Tertegun, sungguh Nathen sama sekali tidak mengira jika Feli mendadak akan bersikap begitu patuh padanya, alih-alih merengek dan melakukan protes seperti hal biasa yang memang acap kali dilakukan oleh istri cantiknya itu.
Hal selanjutnya yang Feli lakukan, berhasil membuat Nathen seketika memaku, diam membeku, sebab istri cantiknya itu mengambil dua langkah cukup besar untuk mendekat padanya, sebelum kemudian benar-benar memberinya pelukan.Sejatinya ... niat awal Nathen tiba-tiba menggiring perjanjian yang telah ia sepakati dengan Feli adalah untuk mengerjai sang istri, sebab barangkali dengan begitu, ia bisa sedikit saja mencairkan suasana.Bagus kalau bisa membuat Feli kembali pada tabiat aslinya yang suka sekali merengek, mengoceh, bahkan melontarkan banyak alasan, maupun protes terhadap permintaan-permintaan aneh yang acap kali ia berikan.Seperti tiba-tiba mengajaknya berciuman, atau sekadar berpelukan, sebab sejauh yang Nathen tahu, Feli ti"Kau sedang apa?" Pertanyaan sederhana itu mencuat dari mulut Nathen dengan nada suara dingin dan datarnya, manakala Nathen menutup pintu ruang kerjanya begitu masuk ke sana, ternyata mendapati Feli agaknya tengah melihat-lihat sekitar.Feli yang kala itu berdiri di belakang kursi kerja Nathen, sampai terkesiap kaget dan menoleh cepat ke arah dari mana suara suami tampannya itu mengudara.Membuang napas kasar, Feli menenggerkan kedua telapak tangannya di permukaan dada, merasakan debaran jantung yang mengalami percepatan. Pelupuk matanya memejam, beberapa detik.Wanita cantik itu lantas mendengkus seraya menghentakan kakinya kesal dan memberi Nathen tatapan jengkel. "Paman, ih! Suka sekali sih, mengagetkanku?"Nathen terkekeh sini saat berjalan menghampiri Feli. "Jawab pertanyaanku, kau sedang apa di sini?"Feli mencebikan bibir. "Aku mau mengajak Paman makan siang bersama," tuturnya setengah merengek sembari menunjuk paparbag yang sebelu
Alih-alih menunjukan ekspresi senang selepas mendapati Feli melakukan tindakan juga jawaban yang mengarah pada sebuah persetujuan – atau benar-benar mengijinkannya melakukan apa yang sebelumnya ia tanyakan, Nathen malah menatap Feli dengan tatapan penuh selidik."Kau ini sebenarnya kenapa, Felicia?" Nathen bertanya dengan nada suara dinginnya.Sontak Feli yang kala itu mengira jika Nathen akan tanpa ragu mencium dirinya, tepat di detik pertama ia selesai berucap, sukses dibuat keheranan.Padahal Feli sudah mati-matian berusaha untuk mempersiapkan diri, jika saja saat ini Nathen langsung melancarkan serangan, benar-benar melakukan apa yang sudah dikatakan, yaitu melakukan ciuman dengan dirinya.Melihat rupanya Nathen malah bereaksi seperti itu, Feli mengernyitkan kening, hampir membuat kedua alisnya yang bersebrangan jadi saling bertautan.Manik matanya gemetar, mencoba menilik setiap inci dari pahatan sempurna yang terpampang nyata berupa
"Alasan sikap perempuan berubah." Nathen yang kembali duduk di sofa selepas mengusir Feli, bergumam pelan sembari menundukan pandangan.Pribadi tampan itu membiarkan manik matanya terfokuskan pada permukaan layar ponsel yang menyala dalam genggaman, sedang bantalan kedua ibu jari tangannya mengetik di papan keyboard ponselnya tersebut, berselancar di sebuah aplikasi pencarian.Saat kata kunci yang ia masukan pada kolom pencarian di aplikasi tersebut menunjukan beberapa opsi artikel yang berkaitan, Nathen berdesis pelan sambil memiringkan kepalanya sekilas.Lantas, pria berusia seperempat abad itu meng-klik satu artikel paling atas dan membaca setiap inti point dari hal yang saat ini memang sedang ingin ia ketahui.Sejatinya Nathen sedang dilanda kebingungan juga keheranan yang dalam satu waktu mendera relung, terkait perubahan sikap Feli yang cukup segnifikan, bahkan tidak sampai dalam kurun waktu satu hari satu malam.Nathen yang tidak t
"Paman Nathen?" Feli bergumam pelan sembari menghentikan ayunan tungkai dan menundukan pandangan, membiarkan manik matanya menatap layar ponsel yang menyala dalam genggaman, menunjukan kontak milik Nathen melakukan sebuah panggilan video padanya.Feli saat ini sedang berada di lobby dari perusahaan milik Dean. Mengedarkan pandangan, mencoba menelisik keadaan sekitar, Feli mendapati suasana di sana cukup ramai, tidak memungkinkan dirinya untuk langsung menjawab panggilan video dari Nathen."Kenapa tiba-tiba mau melakukan video call, sih?" Feli berkeluh kesal sembari melanjutkan ayunan tungkai dan tak henti-hentinya mengedarkan pandangan, guna mencari spot yang tidak terlalu ramai.Tepat saat manik matanya berhasil menangkap beberapa rendetan kursi dan meja yang tertata di sudut area lobby yang biasa digunakan untuk menunggu, Feli langsung mempercepat ayunan langkah dan menempati salah satunya.Mendudukan diri di kursi yang letaknya bersebelahan den
