"Seperti yang saya janjikan saya merevisi isi perjanjian kita," ucap Edmund seraya menyerahkan berkas yang berisikan perjanjian baru mereka.1. Pihak 1 (Edmund) berhak melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa harus minta persetujuan pihak 2 (Earwen) 2. Pihak 2 tidak boleh mencampuri urusan pribadi pihak 1 3. Pihak 2 boleh keluar masuk istana tetapi diketahui oleh pihak 14. Pihak 1 dan pihak 2 tidur di satu tempat dan satu ranjang yang sama5. Pihak 1 tidak akan mencampuri urusan pribadi pihak 2Perjanjian ini berlaku sampai pihak 1 menggugat pihak 2. "Bagaimana apa kau setuju?" tanya Edmund, ia meletakkan tangannya sebagai tumpuan dagunya dan menatap ke arah Earwen.Earwen menyengit membaca poin 4 pada perjanjian tersebut. "Apa maksudnya ini?" tanya Earwen dan menunjuk poin 4.Edmund tersenyum miring."Well, setelah saya pikirkan kenapa saya harus membencimu. Saya sudah membelimu dengan mahal, jadi anggap saja dirimu menjadi teman tidur saya," ucap Edmund dengan enteng.Oh perka
Anne menatap kesal lelaki depannya, sesekali ia menghela nafas panjang. "Ed please accept my invitation," bujuk Anne ke 15 kalinya."Aku ingin sekali ketempat itu," sambungnya.Tempat itu, yang dimaksud oleh Anne adalah sebuah kios buku yang terletak tak jauh dari istana. Dulunya Anne dan Edmund seringkali datang kesitu untuk membaca buku-buku yang tidak ada di istana. Ada, namun belum boleh untuk dijangkau anak-anak sepertinya dulu.The legend foretold by the caretaker, buku yang membuat Edmund sangat penasaran di usia tujuh tahun. Ia bahkan rela di marahin oleh sang ayah, karena meninggalkan kelas sihirnya, demi membaca satu demi satu lembar buku tersebut. Karena ia memiliki hobi membaca yang sama dengan Anne dan itu membuatnya dekat dengan gadis itu. Tidak dekat Edmund hanya menganggapnya sebagai teman baca dan itu diartikan berbeda oleh Anne."Saya banyak pekerjaan Anne," ucap Edmund tanpa melirik ke arah Anne."Ayolah luangkan waktumu untukku, do you know, sebentar lagi aku aka
"Earwen, astaga bagaimana bisa kita bertemu disini?" ucap Anne seraya tersenyum lembut ke arah Earwen.Earwen menatap dua sejoli di depannya, apa yang sedang meraka lakukan disini? Jangan bilang mereka sedang date? Batin Earwen tertawa dengan teori yang dibuatnya sendiri."Saya sedang mencari buku, bagaimana dengan anda sendiri Yang Mulia?" tanya Earwen.Netra gelap Edmund menatap sosok yang berada di belakang Earwen, bukankah itu pengawal yang tengil itu? Siapa namanya Steve? Sialan kenapa dia terlihat selalu berseliweran dengan Earwen akhir-akhir ini huh!"Aku meminta Edmund untuk menemaniku ke kios buku ini, reminiscing the past haha," tawa Anne menggelegar, dia juga menyentak lengan Edmund sekilas.Earwen mengangguk paham, ah dirinya tidak ingin mencampuri urusan sejoli di depannya toh ia juga ada urusan disini bersama Steve. Steve bilang ia akan menunjukkan sebuah buku yang menceritakan tentang sang legenda dan Steve menginginkannya untuk membaca buku tersebut. "Apa anda berniat
