Ruby butuh waktu. Ia bilang pada Leonard akan memikirkan tawaran pria itu selama satu minggu. Ruby berkacak pinggang. Ini sudah hari yang ke-tiga. Ia masih belum bisa mengambil keputusan. Tidak ada orang yang bisa diajaknya berbicara. Ruby mengintip ibunya yang masih berada di dapur. Setiap hari bekerja keras membuat roti. Semua itu dilakukannya untuk membayar hutang sialan kakaknya yang tidak kunjung habis. Ruby merapikan tempat tidurnya—hari ini ia akan tidur cepat sebelum besok kembali berpikir. Tidak mungkin kan bilang pada ibunya jika ada pria yang mengajaknya menikah kontrak. Bisa-bisa punggungnya dipukul sampai berdarah. BRAK! BRAK! BRAK! Ruby segera keluar dari kamarnya. saling bertatapan dengan ibunya sebelum suara memanggil itu terdengar. “Keluar kau Michael. Keluar kau bajingan!” teriak dari luar. Ruby memegangi ibunya dan mereka akhirnya membuka pintu. Ada lima pria yang berada di hadapan mereka. “Di mana Michael?” tanya salah satu dari merek
wajah yang semula mulus malah terapat bekas tamparan. Bibir yang biasanya tersenyum dengan cerah kini terlihat tertekuk. Tidak lupa dengan plester di beberapa titik wajahnya. Ruby begitu lelah—meski dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, Ruby tetap menjalani harinya seperti biasa. Kali ini ia terakhir. Ia harus bekerja di klub. Setelah itu pulang untuk beristirahat. “Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Ana. Ana mengernyit—menggeleng pelan melihat wajah Ruby lebam. Berantakan! Ruby hanya tersenyum tipis. “aku terjatuh.” Ana berdecih. “Kau pikir aku percaya?” tanyanya. “Jelas sekali kalau pipimi itu ditampar. Sampai bibirmu sobek.” Ruby tertawa pelan. “Kau salah.” “Aku baik-baik saja. aku hanya terjatuh.” Ruby mengedipkan salah satu matanya. “Tidak usah kawatir.” Ruby hanya menganggap Ana teman kerja. Tidak lebih. Lagipula sedari dulu ia menjaga batasannya dengan orang-orang. Ia tidak ingin terlalu dekat dengan orang. Karena itu melelahkan. Ruby membawa na
Ruby pergi. Setidaknya ia bisa pergi tanpa harus bertengkar dengan wanita itu. Leonard menghela napas kesal. Ia memijit keningnya pusing. Sedangkan tiga temannya saling menatap dan tersenyum penuh arti. Daniel memberikan jempol pada Garry. Garry mengangguk dengan bangga. Sedangkan Riku menatap kedua dengan heran sembari menggeleng. Garry mengusir dua wanita yang berada di ruangan itu. Semua itu memang rencananya! Untuk temannya kan. Demi temannya mendapatkan cinta sejati. Ia rela membuat skenario agar Ruby datang ke ruangan. rencananya hanya mempertemukan Leonard dengan Ruby. Tapi ternyata, kejadiannya begitu cepat dan menjadi lebih menarik. “Ini perbuatanmu?” tanya Leonard menatap Garry tajam. Garry menggeleng. “Tidak!” balasnya. Leonard menyipitkan mata. menatap temannya dengan curiga. Garry melotot. “Jangan menuduhku!” “Pergilah. Kejar Ruby. Kenapa kau malah di sini?!” Garry mengusir Leonard. Leonard menatap pintu—Ruby pasti sudah pergi. “Bergeraklah
