Earwen menggeliat dalam tidurnya, ia membuka matanya dan berlari kedalam kamar mandi memuntahkan isi perutnya yang terasa seperti diaduk-aduk. Hanya cairan bening yang dikeluarkannya, Earwen bangkit dan mencuci mulutnya dengan air bersih. Namun, ia kembali berlari ke closet dan memutahkan kembali walaupun tidak yang keluar rasanya seperti ada yang mengganjal di perutnya. Earwen duduk lesu disamping closet sembari memijat kepalanya yang terasa pusing. "Kau berisik sekali," ucap Edmund yang tengah berdiri di depan pintu. "Maaf. Yang Mulia jangan kesini ini menjijikkan," lirih Earwen.Edmund memutar bola matanya malas, tentu saja ia tidak akan kesitu tetapi suara muntahan Earwen sangat menganggu tidurnya yang indah dan membuatnya harus berdiri disini."Bersihkan mulutmu dan cuci tangan, saya akan meminta pelayan membuat teh jahe," ucap Edmund dan pergi meninggalkan Earwen. Earwen bangkit dari duduknya dan mencuci mulut dan tangannya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Edmund melihat Earwen
Earwen menggeram bosan, mata hazelnya menatap ke arah Briana yang tengah sibuk menata rambut coklat miliknya. Sudah dua jam Briana mengurusi tubuh Earwen, dari membantu menggunakan gaun dan sekarang menata rambutnya. "Selesai," ucap Briana."Sekarang aku ingin keluar." Briana mencegat lengan Earwen. "Tidak lady, saya harus memoleskan sedikit riasan ke wajah anda." Earwen kembali duduk, ia menatap pantulan dirinya di cermin sedangkan Briana mulai mengerjakan tugasnya. Earwen rasa ototnya terasa kaku karena harus berdiam diri sejak tadi ditambah gaun yang dipakainya sangat berat. Berbeda dari gaun simpel-simpel milik Earwen yang sangat ringan dan nyaman. Long dress berwarna light blue yang memiliki lengan rendah sehingga menampakkan kedua pundak Earwen yang seputih susu, ini pertama kalinya Earwen menggunakan gaun berlengan rendah. Ini adalah tepat 100 hari pernikahannya dengan Edmund dan sudah satu minggu pula Earwen menjaga jarak terhadap Edmund sejak ia memberikan chocolate souffl
Edmund menatap jengah gadis didepannya. "Apa kau ingin membuang waktu berhargaku?" Earwen menggigit bibirnya, matanya melirik ke arah Edmund yang tengah melayangkan tatapan tajam ke arahnya. "Saya ingin minta izin keluar istana Yang Mulia," "Untuk apa?" tanya Edmund dengan dingin. "Ada sesuatu yang perlu saya kunjungi." "Sesuatu apa?" Earwen tersenyum kecil. "Anda tidak berhak mencampuri urusan saya yang mulia, itu juga sudah tertulis di perjanjian kita. Bukan begitu Yang Mulia?" Sial, dirinya dibuat malu akibat perjanjian bodoh yang ia buat. Seharusnya Edmund menyingkirkan point kelima tersebut. "Saya hanya ingin tahu saja, bagaimana kalau ada skandal tentangmu yang keluar istanah?" "Tenang saja Yang Mulia, saya akan memakai jubah yang bertudung. Saya juga tidak akan membawa pengawal karena itu akan membuat curiga orang yang melihatnya." "Maksudmu akan pergi sendiri?" protes Edmund dan Earwen mengangguk mengiyakan. Edmund tidak habis pikir dengan gadis didepannya ini, dia be
