Saat Devano mengucapkan hal itu, Alea terkejut karena merasa tidak meminta Devano mencicipi donat buatannya. Apa mungkin chef tadi memberikan donat yang masih ada beberapa di piring pada Devano?
Kenapa juga mengucapkan terima kasih? Pasalnya baru saja tadi Alea mengatakan bahwa donat itu special dibuatnya hanya untuk Ardhan.
Alea melirik Ardhan yang tampak tenang di permukaan itu, namun ragu apakah Ardhan menyembunyikan kesalnya? Untung pintu lift terbuka karena mereka sudah sampai di lantai bawah. Devano keluar terlebih dahulu barulah Ardhan dan Alea.
“Kau langsung mau pulang?” tanya Ardhan pada Alea yang berjalan dengan langkah kaki panjang. Alea jadi harus menyelaraskan jalannya. Kakinya lebih pendek dari Ardhan.
Apa dia beneran marah karena ucapan Devano? Batin Alea melihat sikap Ardhan yang berubah dingin. Langkah kakinya jadi mengendur dan membiarkan pria itu memimpin di depan sedikit panjang jaraknya.
“Alea?” Ar
Di antara suara deru hujan yang mulai deras itu. Dua insan yang sudah tidak bisa menahan diri saling berciuman mesra. Kecupan kedua bibir itu bahkan sampai berbunyi seperti menyampaikan betapa keduanya sudah ingin saling menyatukan diri. Alea menahan sejenak dan sekali lagi mengingatkan apa tidak lebih baik mereka sholat isya dulu?“Sholat Isya-nya bisa nanti, waktu isya itu lama sampai menjelang subuh” ucap Ardhan tidak rela keromantisan mereka terjeda.“Tangan Kakak aman ‘kan?” Alea masih mencemaskan tangan Ardhan.Ardhan yang tadinya bersama Alea duduk di bawah sofa, perlahan bangkit berpindah duduk di sofa. Sebuah bantal diposisikan di sampingnya sebagai tempat meletakan tangan kirinya yang cidera. Kemudian dia menepuk pahanya isyarat agar Alea duduk di sana. “Kemarilah, Al. Duduk di sini ya?” ucapnya.“Sekarang, Kak?” Alea masih juga bertanya hal itu.“Astaga Alea, masa tahun de
“Astaga! Siapa juga malam-malam begini datang. Hujan lagi!” gerutu Ardhan yang merasa hampa karena Alea tiba-tiba bangkit dari tubuhnya.Kesal tentu dirasakan Ardhan. Baru juga mau berlanjut ke puncak kegiatan, ada juga gangguan.“Belum terlalu malam lho, Kak. Baru juga pukul 19.00,” ucap Alea jadi penasaran siapa yang malam-malam datang.“Biarin sajalah!” gerutu Ardhan lagi yang menarik lengan Alea. ingin melanjutkan keintiman yang terjeda itu. Namun suara bel berbunyi lagi. Ardhan melenguh geram sambil menggerutu dalam hati ‘Mana masih tegang lagi’“Buka saja ya, Kak. Siapa tahu penting,” ujar Alea meminta pendapat. Percuma juga dilanjutin kalau bel it uterus berbunyi dan menganggu. Ardhan hanya meghela napas dan mengangguk. “Eh, gila kamu! Pakai bajumu dulu!” Ardhan mengingatkan Alea kalau dia masih telanjang bulat saat hendak bangkit. “Ya Allah, Iya Kak, Maaf!” ucap Alea menepuk jidatnya kemudian bergegas menggenakan bajunya. Saat hendak berlalu pergi dia masih sempat bercelot
Devano membuat cake special untuk Alea dan semalaman menghabiskan waktu untuk menghias penampilan kue itu. Dia teringat pohon di samping sekolahnya lalu mendapat ide membuatnya dengan coklat yang dibentuk sedemikian rupa seperti pohon. Namun pohon itu dibuat tumbang menyangga pada ranting kecil yang rapuh. Di sampingnya tumbuh beraneka macam bunga. Sentuhan terakhir adalah taburan gula halus membuat kesan dramatis platingan cake itu.Ini tanggal 2 Agustus, tepat di mana persahabatan mereka genap berusia 6 tahun sejak dari SMA. Teringat dulu dengan konyolnya membuat sebuah prasasti di pohon besar samping sekolahan dekat kantin. Menuliskan tanggal ini menjadi tanggal jadi persahabatan mereka. Merayakannya bersama menghabiskan seharian untuk jalan-jalan, makan-makan, nonton, atau sekedar berkumpul di salah satu rumah mereka sambil masak-masak bareng.Semua kenangan yang terdapat Alea di dalamnya, adalah kenangan yang selalu disimpan Devano dengan baik. Karena dia mencinta
Sepanjang perjalanan Ardhan terdiam dan Alea jadi gelisah. Jemari tangannya saling tertaut sembari berpikir apakah Ardhan marah karena tadi Alea bersama Devano?Apakah Ardhan mendengar percakapan mereka? Seandainya begitu, seharusnya Ardhan tidak marah, karena dalam percakapan itu Alea mengatakan bahwa dia mencintainya.Jika begitu adanya, berarti Ardhan memang tidak mendengar percakapan mereka. Apakah dia harus bertanya dan menjelaskan hal itu?Alea jadi bingung. Sejak Ardhan berubah dan ingin memulai hubungan yang lebih baik, Alea mulai merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga perasaan suaminya itu.Ketika mereka sudah sampai di rumah, Alea tidak tahan dengan kebekuan ini. Dia pun menghampiri Ardhan yang ada di lantai atas.“Kak?” tanya Alea pada Ardhan yang tampak serius di depan laptopnya.Ardhan sebentar teralihkan. Melihat Alea mendekat dan duduk di sampingnya.“Kakak marah?” tanya Alea lagi.&
