Earwen Freya Laurels, gadis yang berdarah Loyren. Princess yang tidak dianggap dalam kerajaannya sendiri. Sedari kecil Earwen selalu bertanya kepada dirinya sendiri, untuk apa menyandang gelar Princess, sedangkan ia hanya menjadi figuran dalam istananya?Dalam ketidakharmonisan tersebutlah membuat jiwa Earwen terbentuk. Jiwa dingin dan tidak peduli akan bahaya untuk dirinya sendiri. Earwen tumbuh di bawah naungan Rose, wanita tua yang meluangkan waktunya untuk bermain dengan Princess non magic ini. Earwen bersyukur ia memiliki Rose. Rose sangat berperan penting dalam hidupnya. Disaat sang ibu yang menolak untuk mengajarkannya belajar dalam bidang militer maupun pendidikan justru Rose yang saat itu hanya pelayan rendahan dan buta huruf mengajarinya berbagai macam pembelajaran. Dia wanita tangguh yang berjalan kesana-kemari, meminta ke salah satu panglima kerajaan agar mengajarkannya cara memanah dan bermain pedang. Hingga umurnya menginjak dewasa, Earwen tumbuh tanpa kekurangan mater
"Nona Earwen, anggota kerajaan sudah menunggu anda di ruang makan," ucap Rose pelayan pribadi Princess Earwen.Pintu kamar sang Princess terbuka memperlihatkan sosok wanita cantik nan anggun itu keluar dari kamarnya. Princess Earwen tersenyum kecil kearah pelayan pribadinya. Sesampainya di ruang makan kerajaan, ia mendudukkan tubuhnya di kursi. Ia tersenyum kearah King dan Queen. "Maafkan hamba yang mulia ayahanda karena datang terlambat," ujar Princess Earwen.King Valiant tersenyum kecil dan mendentingkan sendoknya. Semua orang memakan hidangan yang tersedia dengan anggun dan tidak ada suara. Selesai makan biasanya akan ada jamuan kecil seperti mengobrol dengan meminum teh mint."Ehem!" dehem King Valiant.Semua orang di meja makan mendadak diam dan memasang telinganya karena sang Raja akan berbicara."Princess Earwen, ayahanda akan menjodohkanmu dengan King Edmund," ucapnya dengan santai.Mendadak semua orang berpaling ke arah Princess Earwen. "Eem ayahanda, kenapa menjodohkannya
Suara alunan biola yang indah terdengar di aula kerajaan Hillary ditambah dengan keindahan bunga Anyelir pink disetiap sudut ruangan menambah kesan cantik. Tamu dari kerajaan lain sudah duduk ditempatnya masing-masing dan beberapa rakyat Hillary yang datang untuk menyaksikan Raja mereka yang akan mengucapkan ikrar suci pernikahan dihadapan Tuhan. Semua tamu serentak menggunakan pakaian dengan dress code berwarna putih yang melambangkan kesucian.King Hillary sudah gagah dengan baju rajanya. Dengan tatapan mata yang tajam ia terus menatap lurus pintu putih yang nantinya akan dibuka. Ceklek..Pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok wanita yang menggunakan gaun pernikahan berwarna putih dan penutup kepala yang senada. "Nona Earwen anda sudah siap?" tanya Briana pelayan pribadi princess Earwen.Earwen mengangguk ia menatap lurus ke depan yang sudah ada King Edmund yang akan menggandengnya untuk menghadap pendeta, sekaligus orang yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.Princess E
