“Hari ini ada kelas?” tanya Hera pada Alea yang menyuguhkan teh jahe hangat.
“Iya, Ma?” Alea yang tampak sedikit pucat itu mengangguk lalu balik ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Hera menjadi sedih menatap punggung menantunya itu. Dia cemas selama ini Alea hanya berpura-pura bahagia hanya demi tidak membuatnya dan orangtuanya cemas. Ucapan nadhim tempo hari membuatnya sudah bahagaia saja karena mengatakan Alea tampak bahagia bersama Ardhan. Nyatanya, anak kurang ajarnya itu malah masih memiliki affair dengan kekasihnya.
“Sudah, Al. Jangan masak banyak, ini juga cukup,” tukas Hera menahan lengan Alea yang hendak mengeluarkan ayam dari freezer. Dia merasa tangan Alea bersuhu lebih tinggi dari biasanya. “Kamu sakit?”
“Eng, enggak kok, Ma.”
“Badan kamu anget, Al. Ya udah biar Mama saja yang beresin dapur. Kamu duduk saja, ya?”
Hera membimbing Alea duduk, meski keberatan Ale
Dita, sekretaris Ardhan mengetuk pintu dan segera masuk setelah mendapat sahutan. Dia menyerahkan beberapa dokumen dan menyampaikan bahwa ada tamu dari perusahaan lain hendak menawarkan kerjasama. “Ada seorang wanita katanya perwakilan perusahaan Timika, sudah membuat janji, tadi telpon lagi menanyakan kapan bisa menemui anda.” Saat itu Ardhan baru mengaktifkan ponselnya lalu pesan dari Fadia terbaca, [Saya diutus perusahaan untuk tawarin kerja sama, bisa kan kita ketemu? ---Fadiya] “Oh, apa namanya Fadia?” tanya Ardhan pada Dita. “Benar, Pak!” “Baiklah aku akan menemuinya,” tukas Ardhan dan membiarkan Dita keluar. Dilayar ponselnya ada banyak notif panggilan tidak terjawab dari Naysila, lalu ada pesan yang baru dibaca Ardhan. [Aku datang nanti sore ke kantormu, Ya?] Karna hari ini jadwalnya padat sekali, Ardhan pun membalas [Jangan, hari ini sedikit sibuk. Lain kali saja] Baru saja pesan itu di kirim, Naysila sudah menelpon lagi. “Ada apa, Nay?” ucap Ardhan mengangkat panggi
Ardhan hanya menatap Naysila yang tertawa bahagia itu menyanyikan sebuah lagu sambil sesekali bergoyang mengikuti irama musik. Mereka sedang di tempat karaoke sekarang, namun pikiran Ardhan entah kemana.“Sayang kok melamun mlulu, ayo nyanyi bareng!” Naysila menyodorkan microphone pada Ardhan namun ditolaknya. Sedang lelah katanya. “Hhg, ya udah deh. Aku pesankan makanan lain ya?” Naysila masih belum berhenti membujuk Ardhan.“Tidak usah, aku tadi sudah makan.” Tolak Ardhan sekali lagi.“Ish, itu mukanya senyum sedikit dong!” Naysila mencubit pipit Ardhan agar mau tersenyum. Dia meletakan microphonenya dan bilang harus ke toilet sebentar.Di toilet Naysila memperbaiki riasannya, menambal lipstik dan merapikan rambutnya. Baru itu dia balik badan dan hendak kembali ke ruang karaokenya tadi. Saat itu dia berpapasan dengan seseorang.“Kau di sini?” sapa Naysila terkejut.“Kenapa? Aku sudah menyelesaikan tugas akhirku dan bisa pulang kampung lebih awal. Kau tahu sendiri kan, aku jadi gembe
“Kau dari mana saja? Semalam tidur di mana?” Hera tidak tahan mengomeli putranya itu yang baru nampak sejak semalam.“Tidur di rumahlah, Ma,” jawab Ardhan enteng.Alea dan Hera saling berpandangan seolah tidak mempercayai apa yang dikatakan Ardhan. Namun melihat Ardhan yang melepas jaket hoodinya, hanya memakai celana pendek dan sepatu olahraga, mereka menyimpulkan Ardhan barusan habis lari-lari pagi di luar.“Jam berapa pulangnya?” Hera masih mengejar.“Ya ampun, Ma. Pulang kok semalam. Memangnya kemana lagi kalau enggak pulang. Beli apartemen juga gak boleh kan?” ujar Ardhan mengingatkan mamanya yang sangat tidak suka kalau Ardhan punya apartemen. Menurutnya punya apartemen itu hanya membuat jauh dari keluarga. Untungnya Ardhan masih boleh punya rumah sendiri hanya karena alasan kantornya jauh dari rumah keluarga mereka.“Ya udah, cepat mandi dan sarapan. Mama mau bicara sama kamu!”Ardhan hanya mengangguk dan berlalu ke dalam kamar. Hera merasa kali ini Ardhan sudah balik lagi sepe