Day 3 before Earwen's birthday.Edmund menatap langit-langit kamar miliknya, waktu menunjukkan pukul dua belas malam dan ia masih sibuk bergulat dengan pikirannya. Netranya melirik kearah sofa yang berisikan Earwen yang tengah dibawah alam sadarnya. Entah apa yang membuatnya seperti ini, Edmund sampai tidak tidur hanya memikirkan gadis itu yang baru beberapa bulan memasuki kehidupannya. Ia menghela nafas panjang, dan bangkit dari posisinya menghampiri gadis yang tengah tertidur di sofa itu. Edmund menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya. Bulu mata lentik, hidung sedikit mancung dan bibir sedikit tebal berwarna plum.Sleeping beauty, yang menggambarkan gadis didepan Edmund saat ini. Ia menangkup pelan pipi Earwen yang sedikit berwarna merah, rasa hangat menjulur di telapak tangannya. Ia mulai sedikit memajukan kepalanya untuk sekedar menempelkan bibirnya, merasakan rasa dari bibir milik sang sleeping beauty itu. Manis, tidak berubah sama sekali, ini bukan kali pertamanya ia me
One day before Earwen's birthday.Suasana kerajaan di pagi hari ini penuh keributan, dari para pelayan yang berbondong-bondong membawa makanan untuk di hidangkan di paviliun utama dan para pengawal yang sibuk menjaga tempat. Sebelum pintu gerbang utama dibuka di pukul delapan pagi. Meskipun Edmund hanya mengundang rakyatnya saja, bahkan ia tidak mengundang kedua orang tua Earwen. Entahlah, Edmund benar-benar tidak ingin kedua mertuanya itu datang. "Yang mulia, jam sudah menunjukkan pukul 8," ucap Jack."Buka gerbang utama," perintah Edmund.Jack mengangguk dan memerintah kepala pengawal untuk membukanya. Pintu gerbang utama terbuka dan menampakkan sosok rakyatnya dengan wajah gembira seraya menenteng bingkis kado, mungkin untuk Earwen, pikirnya.Edmund berjalan masuk kedalam paviliunnya. Ditengah-tengah perjalanannya Edmund berpapasan dengan sosok wanita yang nyaris sempurna dengan balutan gaun putih yang sangat mewah dan liontin itu, liontin yang dipilihnya kala itu."Yang mulia, se
Suara dentingan garpu dan semilir angin malam yang masuk dari pintu kaca yang sedikit terbuka menambahkan kesan untuk dinner kerajaan ini. Selepas dari acara tadi Belinda merencanakan untuk melakukan dinner bersama, sekaligus merayakan kembalinya Anne dari perbatasan."Anne, wiski fermentasi kesukaanmu," ucap Belinda seraya menuangkannya ke gelas milik AnneSungguh membosankan! Earwen menatap malas steak miliknya, ia memotong-motongnya tanpa berniat memasukkannya ke dalam mulut. Mood-nya sungguh sedang tidak baik. Apalagi melihat Anne yang diperlakukan manis di depannya langsung. "Earwen apa kau ingin wiski? Ini enak loh," tawar Belinda."Betul Earwen, wiski ini akan sangat cocok dengan suasana malam seperti ini," lanjut Anne.Earwen tersenyum kikuk, dirinya tidak ingin mabuk lagi, takut akan menyusahkan Edmund seperti sebelum-sebelumnya. "Terimakasih, saya sedang tidak ingin minum," tolaknya halus.Anne mendesah kecewa. "Saya berharap kau mencicipinya walau hanya sedikit." Edmund me
"Steve, ada apa?" lirih Earwen Tuhan memberi Earwen sebuah kekuatan yang luar biasa. Pantas saja, ia rela melepaskannya untuk menjadi manusia agar mendampingi Earwen. Walupun Steve membuat kesalahan, pasti akan selalu memaafkannya karena dirinya adalah satu-satunya malaikat kepercayaan miliknya."This is amazing Earwen, you–" Steve menggantungkan ucapnya."Apa?" tanya Earwen penasaran."Tuhan sungguh baik kepadamu, bahkan malaikat sepertiku saja tidak memiliki power sekuat dirimu, kau bisa mengendalikan Esterlens Earwen," ucap Steve antusias.Earwen menatap Steve tidak percaya. Mengendalikan Esterlens? Dirinya? Mana mungkin!Earwen tertawa renyah ditengah-tengah rasa sakitnya. "Hentikan loluconmu Steve!" desis Earwen.Ia meringis kala punggungnya terasa panas. "Ahh! Panas!" jerit Earwen kesakitan. Bulir-bulir keringat dipelipis Earwen air matanya juga ikut menetes, Steve hanya menatap iba Earwen yang sedang menggerang kesakitan. Ia tidak bisa melakukan apapun karena 15% kekuatan lang
