"Steve, ada apa?" lirih Earwen Tuhan memberi Earwen sebuah kekuatan yang luar biasa. Pantas saja, ia rela melepaskannya untuk menjadi manusia agar mendampingi Earwen. Walupun Steve membuat kesalahan, pasti akan selalu memaafkannya karena dirinya adalah satu-satunya malaikat kepercayaan miliknya."This is amazing Earwen, you–" Steve menggantungkan ucapnya."Apa?" tanya Earwen penasaran."Tuhan sungguh baik kepadamu, bahkan malaikat sepertiku saja tidak memiliki power sekuat dirimu, kau bisa mengendalikan Esterlens Earwen," ucap Steve antusias.Earwen menatap Steve tidak percaya. Mengendalikan Esterlens? Dirinya? Mana mungkin!Earwen tertawa renyah ditengah-tengah rasa sakitnya. "Hentikan loluconmu Steve!" desis Earwen.Ia meringis kala punggungnya terasa panas. "Ahh! Panas!" jerit Earwen kesakitan. Bulir-bulir keringat dipelipis Earwen air matanya juga ikut menetes, Steve hanya menatap iba Earwen yang sedang menggerang kesakitan. Ia tidak bisa melakukan apapun karena 15% kekuatan lang
Steve mengulurkan tangannya kearah Earwen dan disambut oleh sang empu. Ia berjalan maju ke depan, tatapannya bertemu dengan manik tajam milik Raja Hillary tersebut. "Suatu penghormatan bagi saya dapat bertemu anda," ucap Steve seraya membungkuk hormat.Belinda menarik Earwen ke belakang punggungnya. "Kenapa bisa cucuku bersama kau!" tanya Belinda."Sebelumnya perkenalkan saya Steve Bentley." "Apa kau tidak apa-apa Earwen?" bisik Anne yang dibalas anggukan kecil. Namun, mata jeli milik Anne berfokus ke arah luka kecil di bibir Earwen walupun itu sudah tertutup polesan lipstik. "Biarkan Earwen saja yang menjelaskan Grandma," ujar Steve berjalan kesamping Steve."Tadi malam saya berniat meseduh segelas susu, tetapi saya justru mendengar suara Ruby yang aneh dan membuat saya pergi mengeceknya. Saat saya hendak mengecek kondisinya, Ruby justru berlari kencang ke arah gerbang belakang yang masih sedikit terbuka. Saya ikut berlari mengikuti Ruby namun, saya malah terjatuh ditengah-tengah l
BRAKK!Edmund mengangkat guci yang ada ruang kerja miliknya menggunakan sihirnya dan melemparkan guci tersebut ke sudut kanan, terdapat lima guci yang sudah menjadi kepingan tak beraturan."Yang Mulia? Tolong jangan menambah tugas saya," gertak Jack. Ia sudah muak dengan tingkah laku raja tersebut, jika boleh ia ingin resign! "Itu sudah menjadi tugas kau Jack, saya membayarmu untuk bekerja bukan menikmati fasilitas kerajaan," desis Edmund menatap tajam ke arah Jack.What the fuck! Menikmati fasilitas darimana heh! Jack bahkan harus tidur empat jam dan bangun sebelum matahari terbit. Bahkan, untuk menikmati sarapannya saja ia tidak bisa. Belum lagi tumpukan dokumen kerajaan yang harus ia tulis ulang menggunakan tinta sebelum diserahkan ke Edmund. Ingin rasanya Jack mengeluarkan unek-unek di dadanya, oh apakah ia harus mengusulkan Edmund untuk membuat kotak kritik? Agar dirinya bisa mengkritik Edmund dengan bebas. "Yang mulia jika anda memiliki masalah lebih baik anda ceritakan kepa