Ruby mengerjap. jarak mereka sungguh dekat. Ia ia mengalihkan pandangannya ditatap begitu intens seperti ini. “Ruby,” panggil Leonard lagi. Kali ini membawa dagu Ruby sedikit ke atas. Kedua bola mata mereka saling menatap. Tapi lagi-lagi Leonard bertanya—ada apa dengan diri perempuan ini. Kenapa kekuatannya seolah tidak berfungsi jika dengan Ruby. “Rentenir datang ke rumah saya. Mengobrak-abrik rumah saya karena kakak saya yang tidak membayar hutang. Saya bertengkar dengan mereka dan berakhir seperti ini.” Leonard tersenyum tipis. tangannya terangkat mengusap pelan puncak kepala ruby. “Wah kau berani juga.” Ruby mengepalkan tangannya. “Maka dari itu, ayo kita menikah.” Leonard tersenyum miring. “Hm. Tapi karena kau terlalu lama berpikir, aku akan menambah perjanjian kita.” Ruby mengernyit. “Bertambah bagaimana?” “Beri aku keturunan.” Leonard mendekat—jarak mereka semakin menipis. Tangannya terangkat mengusap pipi Ruby pelan. sayang sekali pipi semulus itu harus lebam sepe
Pertama adalah bertemu dengan kakek tua kaya yang memiliki banyak warisan. Leonard memasang senyum yang ceria. Sedangkan Ruby yang berada di sampingnya juga berusaha tenang. “Apa kakekmu galak?” tanya Ruby. Leonard mengernyit. “Dulu katanya iya. tapi sekarang, dia hanyalah kakek tua.” Ruby mengerjap. Leonard dengan mudahnya menghina kakeknya sendiri. “Waw siapa ini yang datang…” nenek paling gaul. Siapa lagi kalau bukan Chelsea. Ia menyambut dengan gembira cucunya yang datang menemuinya. Memeluk Leonard dan tidak lupa mencium pipi kanan dan pipi kiri cucunya itu layaknya anak kecil. “Hentikan.” Leonard menjauh. “Nenek selalu saja seperti ini…” Nenek tertawa pelan. “Kamu pasti calon istri Leonard.” Ruby tersenyum ramah. Membalas pelukan Chelsea yang begitu ramah. “Ayo masuk. kita sangat senang, kalian datang jauh-jauh ke sini.” nenek mempersilahkan mereka masuk. Leonard menoleh ke samping sebelum menarik dan menggenggam tangan Ruby. Mereka harus terlihat mesra seperti pasa
“Intinya kami senang kamu akan menikah. Kami percaya pada kamu. nanti kita akan datang ke acara. Sekarang urus saja semuanya sendiri. kami ingin fokus berlibur.” Inti dari percakapan Leonard dengan ayahnya adalah Lucas langsung menyetujui pernikahan mereka. Leonard sama sekali tidak menyangka jika orang tuanya akan sangat mudah dimintai restu. Ia kira mereka akan mengintrograsinya lebih dulu sebelum memberikan restu. Ruby yang berada di samping Leonard bernapas dengan lega. Ia juga ikut mendengarkan percakapan itu. Mereka masih berada di rumah kakek nenek Leonard. Perjalanan yang panjang tidak mungkin mereka langsung pulang. maka dari itu, mereka memilih untuk menginap dan kembali besok saja. “Ah.. untungnya..” Ruby memegangi dadanya. “Aku sangat takut.” Leonard menoleh—menatap Ruby yang tengah berbaring di atas ranjang. “Memangnya apa yang kau takutkan?” “Aku hanya takut berbohong. Aku sangat payah dalam berbohong. Aku takut mengacaukan semuanya.” Ruby beranjak da
Hari yang menegangkan pun tiba. Hari di mana Ruby dan Leonard ijin pada ibu Ruby. “Kita akan menikah, bu. Kita saling mencintai.” Ruby memeluk lengan Leonard mesra. Ibu Ruby nampak kebingungan. “Di mana kamu bertemu dengan pria seperti ini?” tanyanya. “Kamu sibuk bekerja, pulang bekerja tidur. Tidak pernah bergaul dengan orang. Tiba-tiba punya kekasih dan ingin menikah?” Ruby mengerjap. kenapa ibunya itu jujur sekali mengemukakan keadaannya yang mengenaskan. “Ruby kan bekerja di banyak tempat. ruby jadi bertemu dengan banyak orang. Dan Ruby bertemu dengan Leonard. Kita menjalin hubungan dan akhirnya memutuskan untuk menikah.” Ibu Ruby nampak bersindekap. Bukannya tidak mau merestui. Tapi aneh saja. “Kenapa ibu jadi curiga seperti ini…” lirih ibu Ruby. “Jadi, sebenarnya karena keadaan kita yang seperti ini. Ruby menyembunyikan hubungan Ruby dengan Leonard. Karena Leonard sudah melamar Ruby, Ruby tidak bisa merahasiakannya lagi.” Ibu Ruby memandang Leonard. “Kamu k
