“Ouh! Sakit Kak….” Alea meringis.Saat Alea memukul tadi segera ditangkis dengan lengan Ardhan. Karena reflek merasa dalam bahaya, Ardhan menarik lengan Alea dan memitingnya kebelakang. Wajan Teflon yang dipegangnya pun jatuh.“Gila, mau pukul aku kamu?” ucap Ardhan ditelingga Alea dan membuat gadis itu menahan sakit.“Kaak, tanganku sakiiit!”Ardhan kemudian melepaskan Alea.“Tadi, tadi aku pikir ada maling. Habis Kakak kan bilang pulang nanti sore!” Alea mengelus-elus lengannya yang sakit itu.“Ya sudah, buatin aku sarapan. Aku sudah lapar!” tukas Ardhan mengambil air putih dan balik ke depan.Tidak berapa lama roti panggang, telur ceplok dan juga susu almond sudah terhidang di meja. Ardhan heran menatap Alea yang sudah rapi. Tapi tatapannya jadi tertuju ke dada yang membusung itu. Teringat apa yang sudah dilihatnya sepagi tadi.‘Ck! Bisa-bisanya tubuh kurus itu punya dada yang gede. Ish! Kenapa masih mikirin hal itu?’“Sarapannya, Kak?” Alea menggugah lamunan Ardhan.Ardhan tergaga
Bersepeda motor melintasi jalan raya, membuat Alea kembali teringat masa-masa SMAnya. Dia sering dijemput Devano karena rumah mereka searah menuju sekolahan. Saat lampu merah mereka berhenti tepat disamping mobil mewah. Tiba-tiba kaca jendela mobil turun dan ada dua bocah kecil yang melongok dari dalam.“Kakak, kalian pacaran ya?” celutuk bibir mungil itu.“Hah!” Alea terkejut melihat anak kecil yang lucu itu mengira mereka berpacaran. Ardhan sepertinya hanya tersenyum. Alea bisa melihatnya dari kaca spion meski sebagian mukanya tertutup helm.“Mirip di film-film gang motor itu, lho Kak!” jelas anak satunya lagi. Apakah mereka kembar? Oh lucu sekali anak-anak itu.“Selamat berpacaran, Kak!” Anak yang satu lagi dengan tidak berdosa malah memberikan selamat untuk berpacaran. Ish, jaman apa ini?Seorang pengasuh menutup kaca jendela mobil dan sebelumnya meminta maaf pada Alea. Saat lampu hijau sudah menyala dan mobil itu berlalu, Alea dan Devano tertawa bersama. Anak-anak jaman sekarang
Alea masih ingin kangen-kangenan sama Valen, Devano pun meninggalkan Alea di toko Valen sementara dirinya berangkat ke restoran untuk bekerja. Alea merasa sangat senang bisa membantu Valen di tokonya. Karena Valen juga punya karyawan, mereka masih sempat juga berbincang-bincang di sela melayani pelanggan.“Ganteng tidak suami kamu?”“Gantenglah, keren, kamu pasti langsung jatuh cinta melihatnya” tukas Alea. Mengundang heran Valen.“Kamu saja mikir aku langsung jatuh cinta, kok kamu sendiri tidak jatuh cinta?”Alea terdiam sesaat. Kemudian dia pun bercerita, “Dia sudah punya kekasih. Dia bilang tidak bisa memutuskan kekasihnya”“Oh!” Valen terdiam lagi memikirkan hidup Alea yang serba rumit.“Kamu suka tidak sama dia?” tanya Valen kemudian.“Maksudnya?”“Kamunya suka tidak sama dia?”Alea menghela napas panjang. Dia sejak dulu memang sudah suka dengan Ardhan, tapi sebatas suka sebagai seorang adik pada kakaknya. Setiap kali mereka bertemu, Ardhan selalu bersikap baik pada Alea. Dan sek
Meja makan sudah tertata dengan baik. Alea buru-buru membereskan peralatan masaknya baru kemudian mandi dan merias dirinya dengan baik. Sejak Hera membelikannya banyak alat make up yang bagus, Alea jadi hobi dandan. Dia merasa senang bisa melihat pantulan bayangan dirinya yang cantik. Harusnya dia berdandan untuk Ardhan. Tapi karena Ardhan enggan memperhatikannya, jadilah Alea berdandan untuk dirinya sendiri. Setidaknya merasa bahagia bisa tampil cantik bisa membuatnya percaya diri.Dia memang tidak suka dandan yang tebal, jadi hanya dandan minimalis saja namun terlihat sempurna. Saat melihat dari jendela, mobil Ardhan masuk halaman. Alea bergegas memakai dress midi selututnya. Ini sempurna sekali. Batin Alea menatap pantulan dirinya di cermin sambil berputar-putar sendiri.“Misi menggoda suami harus dilaksanakan!” Alea menyemangati dirinya sendiri.Ardhan masuk kedalam rumah langsung melihat meja makan yang sudah penuh makanan. Dia berpikir ada acara apa sampai Alea masak begini bany