Langit malam yang menghitam menemani Earwen yang tengah duduk sendirian di atas ranjang dengan buku yang ia ambil di kios buku kemarin. Mata bulatnya membaca larik demi larik abjad pada buku itu.Menarik, Earwen tidak menyangka buku yang berjudul The legend foretold by the caretaker menggunakan bahasa latin kuno dan untungnya ia punya beberapa persen kekuatan langit miliknya. Jadi, mempermudahkannya untuk membaca isi buku ini. Latin kuno adalah bahasa yang hanya boleh dipelajari oleh pewaris tahta saja untuk menghubungi leluhurnya. Earwen mengernyit heran melihat tulisan di akhir buku tersebut, seperti anugerah sekaligus peringatan.Demi Lily of the Valley untuk kelahiran sang legenda..Membangkitkan langit dengan awan yang indah penuh keharmonisan di dalamnya.. menghancurkan kekelaman dalam kehidupan.. Akan menjadi racun jika digunakan berlebihan..Ia berusaha mencerna kalimat tersebut, seperti bermain teka-teki dan Earwen harus memecahkan teori itu. Apakah ini ramalannya?"Apa yan
Suara petir yang menyambar langit terdengar di sekitar Hillary. Hawa dingin yang mencekam ditambah langit yang menggelap di siang hari. Alam seperti ikut bersedih, kehilangan sosok malaikat dari Hillary. Seluruh penjuru Hillary berbondong-bondong menggunakan pakaian berwarna hitam yang menandakan Hillary dalam masa berkabung. Edmund sang Raja bagaikan porselin yang di kasih nyawa, ia berdiri di samping peti mati orang yang dicintainya. "Yang Mulia, sudah saatnya untuk mengucapkan salam perpisahan," bisik Jack tepat di telinga Edmund.Edmund menatap peti yang menyimpan tubuh wanita yang ia sayangi. Ia berjalan pelan menuju peti yang berwarna putih dengan pahat mahkota di penutupnya. "Maaf," cicitnya seraya menutup peti tersebut.Jack dan pengawal kerajaan lain mengerubungi peti tersebut. Mereka menunduk hormat ke arah Edmund dan mengangkat peti tersebut keluar istana. "Yang Mulia apa anda tidak apa-apa?" tanya Jack saat melihat keadaan Rajanya yang pucat dan kantung mata yang berwar
Matahari pagi yang menyelinap masuk melewati celah seakan membangunkan dua sejoli yang tengah tertidur. Earwen terbangun saat merasakan sesak dan panas, ia membuka matanya perlahan. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Edmund yang tertidur sambil memeluk tubuhnya, wajahnya yang sejajar dengan lehernya hingga nafasnya terasa menggelitik. Kaki kiri Edmund yang menindihi tubuhnya, seakan mengunci Earwen agar tidak kemana. Earwen mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya dan tubuh Edmund yang polos. Ingatannya berputar kembali ke kejadian tadi malam. Ia ingin marah kepada Edmund, dia bilang dia tidak sudi untuk melakukan hal itu kepadanya, lalu kenapa tadi malam dia melakukannya? Earwen tidak percaya Edmund terpengaruh dengan minuman alkohol itu. Walaupun Edmund mabuk berat dia tidak akan melakukan hal itu, dia akan mandi untuk meredamnya. Bukan malah– menidurinya.Nafas Earwen naik turun tidak teratur, ia mencoba menerima kenyataan bahwa dirinya sudah tidak gadis lagi. Earwen men
Di sinilah Earwen berada, menatap gundukan tanah yang belum datar itu. Netranya menilisir satu persatu nisan di pemakamanan ini. Hingga, pandangannya terkunci ke sebuah nisan yang bertulisan Disini terbaring Miranda Goeltom Sky. She's Edmund's mother, Earwen berjalan menghampiri makam tersebut. Tatapannya jatuh kepada sebuah foto kecil yang mungkin sengaja ditinggalkan di atas batu nisan tersebut. Ia mengambil pelan bingkai foto tersebut yang menampakkan Raja dan Ratu terdahulu. "This is King Arthur?" gumamnya perlahan. Earwen menghela nafasnya berat, ia melirik perlahan ke arah gundukan tanah milik Belinda. Ia ingat ucapan Grandma yang sangat merindukan King Arthur. Namun, hingga ia meninggal pun King Arthur masih belum di temukan. "Ada apa Earwen?" tanya Steve saat melihat raut sedih gadis itu."Steve, menurutmu kemana perginya King Arthur ya?" Steve berpikir sejenak, King Arthur menghilang setelah tujuh tahun usia Earwen. Hilang tanpa jejak, dia hilang saat Edmund berusia sepul