“Kau yang waktu itu di—” Ruby segera menutup mulut kakaknya itu. “Benar, kau memang pernah bertemu dengan kekasihku di tempat kerjaku.” Ruby mengoreksi ucapan Michael. Ibunya tidak tahu jika Ruby bekerja di klub malam. Ruby hanya bilang ia bekerja di supermarkert ketika malam. dan ia memang memilih shift malam. Ruby menarik kerah leher kakaknya itu. menyeretnya tanpa ampun ke dalam kamar. Kemudian melemparnya begitu saja ke ranjang. “Dasar bajingan!” Ruby menutup pintu kamar. Setelah itu menarik Leonard keluar dari rumahnya. Sepenuhnya keluar. ia tidak bisa lagi membiarkan Leonard tetap berada di rumahnya. Mereka berjalan dan sampai di taman dekat Apartemen yang sepi. Taman bermain yang biasanya terisi oleh anak-anak. Ruby dan Leonard duduk di ayunan. Mereka terdiam sebentar sebelum Ruby menoleh dan berbicara pelan. “Aku malu. Kau melihat keluargaku yang berantakan.” Ruby mendongak. menatap ke atas langit yang dipenuhi dengan bintang. “Hanya kakakmu yang bera
21++ “Katakan padaku sayang.” Ruby mendongak. “Aku bisa menjaga rahasia.” Leonard terdiam sebentar. “Kamu ingin tahu karena menghawatirkan Stormi?” Ruby mengangguk jujur. Ia takut kalau Diego tidak sebaik yang ia kira. Ia takut suatu saat Diego bisa menyakiti Stormi. Apalagi Stormi baru saja gagal menikah. diselingkuhi mantan kekasihnya. “Yang aku lihat hanya sekilas karena aku menahan diriku. Tapi kejadian itu tetap terlihat.” Leonard mengusap punggung Ruby. “Aku melihatnya banyak menembak orang…” lirih Leonard. Ruby mengerjap. “Sungguh?” Leonard mengangguk. “Seperti Papa dulu..” lanjutnya. “Dia banyak terlibat keributan. Hidupnya memang dipenuhi dengan bahaya.” Ruby melepaskan pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahu Stormi?” “Jangan.” Leonard menggeleng. “Di antara banyaknya kejadian yang terlintas di kepalaku. Aku tidak melihatnya menyakiti wanita.” “Dan juga…” Leonard menyipitkan mata. Ruby menunggu ucapan suaminya. “Dan juga?”
Waktunya pulang…. Ruby dan Leonard sudah berada di pesawat. Dengan menggunakan pesawat pribadi seperti ini, mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke kota. Ruby turun perlahan dibantu Leonard yang selalu menggenggam tangannya. “Perutku..” Ruby mengernyit. Lagi-lagi mual. “Aku sangat bosan…” Ruby mengernyit. “Aku selalu seperti ini setelah melakukan perjalanan.” Leonard menunduk. “Kita ke rumah sakit dulu.” Ruby menggeleng. “aku baik-baik saja. hanya sedikit mual. Tidak sampai ingin muntah.” Leonard mengusap punggung Ruby pelan. “Jangan menahannya.” Ruby mengangguk. mereka masuk ke dalam mobil. Perjalanan akan berlanjut sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah kakek neneknya. Tapi tujuan mereka bukan rumah dahulu. Tapi… Mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman. Ruby membawa bunga yang ia beli saat perjalanan ke sini. Ia menggandeng tangan Leonard—sampai berada di depan makam kakek neneknya. Makam yang sangat sejuk. Tidak seperti kebanyaka