"Apa yang membuatmu dirugikan?" "Perjanjian nomor 3, pihak 2 harus selalu meminta izin kepada pihak 1 apabila ingin melakukan sesuatu di luar kerajaan," ucap Earwen sambil menundukkan kepalanya. Karena ia tidak ingin melihat wajah Edmund dari dekat, itu akan membuatnya gugup. "Bukankah sebelumnya kau tidak masalah? kenapa tiba-tiba mempermasalahkannya?!" bisik Edmund dan memperpendek ruang antara dirinya dan Earwen. Terpaan nafas Edmund mengarah langsung ke rambut Earwen. "Ah itu em, saya bosan di istana ya saya bosan. Jadi, saya juga berniat untuk keluar dari istana sesekali untuk menjernihkan pikiran," dalih Earwen.Edmund menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan muka polos Earwen. "Kau bosan ya?" tanya Edmund yang dibalas anggukan kecil dari Earwen.Tatapan mata Edmund berubah menjadi dingin ia berbalik dan berjalan menuju jendela yang terdapat di ruang kerjanya. Earwen yang melihat perubahan itu menyengit heran, sikap Edmund seperti bunglon yang gampang berubah-ubah. "Sayan
"Aku capek, hosh..hosh," ucap Earwen dengan nafas yang naik turun, ladang bunga ini seperti labirin yang tidak memiliki ujung.Edmund mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, dengan lembut ia membelai dahi Earwen yang berkeringat. "Bertahan sebentar lagi, saya mendengar suara air yang mengalir." Earwen menatap langit yang kian menguning tandanya hari akan segera malam, ia dan Edmund harus cepat-cepat keluar dari ladang ini. Untung saja Edmund mempunyai insting rubah yang kuat dan dapat mendeteksi bahaya nantinya. "Baiklah ayo," ajak Earwen.Edmund merendahkan tubuhnya di depan Earwen. "Ayo naik." "Tidak-tidak anda juga pasti capek aku tidak akan membebani." "Kau lupa? Saya seorang setengah rubah, memiliki stamina yang lebih tinggi dibandingkan manusia biasa," ucap Edmund dengan tertawa. Earwen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya sudah kalau anda memaksa," ucap Earwen dan naik ke punggung Edmund. "Apa saya berat?" sambung Earwen saat berhasil naik ke punggung lebar su
Suara burung Estrildidae mengusik tidur Earwen, ia hendak menggeliat namun tangan besar Edmund yang melingkar di perutnya membuat Earwen sulit bergerak. Earwen membalikan badannya menghadap ke arah Edmund yang masih tertidur damai. Tangannya mengelus pelan surai hitam milik lelaki tersebut. Tanpa disadari Earwen perlakuannya tersebut membangunkan Edmund, namun ia masih setia memejamkan matanya merasakan sentuhan dari gadisnya itu. Edmund merenggut tubuh Earwen ke ke dalam pelukannya dan itu sukses membuat Earwen mematung, bagaimana tidak posisi kepala Edmund yang sejajar dengan lehernya ditambah dengan nafas hangat Edmund yang terasa disekitar lehernya."Kau suka sekali ya memandangi wajah saya?" ucap Edmund dengan mata terpejam."Eh, saya-- hendak membangunkan anda yang mulia," ucap Earwen."Benarkah?" tanya Edmund dan membuka matanya perlahan. CupBluss, pipi Earwen merona menerima perlakuan Edmund yang tiba-tiba mencium lehernya. Edmund membuka matanya dan menatap wajah Earwen se
"Seperti yang saya janjikan saya merevisi isi perjanjian kita," ucap Edmund seraya menyerahkan berkas yang berisikan perjanjian baru mereka.1. Pihak 1 (Edmund) berhak melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa harus minta persetujuan pihak 2 (Earwen) 2. Pihak 2 tidak boleh mencampuri urusan pribadi pihak 1 3. Pihak 2 boleh keluar masuk istana tetapi diketahui oleh pihak 14. Pihak 1 dan pihak 2 tidur di satu tempat dan satu ranjang yang sama5. Pihak 1 tidak akan mencampuri urusan pribadi pihak 2Perjanjian ini berlaku sampai pihak 1 menggugat pihak 2. "Bagaimana apa kau setuju?" tanya Edmund, ia meletakkan tangannya sebagai tumpuan dagunya dan menatap ke arah Earwen.Earwen menyengit membaca poin 4 pada perjanjian tersebut. "Apa maksudnya ini?" tanya Earwen dan menunjuk poin 4.Edmund tersenyum miring."Well, setelah saya pikirkan kenapa saya harus membencimu. Saya sudah membelimu dengan mahal, jadi anggap saja dirimu menjadi teman tidur saya," ucap Edmund dengan enteng.Oh perka