Steve mengulurkan tangannya kearah Earwen dan disambut oleh sang empu. Ia berjalan maju ke depan, tatapannya bertemu dengan manik tajam milik Raja Hillary tersebut. "Suatu penghormatan bagi saya dapat bertemu anda," ucap Steve seraya membungkuk hormat.Belinda menarik Earwen ke belakang punggungnya. "Kenapa bisa cucuku bersama kau!" tanya Belinda."Sebelumnya perkenalkan saya Steve Bentley." "Apa kau tidak apa-apa Earwen?" bisik Anne yang dibalas anggukan kecil. Namun, mata jeli milik Anne berfokus ke arah luka kecil di bibir Earwen walupun itu sudah tertutup polesan lipstik. "Biarkan Earwen saja yang menjelaskan Grandma," ujar Steve berjalan kesamping Steve."Tadi malam saya berniat meseduh segelas susu, tetapi saya justru mendengar suara Ruby yang aneh dan membuat saya pergi mengeceknya. Saat saya hendak mengecek kondisinya, Ruby justru berlari kencang ke arah gerbang belakang yang masih sedikit terbuka. Saya ikut berlari mengikuti Ruby namun, saya malah terjatuh ditengah-tengah l
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe
Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m
"Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D
Earwen memungut kemeja putih milik Edmund yang sengaja dia tinggalkan untuknya setelah melewati pergulatan mereka. Kaki Earwen bergetar hebat menahan berat tubuhnya. Rasanya ia seperti di perkosa saja, karena Edmund benar-benar memperlakukannya layaknya seorang kupu-kupu malam. Earwen menyibak kasar air matanya, ia kemudian menatap kertas berisikan gugatan cerai untuknya yang tergeletak di lantai. Earwen mengambil kertas tersebut dan tanpa berpikir panjang lagi, ia mencantumkan tanda tangannya. Matanya menyorot ke arah cincin pernikahan dan juga cincin yang dijadikan hadiah oleh Belinda. Earwen melepaskan keduanya, ia melepaskan semua hal-hal yang berbau Edmund pada tubuhnya. Mulai dari cincin, kalung yang di buat Edmund saat di laut Saterin dan hanya menyisakan kalung milik mendiang ibunya. Earwen menaruh seluruhnya pada meja kerja Edmund, ia kemudian berbalik badan tanpa memperdulikan ruangan Edmund yang berantakan Earwen berjalan keluar. Dengan kaki yang tak beralaskan apapun, Ear
Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian kepergoknya Earwen. Sejak saat itu Earwen benar-benar tidak pernah menjumpai Edmund lagi. Bahkan di ruang makan pun ia hanya berdua dengan Daisy. Sedangkan Edmund? Ia tidak tahu kemana perginya pria itu. Apakah Edmund semarah itu dengannya? "Apa itu tidak enak Yang Mulia? Anda ingin menu makan malam yang lain?" Pertanyaan pramusaji itu membuyarkan lamunan Earwen. Ia menatap piringnya yang berisikan carbonara itu. Earwen menggeleng menolak ucapan sang pramusaji. Ia kemudian mulai menyuapkan sesendok demi sesendok ke dalam mulutnya. Sesekali matanya melirik ke arah Daisy yang tengah berkutat dengan bukunya. Omong-omong, hubungan iparnya dengan Daisy benar-benar tidak ada progres kemajuan sama sekali semenjak Earwen menginjakkan kakinya di Hillary. Di tambah kematian Belinda yang terjadi karena menyelematkannya itu membuat Daisy semakin tidak menyukainya. Earwen menghela nafas berat, Daisy tidak menyukainya sebagai kakak ipar dan sekarang Edm