Berkeliling mansion… Berkeliling peternakan hewan yang ada di Mansion lebih tepatnya. Di belakang Mansion ada bangunan yang khusus digunakan sebagai ternak hewan. Mereka berempat sedang berjalan ke sana. bangunan yang mirip dengan kebun binatang. “Kenapa kau membangun kebun binatang di belakang rumahmu?” tanya Leonard yang begitu heran. Ia memeluk pinggang Ruby dari samping. Diego dan Stormi berjalan lebih dulu memimpin perjalanan mereka dari berkeliling ini. “Ini bukan kebun binatang,” balas Diego. “Ini Peternakan.” Mereka sampai peternakan buaya. Bentuknya seperti rawa. Namun mereka berdiri di ruangan yang dilapisi dengan dinding dan kaca. Sehingga mereka bisa memantau para buaya yang berada di depan mereka. “Buaya?” tanya Leonard. “Waah..” Stormi mendekat. “Ini menakjubkan.” Di depan sana—ada beberapa petugas yang sudah ahli memberi makan buaya dengan daging ayam. Ruby mengerjap—ia tidak pernah melihat buaya secara langsung. Tapi ini—sungguh membuatnya m
“Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi makan dulu.” Diego memundurkan kursi untuk Stormi. Stormi mengangguk. ia duduk di samping Diego. “Kenapa barang-barang di bawa orang? Mau pindah?” tanya Stormi. “Pembangunan Mansionku yang baru sudah selesai. aku akan segera pindah ke sana. dan ada barang-barang yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku membawanya.” “Lalu bagaimana dengan Mansion ini?” tanya Stormi. “Mansion ini akan dijadikan sebagai Markas sekaligus kantorku.” Stormi mengerti. “Ooh…” “Makanlah. Jangan banyak berpikir.” Diego mengambil satu roti. “Mau pakai apa?” “Cokelat saja.” Diego mengoleskan selai cokelat di roti yang sudah dipanggang. Dengan pelan-pelan dan teliti. “Kau seperti pangeran,” ucap Stormi memperhatikan tingkah perilaku Diego. “Tidak ada pangeran yang memiliki banyak tato sepertiku.” Diego menaruh roti itu di atas piring Stormi. Tidak tanggung-tanggun. Ia melakukannya pada lima lembar roti. “Hanya perilakumu..” Stormi menyipitkan mata. “Wajahmu juga
Diego menghela nafas. ia memejamkan mata sebentar. Sekali lagi ia harus menyadarkan diri. Stormi memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. “Bilang saja menyelamatkanku.” Stormi menoleh. “Mana bisa…” “Kenapa tidak bisa?” “Aku memberitahu ibuku kalau aku dan kekasihku batal menikah. lalu bagaimana jika aku bilang kalau aku terluka karena menyelamatkan seorang pria lain….” Stromi berhenti bicara. Ia menoleh pada Diego yang sedari tadi menyimak ucapannya. Bukankah ini terlalu awal untuk menceritakan bagaimana kisahnya pada pria ini. Tapi mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. “Aku pasti sudah gila..” lirihnya. “Pria mana yang meninggalkanmu?” tanya Diego. “Pria mana yang menyia-nyiakan wanita secantik dirimu?” Tangan Diego terangkat mengusap pipi Stormi. “Dia memang brengsek. Aku menjalin hubungan dengannya 2 tahun. Tapi dia berselingkuh dengan teman kantorku. Kita sudah bertunangan dan berencana akan menikah di waktu dekat. Tapi dia
Stormi memejamkan mata. Ia membiarkan Diego yang berusaha melepaskan pakaiannya. Ciuman mereka semakin dalam. Stormi tidak menolak sentuhan Diego. sama sekali tidak menolak. Sentuhan pria itu sangat hati-hati dan lembut. Memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Namun… “Akh!” Jari Diego tidak sengaja mengenai lukanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Diego segera melepaskan Stormi. Stormi mengangguk. Namun, sesungguhnya masih sedikit nyeri. “Biar aku lihat.” Diego melepaskan kancing piyama Stormi lagi. Kali ini bukan karena nafsu. Tapi karena ia mencemaskan wanita itu. ia ingin melihat luka Stormi apakah terbuka dan semakin parah. “Tidak parah kan?” tanya Stormi. Ia sedikit malu. pakaiannya berantakan karena dibuka Diego. Ia menggigit bibirnya lagi. tapi untungnya pria itu tidak fokus pada tubuhnya dan hanya fokus pada lukanya. Diego melihat Luka Stormi yang mengeluarkan darah. “Lukamu harus diperiksa dokter,” ucap Diego. Pria itu hendak berdiri. Namun Stor
