Bab 3 - Menikahi Mbak Kunti
Hari pernikahan pun tiba, hari yang sudah ditentukan oleh Tuan Agus Kuncoro dan Tuan Nugroho demi menyatukan perusahaan mereka agar menjadi lebih berkembang, walau itu semua dilakukan dengan mengorbankan perasaan anak-anaknya. Laila kini tak bisa menipu lagi, penjagaan ketat dari sang papi membuatnya tak bisa lari. Begitu Pula dengan Dika, pria itu akhirnya terpaksa duduk menunggu Laila di meja pernikahan bersama penghulu di hadapannya. "Di mana ya mempelai wanitanya?" tanya si penghulu. "Sedang dalam perjalanan, Pak," ucap Mira calon istri Tuan Nugroho. "Bisa dihubungi sudah sampai mana, karena saya masih ada pernikahan lainnya, nih," ucap sang penghulu sambil mengipasi dirinya dengan dokumen pernikahan. "Hmmm... mudah-mudahan gak jadi dateng," gumam Dika. "Begini saja Pak Penghulu, pernikahannya di lanjutkan saja, yang penting sudah ada dua saksi dan si ayah mempelai wanita. Ya toh mempelai wanitanya juga sudah berada di jalan," ucap Tuan Nugroho memberi usul kala itu. "Papah, gimana sih? Kali aja tuh perempuan kabur gak mau nikah sama aku," bisik Dika dengan raut wajah sangat kesal. "Sudah kamu nurut saja. Apa kamu malah mau membuat kondisi mami kamu memburuk nantinya," ancam tuan Nugroho pada anak tunggalnya itu. Ia selalu saja bisa membuat Dika diam tak bisa memberontak ketika ayahnya membahas penyakit jantung yang diderita ibunya Dika. "Baiklah kalau begitu kita mulai saja pernikahannya, toh semua syarat nikah, wali perempuan, dan para saksi sudah ada. Nah, mari jabat tangan saya!" Pak penghulu itu mengulurkan tangannya pada Dika. Dengan terpaksa, Dika akhirnya melakukan pernikahan paksa tersebut. Padahal saat itu,obil yang dikendarai Laila, neneknya Laila, dan sang sopir tengah melaju dengan kencangnya. Laila yang terlambat menyiapkan diri, sempat membuat sang nenek kesal dan gemas. Dia yakin kalau Laila akan terlambat datang untuk pernikahannya. Tiba-tiba, mobil yang dikemudikan sang sopir itu oleng bahkan hampir tertabrak oleh truk tronton besar. Mobil sedan hitam itu kehilangan kendali ditambah dengan rem mobil yang ternyata blong. Hal itu tentu saja menyebabkan kecelakaan. Lalu, membuat mobil itu hampir jatuh ke dalam sungai yang berbatu terjal. Mobil sedan berwarna hitam itu tertahan. Sang sopir tak sadarkan diri karena kepalanya terantuk kemudi mobil dengan keras. "Oma, cepat duluan keluar!" pinta Laila. "Gak, kita keluar sama-sama," ucap Oma bersikeras. "Gak bisa Oma, aku harus jaga keseimbangan mobil ini, jadi Oma turun duluan, nanti aku nyusul. Ayo Oma, keburu mobilnya jatuh!" pinta Laila. "Pak Bagus, dia gimana, La?" "Ini aku coba sadarkan dia. Pokoknya Oma turun dulu cepat!" pinta Laila. Oma Murni segera menuruti perintah Laila dengan melangkah perlahan keluar mobil. Laila berusaha membangunkan sang sopir. Namun, apa daya karena ia buru-buru bergerak, mobil tersebut lalu oleng dan jatuh ke sungai menghantam bebatuan terjal. Wajah kiri Laila terantuk batu dan membuatnya hancur. Darah mengalir deras mengikuti arus sungai di sekitaran mobil Laila dengan