Tok..tok..tok
"Lady anda dipanggil yang mulia ibu suri," ucap Briana.Earwen menatap pantulan dirinya di cermin, sejak tadi ia hanya berdiam diri tidak tau ingin melakukan apa. Hillary sangat asing baginya, suasana baru membuat Earwen harus beradaptasi lagi."Dipanggil untuk apa Briana?" tanyanya.Briana menggeleng. "Saya tidak tahu lady.""Yasudah, antarkan saya."Briana mengangguk dan mengikuti langkah Earwen di belakang dengan pandangan menunduk, sesekali Briana menatap sekelilingnya."Disitu lady tempatnya."Earwen menatap tempat yang ditunjukkan Briana, pusat pelatihan alat panah. Earwen bergegas masuk kedalam. Netranya melihat Belinda yang tengah menikmati teh mint, kemudian Earwen menghampirinya dan memberi penghormatan nya."Grandma memanggil saya?" tanya Earwen."Iya, kamu pasti bosan bukan Earwen?"Earwen tersenyum kecil dan mendudukkan tubuhnya, "Saya tidak tahu harus melakukan apa.""Edmund belum memberikan tugas Queen kepadamu Earwen?""Belum grandma."Belinda mengangguk, Edmund pasti belum sepenuhnya memercayai Earwen."Grandma suka melihat prajurit berlatih panah?" tanya Earwen penasaran."Yah, saya suka memanah dahulu. Sekarang untuk menarik busur saja saya sudah tidak kuat," ucap Belinda dengan tertawa."Saya juga suka memanah," ucap Earwen sambil meminum tehnya."Kau suka memanah? Wah jarang sekali seorang Princess menyukai memanah."Earwen tersenyum. "Saya belajar memanah untuk menjaga diriku, jika suatu saat ada bahaya tapi ternyata saya menyukai kegiatan tersebut."Belinda merutuki dirinya sendiri, tentu saja Earwen berbeda dengan princess lain, mereka mempunyai sihir berbeda dengan Earwen."Bolehkah Grandma melihat Earwen memanah?"Earwen mengangguk. "Boleh Grandma," ucapnya dengan sumringah.Earwen menggelung tinggi rambutnya agar tidak menutupi penglihatannya, salah satu prajurit menyerahkan busur dan panah ke Earwen."Terimakasih," ucap Earwen."Terimakasih kembali yang mulia," ucap prajurit tersebut dan undur diri.Earwen menatap tajam kearah apel yang ada dia atas pohon. Ia kemudian menarik busur tersebut dan–Srett..Apel tersebut menggelinding dengan panah yang menancap di dagingnya.Belinda bertepuk tangan girang menatap aksi Earwen. Benar-benar dirinya seperti merasakan dejavu, melihat Earwen seperti melihat dirinya sewaktu muda dulu. Ah!"Wah Earwen, kamu sangat hebat," ucap Belinda dan menghampiri Earwen."Kau sering berlatih?" tanyanya."Iya Grandma saya sering melakukannya hampir setiap hari."Belinda tersenyum lebar. "Kalau begitu kau boleh menggunakan ruangan khusus berlatihku saja dahulu.""Kebetulan ruangan itu tidak digunakan lagi, Edmund tidak mau menggunakannya sedangkan Daisy dia juga tidak mau dengan alasan ada sihir." lanjut Belinda dengan lesu."Suatu kehormatan bagi saya grandma, terimakasih."Belinda mengangguk. "Oh kau ingin melihat sesuatu yang indah?"Earwen mengerjapkan matanya lucu. "Apa itu?"Belinda mengambil satu anak panah dan menggerakkan tangannya membentuk pola aneh, percikan orange keluar dari tangannya.Earwen yang melihat Belinda bermain sihir hanya bisa menatap kagum, pasalnya ini pertama kalinya Earwen melihat seseorang menggunakan sihir dihadapannya langsung, sebelumnya ia hanya melihatnya dari jauh."Sudah siap, nih coba kamu tembakan ke atas." perintah Belinda.Earwen menatap anak panah tersebut yang ujungnya berwarna seperti glitter orange."Tidak Grandma, itu mungkin bisa melukai seseorang," tolaknya halus.Belinda tertawa. "Haha kau lucu sekali Earwen, percaya kepadaku jika kau menarik panah ini keatas sesuatu yang indah akan muncul."Awalnya Earwen ragu, ia kemudian menarik busurnya keatas dan betapa terkejutnya panah tersebut berubah menjadi bunga primrose yang jatuh seperti air hujan. Earwen tersenyum lebar hingga kedua lesungnya terlihat, Belinda yang melihatnya ikut tersenyum. Tanpa mereka sadari sedari Edmund mengamati