mata lelah itu memejam, bayangan di mana Feli menatap kecewa dan sedih ke arahnya, muncul bak sebuah rekaman video yang memiliki resolusi tinggi.Permukaan bibir Dean mulai gemetaran
Sudah bukan lagi menjadi rahasia bagi Elena, jika biduk rumah tangga Zea – sang putri, memang sudah tidak berjalan baik-baik saja, sedari lama.Masih terbayang kelewat jelas dalam ingatan, saat sekitar lima tahun silam, untuk kali pertama ia melihat Zea mangis sampai tersedu di hadapannya.Kala itu, kebetulan Elena melakukan kunjungan mendadak ke kediaman sang putri, untuk hanya sekadar mampir dan bercengkrama, karena terhitung sudah cukup lama, mereka tidak menghabiskan waktu bersama.Akan tetapi, Elena malah dikagetkan dengan kemunculan Zea yang menyambutnya di pintu utama, dengan wajah pucat, mata sembab, bahkan pelupuknya masih basah, oleh air mata.Tentu tanpa membuang waktu, Elena mengajak Zea untuk bebincang bersama, dengan tujuan untuk mencari tahu, apa gerangan hal yang telah membuat putri semata wayangnya itu menangis.Pun karena Zeana tidak memiliki tempat lain untuk mengadu – mengutarakan segala keluh, selain pada sang ibu, ia