derasnya. Pak Bagas tak dapat bertahan karena tewas seketika. Samar-samar Laila melihat sosok ibunfa tercinta merentangkan kedua tangannya menyambut pelukan Laila. "Ma...mi…," ucap Laila lirih lalu ia menghembuskan napas terakhirnya. Berita kecelakaan Laila langsung sampai ke rumah pernikahan. Para tamu undangan dan keluarga besar terkejut dan tak percaya dengan apa yang menimpa Laila. Baru saja ijab kabul dilakukan dengan jabatan tangan dan ucapan sah dari bibir sang penghulu. Alangkah malangnya nasib mempelai pria. Dia baru saja menikah tetapi sudah kehilangan istrinya tanpa sempat ia bertemu terlebih dahulu. Seluruh keluarga besar langsung mendatangi rumah sakit tempat Laila setelah evakuasi tadi. Tuan Agus Kuncoro menangis sejadi-jadinya saat melihat jasad putrinya terbaring tak bernyawa di kamar mayat. Meski wajah Laila hancur, tapi papinya ingat betul dengan tanda lahir hitam di punggung tangan kanan Laila. "Harusnya Oma yang mati, Nak, bukan kamu huhuhu," tangisan Oma Murni menambah keharuan di kamar jenazah itu. Dika memeluk ibunya. Ia tak berani melihat ke arah jasad Laila karena kondisinya yang menyeramkan. Tak ada yang tahu bagaimana takdir bisa mempermainkannya seperti itu. Setelah dijodohkan dan akhirnya memutuskan untuk menikah dengan terpaksa. Sekarang istri yang baru dinikahinya satu jam yang lalu itu telah meninggal dunia. Keesokan harinya Laila dimakamkan di samping makam ibunda tercinta. Oma masih meratapi gundukan tanah merah yang basah penuh dengan taburan bunga tujuh rupa di atasnya itu. Sementara Tuan Nugroho mendapat pelukan menenangkan dari calon istrinya saat isak tangis tak dapat ia bendung. *** Di pinggir sungai, Laila yang telah mengingat semua kejadian sebelum dia meninggal akhirnya mulai berdamai dengan keadaan. "Ah... aku baru inget. Hmmm, jadi aku udah mati, ya? mana matinya baru nikah lagi," gerutu Laila di hadapan sosok kuntilanak dan pocong itu. "Iya kan kamu udah mati, Say. Ih kasian banget sih kamu, mana pengantin baru. Terus kamu belum ngerasain malam pertama juga, hihihihihi…." Si Kunti mencoba menimpali. "Lagian menikah kok pakai gaun hitam, sih, jadinya kamu celaka tuh," ucap si Pocong berusaha mencibir gaun yang dikenakan Laila. "Ini tuh trend tau gak. Ini gaun limited edition, mahal pula. Bosen tau kalau nikah pakai baju putih terus. Aku kan mau mencoba sesuatu yang baru," sahut Laila. "Baju model baru yang bikin sial!" sahut si pocong ketus. "Ih nyebelin, nih!" Laila menarik ikatan pocong itu secara spontan. “Heh, anak baru kurang ajar!” pekik si pocong "Ih, tapi serem juga kalau deket-deket sama kamu. Huh, udah ih kamu sana!" Laila mendorong pocong tersebut sampai jatuh. "Wah... ini hantu baru bener-bener gak bisa aku biarkan," gumam si pocong dengan mata mendelik merah nan marah. Saat sosok pocong itu berdiri sambil berusaha mengancam Laila, gadis itu mulai memberanikan diri melawan. "Muka aku serem nih, hayo kalau berani!" Laila mencoba menahan sosok pocong tersebut. Ia memperlihatkan wajah seramnya. "Hahahaha... muka kayak gitu aja dibilang serem. Nih, kalau