gerak gerik yang Earwen dan Belinda lakukan tadi, dengan sorot mata yang tajam ia melihat Earwen yang tengah menengadahkan tangannya agar bunga primrose tersebut jatuh ke tangannya, Earwen kemudian mencium aroma harum bunga tersebut. Belinda menyelipkan bunga primrose tersebut di telinga Earwen. Adegan tersebut tidak luput dari pandangan Edmund."Yang mulia, anda harus bertemu seseorang," ucap Jack dengan hati-hati."5 menit lagi Jack."Jack mengangguk mengerti ia kemudian ikut serta melihat apa yang tengah dilihat Raja Hillary tersebut.Sudut bibir Edmund hendak menarik keatas tetapi.Prangg..Percikan silver mengenai pohon palem yang ada disamping Earwen dan Belinda berdiri tadi. Sontak, Edmund langsung berlari dan merengkuh tubuh milik Earwen kearahnya. Jack juga ikut serta melindungi Belinda dan membawanya pergi, para prajurit sudah mengambil ancang-ancangnya masing-masing.Edmund kemudian membawa pergi Earwen dari sana, dengan bantuan sihir Edmund mereka sudah sampai dikamar milik Edmund.Earwen menatap bingung bola mata Edmund, Edmund memiliki bola mata hitam pekat tapi yang ia lihat sekarang bola mata tersebut berganti warna menjadi merah menyala."Yang mulia, mata anda?" ucap Earwen.Edmund menatap tajam netra milik Earwen dan meninggalkan begitu saja tanpa membalas pertanyaan Earwen.Earwen menatap bingung, ada apa ini? bukan karena percikan silver tadi karena Earwen tahu itu pasti milik Galadriel. Tapi yang membuatnya bingung bola mata milik Edmund yang berubah."Lady!" ucap Briana dengan histeris."Anda tidak apa-apa? anda tidak terkena sihir milik Galadriel bukan?""Aku baik-baik saja Briana," ucap Earwen sambil tersenyum."Ah ya Briana, apa tadi kau melihat yang mulia raja selepas keluar dari sini?""Tidak lady, kenapa?""Tidak apa-apa, yasudah kamu boleh kembali menyelesaikan tugasmu Briana dan jangan takutkan tentang tadi."Briana mengangguk dan memberi penghormatan kepada Earwen dan berlalu pergi.Earwen menatap pintu ruangan yang tertutup tersebut. Ia kemudian berjalan kearah balkon kamarnya, netranya menatap kearah Edmund yang tengah berbicara dengan Jack dengan wajah dinginnya. Sebenarnya apa masalalu Edmund?Suara burung hantu dan semilir angin malam menemani Earwen yang tengah duduk termenung disamping balkon. Earwen menekuk kedua kakinya, mata hazelnya menatap gemerlap bintang di langit. Pikiran Earwen meleset jauh, ia bertanya-tanya kemana perginya Edmund. Sejak kejadian tadi siang ia tidak melihat Edmund hingga sekarang Edmund bahkan tidak kembali ke kamarnya. Ah Earwen tahu ia tidak boleh mencampuri urusan pribadi Edmund seperti yang tertulis di perjanjiannya dengan Edmund tapi, bolehkah ia mengkhawatirkannya? setidaknya sebagai seorang istri Edmund, walaupun gelar istri itu sementara tapi Earwen ingin menghargai Edmund sebagai suaminya pertama dan terakhir. Earwen tidak berniat menikah lagi jika suatu saat Edmund menendangnya dari Hillary. Ceklek.. Suara decitan pintu mengalihkan pandangan Earwen dan sosok yang ia cari sedari tadi kini tengah berdiri memunggunginya. Earwen beranjak dari posisinya. "Yang mulia, apa anda sudah makan malam?" ucap Earwen. Karena tadi ia tidak melihat
Suara kicauan burung membangunkan Earwen yang tengah terlelap, ia kemudian melirik ke arah ranjang dan melihat Edmund yang masih tertidur. Earwen kemudian bangkit dari posisinya dan berjalan masuk ke kamar mandi. Sekitar 20 menit ia menyelesaikan ritual mandinya tanpa bantuan Briana, Earwen sudah cantik dengan gaun berwarna hitam dan dipadukan dengan sepatu flat.Matanya menatap ke arah Edmund yang masih juga tertidur, ia hendak menyiapkan pakaian Edmund namun Earwen kembali mengurungkan niatnya, pernikahan ini hanya sementara dan dirinya tidak perlu membangun citra yang indah di depan Edmund karena dimata Edmund, Earwen hanya wanita cacat. Earwen tersenyum kecut mengingat perkataan Edmund tadi malam.Earwen tidak tahu kenapa ia harus dipandang sebelah mata karena tidak memiliki sihir, sedangkan ada beberapa orang di Hillary juga yang sama sepertinya, mungkinkan karena ia berdarah bangsawan dianggap tidak sempurna jika tidak memiliki sihir?Earwen kemudian melenggang pergi, di depan p