Earwen telah sampai di istana, dengan bantuan Steve ia turun dari kudanya. Ah bukan kudanya, karena Ruby tidak memiliki postur tubuh yang tinggi seperti kuda milik Steve."Terimakasih Steve," ucap Earwen seraya melemparkan senyuman ke arah Steve. "Lady!" seru Briana dari arah belakang."Briana, bagaimana urusanmu. Apa sudah selesai?" Earwen sengaja tidak mengajak Briana untuk berziarah ke makam Belinda. Briana beralasan dia ada rapat dengan para pelayan lain dan itu pertama kalinya Earwen tahu antar pelayan juga di adakan rapat. "Sudah Lady, maaf saya tidak bisa menemani anda," ucap Briana dengan nada murung. "Hei! Tidak apa-apa, saya tidak pernah menekan kamu untuk terus mengikuti saya. Lagi pula ada Steve yang menjaga saya," tutur Earwen. Briana mengangguk kemudian ia berterimakasih kepada Steve yang sudah menjaga Earwen hari ini. "Briana apa itu yang kau bawa?" tanya Earwen saat melihat nampan yang berisikan cangkir dan teko tersebut. "Ah ini. Ini teh papermint Lady, Jack mem
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu, Earwen dan Carlo akhirnya sampai di pusat kota Hillary. Salju sudah mulai turun di Hillary, orang-orang berseliweran menggunakan pakaian musim dingin. Earwen menengadahkan tangannya menangkap salju yang turun. Netranya menelisik salju yang tengah berada di telapak tangannya. "Hei, ayo lanjutkan perjalanan ke tempat Gert."Ucapan Carlo membuyarkan Earwen. Ia menolehkan kepalanya ke samping. "Kau duluan saja, aku akan kembali lagi setelah senja." Carlo mendelik tidak suka. "Kau gila?! Kau bahkan belum tahu di mana letak tempat itu." "Kalau begitu aku akan menunggumu di sini nantinya, bye Mr. Pirang." Earwen memacu kudanya ke arah kanan, meninggalkan Carlo yang setengah mendidih. Tujuannya adalah pergi ke taman Yolain. Berharap menemukan Briana di sana. Setibanya di taman Yolain, Earwen membuka tudung kepalanya membebaskan rambutnya yang terkuncir layaknya ekor kuda itu. Earwen tidak yakin orang-orang akan mengenalinya yang dulu
Bunyi Sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai terdengar nyaring. "Kau datang, eh." Suara bariton milik pria yang sudah berumur itu menggelegar di setiap sudut. "Datang untuk menyerahkan ini," sahutnya dan melemparkannya ke arah pria tua itu. "Crystal Balls, dari mana kau mendapatkannya Sean Osbert?" "Anda tak perlu tahu, ayahanda. Kudengar benda itu terbuat dengan darah unicorn," tanya Sean dan mendudukkan tubuhnya pada sofa. "Benar sekali, son. Crystal Balls akan membantu menyempurnakan ramuanku." Galadriel menyeringai lebar melihat Crystal Balls yang berada di genggamannya, ah ia sudah tidak sabar untuk mengolahnya menjadi hal 'hebat'."Kau sudah banyak membantuku, son." Galadriel membuka lemari yang tak jauh dari dirinya berdiri. Ia mengambil sebuah pedang dan menyerahkannya kepada sang anak. "Untukmu," sambung Galadriel. Sean menerima pedang tersebut. "Téggewira? Anda serius menghadiahkan pedang Téggewira?" tanyanya memastikan. Pasalnya Téggewira bukanlah pedang biasa. Pe