Anne menatap kesal lelaki depannya, sesekali ia menghela nafas panjang. "Ed please accept my invitation," bujuk Anne ke 15 kalinya."Aku ingin sekali ketempat itu," sambungnya.Tempat itu, yang dimaksud oleh Anne adalah sebuah kios buku yang terletak tak jauh dari istana. Dulunya Anne dan Edmund seringkali datang kesitu untuk membaca buku-buku yang tidak ada di istana. Ada, namun belum boleh untuk dijangkau anak-anak sepertinya dulu.The legend foretold by the caretaker, buku yang membuat Edmund sangat penasaran di usia tujuh tahun. Ia bahkan rela di marahin oleh sang ayah, karena meninggalkan kelas sihirnya, demi membaca satu demi satu lembar buku tersebut. Karena ia memiliki hobi membaca yang sama dengan Anne dan itu membuatnya dekat dengan gadis itu. Tidak dekat Edmund hanya menganggapnya sebagai teman baca dan itu diartikan berbeda oleh Anne."Saya banyak pekerjaan Anne," ucap Edmund tanpa melirik ke arah Anne."Ayolah luangkan waktumu untukku, do you know, sebentar lagi aku aka
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe
Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m
"Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D
Earwen memungut kemeja putih milik Edmund yang sengaja dia tinggalkan untuknya setelah melewati pergulatan mereka. Kaki Earwen bergetar hebat menahan berat tubuhnya. Rasanya ia seperti di perkosa saja, karena Edmund benar-benar memperlakukannya layaknya seorang kupu-kupu malam. Earwen menyibak kasar air matanya, ia kemudian menatap kertas berisikan gugatan cerai untuknya yang tergeletak di lantai. Earwen mengambil kertas tersebut dan tanpa berpikir panjang lagi, ia mencantumkan tanda tangannya. Matanya menyorot ke arah cincin pernikahan dan juga cincin yang dijadikan hadiah oleh Belinda. Earwen melepaskan keduanya, ia melepaskan semua hal-hal yang berbau Edmund pada tubuhnya. Mulai dari cincin, kalung yang di buat Edmund saat di laut Saterin dan hanya menyisakan kalung milik mendiang ibunya. Earwen menaruh seluruhnya pada meja kerja Edmund, ia kemudian berbalik badan tanpa memperdulikan ruangan Edmund yang berantakan Earwen berjalan keluar. Dengan kaki yang tak beralaskan apapun, Ear
Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian kepergoknya Earwen. Sejak saat itu Earwen benar-benar tidak pernah menjumpai Edmund lagi. Bahkan di ruang makan pun ia hanya berdua dengan Daisy. Sedangkan Edmund? Ia tidak tahu kemana perginya pria itu. Apakah Edmund semarah itu dengannya? "Apa itu tidak enak Yang Mulia? Anda ingin menu makan malam yang lain?" Pertanyaan pramusaji itu membuyarkan lamunan Earwen. Ia menatap piringnya yang berisikan carbonara itu. Earwen menggeleng menolak ucapan sang pramusaji. Ia kemudian mulai menyuapkan sesendok demi sesendok ke dalam mulutnya. Sesekali matanya melirik ke arah Daisy yang tengah berkutat dengan bukunya. Omong-omong, hubungan iparnya dengan Daisy benar-benar tidak ada progres kemajuan sama sekali semenjak Earwen menginjakkan kakinya di Hillary. Di tambah kematian Belinda yang terjadi karena menyelematkannya itu membuat Daisy semakin tidak menyukainya. Earwen menghela nafas berat, Daisy tidak menyukainya sebagai kakak ipar dan sekarang Edm
