Ardhan baru saja jogging keliling komplek dan balik ke rumah ketika Toni sudah datang. Dia melihat sopir baru itu sedang mengelap mobil dan menyapanya.“Selamat pagi, Pak?”“Pagi, Toni”Ardhan duduk menselonjorkan kakinya tak jauh dari tempat Toni. Lalu dia berbasa-basi sekedar mengobrol, menanyakan kemana saja kemarin Toni mengantar Alea keluar. “Tidak kemana-mana, Pak. Hanya ke kantor bapak,” jawab Toni. Dia melihat sepertinya Ardhan terkejut.“Ke kantor?”Alea ke kantornya? Kapan itu? Apa saat dia sedang meeting di luar?Ardhan akhirnya bisa mengerti kenapa Alea tadi malam terlihat sebal dan marah padanya. Apa dia tahu kalau dia meeting bersama Naysila?“Apa dia langsung pulang?” tanya Ardhan lagi. Ardhan tidak suka jika saja Alea kemudian malah menghabiskan waktu bersama Devano.“Tidak langsung pulang, Pak. Bu Alea cukup lama di sana. Sore baru pulang.”Fix! Dia pasti bertemu Devano di sana dan pria itu pasti punya seribu akal untuk menahan dan mempengaruhi Alea. Batin Ardhan sam
Ardhan beranjak ke ruang kerjanya dan menutup pintu dengan keras. Dicarinya rokok elektrik di laci untuk sekedar menghilangkan ruwet di kepalanya. Sejak mendengar Alea hamil Ardhan tidak merokok di rumah. Tapi kali ini sedikit kompensasi untuk dirinya.Dia marah dan sebal pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa malah membuat Alea sedih dengan sikapnya. Padahal kalau seandainya Alea mau marah, sudah dilampiaskannya sejak semalam padanya. Tapi gadis itu memilih tidak mengkungkitnya. Dan bodohnya Ardhan yang malah menguak yang sudah tidak dipermasalahkan Alea lagi.Semua ini hanya karena dia mendengar bahwa Alea dan Devano berpelukan. Ardhan tidak bisa mengetahui hal itu. Dia benar-benar cemburu.Seharusnya dia berbesar hati mengenyahkan rasa cemburunya. Karena sepertinya dia juga melakukan hal sama yang bisa membuat Alea juga cemburu padanya. Dia sudah mengatakan bahwa dia akan percaya pada Alea, namun ternyata tidak semudah itu mempertahankan rasa percayanya.Ardhan tidak bisa menyalahka
“Kita berangkat sekarang?” tukas Ardhan mengusik Alea.“Iya, Kak,” ujar Alea melirik Ardhan sebentar dan kembali memeriksa ponselnya.Ada banyak pesan yang belum di bacanya sejak semalam. Alea baru memeriksanya saat ini. Dia membuka dari yang paling atas. Dari Valen, sepertinya baru beberapa menit yang lalu dia mengirimnya.[Gak pengen rujak? Kapan main, aku buatkan rujak serut untukmu]Alea melihat gambar rujak yang dikirim Valen. Pasti rasanya segar sekali. Barusan Arya bilang membawakannya Mangga, dan Valen mengirim foto rujak buatannya. Duh, air liurnya jadi terbit tidak sabar mencicipinya.Astaga dua orang ini peduli sekali dengan baby-nya, sementara pria yang di sampingnya kenapa malah mengacaukannya? Berpikir demikian Alea sambil mengelus perutnya.“Ada apa, Sayang? Apa kamu merasa mual?”Ardhan melihat Alea yang tiba-tiba mengelus perutnya itu. khawatir Alea merasa mual.Alea hanya me
Mendengar ucapan Alea Ardhan tersinggung. Dia tercenung dan tidak bergeming. Bahkan ketika Alea mengingatkannya agar segera balik ke mobil karena harus meneruskan perjalanan ke rumah keluarga.“Tunggu, Al. Sepertinya kamu masih salah paham”Ardhan tidak ingin merusak suasana lagi setelah Alea sudah terlihat baik-baik saja. Tapi dia lebih tidak suka mengetahui istrinya salah paham padanya. Ardhan tidak suka membiarkan masalah berlarut-larut.“Ya sudah, Kak. Alea tidak akan memikirkannya lagi. Ayo…” ucap Alea malas berdebat lagi. Terlebih ini di tempat umum.“Aku mencintaimu, Al. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu. Aku sudah tidak ada perasaan apapun lagi pada Naysila.” Ardhan menggenggam tangan Alea dan menatapnya serius.Alea menunduk. Dia sudah membatasi perasaannya agar tidak terlalu percaya pada Ardhan. Tapi melihat kesungguhan yang terbersit di tatapan Ardhan, Alea jadi tergugah kembali untuk me
