Tidak diberi kesempatan atau waktu untuk sekadar memahami maksud dari satu kata yang Feli paparkan secara tiba-tiba sebagai jawaban, saat itu Nathen sukses dibuat terkejut, saat Feli menarik kerah kemejanya, guna membuat tubuhnya membungkuk.
Tersenyum simpul, Feli lantas melabuhkan kecupan singkat di permukaan bibir Nathen sembari menjijitkan kedua tumit, mengingat tinggi tubuh mereka yang memang cukup timpang."Sudah." Feli berujar setelah ia kembali berdiri dengan tegap dan benar, serta melepaskan cengkraman tangan dari kerah kemeja Nathen.Tubuh Nathen masih membungkuk, agak condong ke arah Feli. Pelupuk mata pria tampan itu mengerjap cepat untuk beberapa saat, kemudian keningnya mengernyit. "Apa itu yang kau sebut sebuah ciuman?"Feli mengangguk cepat. Pelupuk mata berbulu lentik itu mengerjap lucu dan juga tampak lugu. "Hemmm."Nathen mendengkus pelan. "Satu kali lagi.""Apanya?" Feli menaikan alis sebelah kirinya. Ia menataSenyum manis yang berasal dari rasa gemas dan senang itu memeta di bingkai birai Nathen, saat manik mata jelaga indahnya ia biarkan untuk menatap wajah damai Feli di hadapannya dengan tatapan penuh damba.Berlutut di samping sofa panjang yang tertata di ruang utama dari unit apartemennya, Nathen membaringkan tubuh Feli yang tertidur sesaat sebelum mereka sampai tadi di sana.Tangan sebelah kirinya terangkat, jemari jenjang itu bergerak kelewat pelan, menyingkirkan anak rambut yang jatuh, sedikit menghalangi wajah cantik Feli."Eummm." Feli bergumam parau seraya menggaruk pelan wajahnya secara acak, mungkin merasa geli akibat sentuhan Nathen yang mendarat di sana.Nathen terkekeh sembari menundukan pandangannya sebentar, tak kuasa menahan rasa gemas terhadap istri cantiknya itu.Mendengkus pelan, ia lantas membawa wajah tampannya untuk mendekat ke arah Feli, agar ia bisa melabuhkan kecupan lembut pertanda sayang di permukaan kening sang istri.Telapak tangan Nathen berlabuh di puncak ke
"Paman ...!"Seruan yang cukup nyaring itu tak gagal membuat Nathen terkekeh gemas, apalagi saat suara derap langkah pelan menyusul, mengecai ke dalam rungu setelah seruan tersebut.Nathen yang saat ini sedang berdiri di area dapur, tidak memiliki niatan sama sekali untuk memutar badan, atau menoleh ke arah dari mana suara seruan tadi berasal."Paman sedang memasak apa?" Feli bertanya sembari menghampiri Nathen, lantas menghentikan langkah, berdiri tepat di samping sebelah kiri suami tampannya yang tengah berdiri menghadap kompor itu.Tersenyum simpul, Nathen menyempatkan diri untuk memberi Feli lirikan. "Sapi lada hitam, kesuakaanmu. Kau pasti sudah sangat lapar, ya? Sampai langsung terbangun""Aku bangun karena mencium wangi makanan." Feli mengalihkan pandangan yang semula terfokus pada wajah Nathen jadi ke masakan yang sedang suami tampannya itu bumbui di atas wajan. "Wah, kelihatan enak sekali."Nathen terkekeh. "Sebentar lag
Kembali mempertemukan pandangan dengan Feli, senyum manis yang justru terlihat lebih menyeramkan daripada seringaian bagi Feli itu memeta di bibir Nathen."Kau pikir, kau tadi berjalan sendiri dalam keadaan tertidur, lalu membaringkan diri di sofa?" sarkas Nathen."Paman aku serius."Nathen mendengkus sinis sambil tersenyum miring. "Aku lebih serius. Kenapa?" Nathen menilik ekspresi wajah Feli yang mendadak terlihat seperti orang linglung di hadapannya itu. "Kau merasa bersalah dan ingin memberiku imbalan, Manis?"Tidak menunggu Feli memberi respon, sekonyong-konyongnya Nathen melabuhkan kecupan di pipi sebelah kiri istri cantiknya itu, sampai membuat Feli terkesiap."Paman, ih!" Feli mencoba mendorong tubuh Nathen agar menjauh, tidak lagi mengungkungi tubuhnya.Nathen memang agak menjauh, tapi tentu tidak melepaskannya begitu saja. Ia hanya membiarkan sedikit lebih banyak jarak tercipta antara wajah mereka meskipun sebenarnya ti
"Pergi ke mana anak itu? Pagi-pagi sekali sudah tidak ada di kamar." Nathen mendumel kesal sambil berjalan ke luar dari ruang walk in closet.Penampilan pria berusia seperempat abad itu sudah sangat rapi. Memakai setelan teksudo hitam dengan dalaman kemeja putih yang dilampiri dasi berwarna senada dengan teksudo di bagian kerahnya.Nathen sudah siap untuk segera berangkat bekerja. Hanya tinggal sarapan, selepas itu ia bisa langsung pergi meninggalkan unit apartemennya.Berjalan menuju area dapur, tangan sebelah kiri Nathen terangkat, setia menopang ponsel yang ia tenggerkan di dekat daun telinga, menunggu dengan amat tidak sabaran seseorang yang sedang dihubunginya melalui panggilan suara, memberi jawaban."Hello, Pa-" "kau di mana, Feli?" Tidak mengijinkan seseorang di sebrang sambungan sana yang tidak lain adalah sang istri untuk memberi sapaan saat akhirnya panggilan suara itu berhasil terhubung, Nathen menyela, langsung to the point.