Alea tampak ribet sendiri karena Ardhan mendadak mengatakan akan ke rumah sakit untuk memeriksakan tangannya. Dia yang baru mengikuti setengah main kegiatan kelas memasaknya buru-buru ingin meminta ijin. Tapi sepertinya dia kesulitan untuk melakukannya karena chef di sana—yang terkenal sedikit tegas dan killer itu-- sedang repot memeriksa cake hasil peserta lainnya. Ternyata tidak hanya di sekolah dan kuliah ada pengajar yang killer, di kelas memasak juga ada. Alea jadi baru menyadari beberapa hari ini tidak bertemu Devano. Seandainya ada Devano, urusannya pasti mudah. ‘Tapi aku mau ikut mengantar Kak Ardhan ke rumah sakit, bisa jadi ada hal yang serius sampai dia ke rumah sakit begitu’ Alea masih komat-kamit berjalan menghampiri pria berpakaian koki dan memaki toque itu. Meski pada akhirnya kakinya terhenti lantaran mendengar chef tersebut sedikit menekankan ucapannya. “Makanya saya sering mengatakan di jadwal kelas saya, disiplin itu penting. Jangan seenaknya sendiri, di jam keg
Setelah membersihkan dirinya, Alea merasa lebih segar. Pikirannya juga sedikit longgar. Dia tidak boleh terjebak dengan dilema perasaannya sendiri. Sudah bagus kemarin dia mempertegas hubungannya dengan Devano. Jadi tidak perlu plin-plan lagi dalam bersikap. Dia juga tidak punya hak untuk mengatur bagaimana Devano harus bersikap. Tidak sepantasnya dia jadi sedih jika Devano menjadi dingin padanya.Alea mengambil food storage dan membuka kotak kuenya untuk memindahkan kue ke dalamnya. Saat itu suara deru mobil Ardhan terdengar. Alea segera bangkit dan berlari ke pintu samping yang dekat dengan garasi mobil. Melihat Ardhan berjalan masuk dengan tidak ada sesuatu yang menampakan ada masalah serius, membuatnya lega.Sepiring kue dan teh hijau menemani sore mereka di halaman samping sambil menikmati aliran air mancur buatan di kolam koi. Alea menanyakan hasil pemeriksaan tangan Ardhan tadi dan Ardhan hanya menjawab santai. Bahwa semuanya baik-baik saja tanpa memberinya penjelasan jelas.“
Ardhan menggapai sling armnya dan menggenakannya agar bisa lebih mengkondisikan gerakan tanpa harus membuat tangan yang cidera bermasalah. Ardhan tahu seharusnya dia tidak melakukan hal ini dulu saat tangannya masih belum seutuhnya membaik, namun rongrongan hasyrat sebagai seorang laki-laki tak dapat ditahannya. Apalagi sudah sejak lama Alea terus membuatnya menginginkannya. “Kita pacaran saja ya, Kak. Alea takut tangan Kakak…” Alea masih mencoba mengingatkan Ardhan di tengah kegiatan yang bertambah panas itu, namun Ardhan mengabaikannya. “Enghhh….” Alea merasa ada yang mendesak memasukinya. Perlahan namun pasti. Matanya terpejam rapat seolah merasa kesakitan namun tidak berusaha protes. “Sakit Al?” tanya Ardhan mencoba mempertimbangkan apakah dia akan menyakiti Alea jika diteruskan. “Ehmm... “ Alea mencoba beradaptasi dengan benda yang terjejal sesak di dalam kewanitaannya itu. sambil mengatur nafasnya dia melihat Ardhan cemas lalu berujar,”Lanjutin, Kak!” “Sebelum lebih jauh,
Ardhan membaca kabar berita dari ponselnya dan sedikit terganggu melihat Alea yang berjalan dengan langkah berbeda. Keningnya berkerut mencemaskannya.“Kenapa begitu jalannya?” tanyanya.“Ugh, gimana dong?” Alea malah bertanya balik dengan sebal meski sedikit terlihat malu karena kegiatan mereka yang membara semalam.Ardhan baru sadar bahwa Alea seperti itu karena kelakuannya semalam. Dia pun bangkit dan mendudukan Alea.“Mau apa, Kak?” Alea heran.“Yang mana yang sakit? Aku periksa ya?” Ardhan terlihat serius dan membuka kedua paha Alea.“Jangan ah, Kak!” Alea menolak dan merapatkan kembali kedua kakinya.“Jangan begitu, kalau memang sakit kita periksa saja ke dokter”Alea tentu tidak ingin pergi ke dokter karena hal ini. Mau di taruh mana mukanya kalau harus diperiksa di bagian sana. Apalagi itu karena kelakuan suaminya sendiri. Tadi dia sudah tanya-tanya di web tanyadokter online, dan jawabanya itu normal. Akan membaik dengan sendirinya. Hanya perlu pelemasan otot-otot saja.“Yakin
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b