"Grandma ingin menyerahkan ini kepada kalian, sebagai hadiah untuk pernikahan kalian," ucap Belinda seraya menyerahkan sepasang cincin kepada Edmund dan Earwen."Cincin ini merupakan cincin turun temurun dari leluhur kita yang dulu, grandma ingin kalian memasang cincin ini dijari kalian masing-masing," sambungnya.Edmund menatap dua cincin tersebut, ia kemudian mengambil satu cincin tersebut dan menyematkan di jempolnya karena, jari manisnya sudah terisi kan cincin pernikahannya.Earwen mengambil cincinnya dan menyematkannya di telunjuknya. "Terimakasih Grandma," ucap Earwen."Oh ada satu lagi, ini untukmu Earwen. Spesial!" ucap Belinda dan menepuk tangannya.Pengawal datang dengan seekor kuda poni dewasa berwarna putih. Mata hazel milik Earwen berbinar melihat kuda poni tersebut."Kuda poni untukmu Earwen," ucap Belinda.Earwen bangkit dari duduknya dan mendekati kuda tersebut, ia kemudian mengelus pelan surai putih milik kuda tersebut. "Dia sangat cantik, terimakasih Grandma," ucap
Earwen terbangun dari tidurnya ketika seseorang membelai pipinya, netranya membelak kaget ia lantas mundur kebelakang."Tidak kusangka keturunan darah biru tidak mempunyai sihir," kekehnya pelan.Nafas Earwen naik turun melihat sosok yang didepannya–Galadriel. Penyihir hitam yang lumayan ditakutkan oleh sebagian penduduk Esterlens."Kau tau siapa aku?" tanyanya."Apa yang kau lakukan disini?" tanya balik Earwen tanpa membalas pertanyaan Galadriel.Galadriel tersenyum misterius, matanya menatap ke arah ranjang yang berisikan Edmund yang masih terlelap. "Oh aku hanya menyapamu, apa itu tidak boleh? Saya juga masih bagian keluarga Hillary," ucapnya dan hendak menyentuh rambut coklat milik Earwen."Cih! Sejak kapan kau bagian dari Hillary? Kau hanya seorang penghianat."Galadriel menoleh dan tertawa melihat Edmund menarik Earwen dibelakangnya. "Oh ya ampun cucuku, kau sudah besar." Mata itu, mata yang dilihat Earwen saat penyerangan tiba-tiba Galadriel saat ia memanah bersama Belinda. Ma
Mata coklat milik Earwen menatap danau kecil di belakang istana, ia baru menemukan tempat ini setelah berputar-putar tiga kali di istana karena merasa bosan sedari pagi."Lady ini sangat indah," ucap Briana dengan terpana menatap tempat baru yang baru dijumpainya."Selama saya disini, saya tidak pernah melihat tempat ini," lanjutnya.Earwen tersenyum. "Bagaimana kalau kita jadikan sebagai tempat rahasia kita?" tanya Earwen.Briana mengangguk menyetujuinya. "Ide yang indah Lady, saya akan merahasiakan tempat ini." "Omong-omong Briana, dimana buku yang saya minta untuk kamu simpan saat sarapan?" "Buku yang bersampul polos Lady?" tanya Briana.Earwen mengangguk. "Iya, dimana itu?" "Saya meninggalkannya di kamar anda terdahulu, sebentar saya ambilkan dulu," ucap Briana dan meninggalkan Earwen.Earwen menghirup dalam udara disini, ia kemudian menyentuh pelan air berwarna jernih tersebut, bahkan batu didalamnya sangat terlihat jelas. Dingin, kata pertama yang mendeskripsikan air danau in
Wow, kata pertama yang bisa mendiskripsikan di depannya. Ini sangat berbeda dengan ekspektasi Earwen apa yang ia lihat sekarang sungguh berbeda. Pesta topeng yang selalu menjadi bayangannya ternyata seperti ini. "Apa kau menyesal datang kesini?" ucap Edmund yang tengah melihat lihat beberapa topeng untuk dipakainya."Sedikit," ucap Earwen dengan lemas"Kau terlalu berekspetasi tinggi mengenai pesta topeng." Earwen mengangguk lesu, yang dikatakan Edmund benar adanya dan ia sudah terlanjur datang kesini. "Benar yang mulia, oh menurut anda mana yang lebih bagus?" tanya Earwen sambil memperlihatkan topeng dengan warna silver semu biru dan silver sepenuhnya. "Ini, terlihat cocok dengan pakaianmu," ucap Edmund seraya menunjuk topeng berwarna silver semu biru. "Terimakasih Yang Mulia." "Astaga, suatu kehormatan bagi saya melihat anda datang ke pesta saya My Lord... Edmund," ucap pria paruh baya tersebut."Apakah ini Lady Earwen? Maaf saya tidak sempat datang di pernikahan anda," tambah w