Sebuah senyum senang memeta di permukaan bingkai birai Anna, saat wanita cantik yang tengah duduk di sofa tunggal yang ada di ruang kerja sang suami itu, membiarkan manik matanya menatap bahagia ke arah Bastian.Bastian yang duduk di sofa panjang yang saling bersebelahan dengan sofa yang Anna duduki, membuang napas kasar, lalu menengadah, menoleh ke arah sang istri.Permukaan kening Bastian mengernyit, membersamai matanya yang agak memicing, menatap Anna, nanar. "Kenapa kau menatapku sambil tersenyum seperti itu?"Terkekeh kecil, Anna menundukan pandangannya sekilas, lalu menggeleng. "Tidak ada alasan khusus. Aku hanya senang saja, melihatmu mau menghabiskan makanan yang aku bawakan untukmu.""Tidak ada yang spesial dengan itu." Bastian meluruskan pandangan, menilik permukaan meja di hadapan yang di atasnya terdapat beberapa wadah kotor bekas makan siang yang telah ia habiskan isinya. "Memang biasanya aku selalu menghabiskan makanan yang sering ka
Sebuah kekehan sinis yang memberi kesan sedang meremehkan, menguar dari mulut Dean, bersamaan dengan pandangannya yang tertunduk, sengaja memutuskan kontak mata dengan Feli meski hanya sesaat, selepas mendengar apa yang putri cantiknya itu tuturkan.Seakan tidak lebih dari sekadar menganggap tuturan Feli tersebut hanyalah sebuah guyonan, Dean sama sekali tidak menunjukan gelagat, bahwa dirinya memberi reaksi dengan serius.Membuang napas kasar, detik selanjutnya pria paruh baya itu malah tersenyum, saat manik matanya dan Feli kembali beradu pandang dan mendapati sang putri menatapnya, kebingungan. "Kau pasti sedang bercanda dengan Ayah kan, Feli?"Feli menggeleng tidak percaya. Manik matanya yang berkaca dan sudah dikelilingi iris yang memerah itu, menyorotkan tatapan lekat, syarat akan rasa kecewa yang begitu membuncah. "Tidak. Aku sama sekali tidak sedang bercanda," tegasnya, meski masih dengan suara yang terdengar begitu pelan, bahkan parau juga gemetar
Keheningan yang cukup mecekam itu pada akhirnya tak dapat terelakan, terjadi begitu saja, selepas suara gema tamparan keras tadi mengudara.Baik Feli maupun Dean, keduanya sam-sama membeku di tempat mereka masing-masing berdiri.Ruang kerja Dean didominasi suara deru napas Feli yang memburu, sesekali diiringi isak tangis juga senggukan dalam, yang terdengar begitu menyesakan.Sungguh, sampai saat ini benak Feli sama sekali belum bisa mencerna, terkait apa yang sebarnya baru saja terjadi dan menimpa diri.Momen penggiring rasa sakit yang menghujam relung itu, berlangsung begitu cepat sekali.Nyatanya, tamparan dari Dean yang berlabuh di permukaan pipi Feli, tak hanya memberi efeksi sakit di titik di mana tamparan tersebut mendarat, tetapi juga sukses menjelma menjadi ratusan pisau belati tajam, yang detik itu juga mengoyak hati Feli secara brutal.Saking sakitnya, Feli sampai tidak bisa merasakan, jika kedua tungkainya saat ini masih menapak di lantai.Manik mata hazel Feli yang berkaca
"Nenek ...!" Seruan yang diiringi isak tangis dari Feli itu mengudara, begitu sang pemilik suara berjalan memasuki kediaman Elena, diekori oleh seorang asisten rumah tangga yang bekerja di sana – yang beberapa saat lalu, membukakan pintu untuk Feli.Leya – asisten rumah tangga Elena, dikagatekan oleh kemunculan Feli di depan pintu tadi, sambil menangis terisak.Darah yang mengering di sudut bibir Feli, tak gagal tertangkap oleh pandangan Leya, hingga tak dapat dipungkiri, sukses memantik rasa penasaran yang menelusup ke dalam relung, bersamaan rasa khawatir."Nyonya ada di ruang kerjanya, Nona." Leya memberi tahu Feli, saat melihat wanita muda itu menghentikan langkah dan celingukan, agaknya sedang mencoba menerka arah yang musti ditujunya, agar bisa secepatnya bertemu dengan Elena.Mengendus udara dengan serakah, memastikan cairan di hidung tak ke luar dan meleleh, Feli menyempatkan diri memberi Leya lirikan. "Terima kasih, Bi."Wanita c