Alea merasa tubuhnya kedinginan dan dia cepat-cepat mengganti bajunya yang basah dengan baju yang lebih hangat. Kepalanya malah bertambah pusing dan hidungnya jadi pengar. Secangkir teh jahe hangat dicampur madu seperti resep mertuanya mungkin bisa membantu. Dia melangkah ke dapur untuk membuatnya meski tubuhnya terasa sangat lemas. Dia bahkan sampai berpegangan dinding saat merasa pusing.“Kau kenapa?” Ardhan melihatnya tampak lemas dan segera membantunya.“Kakak tidak ke kantor?” tanya Alea heran karena ini sudah siang dan Ardhan tidak biasanya masih di rumah.Ardhan sudah berpakaian rapi dan bersiap hendak ke kantor. Namun melihat Alea yang keluar kamar dengan memegangi kepalanya dia jadi cemas. Pasti itu gara-gara flunya. Apalagi barusan gadis ini malah main air. Sedikit sesal karena tadi dia malah menyemprotkan air ke Alea.“Tambeng sih kamu, malah mainan air!” gerutu Ardhan sambil membuatkan teh jahe hangat untuk Alea.Alea tidak punya tenaga bahkan untuk menyahuti ucapan Ardhan
“Nay? Kenapa kamu?”Suara barang-barang dilempar itu mengganggu keasyikan Lidia yang sedang mengunggah status berlian barunya di medsos. Tidak mendapat sahutan, Lidia mencoba membuka pintu kamar Naysila dan terperanjat melihat kamar berserakan barang-barang yang tercecer.“Ya Tuhan, kamu ngapain?” Lidia jadi kesal dan menghampiri Naysila yang duduk dilantai dengan sedih. “Bisa mikir enggak sih kamu, udah tua kamu kelakuannya masih kayak anak kecil. S2 lho kamu. Jauh-jauh kuliah di luar negri bukannya malah dewasa tapi justru kayak anak kecil!” Lidia tidak berhenti mengomel.“Kenapa Mami selalu nyangkut-nyangkutin kuliah?” Naysila tidak terima, dia menatap wanita itu dengan tatapan penuh amarah. Merasa wanita itu juga harus bertanggung jawab jika Ardhan sampai memutuskannya.“Ya kenapa emang? Mami udah pernah bilang ngapain masih lanjut kuliah, cari kerja sana dapat uang. Kuliah mah cuma habisin u
Ardhan berjalan terburu di depan Naysila agar wanita itu tidak lagi sok bergelanyut manja di lengannya. Namun Naysila berhasil mengejarnya dengan langkah panjang dan menyabukan lengannya di tangan Ardhan. Dia masih berharap semuanya bisa diperbaiki. Dia yakin Ardhan sangat mencintainya dan bisa mendengar penjelasannya.“Aku sudah membantumu, sekarang pulanglah!” ucap Ardhan menarik tangannya dari Naysila.“Terima kasih, Sayang. Aku heran masih ada pemuda yang mengurusi urusan orang lain,” gumam Naysila mengerutui Devano. Dia senang masalahnya sudah selesai dan tidak harus berurusan lagi dengan polisi. Itu sangat meribetkan sekali.Teringat begitu mudah pria ini bisa menyelesaikan setiap masalahnya, Naysila semakin tidak rela jika Ardhan harus memutuskan hubungan mereka. Dia pasti tidak bisa hidup dengan baik tanpa Ardhan.Tiba-tiba melihat Ardhan pergi tanpa menunggunya, Naysila mengejar. “Sayang, kok aku ditinggal?”
Saat terbangun Alea sudah tidak di sampingnya. Padahal semalam dia memeluk gadis itu dan menemukan sedikit kedamaian sementara hatinya resah dan kecewa atas kenyataan cintanya. Mungkin terdengar sedikit egois. Alea hanya tempat berlabuh kegalauannya ketika dalam masalah.‘Jam berapa ini?’ gumamnya sambil mengusap matanya yang masih berat itu. Dia baru pulang jam 03.00 dini hari dan menyempatkan sholat tahajud. Inginnya menunggu subuh tapi masih kelamaan. Akhirnya matanya yang penat itu pun memilih untuk terlelap di samping Alea.Suara alat-alat masak terdengar sebagai tanda ada kegiatan di sana. Ardhan menghampiri Alea yang tampak rajin membuat sarapan sepagi ini.“Kakak sudah bangun?” sapa Alea pada Ardhan.“Rajin amat sih, Al? Sepagi ini udah bikin sarapan. Ini perut juga masih eneg kalau dimasukin makanan,” tandas Ardhan duduk di meja samping dapur sambil berpangku tangan.“Aku ada kelas masak pagi ini,
Devano melihat pria yang merupakan suami Alea duduk di bangku pinggir jalan samping mobilnya. Hari yang sudah beranjak siang membuat tempat yang dia duduki tersinar penuh cahaya matahari. Devano heran kenapa pria itu duduk di sana?“Suamimu kenapa?” tanya Devano saat penjual kue puthu itu menyodorkan dua kotak kue pesanan Alea.“Janganlah pakai bilang suami, aku jadi gak enak juga kan di dengar orang,” gumam Alea yang mengundang tawa Devano. “Bukan apa-apa, aku di sini bersama kamu sementara dia disana menungguku, apa yang dipikirkan abang kue kalau tahu aku sudah bersuami.”Devano masih juga terkekeh. Dia paham apa yang dimaksud Alea. Penjual kue itu tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. “Lagian tidak biasanya dia duduk di sana macam tukang parkir saja, lagi gabut dia?”“Iya tuh, aneh banget. Pake bilang mau nungguin segala!” Alea membuka satu kotak kue puthu dan menyodorka
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b