Saat terbangun Alea sudah tidak di sampingnya. Padahal semalam dia memeluk gadis itu dan menemukan sedikit kedamaian sementara hatinya resah dan kecewa atas kenyataan cintanya. Mungkin terdengar sedikit egois. Alea hanya tempat berlabuh kegalauannya ketika dalam masalah.
‘Jam berapa ini?’ gumamnya sambil mengusap matanya yang masih berat itu. Dia baru pulang jam 03.00 dini hari dan menyempatkan sholat tahajud. Inginnya menunggu subuh tapi masih kelamaan. Akhirnya matanya yang penat itu pun memilih untuk terlelap di samping Alea.
Suara alat-alat masak terdengar sebagai tanda ada kegiatan di sana. Ardhan menghampiri Alea yang tampak rajin membuat sarapan sepagi ini.
“Kakak sudah bangun?” sapa Alea pada Ardhan.
“Rajin amat sih, Al? Sepagi ini udah bikin sarapan. Ini perut juga masih eneg kalau dimasukin makanan,” tandas Ardhan duduk di meja samping dapur sambil berpangku tangan.
“Aku ada kelas masak pagi ini,
Devano melihat pria yang merupakan suami Alea duduk di bangku pinggir jalan samping mobilnya. Hari yang sudah beranjak siang membuat tempat yang dia duduki tersinar penuh cahaya matahari. Devano heran kenapa pria itu duduk di sana?“Suamimu kenapa?” tanya Devano saat penjual kue puthu itu menyodorkan dua kotak kue pesanan Alea.“Janganlah pakai bilang suami, aku jadi gak enak juga kan di dengar orang,” gumam Alea yang mengundang tawa Devano. “Bukan apa-apa, aku di sini bersama kamu sementara dia disana menungguku, apa yang dipikirkan abang kue kalau tahu aku sudah bersuami.”Devano masih juga terkekeh. Dia paham apa yang dimaksud Alea. Penjual kue itu tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. “Lagian tidak biasanya dia duduk di sana macam tukang parkir saja, lagi gabut dia?”“Iya tuh, aneh banget. Pake bilang mau nungguin segala!” Alea membuka satu kotak kue puthu dan menyodorka
Dita--sekretaris Ardhan melirik gadis yang bersama bosnya itu dan masih penasaran sebenarnya apa status gadis itu?Beberapa kali dia bertemu Alea di kantor tapi belum tahu siapa sebenarnya dia. Sebagai sekretaris yang baru beberapa bulan bekerja tentu Dita belum mengenal banyak orang.Tentu gadis itu Bukanlah kekasih Ardhan. Karena Leon pernah menyampaikan bahwa wanita yang sedang menunggunya di luar sekaranglah kekasih Ardhan. Dan bisa jadi mereka ada masalah hingga Ardhan menolak untuk menemuinya.“Kau bisa pergi Dita, jangan lupa tutup pintunya.” Ardhan mengingatkan pada sekretarisnya itu yang masih berdiri terpaku.“Aku akan menunggunya!” ucap Naysila pada sekretaris yang baru keluar dari ruang kerja Ardhan dan mengatakan sang bos tidak bisa diganggu karena ada repot.“Silahkan menunggu di lobby saja, saya juga sedang repot,” ucap Dita pada Naysila. Meski tahu bahwa wanita ini adalah kekasih sang bos, beberap
“Pelayan, berikan billnya!” tukas Naysila sumpek mengingat Ardhan benar-benar tidak mau menemuinya.Naysila semalam sudah memikirkan banyak alasan pada pria itu agar dia mau menerimanya kembali. Ardhan harus tahu bahwa dia melakukan semua ini karena tekanan dari keluarganya. Ardhan pria yang tidak tegaan, mendengar dirinya terdesak pasti dia akan kasihan.“Maaf Nona, kartu kredit anda sudah diblokir!” tukas pelayan itu menhampiri Naysila dan mengembalikan kartu kreditnya.“Apa?!” Naysila melenguh, dia lupa kalau itu adalah kartu kredit yang diberikan Ardhan. Ternyata pria itu beneran memutuskan semuanya. Bahkan kartu kreditnya pun di blokir. Yang benar saja, jika Naysila masih berharap dapat memakai uang pria itu setelah hubungan mereka berakhir.“Ya sudah, pakai kartu yang ini saja.” Naysila menyodorkan kartunya yang lain. Dia masih punya tabungan di sana, masih bisa lah untuk membayar sekedar minuman di re
Leon memperhatikan Naysila saat wanita itu menangsi-nangis padanya. Dulu dialah yang pertama menyukainya. Mengenalkan pada Ardhan dan sering mengajaknya ke kantor yang baru dibangunnya bersama Ardhan. lambat laun dia baru menyadari, ternyata Naysila lebih memilih mendekati Ardhan. Bisa jadi karena alasannya Ardhan lebih kaya darinya. Leon tahu seperti apa keluarga Naysila.“Aku, benar-benar terpaksa melakukannya. Papaku berhutang banyak karena berjudi, sementara Mamaku selalu meminta ini dan itu.” Naysila tersedu.“Lantas, kau mau Ardhan menerima dirimu dengan kenyataan ini?”Leon tentu tidak menyalahkan Ardhan jika dia membuat keputusan mengakhiri hubungan mereka, bagaimanapun dia juga seorang pria. Tidak mungkin bisa menerima penghianatan kekasihnya dengan alasan itu. Ardhan bukanlah orang yang tidak tahu apa-apa tentang keluarganya. Dia bahkan memberikan Naysila kartu kreditnya. Tentu alasan terdesak dari Naysila tidak bisa diterima.