bisa kayak muka aku," ucap pocong tersebut menarik semua kulit di wajahnya dan menyisakan tengkorak tulang wajah di hadapan Laila. "Astaga! Gila banget sih ini mah serem! Eh, kalau muka kamu serem gitu kenapa tadi bisa gak serem mukanya?" tanya Laila penasaran. "Oh itu mah gampang. Jika kamu memakai air rendaman tujuh kembang dan mengusapnya ke wajah kamu, niscaya muka kamu akan bersih," ucap si Kunti ikut menimpali. "Di mana-mana juga muka kalau habis dicuci pakai air ditambah sabun muka ya tuh muka juga bakal kelihatan bersih," ujar Laila. "Lha kan saya cuma nawarin, kali aja kamu mengikuti daripada mukanya hancur gitu ih. Belum lagi kulitnya mau mengelupas hiiyyy," ucap si Kunti mencoba mencibir. "Tau ah! Asal tau aja ya, apa yang kalian lakukan sama saya itu, jahat!" ucap Laila ala tatapan Mbak Cinta di film AADC jilid 2. "Ya udah, sekarang pulang ke rumahku aja yuk!" ajak si Kunti. "Gak mau ah, aku mau ketemu keluargaku aja. Terus aku juga mau ketemu sama suamiku sekarang, aku mau liat orangnya seperti apa," ucap Laila. "Eh, tunggu bentar. Kamu kan hantu baru,” kata kuntilanak tadi, “mending kita belajar dulu bagaimana caranya kita bisa berjumpa dengan manusia yang kita inginkan dan menghindari perjumpaan kita dengan manusia yang pastinya kita tak mau inginkan.” "Hmmm bener juga, oke deh aku ikut kamu. Nama kamu siapa?" tanya Laila. "Panggil saja aku Tante Key dan ini Ocong," sahutnya. "Halo, aku Laila." ****** To be continuedBab 4 - Menikahi Mbak Kunti Laila mengikuti Tante Key dan Ocong menuju sebuah gedung tua. "Ini, di mana?" tanya Laila. "Selamat datang di pelatihan para hantu baru, yeaaayyyy!" ucap Tante Key dengan hati riangnya. "Gak ngerti di mana senangnya coba? Ini aja aku ketakutan kayak gini, huh!" batin Laila dalam hatinya. "Tenang aja kita di sini semuanya bersaudara. Jadi kalau ada manusia yang iseng sama kamu, kami siap membantu," ucap si Ocong. Memasuki sebuah gedung tua yang berlumut di bagian dindingnya itu, Laila merasakan hawa yang sangat pengap. Bau anyir darah menusuk ke dalam hidung membuat Laila mual ingin muntah kala menghirupnya. "Hai, Key, siapa tuh?" sapa nyonya genderuwo, hantu bertubuh gemuk dan kulit berwarna hijau pada Tante Key. "Hai, Nyonya Uwo! Sini sini, ini kenalin temen baru kita di sini," ucap Tante Key. "Halo! Hai, aku Nyonya Uwo. Kamu matinya kenapa?" tanya hantu wanita bertubuh besar itu dengan santainya pada Laila. "Aku Laila, aku kecelakaan, jatuh ke j
Bab 5 - Menikahi Mbak Kunti Bau bensin lantas tercium dari mobil sedan hitam tersebut. "Bau bensin nih, ayo keluar!" ucap Laila. "Kamu tolong bantu teman saya ini dulu," ucap Dika. Akan tetapi Laila tak bisa menyentuh tubuh Robi meskipun berkali-kali ia ulang. "Aku gak bisa nolong dia, aku cuma bisa sentuh kamu," ucap Laila mulai panik. Dika melihat kejadian tersebut tak mengerti, bagaimana bisa Laila tak dapat menyentuh Robi sementara ia dapat menyentuhnya. Laila lantas saja menarik tangan Dika keluar dari sana sekuat tenaganya. "Minta tolong sama yang lain buat selametin kawan aku, ayolah!" Dika memohon pada Laila lagi. Tubuhnya yang lunglai ia pasrahkan pada Laila. Rasa sakit menjalar di sekitar tubuhnya kala itu. "Duh, ini orang gak sadar kali ya kalau aku hantu, gimana mau manggil orang-orang sekitar nih," batin Laila. DUAAARR! Tak berapa lama kemudian mobil sedan di hadapan Dika dan Laila meledak dengan kobaran api besar yang membuat Cahyo dan Robi tewas di dalamn