Earwen sudah anggun dengan setelan dress selutut dan sepatu yang senada, dengan tatanan rambut heart bun menambah kesan elegan tapi sederhana, sangat cocok dirambut Earwen yang berwarna coklat keemasan. Briana menatap kagum kearah ratunya. "Lady anda sangat cantik," ucap Briana dengan kagum melihat penampilan Earwen.Earwen tersenyum malu. "Terimakasih Briana." Earwen berjalan dan diikuti Briana dari belakang, salah satu prajurit membukakan pintu taman kerajaan Hillary karena agenda hari ini adalah minum teh bersama. Sejak kemarin Earwen tidak melihat sosok orang tua King Edmund, yang ia tahu ibu king Edmund sudah tiada tapi kemana perginya Raja Hillary terdahulu itu? Earwen tidak berani bertanya, biarkan nanti ia mendengar kabar gosip dari beberapa pelayan. "Oh astaga kamu menantu cucuku?" tanya wanita tua yang masih kelihatan cantik.Earwen tersenyum dan mencium tangan wanita tua tersebut. "Ya ampun kamu pasti tidak mengenaliku, aku Queen Belinda ibunda King Arthur, ayah Edmund,
"Dengan apa tuan?" tanya Earwen dengan polosEdmund memiringkan kepalanya, matanya menatap Earwen yang sama sekali tidak ada pergerakan, ia tersenyum smirk dan memajukan kepalanya hingga desiran nafas Earwen mengenai kulit mukanya, ia mulai memajukan sedikit demi sedikit hingga bibir mereka saling bersentuhan. Edmund membelalakkan matanya dan melepaskan bibirnya ia langsung berlalu pergi meninggalkan Earwen. Ada apa dengan dirinya, bagaimana bisa ia kebablasan? ini semua salah sampanye itu. Edmund mengguyurkan seluruh badannya dengan air dingin untuk merendamkan pengaruh alkohol tadi. selesai dengan mandinya Edmund berjalan kearah tempat tidurnya. Netranya menatap Earwen yang sudah terlelap tapi masih menggunakan sepatunya. Edmund berjalan dan melepaskan sepatu tersebut dari kaki Earwen, ia kemudian membenarkan posisi tidur Earwen dan menarik selimut hingga menutupi setengah tubuh Earwen. Edmund merebahkan tubuhnya di samping Earwen, dirinya tidak akan tidur di sofa ataupun kamar l
Tok..tok..tok"Lady anda dipanggil yang mulia ibu suri," ucap Briana.Earwen menatap pantulan dirinya di cermin, sejak tadi ia hanya berdiam diri tidak tau ingin melakukan apa. Hillary sangat asing baginya, suasana baru membuat Earwen harus beradaptasi lagi."Dipanggil untuk apa Briana?" tanyanya.Briana menggeleng. "Saya tidak tahu lady." "Yasudah, antarkan saya." Briana mengangguk dan mengikuti langkah Earwen di belakang dengan pandangan menunduk, sesekali Briana menatap sekelilingnya. "Disitu lady tempatnya." Earwen menatap tempat yang ditunjukkan Briana, pusat pelatihan alat panah. Earwen bergegas masuk kedalam. Netranya melihat Belinda yang tengah menikmati teh mint, kemudian Earwen menghampirinya dan memberi penghormatan nya. "Grandma memanggil saya?" tanya Earwen."Iya, kamu pasti bosan bukan Earwen?" Earwen tersenyum kecil dan mendudukkan tubuhnya, "Saya tidak tahu harus melakukan apa." "Edmund belum memberikan tugas Queen kepadamu Earwen?" "Belum grandma." Belinda me
Suara burung hantu dan semilir angin malam menemani Earwen yang tengah duduk termenung disamping balkon. Earwen menekuk kedua kakinya, mata hazelnya menatap gemerlap bintang di langit. Pikiran Earwen meleset jauh, ia bertanya-tanya kemana perginya Edmund. Sejak kejadian tadi siang ia tidak melihat Edmund hingga sekarang Edmund bahkan tidak kembali ke kamarnya. Ah Earwen tahu ia tidak boleh mencampuri urusan pribadi Edmund seperti yang tertulis di perjanjiannya dengan Edmund tapi, bolehkah ia mengkhawatirkannya? setidaknya sebagai seorang istri Edmund, walaupun gelar istri itu sementara tapi Earwen ingin menghargai Edmund sebagai suaminya pertama dan terakhir. Earwen tidak berniat menikah lagi jika suatu saat Edmund menendangnya dari Hillary. Ceklek.. Suara decitan pintu mengalihkan pandangan Earwen dan sosok yang ia cari sedari tadi kini tengah berdiri memunggunginya. Earwen beranjak dari posisinya. "Yang mulia, apa anda sudah makan malam?" ucap Earwen. Karena tadi ia tidak melihat