“KAU!”Ardhan terkejut merasakan pipinya yang panas karena ditampar Alea.“Diam, Kak. Ada lagi!” Alea bangkit dan hendak menamparnya lagi, namun Ardhan menghalau tangannya.“Kau ini kenapa sih!” Ardhan kesal pada tingkah anak nakal ini.“Ada nyamuk…!”“Astaga, gak perlu sampai pukul begitu. Niat ya pengen mukul wajahku?” Ardhan merasa Alea mencari alasan untuk bisa menonjok mukanya. Bisa jadi untuk membalas dendam atas sikapnya selama ini.“Enggak kok, itu nyamuk Anopheles lho, Kak. Bisa bikin malaria. Makanya aku langsung pukul nyamuknya biar mati! Harusnya kakak berterima kasih padaku karena sudah menyelamatkan kakak dari penyakit malaria!” ujar Alea bangga merasa apa yang dilakukannya benar.“Terima kasih jidatmu, lihat pipiku sampai gosong begini! Keras amat mukulnya!” gerutu Ardhan yang sebal karena suasana yang syahdu barusan harus menghil
Alea sebenarnya merasa kurang nyaman dengan sikap Ardhan hingga ingin buru-buru menjauh dan menghindarinya. Meski ada yang ingin dikerjakannya, Alea hanya menjadikan hal itu alasan saja. Sebenarnya dia bisa saja menunda kegiatannya itu. Beberapa saat yang lalu dia berharap Ardhan bisa berubah dan memperlakukannya dengan baik. Harapan terbesarnya adalah mereka bersama-sama membina rumah tangga dengan baik karena status mereka memang suami istri. Sekarang Ardhan terlihat berubah dan mulai menyadari kesalahannya. Tapi mengapa justru dia yang jadi bingung dan tidak suka? “Alea?” panggil Ardhan menyentak Alea yang terbengong. “Hah!?” Alea seperti biasa terkejut dengan kedatangan Ardhan yang suka tiba-tiba itu. “Kamu kenapa sih? Begitu saja terkejut?” “Kak Ardhan yang suka kagetin orang mlulu!” Ardhan merasa ada yang aneh dari Alea. Dia jadi terlihat menghindarinya sejak tadi. Apa dia kurang nyaman karena sore tadi Ardhan menciumnya? Atau ada yang dipikirkannya? Biasanya Alea suka cep
Langkah kaki Ardhan terdengar menuruni tangga. Rumah masih sepi. Sejenak dia melihat kamar Alea yang masih tertutup. Tidak biasanya dia masih anteng di kamarnya. Namun perkiraan Ardhan salah, Alea keluar dari bilik samping dan sudah terlihat rapi. “Mau kemana sepagi ini?” Alea tidak menjawab dan langsung ngeloyor ke dapur. Terlihat lagi sambil membawa beberapa makanan yang disuguhkannya di meja. “Aku mau pergi ke rumah Valen, Kak!” tukas Alea pada Ardhan yang masih bengong menatapnya itu. “Tidak ada kelas masak, kamu?” “Tidak, Kak.” “Kenapa sepagi ini, sarapan dulu, kamu sudah capek-capek masak tapi tidak dimakan.” Ardhan berjalan menghampiri meja makan dan melihat menu sederhana yang dimasak Alea. “Tidak usah, Kak. Aku sudah ditunggu Devano di luar.” Alea menghampiri Ardhan dan menyodorkan tangannya untuk minta salim sebelum pergi. Namun Ardhan justru menatapnya tidak suka karena sepagi ini pria itu sudah menjemputnya. Tidak punya pekerjaankah dia? Pagi-pagi sudah jemput istr
Alea menenteng tasnya dan hendak berlalu namun tangan Devano menariknya lagi. Mereka sedikit bersih tegang karena sikap Devano sudah terlalu ke dalam. Alea tahu maksud Devano baik, tapi dia tidak membutuhkan sampai temannya itu ingin melakukan banyak cara demi melihatnya terlepas dari kungkungan pernikahan yang tidak membuatnya bahagia ini. “Oke, aku minta maaf, Al. Aku hanya terlalu … “ Devano sungguh tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya. Dia harus bergerak cepat agar pria brengsek itu tidak mengambil kesempatan dari Alea. “Aku… mencintaimu, Al?” ucapannya bergetar karena melalui relung hatinya yang terdalam. Sejak dulu dia sudah menaruh sayang dan cinta pada Alea. Jika tuhan mempertemukannya saat ini, Devano yakin bahwa itu karena Alea adalah takdirnya. Alea sudah tahu Devano mencintainya. Tapi rasanya tetap beda jika kata itu terucap langsung dari mulut Devano. Dia sedih, karena bahkan saat ini pun dia membayangkan kata-kata itu keluar dari mulut suaminya. Padaha