Sepanjang hari dia bersenandung bahagia sambil membereskan rumah. Mengepel lantai, menyiram bunga, juga mencuci baju-baju Ardhan. Dengan gemas, diciuminya baju-baju Ardhan dan menghirup aroma parfum tubuhnya. Membayangkan di dalam sana ada tubuh pria itu yang bisa dipeluknya.Terdengar panggilan telpon membangunkannya dari lamunan.“Ayah?” Alea terdengar bahagia karena Nadhim yang menelpon.“Oh, anak Ayah terdengar bahagia sekali?” Nadhim jadi merasa senang mendengar Alea tampak bahagia.“Ayah, aku justru bahagia karena Ayah menelpon.” Alea jadi malu karena menampakan kebahagiannya itu. Dia sendiri juga heran, kenapa dia sebahagia seperti ini? Apa karena ciuman itu?“Mama Hera-mu harus tahu hal ini, dia pasti bahagia sekali.”Percakapan mereka pun berakhir setelah saling menanyakan kabar dan keadaan. Baru juga hendak meletakan ponselnya, panggilan dari Devano tertahan. Alea pun mengangkatnya. Devano mengajak sekedar jalan keluar. Membuat Alea jadi bingung. Alea mulai sedikit merasa an
Merebahkan dirinya di tempat tidur sembari menatap langit-langit di atasnya dengan tercenung cukup lama. Jadi merasa konyol sudah begitu bersemangat seharian ini, ujungnya dia sakit hati juga. Padahal Alea bukanlah orang yang tidak tahu bahwa Ardhan sudah memiliki seorang kekasih yang begitu dicintainya.Kenapa dengannya? Apa dia sudah jatuh cinta pada pria yang tidak berperasaan itu?Moodnya jadi begitu berantakan dan ingin sekali membuat berantakan benda-benda di sekitarnya. Namun Alea bisa menahan diri. Untuk apa juga menambahi kekonyolan, toh nanti dia juga yang repot beres-beres.“Kau tidak membuat sarapan?” Ardhan melihat Alea yang baru keluar kamar tapi sudah rapi itu.“Enggak, masih ada risol di kulkas. Kakak bisa masukin ke microwife sebentar” tukas Alea mengambil sepatu di rak sepatu dan sibuk menggenakannya.Sepagi ini yang ditanya sarapan, bukannya menyapa dan menanyakan kabarnya. Apa bagi pria itu Alea hanya tukang masak dan beres-beres rumahnya? Masak kalau dimakan juga
Perempuan kalau sudah keasyikan mengobrol mereka sampai lupa waktu. Seperti Alea dan Valen. Sudah bicara panjang lebar masih saja tidak habis pembahasan. Alea hendak pamit, tapi ibu Valen tiba-tiba datang dan mengajaknya mengobrol sebentar sekalian makan malam.“Suami kamu nyariin tidak kalau sampai malam begini?” bisik Valen pada Alea yang seperti lupa waktu itu. Dugaan Valen mungkin di rumahnya Alea kesepian.“Enggak, biasanya dia pulang malam juga!” tukas Alea santai. Dia yakin Ardhan juga pulangnya malam. Dan pastinya dia tidak akan memperdulikannya.“Bukannya aku ngusir, tapi kamu itu sudah punya suami, pulangnya jangan malam-malam, nanti dia khawatir.”Alea hanya mencebik dan mengedikan pundaknya. Mana mungkin Ardhan memikirkannya. Pasti dia asyik ngobrol dengan kekasihnya itu.“Ya udah, aku pesan ojek online saja.” Alea kemudian mengambil ponselnya, baru tahu bahwa ponselnya mati. Mungkin lowbat karena tadi setelah dari taman bersama Devano, batrainya tinggal 7%.Saat itu Devan
Alea menyiapkan sarapan dan sudah membersihkan rumah. Dia juga sudah berpakaian rapi karena hari ini adalah kelas masak pertamanya. Dia ingin berangkat lebih pagi karena tidak ingin terlambat di kegiatan itu. Ardhan pasti sedang disamping melakukan rutinitasnya di pagi hari. Dia memperhatiaknnya dari dalam dan tidak heran jika pria itu memiliki tubuh yang bugar dan bagus.“Kak, sarapannya sudah aku siapkan di meja. Aku berangkat dulu!” ujar Alea menghampiri Ardhan.“Kemana?”“Hari ini ada opening cooking class, aku mau berangkat lebih awal.”“Astaga ini baru jam berapa? Bareng aku saja, tempatnya juga satu gedung dengan kantorku!” Alea sedang memikirkan tawaran Ardhan, namun hatinya yang sedih karena semalam membuatnya masih enggan dekat-dekat dengan pria ini.“Enggak usah, Kak. Aku berangkat dulu, Kakak belum siap-siap juga, kan?” Alea memilih alasan itu agar Ardhan tidak bertanya macam-macam lagi.“Naik apa?” Ardhan menghentikan aktifitasnya dan menghampiri Alea.“Aku pesan taksi.
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b