Suara dentingan pelan yang berasal dari beradunya peralatan makan yang tengah digunakan mengudara, menjadi satu-satunya suara yang terdengar di area makan kediaman Elena.Elena yang kala itu duduk di kursi yang letaknya saling bersebrangan dengan kursi yang diduduki Feli, berdecak pelan sambil memberi Feli lirikan membuat sang cucu yang sedang menunduk, seketika menengadahkan pandangan."Kalian ini baru menikah kurang dari satu bulan, sudah ada ... saja hal yang kalian pertengkarkan," seloroh Elena, tanpa balas menatap Feli.Feli menalan makanan yang sedang dikunyahnya dengan agak sedikit kepayahan. Mengalihkan pandangan dari Elena sesaat, ia meraih segelas air mineral yang berada paling dekat dengannya.Diam-diam mencuri pandang ke arah sang nenek selagi meneguk minumannya tersebut, entah kenapa ... perasaan Feli mulai tidak enak, seakan sebentar lagi, ia akan dihujami ocehan berisi wejangan dari wanita baya di hadapan."Memangnya siapa yang bertengkar, Nek?" Sengaja sekali berlagak
"Kudengar ... kemarin ada seseorang yang terbakar api cemburu?" seloroh Hayden, bertanya dengan nada mengejek pada Nathen begitu ia memasuki ruang kerja milik sahabatnya itu.Nathen yang tengah duduk dengan pandangan yang tertunduk, seketika menengadah. Membuang napas kasar, ia memutar bola matanya malas. "Dasar si mulut ember," gumamnya jengkel.Hayden terkekeh melihat air muka Nathen seketika terlihat kesal. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu dan istrimu?"Menghentikan ayunan langkah, Hayden berdiri menghadap Nathen, hanya terhalang meja kerja persegi panjang yang membentang di hadapan mereka."Ada perlu apa kau kemari?"Tidak memiliki niatan meladeni Hayden yang ia tahu pasti tidak akan menyia-nyiakan satupun kesempatan untuk mengejeknya terkait hal yang terjadi kemarin sore di kafe milik Noah, alih-alih menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan Hayden, Nathen malah balik bertanya, dengan harapan ia bisa mengalihkan topik pembicaraan.Hayden terkekeh sinis sembari menundukan pand
Benar. Gadis yang meminta Audrey datang ke kediaman Davian, juga gadis yang telah lebih kurang dua bulan terakhir ini Davian rampas hampir seluruh kebebasannya adalah tidak lain merupakan Vivian.Vivian Claire Collins, mantan calon istri dari Nathen yang diketahui telah memilih urung untuk melanjutkan rencana pernikahannya mendekati hari H tiba."Vi?" Audrey menyeru dengan suara kelewat lembut, begitu sopan sekali mendengung ke dalam rungu.Vivian tidak langsung menjawab. Melepaskan pelukan yang masih berlabuh pada tubuh Audrey terlebih dahulu, lantas menyeka air mata yang sebenarnya tanpa dirinya sendiri sadari sudah berderai, membasahi pipi."Aku tidak mendengar kabarmu selama hampir satu tahun terakhir ini, lalu kau tiba-tiba menyuruh seseorang untuk menghubungiku agar aku datang menemuimu, itu cukup membuatku senang tapi was-was pada saat yang bersamaan, Vi." Audrey menatap cemas pada pahatan wajah cantik milik Vivian yang terlihat agak lemas dan pucat.Vivian menghela napas dalam
"Sehari semalam apanya? Semalam kan kita sudah bertemu, Paman!" Feli merengek sambil melakukan rontaan-rontaan kecil, berusaha melepaskan diri dari pelukan Nathen."Iya, kita memang bertemu, semalam. Tapi kan hanya pada saat kita menikmati makan malam bersama saja. Setelahnya ... kau sengaja sekali kan, menghindar dariku?""Untuk yang itu, salahkan diri Paman sendiri!"Sedikit menarik diri, tidak terlalu membenamkan wajahnya di area ceruk leher Feli, Nathen memposisikan dirinya untuk bisa saling bertatap muka dengan istri kecilnya itu, tentu tanpa melepaskan dekapannya sama sekali. "Kenapa kau suka sekali memintaku untuk menyalahkan diri sendiri?"Feli mendengkus kesal. Dengan wajah dongkol, ia menengadah, memberanikan diri untuk bersitatap dengan Nathen. "Kapan aku seperti itu?""Sering. Contohnya baru saja. Kau memintaku menyalahkan diriku sendiri karena dari semalam kau terus menghindar dariku."Feli merotasikan bola matanya malas. "Ya karena itu memang salah Paman. Paman pantas un