Suara kicauan burung membangunkan Earwen yang tengah terlelap, ia kemudian melirik ke arah ranjang dan melihat Edmund yang masih tertidur. Earwen kemudian bangkit dari posisinya dan berjalan masuk ke kamar mandi. Sekitar 20 menit ia menyelesaikan ritual mandinya tanpa bantuan Briana, Earwen sudah cantik dengan gaun berwarna hitam dan dipadukan dengan sepatu flat.Matanya menatap ke arah Edmund yang masih juga tertidur, ia hendak menyiapkan pakaian Edmund namun Earwen kembali mengurungkan niatnya, pernikahan ini hanya sementara dan dirinya tidak perlu membangun citra yang indah di depan Edmund karena dimata Edmund, Earwen hanya wanita cacat. Earwen tersenyum kecut mengingat perkataan Edmund tadi malam.Earwen tidak tahu kenapa ia harus dipandang sebelah mata karena tidak memiliki sihir, sedangkan ada beberapa orang di Hillary juga yang sama sepertinya, mungkinkan karena ia berdarah bangsawan dianggap tidak sempurna jika tidak memiliki sihir?Earwen kemudian melenggang pergi, di depan p
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe
Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m
"Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D
Earwen memungut kemeja putih milik Edmund yang sengaja dia tinggalkan untuknya setelah melewati pergulatan mereka. Kaki Earwen bergetar hebat menahan berat tubuhnya. Rasanya ia seperti di perkosa saja, karena Edmund benar-benar memperlakukannya layaknya seorang kupu-kupu malam. Earwen menyibak kasar air matanya, ia kemudian menatap kertas berisikan gugatan cerai untuknya yang tergeletak di lantai. Earwen mengambil kertas tersebut dan tanpa berpikir panjang lagi, ia mencantumkan tanda tangannya. Matanya menyorot ke arah cincin pernikahan dan juga cincin yang dijadikan hadiah oleh Belinda. Earwen melepaskan keduanya, ia melepaskan semua hal-hal yang berbau Edmund pada tubuhnya. Mulai dari cincin, kalung yang di buat Edmund saat di laut Saterin dan hanya menyisakan kalung milik mendiang ibunya. Earwen menaruh seluruhnya pada meja kerja Edmund, ia kemudian berbalik badan tanpa memperdulikan ruangan Edmund yang berantakan Earwen berjalan keluar. Dengan kaki yang tak beralaskan apapun, Ear
Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian kepergoknya Earwen. Sejak saat itu Earwen benar-benar tidak pernah menjumpai Edmund lagi. Bahkan di ruang makan pun ia hanya berdua dengan Daisy. Sedangkan Edmund? Ia tidak tahu kemana perginya pria itu. Apakah Edmund semarah itu dengannya? "Apa itu tidak enak Yang Mulia? Anda ingin menu makan malam yang lain?" Pertanyaan pramusaji itu membuyarkan lamunan Earwen. Ia menatap piringnya yang berisikan carbonara itu. Earwen menggeleng menolak ucapan sang pramusaji. Ia kemudian mulai menyuapkan sesendok demi sesendok ke dalam mulutnya. Sesekali matanya melirik ke arah Daisy yang tengah berkutat dengan bukunya. Omong-omong, hubungan iparnya dengan Daisy benar-benar tidak ada progres kemajuan sama sekali semenjak Earwen menginjakkan kakinya di Hillary. Di tambah kematian Belinda yang terjadi karena menyelematkannya itu membuat Daisy semakin tidak menyukainya. Earwen menghela nafas berat, Daisy tidak menyukainya sebagai kakak ipar dan sekarang Edm