Diego tersenyum lagi. Kali ini tertawa kecil. “Bagaimana kalau aku bilang aku juga tertarik denganmu?” tanyanya. Stormi menggigit bibirnya. “Kenapa? Karena kasihan padaku? atau karena aku menyelamatkanmu?” Stormi menggeleng. “Jangan merasa bersalah. Aku baik-baik saja kalau kau tidak tertarik denganku. Jangan memaksa dirimu hanya karena merasa bersalah padaku.” “Aku tidak pernah merasa bersalah pada orang.” Diego mendekat. “Kau tahu aku akan? Aku bahkan bisa membunuh orang dengan mudah. Untuk apa membohongi perasaanku sendiri.” “Aku juga tertarik denganmu.” Stormi mengerjap—menunjuk dirinya. “Denganku?” Diego mengangguk. “Bukankah kau suka dengan Ruby? Kau terlihat menyukai Ruby?” tanya Stormi. “Pada awalnya aku hanya penasaran dengannya karena wajahnya tidak asing. Aku semakin penasaran karena melihat kekuatannya. Hanya sebatas itu.. ketertarikanku hanya sebatas itu..” “Aku juga merasa kita khanya cocok menjadi teman. Dia juga sudah bersuami. Meskipun aku kejam. Aku tidak
“Ruby pergi bersama suaminya.” Suara itu membuat Stormi menoleh. Di sanalah—di sofa. Diego sedang duduk sembari mengusap wajah sebentar. Apa pria itu menunggunya? “Aku takut…” lirih Stormi. Hanya ada dua lampu tidur yang menyala. Sehingga cahaya di kamar ini gelap. Diego berdiri dari duduknya. Menyalakan saklar lampu sehingga semuanya menjadi cerah. “Aku pikir mematikan lampunya agar kau bisa tidur dengan nyaman.” Stormi menatap Diego… Sedikit takut.Masih takut. “Apa yang membuatmu takut? aku membuatmu takut?” tanya Diego berjalan mendekat. Stormi menggangguk namun segera menggeleng lagi. “Ti-tidak. Aku tidak takut padamu.” Diego nampak lebih santai. tidak sepergi biasanya yang selalu menggunakan pakaian formal. Kali ini, pria itu hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam. Memang tidak pernah jauh-jauh dari warna hitam. Diego mengambil duduk di samping ranjang Stormi. Menatap Stormi lekat. Stormi mengerjap—kedua tangannya meremas selimut yang membungkus tubuhnya
Ruby mendongak. “Jika minta maaf lagi. aku tidak akan mau dicium!” Leonard mengerjap. “Mana bisa seperti itu..” leonard melepaskan pelukan mereka. “Maka dari itu berhentilah meminta maaf.” Ruby tersenyum. menyentuh rahang Leonard yang begitu tegas. Rahang Leonard yang dipenuhi dengan bulu-bulu halus. “Baiklah.” Leonard menatap bola mata Ruby. “Aku jadi tahu kenapa aku tidak bisa melihat kejadian yang kamu alami.” Jemarinya menyentuh kelopak mata Ruby. “Karena mata ini bukan mataku yang asli?” tanya Ruby. Leonard mengangguk. “Mata ini yang membawaku padamu.” “Setelah operasi, apa mata kamu pernah sakit?” tanya Leonard. Ruby menggeleng. “Tidak, sayang. Aku baik-baik saja.” Ruby mengecup rahang Leonard singkat. “Berhentilah kawatir.” Leonard mengangguk. mengecup punggung tangan Ruby. “Kamu yang tidak bisa berhenti membuatku kawatir. Datang ke tempat berbahaya sendiri. berurusan dengan mafia.” Ruby memejamkan mata—menutup telinganya dengan kedua tanganya. Leonard se