"Maaf Yang Mulia, King Edmund sedang tidak bisa untuk dijumpai sekarang." Ucapan sang pengawal yang berjaga di depan ruang kerja Edmund beberapa jam lalu.Earwen menatap dari kejauhan ruang kerja Edmund yang masih juga tertutup. Entah sudah berapa lama dirinya menghabiskan waktu untuk ini, duduk dengan mata menyorot ke depan sana. Sikap Edmund yang seperti itu justru mengundang rasa khawatir Earwen, ia takut terjadi sesuatu dengan pria itu. "Apa yang kau lakukan disini?" Earwen menoleh ke samping kala mendengar suara yang mengacaukan pikirannya. "Daisy? Bagaimana kabarmu?" tanya Earwen tanpa membalas pertanyaan Daisy tadi. Daisy menatap tajam ke arah Earwen kemudian beralih pandang melihat lurus ke depan, ia penasaran apa yang sedari tadi dilihat oleh Earwen. "Tidak usah berbasa-basi seperti itu!" Sinis Daisy. "Saya hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, apakah itu sal–" "Lawyer Glenn?" Ucapan Daisy membuat Earwen ikut memandang ke depan. Benar saja seorang lelaki masuk ke dalam ru
Rombongan Earwen sudah sampai di Hillary. Earwen langsung turun dari kudanya meninggalkan Briana dan Steve. Ia berjalan di lorong-lorong Paviliun utama, Earwen hendak kembali ke kamar dan melakukan ritual mandinya sebelum ia kembali bergulat dengan rencana-rencananya. Baru memegang kenop pintu suara pengawal terdengar. "Yang Mulia, maaf sebelumnya. Anda sudah dilarang untuk memasuki kamar Yang Mulia King Edmund lagi. Kamar anda sekarang berada di Paviliun timur," ucap pengawal tersebut sembari menundukkan pandangannya. Matanya mengerjap berulang kali, berusaha menyerap ucapan pengawal tersebut. Apa maksudnya? Dirinya sudah tidak tinggal di Paviliun utama lagi? Apa ada sesuatu hal yang membuat Edmund mengusirnya dari kamarnya?Earwen membuyarkan seluruh pertanyaan di kepalanya. Ia akan tanyakan itu nanti kepada Edmund, yang jelas sekarang mencari keberadaan Zane Salazar dan King Valiant. Earwen buru-buru melangkah kakinya ke paviliun timur, ia tidak akan menyangka akan kembali ke kam
"Jadi Zane Salazar di tuduh sebagai penyebab kematian Faleia Jacqueline?" tanya Steve setelah Earwen menceritakan berkas yang dia temukan di ruang kerja Edmund tadi malam. Bola mata Earwen melesat jauh menatap langit yang membiru terang. Ia memikirkan kemana Ayahnya pergi. Earwen masih menyangkal bahwa Zane Salazar telah mati, karena hatinya mengatakan tidak. "Kau menemukan sesuatu Steve?" "Tidak, tapi kurasa kau ikuti saja Edmund. Mungkin di dalang di balik menghilangnya Zane Salazar." Earwen mengangguk kecil, Edmund sudah pasti sosok dibalik semua ini. Ia harus mengorek lebih dalam lagi mengenai Edmund. Earwen hanya menginginkan dirinya dapat di pertemukan dengan Zane Salazar, walau dalam keadaan tulang belulangnya saja. Tangannya terulur mengusap liontin milik mendiang ibunya. "Tolong bantu Earwen menemukannya," batinnya berbisik lirih. "Lady!" Pekikan Briana membuat Earwen dan Steve menoleh menatap Briana yang berlari ke arah mereka yang sedang duduk. "Ada apa?" tanya Earwen