Ardhan tampak tidak berdaya saat Hera mengintrogasinya macam-macam terkait keduanya yang ternyata pisah kamar.“Barang-barang Alea banyak, Ma! Karena itu aku merelakan lemariku untuknya. Dan barang-barangku ku taruh di kamar lain.” ujar Ardhan beralasan saat Hera marah-marah.“I-iya, Ma!” sahut Alea segera setelah kaki Ardhan menyenggol kakinya.“Kalian tidur terpisah?” Hera masih bertanya.“Tidaklah, Mama! Kami masih tidur satu ranjang, kok!” Ardhan merangkul Alea agar terkesan romantis. Yang dirangkul hanya senyum-senyum saja meski tampak terpaksa.“Beneran tidak pisah ranjang?” Hera masih mendesak.“Tidak!” jawab Ardhan dan Alea hampir bersamaan.“Baguslah!” Hera mulai tampak percaya.“Kalian tidurnya di kamar yang mana?” tanya Hera lagi.Namun pertanyaan itu justru mengacaukan lagi suasana. Karena Alea dan Ardhan menunjuk ke arah yang berbeda.“Di sana, Ma!” Alea menunjuk kamar depan yang ditempati Ardhan.“Di sana!” sementara Ardhan menunjuk kamar yang ditempati Alea.Hera membel
Ardhan setengah sadar. Merasakan sesuatu yang lembut di dalam sentuhannya. Jari jemarinya terus meremas benda lembut dan kenyal. Hingga dia membuka matanya dan menyadari sesuatu. Tangannya telah menangkup di atas tubuh depan Alea dan tampak nyaman di sana.“Astaghfirullah!” tukasnya seketika menarik tangannya yang memeluk Alea itu.Dia berjingkat dan menggeser tubuhnya menjauhi Alea. Dilihatnya jam digital masih menunjukan pukul 03.00. Bahkan masih belum subuh. Ini adalah jam-jam krusial bagi seorang pria. Dia bangkit menyalakan lampu, setidaknya membuat otaknya terus terjaga menghindari hal yang belum ingin dilakukannya.Namun keputusan untuk menyalakan lampu itu sepertinya salah. Dia yang saat ini duduk di kepala ranjang melihat seseorang yang terlelap disampingya itu dengan lekat. Dia jarang memperhatikan Alea dengan baik. Saat ini dia benar-benar menyadari sesuatu, bahwa dia telah menikahi seorang bidadari.Wajah Alea begitu damai dalam mi
Kelas memasak selesai. Alea merapikan mejanya. Beberapa temannya berpamitan, dan Alea hanya tersenyum melambaikan tangannya. Dia ingin membawakan kue itu untuk diincip Ardhan di lantai atas. Karena itu Alea segera mengambil tasnya dan membawakan kue buatannya itu ke kantor Ardhan.“Ada apa?” tanya Ardhan melihat Alea masuk ruang kerjanya sambil senyum-senyum.“Aku bawain kue buat, Kakak!” Alea menghampiri meja Ardhan dan meletakan kue di depannya.“Jangan sok manis deh, bawain makanan segala!”Ucapan Ardhan yang dingin itu membuat hati Alea yang senang mendadak jadi sedih. Dibawain makanan bukannya berterima kasih, malah cuek begitu.“Ya udah deh kalau enggak mau, ngapain juga tadi aku repot-repot bawain ke sini. Nyesel aku lihat muka jutek Kakak!” Alea menggerutu dan mengambil lagi kue yang di bawanya.Pintu terbuka dan masuklah Leon. Melihat ada Alea di sana dia tersenyum lebar dan menghampir
Alea geram lantaran Ardhan mulai membanding-bandingkan dirinya dengan kekasihnya itu. Tidak ada orang yang suka dibanding-bandingkan. Apalagi Alea adalah seorang perempuan. Bagaimana jika Alea juga membanding-bandingkan dirinya dengan para suami diluar sana yang mengerti bahwa jika sudah mengucapkan akad untuk seorang wanita, maka dalam hatinya haram memikirkan wanita lain.Sebagai anak lelaki keluarga Muradz yang didikan agamanya masih kental, tentu Ardhan tahu hal itu. Tapi pria ini mungkin sudah terkontaminasi dengan lingkungannya. Alea hanya berharap yang terbaik saja untuk kedepannya. Entah lanjut atau berhenti di tengah jalan. Dia benar-benar tidak bisa melihat masa depan.“Ini baju tidur biasa lho, bukan lingeri. Serapuh itu ya iman Kak Ardhan, lihat cewek langsung napsu!”Alea jadi teringat wanita-wanita di kantor Ardhan yang berpakaian seksi itu. “Dan apa kak Ardhan juga setiap hari bernapsu melihat karyawan Kak Ardhan yang pakaiannya