Bab 6 - Menikahi Mbak Kunti"Hehehe bawaan gugup aja kali, makanya dingin." Laila tersenyum manis ke arah Dika.‘Ini cewek senyumnya manis banget, cantik lagi riasan wajahnya. Anehnya dia pakai gaun pengantin yang norak gini. Apa jangan-jangan dia pengantin yang kabur ya dari pernikahannya?’ batin Dika seraya mengamati Laila."Heh! Kamu ngapain ngeliatin aku kayak gitu?" Laila menjentikan jarinya di hadapan wajah Dika berkali-kali sampai menyentak pria itu dari tatapannya pada Laila."Aku lagi mikir aja. Aneh aja kamu pakai baju pengantin warna gitu. Mana warna hitam lagi. Kamu kabur ya dari pernikahan, ya?" tanya Dika ingin tahu."Seandainya aku bisa kabur. Ummm, tadinya aku mau kabur sih, tapi gak jadi. Eh, taunya takdir juga yang membawaku bisa kabur dari pernikahan ku," Laila mengakui. "Haha lucu, bagaimana takdir membawa kamu kabur dari pernikahan kamu?" tanya Dika lagi."Dengan cara–”"Selamat malam, saya suster Imelda. Saya lihat makan malamnya sudah dihabiskan ya. Kalau gitu
Bab 7 Menikah Mbak Kunti"Kamu ngapain ngobrol sama manusia kayak gitu?" tanya Tante Key."Suka-suka hati aku lah!" sahut Laila."Ayo pulang! Kamu dicariin nyonya Uwo tuh, kamu disuruh belajar," ucap Ocong."Hmm... aku malas belajar! Aku males balik ke tempat serem sana!" ucap Laila mencoba mengelak."Kamu tuh ya, badung banget jadi hantu baru. Kita seret aja yuk, Cong!" ajak Tante Key.Laila lalu diseret keluar jendela menjauhi ruang perawatan Dika. Ia pergi begitu saja. Dika mencoba mengintip dari balik selimutnya. Tak ada apa pun lagi di hadapannya. Laila benar-benar pergi kali ini dengan para hantu tadi. Jadi, malam ini bukanlah mimpi. Laila benar-benar hantu, hantu kuntilanak yang cantik. Dika akhirnya memutuskan untuk tidur dan memiringkan badannya ke kanan, ia memandang ke arah langit malam dari balik jendelanya. Tiba-tiba, Dika berbalik arah tak jadi memandangi langit malam kala ia melihat wajah pria berwarna merah yang berbadan besar seperti genderuwo sedang mengintipnya dar
Bab 8 Menikahi Mbak HantuPagi ini Dika dibolehkan pulang oleh dokter dari rumah sakit. Dika memutuskan untuk pergi ke luar kota, ke tempat neneknya. Dika merasa tak tahan rasanya berada di rumah bersama sang ayah nantinya. Pria itu mengemasi pakaiannya, tekadnya sudah bulat untuk pergi dari rumah. Meskipun sang mama masih meratapi kepergiannya, tapi keinginannya sudah kuat. Sepintas Dika menoleh ke belakang, ke arah ibunya secara perlahan. Ayahnya sendiri sudah tak mau melihatnya lagi. Keinginan dia untuk menjadikan putranya pengusaha sukses kini sirna. Cita-cita Dika lebih kuat dan tak bisa ia sanggah lagi.***Dika menaiki kereta api jurusan Stasiun Desa Merah menuju ke rumah neneknya. Seorang gadis saat itu menabraknya. Ciri fisik gadis itu membuat Dika teringat pada Laila. Bibirnya tersungging tipis. Senyum kecil hadir di wajah Dika sambil menatap ke arah langit. Wajah Laila muncul di sana."Haduh... kenapa bisa sih ada perempuan aneh itu di pikiran aku. Dia tuh cuma hantu, Ka,