Ardhan menyempatkan mengunjungi perusahaan keluarganya karena pesan Hamid agar dia mulai terlibat dalam pengawasan perusahaan keluarga. Dia akan membagi waktu sebelum akhirnya melepas seutuhnya perusahaannya yang didirikan bersama teman-temannya itu. Mumpung masih di rumah orangtuanya, Ardhan menyempatkan waktu ke kantor perusahaan.“Selamat datang, Ardhan!” sapa Razik, suami Kamila saat melihat Ardhan datang.“Bang razik, apaan sih? Seolah aku baru pertama datang kemari saja!” degus Ardhan menjotos bahu Razik.“Udah pindah sini saja, kan malah ringan kerjanya. Tinggal nyuruh-nyuruh doang kayak papamu,” tukas Razik yang merasa Ardhan orang yang nyleneh. Sudah punya perusahaan keluarga sebesar ini malah susah-susah merintis perusahaan sendiri dari nol bersama teman-temannya itu.“Bang Razik curhat ya suka disuru-suruh papa?” Ardhan mencandai pamannya itu. Dia sudah mengenal Razik sejak belum menjadi suami tantenya, karenanya Ardhan sudah terbiasa panggil dengan sebutan ‘Bang’.“Lagian
Naysila melihat tubuh tak berdaya papinya yang harus dipasang dengan banyak alat. Dia hanya bisa menatapnya dari kaca ruang ICU. Kemudian dia duduk lemas sambil tersedu.“Daripada nangis mending lu mikir, dari mana biaya rumah sakit pria tak berguna itu!” tukas Lidia cuek seolah hidup mati suaminya dia tidak peduli.“Mami bisa enggak sih simpati pada Papi sedikit! Itu Papi Naysila, Mi. Pria yang sangat menyayangi Nay. Dia juga suami Mami yang banting tulang demi gaya hidup Mami.” Naysila sakit hati melihat sikap Maminya yang tidak peduli itu.“Asal kamu tahu ya, Nay. Papimu itu sama sekali sudah tidak memberikan nafkah lahir dan bathin hampir setahun ini. Malah numpuk hutang dan Kakakmu yang harus banting tulang menyelesaikannya. Belum lagi Digta yang terus ngejar-ngejar Mami karena kamu tidak mau menuruti kesepakatan yng sudah dibuat. Bikin masalah saja sih kamu!” gumam Lidia masih kesal pada sikap putrinya yang malah memilih kerja di perusahaan Ardhan.Lidia inginnya Naysila jadi is
Sesampai di rumah, Alea sudah melihat Sika dan Toni menyambut mereka. Membawakan barang-barang masuk kedalam rumah. Di meja makan sudah tertata hidangan yang beraneka macam. Kebetulan mereka belum makan siang.“Kakak jangan terburu ke kantor, ya?” Alea menahan Ardhan yang sudah mengganti bajunya. “Makan dulu, Kak!”“Baiklah!” Ardhan menuruti Alea.Seperti biasa Alea mengambilkan makanan untuk Ardhan dan menuangkan air mineral di gelas. Saat melihat bawang bombay, Ardhan mencebik. Alea baru tahu ada bawang bombay di dalam tumis sayurnya.“Oh, aku lupa kasih tahu Mbak Sika kalau Kakak tidak suka bawang bombay!”Alea mengambil kembali piring yang tersaji di depan Ardhan lalu menggantinya dengan makanan yang lain.“Nanti aku pulang agak malam tidak masalah, kan? Ada yang harus aku selesaikan dengan Leon di kantor.” Di sela makan Ardhan meminta izin pada Alea.“Oh, apa Kakak
Alea menutup ponselnya dan melatakkannya dengan sembarang. Tiba-tiba dia jadi galau sendiri. Membiarkan sejenak dirinya berpikir, Alea kemudian mengalihkan pikirannya dengan mengelus perutnya. Dia tidak suka berpikir yang buruk lagi tentang suaminya. Bukankah mereka sudah berjanji akan saling percaya?“Hallo baby, sedang apa kau di dalam sana?” Alea menghibur dirinya dengan mengelus perutnya. “Kangen sama Papa ya? Sabar ya Nak, Papa lagi kerja”Saat mengelus itu Alea dibuat terkejut karena perutnya berkedut lagi. Dia menjadi begitu senang dan tampak berlebihan. “Astaga, apa kau bisa mendengar Mama, sayang?”Kemudian dia jadi mengingat-ingat kapan jadwal periksa lagi. Segera Alea menarik laci dan menemukan buku periksa kehamilannya. Menurut catatan dia harus periksa lagi besok.“Ya Allah, untung aku ingat untuk lihat buku periksa jadi tahu kalau besok jadwal periksa.” Alea mengembalikan buku itu ke laci dan m
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b