"Maaf Yang Mulia, King Edmund sedang tidak bisa untuk dijumpai sekarang." Ucapan sang pengawal yang berjaga di depan ruang kerja Edmund beberapa jam lalu.Earwen menatap dari kejauhan ruang kerja Edmund yang masih juga tertutup. Entah sudah berapa lama dirinya menghabiskan waktu untuk ini, duduk dengan mata menyorot ke depan sana. Sikap Edmund yang seperti itu justru mengundang rasa khawatir Earwen, ia takut terjadi sesuatu dengan pria itu. "Apa yang kau lakukan disini?" Earwen menoleh ke samping kala mendengar suara yang mengacaukan pikirannya. "Daisy? Bagaimana kabarmu?" tanya Earwen tanpa membalas pertanyaan Daisy tadi. Daisy menatap tajam ke arah Earwen kemudian beralih pandang melihat lurus ke depan, ia penasaran apa yang sedari tadi dilihat oleh Earwen. "Tidak usah berbasa-basi seperti itu!" Sinis Daisy. "Saya hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, apakah itu sal–" "Lawyer Glenn?" Ucapan Daisy membuat Earwen ikut memandang ke depan. Benar saja seorang lelaki masuk ke dalam ru
Rombongan Earwen sudah sampai di Hillary. Earwen langsung turun dari kudanya meninggalkan Briana dan Steve. Ia berjalan di lorong-lorong Paviliun utama, Earwen hendak kembali ke kamar dan melakukan ritual mandinya sebelum ia kembali bergulat dengan rencana-rencananya. Baru memegang kenop pintu suara pengawal terdengar. "Yang Mulia, maaf sebelumnya. Anda sudah dilarang untuk memasuki kamar Yang Mulia King Edmund lagi. Kamar anda sekarang berada di Paviliun timur," ucap pengawal tersebut sembari menundukkan pandangannya. Matanya mengerjap berulang kali, berusaha menyerap ucapan pengawal tersebut. Apa maksudnya? Dirinya sudah tidak tinggal di Paviliun utama lagi? Apa ada sesuatu hal yang membuat Edmund mengusirnya dari kamarnya?Earwen membuyarkan seluruh pertanyaan di kepalanya. Ia akan tanyakan itu nanti kepada Edmund, yang jelas sekarang mencari keberadaan Zane Salazar dan King Valiant. Earwen buru-buru melangkah kakinya ke paviliun timur, ia tidak akan menyangka akan kembali ke kam
"Jadi Zane Salazar di tuduh sebagai penyebab kematian Faleia Jacqueline?" tanya Steve setelah Earwen menceritakan berkas yang dia temukan di ruang kerja Edmund tadi malam. Bola mata Earwen melesat jauh menatap langit yang membiru terang. Ia memikirkan kemana Ayahnya pergi. Earwen masih menyangkal bahwa Zane Salazar telah mati, karena hatinya mengatakan tidak. "Kau menemukan sesuatu Steve?" "Tidak, tapi kurasa kau ikuti saja Edmund. Mungkin di dalang di balik menghilangnya Zane Salazar." Earwen mengangguk kecil, Edmund sudah pasti sosok dibalik semua ini. Ia harus mengorek lebih dalam lagi mengenai Edmund. Earwen hanya menginginkan dirinya dapat di pertemukan dengan Zane Salazar, walau dalam keadaan tulang belulangnya saja. Tangannya terulur mengusap liontin milik mendiang ibunya. "Tolong bantu Earwen menemukannya," batinnya berbisik lirih. "Lady!" Pekikan Briana membuat Earwen dan Steve menoleh menatap Briana yang berlari ke arah mereka yang sedang duduk. "Ada apa?" tanya Earwen