Alea masih kesal dengan apa yang sudah diperbuat Ardhan padanya. Dipandangannya sikap Ardhan benar-benar tidak gentle sekali. Dengan jelas dia selalu mengatakan bahwa sangat mencintai kekasihnya itu, tidak mau meninggalkannya begitu saja meskipun sudah menikahi Alea. Lalu kenapa dia masih melakukan hal itu padanya? Kalau saja tidak ada Hera di rumah, maka Alea akan mogok masak dan bersih-bersih rumah. Kalau perlu pergi ke rumah Valen dan menginap beberapa hari di sana agar pria ini tahu, dia juga bisa marah. Sesaat dia teringat legi wejangan Hera padanya, bahwa salah satu fungsi pernikahan adalah meredam nafsu birahi. Seorang istri harus rela dijadikan pelampiasan hasyrat suami demi menyelamatkan dari perzinaan. Ah, sepertinya Alea merasa itu kurang adil baginya. Karena Ardhanlah yang tidak mau melepas kekasihnya itu. Jika Ardhan mau memulai hidup baru tanpa ada orang ketiga bersama Alea, tentu Alea akan rela menyerahkan tubuhnya untuk di sentuh sang suami. Bagaimana jika nanti Ardh
Setelah menemani Naysila mengisi perutnya, mereka berdua bangkit dan hendak menuju lantai kantor Ardhan. Saat memasuki lift Ardhan mendapati Devano sudah ada di dalam lift dan hendak keluar. Melihat Ardhan digandeng mesra oleh seorang wanita cantik di sampingnya, Devano sedikit terkejut. Pria seperti inikah yang menikahi Alea-nya? Batinnya sedih teringat perasaan Alea.Untungnya lift dengan cepat mengantar mereka ke lantai tempat kantornya berada. Mereka segera memasuki ruang kerja Ardhan.“Ada sedikit waktu sebelum aku harus menyelesaikan ujian akhirku, jadi aku pulang!”Ardhan termenung menatap kekasihnya itu. Ada banyak yang berubah dari diri gadis yang sangat dicintainya itu. Tapi Ardhan tidak ingin terlalu memikirkannya.“Berapa lama?”“Sebulan mungkin? Itu sudah cukup melepaskan kerinduanku padamu!” Naysila tersenyum penuh arti pada Ardhan. “Padahal rencananya aku tidak ngomong-ngomong ke kamu kalau mau datang. siapa tahu bisa nge-gap kamu sama wanita lain!” Suara tawa Naysila
Alea terbengong beberapa saat baru kemudian memikirkan sesuatu. Bukankah kekasih Ardhan ada di Amerika? Lalu siapa wanita tadi?“Al? Kamu kok di sini?” sapa Leon menghampiri Alea.“Iya, Kak!”“Mas!” Leon mengoreksi panggilan Alea.Astaga, dia kenapa sih ribet dengan sebuah panggilan?“Sudah selesai kelas masaknya?” Leon bertanya lagi.“Iya, Kak, eh, Mas!”“Mau pulang?”“He’em”“Ardhan sedang sibuk? Jadi kamu aku antar ya?”Alea terdiam dan memutuskan untuk bertanya siapa wanita yang bersama Ardhan tadi. Dia sangsi kalau harus menduga bahwa Ardhan pria yang suka bermain banyak wanita. Artinya, dia menikahi pria yang brengsek. Alea tidak mau itu.“Sibuk apa, Mas? Aku tadi barusan lihat kok Kak Ardhan sama perempuan”Leon menatap Alea karena sedikit terkejut bahwa dia melihat Ardhan bersama wanita lain.“Oh, dia itu…” Leon masih memikirkan jawaban yang tepat.“Naysila kah? Apa itu Naysila ya Mas?”“Oh, kau kenal Naysila?”“Tidak, aku hanya pernah lihat di foto yang dipajang di meja kerja
Saat pintu itu terbuka, Ardhan begitu saja masuk melewati Alea dan segera pergi ke kamar mandi. Dia sudah tidak tahan dengan tubuhnya yang lengket dan gerah itu. Alea hanya menatap penuh kesal punggung pria itu yang menghilang bersamaan pintu kamar mandi ditutup. Sekeluarnya dari kamar mandi, dia melihat Alea meringis kesakitan memegangi kakinya.“Kenapa kamu?” tanya Ardhan sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.“Kalau sudah selesai mandinya, Kakak keluar gih! Aku lelah, mau istirahat!” tukas Alea mengusir Ardhan.“Hah! Berani kau mengusirku? Kau lupa ini kamar siapa?” Ardhan mengembalikan handuk ke tempatnya lalu dengan tidak perduli dia naik ke tempat tidur.“Kakak kan bisa tidur di ruang tengah, pengertian sedikit dong. Masa aku yang harus tidur di luar?”“Kalau tidak mau tidur di sana, ya sudah sini!”Alea mencebik teringat apa yang dilakukan pria mesum ini padanya
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b