Earwen menggeliat dalam tidurnya, ia membuka matanya dan berlari kedalam kamar mandi memuntahkan isi perutnya yang terasa seperti diaduk-aduk. Hanya cairan bening yang dikeluarkannya, Earwen bangkit dan mencuci mulutnya dengan air bersih. Namun, ia kembali berlari ke closet dan memutahkan kembali walaupun tidak yang keluar rasanya seperti ada yang mengganjal di perutnya. Earwen duduk lesu disamping closet sembari memijat kepalanya yang terasa pusing. "Kau berisik sekali," ucap Edmund yang tengah berdiri di depan pintu. "Maaf. Yang Mulia jangan kesini ini menjijikkan," lirih Earwen.Edmund memutar bola matanya malas, tentu saja ia tidak akan kesitu tetapi suara muntahan Earwen sangat menganggu tidurnya yang indah dan membuatnya harus berdiri disini."Bersihkan mulutmu dan cuci tangan, saya akan meminta pelayan membuat teh jahe," ucap Edmund dan pergi meninggalkan Earwen. Earwen bangkit dari duduknya dan mencuci mulut dan tangannya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Edmund melihat Earwen
Earwen menggeram bosan, mata hazelnya menatap ke arah Briana yang tengah sibuk menata rambut coklat miliknya. Sudah dua jam Briana mengurusi tubuh Earwen, dari membantu menggunakan gaun dan sekarang menata rambutnya. "Selesai," ucap Briana."Sekarang aku ingin keluar." Briana mencegat lengan Earwen. "Tidak lady, saya harus memoleskan sedikit riasan ke wajah anda." Earwen kembali duduk, ia menatap pantulan dirinya di cermin sedangkan Briana mulai mengerjakan tugasnya. Earwen rasa ototnya terasa kaku karena harus berdiam diri sejak tadi ditambah gaun yang dipakainya sangat berat. Berbeda dari gaun simpel-simpel milik Earwen yang sangat ringan dan nyaman. Long dress berwarna light blue yang memiliki lengan rendah sehingga menampakkan kedua pundak Earwen yang seputih susu, ini pertama kalinya Earwen menggunakan gaun berlengan rendah. Ini adalah tepat 100 hari pernikahannya dengan Edmund dan sudah satu minggu pula Earwen menjaga jarak terhadap Edmund sejak ia memberikan chocolate souffl
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe
Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m
"Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D
Earwen memungut kemeja putih milik Edmund yang sengaja dia tinggalkan untuknya setelah melewati pergulatan mereka. Kaki Earwen bergetar hebat menahan berat tubuhnya. Rasanya ia seperti di perkosa saja, karena Edmund benar-benar memperlakukannya layaknya seorang kupu-kupu malam. Earwen menyibak kasar air matanya, ia kemudian menatap kertas berisikan gugatan cerai untuknya yang tergeletak di lantai. Earwen mengambil kertas tersebut dan tanpa berpikir panjang lagi, ia mencantumkan tanda tangannya. Matanya menyorot ke arah cincin pernikahan dan juga cincin yang dijadikan hadiah oleh Belinda. Earwen melepaskan keduanya, ia melepaskan semua hal-hal yang berbau Edmund pada tubuhnya. Mulai dari cincin, kalung yang di buat Edmund saat di laut Saterin dan hanya menyisakan kalung milik mendiang ibunya. Earwen menaruh seluruhnya pada meja kerja Edmund, ia kemudian berbalik badan tanpa memperdulikan ruangan Edmund yang berantakan Earwen berjalan keluar. Dengan kaki yang tak beralaskan apapun, Ear
Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian kepergoknya Earwen. Sejak saat itu Earwen benar-benar tidak pernah menjumpai Edmund lagi. Bahkan di ruang makan pun ia hanya berdua dengan Daisy. Sedangkan Edmund? Ia tidak tahu kemana perginya pria itu. Apakah Edmund semarah itu dengannya? "Apa itu tidak enak Yang Mulia? Anda ingin menu makan malam yang lain?" Pertanyaan pramusaji itu membuyarkan lamunan Earwen. Ia menatap piringnya yang berisikan carbonara itu. Earwen menggeleng menolak ucapan sang pramusaji. Ia kemudian mulai menyuapkan sesendok demi sesendok ke dalam mulutnya. Sesekali matanya melirik ke arah Daisy yang tengah berkutat dengan bukunya. Omong-omong, hubungan iparnya dengan Daisy benar-benar tidak ada progres kemajuan sama sekali semenjak Earwen menginjakkan kakinya di Hillary. Di tambah kematian Belinda yang terjadi karena menyelematkannya itu membuat Daisy semakin tidak menyukainya. Earwen menghela nafas berat, Daisy tidak menyukainya sebagai kakak ipar dan sekarang Edm
"Maaf Yang Mulia, King Edmund sedang tidak bisa untuk dijumpai sekarang." Ucapan sang pengawal yang berjaga di depan ruang kerja Edmund beberapa jam lalu.Earwen menatap dari kejauhan ruang kerja Edmund yang masih juga tertutup. Entah sudah berapa lama dirinya menghabiskan waktu untuk ini, duduk dengan mata menyorot ke depan sana. Sikap Edmund yang seperti itu justru mengundang rasa khawatir Earwen, ia takut terjadi sesuatu dengan pria itu. "Apa yang kau lakukan disini?" Earwen menoleh ke samping kala mendengar suara yang mengacaukan pikirannya. "Daisy? Bagaimana kabarmu?" tanya Earwen tanpa membalas pertanyaan Daisy tadi. Daisy menatap tajam ke arah Earwen kemudian beralih pandang melihat lurus ke depan, ia penasaran apa yang sedari tadi dilihat oleh Earwen. "Tidak usah berbasa-basi seperti itu!" Sinis Daisy. "Saya hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, apakah itu sal–" "Lawyer Glenn?" Ucapan Daisy membuat Earwen ikut memandang ke depan. Benar saja seorang lelaki masuk ke dalam ru
Rombongan Earwen sudah sampai di Hillary. Earwen langsung turun dari kudanya meninggalkan Briana dan Steve. Ia berjalan di lorong-lorong Paviliun utama, Earwen hendak kembali ke kamar dan melakukan ritual mandinya sebelum ia kembali bergulat dengan rencana-rencananya. Baru memegang kenop pintu suara pengawal terdengar. "Yang Mulia, maaf sebelumnya. Anda sudah dilarang untuk memasuki kamar Yang Mulia King Edmund lagi. Kamar anda sekarang berada di Paviliun timur," ucap pengawal tersebut sembari menundukkan pandangannya. Matanya mengerjap berulang kali, berusaha menyerap ucapan pengawal tersebut. Apa maksudnya? Dirinya sudah tidak tinggal di Paviliun utama lagi? Apa ada sesuatu hal yang membuat Edmund mengusirnya dari kamarnya?Earwen membuyarkan seluruh pertanyaan di kepalanya. Ia akan tanyakan itu nanti kepada Edmund, yang jelas sekarang mencari keberadaan Zane Salazar dan King Valiant. Earwen buru-buru melangkah kakinya ke paviliun timur, ia tidak akan menyangka akan kembali ke kam
"Jadi Zane Salazar di tuduh sebagai penyebab kematian Faleia Jacqueline?" tanya Steve setelah Earwen menceritakan berkas yang dia temukan di ruang kerja Edmund tadi malam. Bola mata Earwen melesat jauh menatap langit yang membiru terang. Ia memikirkan kemana Ayahnya pergi. Earwen masih menyangkal bahwa Zane Salazar telah mati, karena hatinya mengatakan tidak. "Kau menemukan sesuatu Steve?" "Tidak, tapi kurasa kau ikuti saja Edmund. Mungkin di dalang di balik menghilangnya Zane Salazar." Earwen mengangguk kecil, Edmund sudah pasti sosok dibalik semua ini. Ia harus mengorek lebih dalam lagi mengenai Edmund. Earwen hanya menginginkan dirinya dapat di pertemukan dengan Zane Salazar, walau dalam keadaan tulang belulangnya saja. Tangannya terulur mengusap liontin milik mendiang ibunya. "Tolong bantu Earwen menemukannya," batinnya berbisik lirih. "Lady!" Pekikan Briana membuat Earwen dan Steve menoleh menatap Briana yang berlari ke arah mereka yang sedang duduk. "Ada apa?" tanya Earwen