Earwen mengeliat dalam tidurnya, ia benar-benar tidur nyenyak dan melupakan segala beban pikirannya, setelah tadi malam ia berpesta dengan para Gert. Pria-pria bertubuh kekar itu mulai menerima kenyataan bahwa sosok legenda seorang 'wanita'. Pintu di ketuk dari luar, dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok Steve. "Kau sudah bangun? Aku membawakan beberapa potong gaun untukmu, mandilah dan keluar dari kamarmu Earwen," ucap Steve dan meninggalkan beberapa potong pakaian untuk Earwen di atar ranjang wanita itu. "Baiklah, kau bisa keluar." Earwen turun dari ranjang dan berjalan ke arah Steve yang juga berjalan keluar dari kamar Earwen. Setelah kepergian Steve, Earwen mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Earwen menanggalkan pakaiannya dan menenggelamkannya ke dalam bathtub yang sudah terisi air, entah siapa yang mengisinya. Aroma wewangian menguar menciptakan sensasi tentram pada otak Earwen.Dirasa sudah cukup, Earwen m
"Apakah anda sang legenda itu?" tanya laki-laki yang menyerukan kata 'Capo' tadi. Earwen mengigit bibirnya was-was, bagaimana dia mengetahui tentang identitas aslinya? Ia kemudian melirik ke arah Steve yang masih saja bercengkerama dengan singa putih itu. Sialan! Bagaimana ia menjawab pertanyaan lelaki di depannya ini. "Carlo ini Earwen, dan Earwen ini Carlo," ucap Steve dan berjalan mendekati keduanya. "Earwen ikut aku," sambung Steve. Earwen mengikuti langkah Steve kedalam ruangan yang tak jauh dari ia berdiri tadi. Setelah keduanya masuk ke dalam satu ruangan, Steve menutup pintu tersebut. Ia kemudian duduk di atas kursinya. Earwen juga ikut duduk di kursi yang ada di depan meja yang ia pastikan bahwa ruangan ini adalah tempat kerja. "Sebenarnya tempat apa ini?" tanya Earwen to the point. Jujur saja, siapa yang tidak bingung kala di tempatkan di sebuah tempat asing tetapi di dalamnya orang-orangnya mengetahui tentang dirinya."Ini adalah markas, Earwen, markas Deville Morte. D
Earwen memungut kemeja putih milik Edmund yang sengaja dia tinggalkan untuknya setelah melewati pergulatan mereka. Kaki Earwen bergetar hebat menahan berat tubuhnya. Rasanya ia seperti di perkosa saja, karena Edmund benar-benar memperlakukannya layaknya seorang kupu-kupu malam. Earwen menyibak kasar air matanya, ia kemudian menatap kertas berisikan gugatan cerai untuknya yang tergeletak di lantai. Earwen mengambil kertas tersebut dan tanpa berpikir panjang lagi, ia mencantumkan tanda tangannya. Matanya menyorot ke arah cincin pernikahan dan juga cincin yang dijadikan hadiah oleh Belinda. Earwen melepaskan keduanya, ia melepaskan semua hal-hal yang berbau Edmund pada tubuhnya. Mulai dari cincin, kalung yang di buat Edmund saat di laut Saterin dan hanya menyisakan kalung milik mendiang ibunya. Earwen menaruh seluruhnya pada meja kerja Edmund, ia kemudian berbalik badan tanpa memperdulikan ruangan Edmund yang berantakan Earwen berjalan keluar. Dengan kaki yang tak beralaskan apapun, Ear
Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian kepergoknya Earwen. Sejak saat itu Earwen benar-benar tidak pernah menjumpai Edmund lagi. Bahkan di ruang makan pun ia hanya berdua dengan Daisy. Sedangkan Edmund? Ia tidak tahu kemana perginya pria itu. Apakah Edmund semarah itu dengannya? "Apa itu tidak enak Yang Mulia? Anda ingin menu makan malam yang lain?" Pertanyaan pramusaji itu membuyarkan lamunan Earwen. Ia menatap piringnya yang berisikan carbonara itu. Earwen menggeleng menolak ucapan sang pramusaji. Ia kemudian mulai menyuapkan sesendok demi sesendok ke dalam mulutnya. Sesekali matanya melirik ke arah Daisy yang tengah berkutat dengan bukunya. Omong-omong, hubungan iparnya dengan Daisy benar-benar tidak ada progres kemajuan sama sekali semenjak Earwen menginjakkan kakinya di Hillary. Di tambah kematian Belinda yang terjadi karena menyelematkannya itu membuat Daisy semakin tidak menyukainya. Earwen menghela nafas berat, Daisy tidak menyukainya sebagai kakak ipar dan sekarang Edm