Bab 9 Menikahi Mbak Kunti "Kecelakaan Kereta Api Biru jurusan Desa Merah tiga tahun lalu terjadi dikarenakan kecerobohan penjaga stasiun yang lalai bekerja dan terlambat untuk memberi tanda kedatangan kereta lain di jalur yang sama" Dika melanjutkan kembali bacaanya. "Kereta Api Biru terpaksa mengerem mendadak saat hendak bertabrakan dengan kereta lain di beberapa ratus meter lagi. Kereta api Biru tergelincir sampai jatuh ke dalam sungai yang berbatu terjal. Banyak korban tewas di kecelakaan tersebut" Dika tertegun saat membacanya. "Serem banget ya nih, mana ada gambar orang kejepit gerbong kereta di sungai, hiiyy..." ucap Dika bergidik ngeri. "Ummm...perasaan aku kok gak enak ya, Ka, hawa dalam kereta api ini agak aneh dan berbeda," ucap Laila. "Berbeda gimana?" tanya Dika. "Tadi kan di depan kamu ada penumpang, kok sekarang hilang, kira-kira pergi ke mana, ya?" tanya Laila. "Pindah tempat duduk kali," sahut Dika masih mencoba berfikir positif, meski ada perasaan takut me
Bab 10 - Menikahi Mbak KuntiLaila dan Dika saling berpegangan dengan eratnya. Mereka ketakutan menyembunyikan jari jemari mereka."Bisa pakai uang cash gak, Pak? masa pakai jari tangan?" tanya Dika mencoba menawar."Tidak bisa, harus jari tangan!" serunya."Duh, kenapa jari tangan sih. Kalau kamu sih udah jadi hantu, Lai. Kamu mau kasih jari tangan ke dia juga nanti tumbuh lagi," bisik Dika."Sembarangan! Emangnya aku alien apa kalau udah dipotong jarinya terus tumbuh lagi, huh!" Laila membentak Dika dengan kesalnya."Terus gimana, dong?" Tanya Dika ketakutan.Petugas kereta api itu menarik tangan Dika ke arahnya."Berikan jari tanganmu!" "Ja-jangan!!" seru Dika.Petugas kereta api itu tertawa menyeringai. Ia mengeluarkan gunting dari saku celakanya dan bersiap memotong jari tangan Dika."Nggak sakit kayaknya, Ka. Kamu harus kuat ya," ucap Laila seraya menyodorkan ujung kemeja Dika ke bibir pria itu lalu menyentak Dika dengan permintaan konyol, "Gigit ini, teriak yang kenceng!" Dik
Bab 11 Menikahi Mbak Kunti“Mereka berdua, Ma, sama kakak cantik ini.” Ali menunjuk ke arah Laila yang langsung tersenyum melambaikan tangannya.Namun, hanya Sri yang tak dapat melihatnya. Jadi, perbuatan Laila terasa percuma karena Sri tak bisa melihatnya."Baiklah, Nak Dika, untuk sementara tinggal di sini sampai besok ya. Saya minta tolong jaga anak ini. Lagipula kereta ke desa kamu kan adanya besok," ucap Kakek Arif."Iya, tenang aja, Kek. Saya juga mau balas budi karena tadi udah Kakek tolong," jawab Dika.Lalu Kakek Arif dan Ibu Sri pergi ke rumah sakit menggunakan becak yang melintas.***Dika menemani Ali mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah anak itu di ruang tamu. "Kakak tau, gak? Nanti setelah mama aku sembuh nanti, aku akan buat kios makanan buat Mama jualan, nanti uang modalnya aku ambil dari celengan," ucap Ali."Wah betulkah? Hebat ya? Oh iya tenang aja nanti saya bantu modalin," sahut Dika."Benaran, Kak?" tanya Ali penuh antusias.Lalu Dika membalas dengan senyum