"Maaf Yang Mulia, King Edmund sedang tidak bisa untuk dijumpai sekarang." Ucapan sang pengawal yang berjaga di depan ruang kerja Edmund beberapa jam lalu.Earwen menatap dari kejauhan ruang kerja Edmund yang masih juga tertutup. Entah sudah berapa lama dirinya menghabiskan waktu untuk ini, duduk dengan mata menyorot ke depan sana. Sikap Edmund yang seperti itu justru mengundang rasa khawatir Earwen, ia takut terjadi sesuatu dengan pria itu. "Apa yang kau lakukan disini?" Earwen menoleh ke samping kala mendengar suara yang mengacaukan pikirannya. "Daisy? Bagaimana kabarmu?" tanya Earwen tanpa membalas pertanyaan Daisy tadi. Daisy menatap tajam ke arah Earwen kemudian beralih pandang melihat lurus ke depan, ia penasaran apa yang sedari tadi dilihat oleh Earwen. "Tidak usah berbasa-basi seperti itu!" Sinis Daisy. "Saya hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, apakah itu sal–" "Lawyer Glenn?" Ucapan Daisy membuat Earwen ikut memandang ke depan. Benar saja seorang lelaki masuk ke dalam ru
Rombongan Earwen sudah sampai di Hillary. Earwen langsung turun dari kudanya meninggalkan Briana dan Steve. Ia berjalan di lorong-lorong Paviliun utama, Earwen hendak kembali ke kamar dan melakukan ritual mandinya sebelum ia kembali bergulat dengan rencana-rencananya. Baru memegang kenop pintu suara pengawal terdengar. "Yang Mulia, maaf sebelumnya. Anda sudah dilarang untuk memasuki kamar Yang Mulia King Edmund lagi. Kamar anda sekarang berada di Paviliun timur," ucap pengawal tersebut sembari menundukkan pandangannya. Matanya mengerjap berulang kali, berusaha menyerap ucapan pengawal tersebut. Apa maksudnya? Dirinya sudah tidak tinggal di Paviliun utama lagi? Apa ada sesuatu hal yang membuat Edmund mengusirnya dari kamarnya?Earwen membuyarkan seluruh pertanyaan di kepalanya. Ia akan tanyakan itu nanti kepada Edmund, yang jelas sekarang mencari keberadaan Zane Salazar dan King Valiant. Earwen buru-buru melangkah kakinya ke paviliun timur, ia tidak akan menyangka akan kembali ke kam
"Jadi Zane Salazar di tuduh sebagai penyebab kematian Faleia Jacqueline?" tanya Steve setelah Earwen menceritakan berkas yang dia temukan di ruang kerja Edmund tadi malam. Bola mata Earwen melesat jauh menatap langit yang membiru terang. Ia memikirkan kemana Ayahnya pergi. Earwen masih menyangkal bahwa Zane Salazar telah mati, karena hatinya mengatakan tidak. "Kau menemukan sesuatu Steve?" "Tidak, tapi kurasa kau ikuti saja Edmund. Mungkin di dalang di balik menghilangnya Zane Salazar." Earwen mengangguk kecil, Edmund sudah pasti sosok dibalik semua ini. Ia harus mengorek lebih dalam lagi mengenai Edmund. Earwen hanya menginginkan dirinya dapat di pertemukan dengan Zane Salazar, walau dalam keadaan tulang belulangnya saja. Tangannya terulur mengusap liontin milik mendiang ibunya. "Tolong bantu Earwen menemukannya," batinnya berbisik lirih. "Lady!" Pekikan Briana membuat Earwen dan Steve menoleh menatap Briana yang berlari ke arah mereka yang sedang duduk. "Ada apa?" tanya Earwen