"Maaf Yang Mulia, King Edmund sedang tidak bisa untuk dijumpai sekarang." Ucapan sang pengawal yang berjaga di depan ruang kerja Edmund beberapa jam lalu.Earwen menatap dari kejauhan ruang kerja Edmund yang masih juga tertutup. Entah sudah berapa lama dirinya menghabiskan waktu untuk ini, duduk dengan mata menyorot ke depan sana. Sikap Edmund yang seperti itu justru mengundang rasa khawatir Earwen, ia takut terjadi sesuatu dengan pria itu. "Apa yang kau lakukan disini?" Earwen menoleh ke samping kala mendengar suara yang mengacaukan pikirannya. "Daisy? Bagaimana kabarmu?" tanya Earwen tanpa membalas pertanyaan Daisy tadi. Daisy menatap tajam ke arah Earwen kemudian beralih pandang melihat lurus ke depan, ia penasaran apa yang sedari tadi dilihat oleh Earwen. "Tidak usah berbasa-basi seperti itu!" Sinis Daisy. "Saya hanya ingin tahu bagaimana kabarmu, apakah itu sal–" "Lawyer Glenn?" Ucapan Daisy membuat Earwen ikut memandang ke depan. Benar saja seorang lelaki masuk ke dalam ru
Rombongan Earwen sudah sampai di Hillary. Earwen langsung turun dari kudanya meninggalkan Briana dan Steve. Ia berjalan di lorong-lorong Paviliun utama, Earwen hendak kembali ke kamar dan melakukan ritual mandinya sebelum ia kembali bergulat dengan rencana-rencananya. Baru memegang kenop pintu suara pengawal terdengar. "Yang Mulia, maaf sebelumnya. Anda sudah dilarang untuk memasuki kamar Yang Mulia King Edmund lagi. Kamar anda sekarang berada di Paviliun timur," ucap pengawal tersebut sembari menundukkan pandangannya. Matanya mengerjap berulang kali, berusaha menyerap ucapan pengawal tersebut. Apa maksudnya? Dirinya sudah tidak tinggal di Paviliun utama lagi? Apa ada sesuatu hal yang membuat Edmund mengusirnya dari kamarnya?Earwen membuyarkan seluruh pertanyaan di kepalanya. Ia akan tanyakan itu nanti kepada Edmund, yang jelas sekarang mencari keberadaan Zane Salazar dan King Valiant. Earwen buru-buru melangkah kakinya ke paviliun timur, ia tidak akan menyangka akan kembali ke kam
"Jadi Zane Salazar di tuduh sebagai penyebab kematian Faleia Jacqueline?" tanya Steve setelah Earwen menceritakan berkas yang dia temukan di ruang kerja Edmund tadi malam. Bola mata Earwen melesat jauh menatap langit yang membiru terang. Ia memikirkan kemana Ayahnya pergi. Earwen masih menyangkal bahwa Zane Salazar telah mati, karena hatinya mengatakan tidak. "Kau menemukan sesuatu Steve?" "Tidak, tapi kurasa kau ikuti saja Edmund. Mungkin di dalang di balik menghilangnya Zane Salazar." Earwen mengangguk kecil, Edmund sudah pasti sosok dibalik semua ini. Ia harus mengorek lebih dalam lagi mengenai Edmund. Earwen hanya menginginkan dirinya dapat di pertemukan dengan Zane Salazar, walau dalam keadaan tulang belulangnya saja. Tangannya terulur mengusap liontin milik mendiang ibunya. "Tolong bantu Earwen menemukannya," batinnya berbisik lirih. "Lady!" Pekikan Briana membuat Earwen dan Steve menoleh menatap Briana yang berlari ke arah mereka yang sedang duduk. "Ada apa?" tanya Earwen