Bab 43 kuntilanak Bulir bening dari kelopak mata Laila terus mengalir. Ia memeluk tubuh Oma, kesedihan masih saja menghinggapinya."Sudah ah jangan nangis, sekarang ini kamu harus menikmati hidup kedua kamu bersama Dika, dan juga perbaiki hubungan kamu dengan Papi kamu," ucap Oma Murni."Iya, Oma. Laila mau cari Papi dulu." Laila bergegas masuk ke rumah besar. Ia paham betul di mana harus mencari laki-laki pemilik rumah besar itu.Tuan agus Kuncoro selalu duduk di taman mawar yang di buat mendiang istrinya, Mami -nya Laila. Taman yang penuh bunga mawar itu terletak di samping kolam renang yang luas berbentuk huruf M.Tuan Agus sedang memeluk bingkai foto bergambar ia, istrinya dan Laila. Lantunan lagu lihat kebunku yang selalu ia nyanyikan bersama istrinya untuk Laila selalu dilantunkan saat sedang merenung di sana.Mata lelaki itu terperanjat saat melihat sepasang kaki perempuan yang sudah berdiri di hadapannya. Pandangan mata Tuan Agus makin naik sampai ke wajah Laila yang terseny
Bab 42 Kuntilanak Di dalam bus menuju Kota Lurik Ayu, Laila tampak gelisah. Peluh bercucuran membasahi tubuhnya seraya mencengkeram paha kiri Dika."Awww... kamu kenapa sih, Lai? Jangan sekarang juga kali kalau kangen sama ular naga punyaku," bisik Dika.Laila menoyor kepala suaminya itu dengan kesal dan gemas."Bukan itu tau, ih pikiran kamu tuh ya gak jauh dari hal itu sekarang," bisik Laila menatap tajam ke arah Dika."Terus kamu kenapa emangnya?" tanya Dika lagi."Itu, suara radionya aku gak kuat," bisik Laila.Dika baru sadar kalau supir bus ini memasang musik solawat yang membuat Laila merasakan hawa panas dan ketakutan. Biar bagaimana pun Laila masih termasuk kaum lelembut. "Duh, gimana caranya ini? Masa aku minta sama Pak Sopir buat matiin radionya," ucap Dika."Aku gak tahan, aku gak kuat, panas banget ini," ucap Laila yang mulai berteriak. Sontak saja para pengunjung menatap ke arah Dika dan Laila."Ono opo, toh?" tanya Nenek Asih."Laila, Nek, dia kepanasan denger solaw
Bab 41 Kuntilanak Setelah sampai di terminal, Dika memesan tiket bus yang menuju Kota Lurik. Akan tetapi, mereka harus transit dulu di kota sebelumnya. Dika, Laila dan Nenek Asih, akhirnya mendapat tiket bus menuju kota Lurik di jam keberangkatan malam hari. "Makan dulu ya, Nek, aku lapar," ucap Dika."Iya, aku juga," sahut Laila. "Lho udah bisa ngerasain lapar, toh? Ayo yo wis ayo kita cari makan sebelum bisnya datang," ucap Nenek Asih.Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk singgah di kedai soto ayam di dalam terminal tersebut."Astagfirullah... kok ketemu beginian, sih," pekik Dika saat melihat sosok pocong sedang duduk dalam kedai tersebut.Pemuda itu bersembunyi di balik Laila."Hai, wah kalian semua bisa melihatku, ya? Hebat hebat!" ucap pocong perempuan itu seraya meringis menunjukkan deretan gusinya yang penuh darah."Permisi Mbak, aku mau duduk. Tolong geser dikit, ya," pinta Laila yang memberanikan diri menggeser pocong perempuan itu."Oke, Say! Hihihihihi ketawa a
Bab 40Setelah Laila meletakkan tubuh Diah ke atas sofa, wanita itu segera melangkah menuju lemari tivi milik Nenek Asih."Kamu mau apa, Lai?" tanya Dika."Mau cari minyak kayu putih buat sadarkan dia," sahut Laila."Duh, terus kalau dia sadar dan cerita yang enggak-enggak sama warga, gimana?" Dika terlihat cemas dan panik."Iya terus kalau dia gak sadar nanti juga, gimana? Emangnya mau kita bunuh?" tanya Laila."Astaga, Laila! Apa yang kamu ucapkan itu berdosa Laila," sahut Dika."Apaan sih, kamu sendiri berdosa tau memperistri aku seperti ini," sahut Laila tak kalah."Aku kan cinta sama kamu, kadang cinta itu bisa membuat orang melakukan dosa, ya gak?" "Tau lah, udah ketemu nih minyak kayu putihnya, pokoknya kita buat dia sadar," ucap Laila.Tak lama kemudian setelah Laila mengoleskan minyak itu ke bawah hidung gadis yang terbaring itu, tiba-tiba Diah membuka matanya.Ia menatap wajah Laila lalu berteriak ketakutan. "Pergi! Pergi! Tolong jangan dekati saya, pergi!" pekik Diah.Ter
Bab 39Laila duduk berlutut tepat di hadapan bagian intim milik Dika."Kok, posisinya ada yang aneh ya? Aduh, rasanya saya mau nurunin celana aja," ucap Dika menggoda Laila."Haish salah hadap kan aku! Udah lah aku balik badan aja nih!" balas Laila yang langsung mengubah posisi duduknya."Hehehe... ya kali Lai, kamu mau gitu karaoke punyaku,” celetuk Dika."Au amat lah! Buruan pasang pakunya!" sahut Laila mulai kesal.Dika lantas tertawa. Setelah tenang, menarik napas dalam, pria itu lalu membuka kain merah yang membungkus paku tersebut."Buruan!" pinta Laila dengan nada berseru."Tunggu, sabar dulu! Aku lupa ambil palu bentar ya. Tunggu di sini, aku tanya dulu Nenek taruh palu itu di mana," ucap Dika."Yah, Dika... Aku udah nahan-nahan takut sakit nih," ucap Laila memelas."Iya tunggu bentar." Dika mengetuk pintu Nenek Asih dan terpaksa membangunkannya. Namun, saat Dika membuka pintu Nenek secara spontan ia melihat sosok pocong sedang menindih tubuh si Nenek Asih."Astaga, Nenek!" p
Bab 38"Emang kalau gak sukses kenapa Mbah?" celetuk Dika."Kalau nggak sukses ya ngapain aku capek-capek buat minum sama keluarin panganan ini toh le hehehe," ucap nenek bungkuk itu seraya tertawa menunjukkan deretan giginya yang beberapa gigi itu terbuat dari emas.“Nyoh!” Mbah Sarno menyerahkan kotak itu pada Dika. Pemuda itu langsung menerimanya dengan perasaan senang seraya mendekap kotak tersebut dengan erat."Yes, sebentar lagi, Laila akan menjadi manusia seutuhnya," gumam Dika."Cara pakainya gimana, Mbah?" tanya Nenek Asih."Ya ditancap seperti biasa ke atas ubun-ubun kepala sambil baca mantra yang sudah aku tulis pada kertas di dalam kotak tersebut,” titahnya.Dika mencari kertas berisi mantera dalam kotak tersebut."Oh iya ini ketemu." "Tapi ingat, ada konsekuensinya lho," ucap Mbah Sarno memotong kebahagiaan Dika saat itu."Maksud Mbah?" tanya Dika."Begini, kuntilanak itu kan asline wujudnya itu hantu, berarti sudah mati, toh. Nah, kalau kamu tetap ingin dia seperti man
Bab 37Pria tua berusia delapan puluh tahun itu bernama Mbah Sarno. Nenek Asih lantas menyambut tangan lelaki tua itu dan mengecup punggung tangannya. “Dika, Salim!” bisik Nenek Asih.Dika lantas mengikuti gerakan salim sang nenek. "Ono opo toh, Yu, tumben kamu ke sini?" tanya Mbah Sarno."Begini Mbah, langsung saja, ya. Lah ini cucuku namanya Dika, dan dia mempunyai istri yang sudah berwujud kuntilanak, jadi saya bermaksud untuk–" "Minta paku kuntilanak?" tanya Mbah Sarno langsung menebak tujuan Dika dan Nenek Asih ke sana."Ia, Mbah,” sahutnya sambil mengangguk, “jika Mbah berkenan, saya gak tega soalnya mereka saling mencintai dan baru saja menikah soalnya. Saya mohon dengan sangat Mbah, tolong bantu saya dan cucu saya?" pinta Nenek Asih.Mbah Sarno diam sejenak seraya berpikir, lalu ia mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama kemudian ia masuk ke dalam rumahnya.Dika mengikuti dengan reflek.“Hush!” Pukulan pelan dari sang nenek mendarat di punggung Dika."Gimana, Nek?" tanya D
Bab 36Keesokan harinya, Nenek Asih yang tengah sibuk di dapur malah menggoda sang cucu."Gimana pertarungan semalam?" tanyanya saat Dika yang menghampirinya di dapur."Ah, Nenek bisa aja. Ya seru lah, tapi aku nyesel," sahut Dika seraya duduk di kursi samping meja makan."Kenapa menyesal?" Nenek Asih mengernyitkan dahinya."Ya, aku nyesel lah, kenapa gak dari dulu aja aku nikah, hehehe." "Huuuu... cah gemblung!" Nenek Asih memukul pelan kepala Dika dengan sodet di tangannya.Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar dari depan rumah Nenek Asih."Itu pasti si Diah, dia setiap hari memang selalu ke sini menemani Nenek," ucap Nenek Asih lalu melangkah menuju ruang tamu dan membuka pintu."Assalamualaikum, Nenek sudah sarapan hari ini?" tanya Diah si anak Pak RT itu."Sudah." Wanita itu tersenyum manis."Ya ampun, Nenek... aku kan bawa makanan nih. Tadi aku buat soto ayam kampung," ucap Diah seraya menunjukkan rantang dari bahan alumunium di tangannya."Wah baunya enak, kebetulan aku la
Bab 35Dika mengangkat tubuh Laila dan menaruh kedua kaki gadis itu bertumpu di pinggangnya. "Cie... pada pacaran cie…." Sosok anak kecil berkepala botak yang hanya memakai celana dalam itu menegur Laila dan Dika.Keduanya langsung kikuk dan sontak saja membuat Laila turun dari gendongan Dika."Tuyul sialan!" umpat Dika.“Udah biarin aja,” bisik Laila.Saat Laila dan Dika masuk ke dalam rumah Nenek Asih, wanita paruh baya itu sudah merentangkan kedua tangannya menyambut Laila. Gadis itu menghamburkan tubuhnya sambil menangis di pelukan Nenek Asih."Jadi bagaimana, besok kita jadi kan ke rumah dukun itu?" tanya Dika raut wajahnya sangat terlihat antusias."Apa mau sekarang kita ke tempat Mbah Semar?" tanya Nenek Asih."Udah malam banget, Nek. Besok aja," sahut Laila."Oke kalau gitu. Ya udah, yuk kita bobo!" ajak Dika menarik lengan Laila."Aku tidur sama Nenek Asih aja," sahut Laila."Lho kita kan udah suami istri tau. Boleh kan Nek kalau aku tidur bareng sama Laila?" Dika menoleh