“Derrick..” lirih Lila lagi. “Akh..” suara Derrick yang menahan sakit di dadanya. Lucas membawa Lila mendekati Derrick. “Dasar bajingan. Jangan mati dulu!” Lucas menyentuh lengan Derrick. Lila menyentuh lengan kemeja Derrick. “Kita harus segera ke rumah sakit. Kau harus bertahan.” “Ayo Lucas. Ayo bawa Derrick ke rumah sakit,” ucap Lila dengan gemetar. Derrick menggeleng. ia memejamkan mata menahan rasa sakitnya itu. “Tidak. Aku tidak bisa bertahan..” lirihnya. “Di sini saja. tunggu sampai aku mati…” “Derrick, aku mohon jangan seperti ini. ayo kita ke rumah sakit. Aku akan menemanimu di rumah sakit. Jangan seperti ini…” Lila mengguncang lengan Derrick. “Aku tidak bisa bertahan. Aku mohon, tetaplah di sini sampai aku mati…” Suara Derrick melemah. Dua orang kepercayaan Derrick terduduk lemas di depan tubuh Derrick. Salah satu dari mereka menatap Lila. “Derrick sudah lama didiagnosa kanker otak stadium akhir. Keinginannya hanyalah melihatmu..” Lila memejamkan mata.
Lila menyentuh perutnya sendiri. “apa kau akan memisahkanku dengan Leonard dan anakku kelak?” tanyanya. Hanya itu yang terlintas dalam pikiran Lila. Ketakutannya pada anaknya setelah rahasia itu terbongkar. Lucas menggeleng. “Bagaimana bisa aku memisahkan kalian. Kalian adalah… bagian dari hidupku.” Lila terdiam. mencerna ucapan Lucas yang terdengar tidak masuk akal. Bagaimana bisa pria itu berkata seperti itu. Apakah benar? apakah sungguh-sungguh… “Kau tidak berbohong?” tanya Lila lagi. Lucas mengambil tangan Lila. “Mari lupakan tentang perjanjian itu. Oh tidak….” “Bakar saja perjanjian itu. Kita bisa hidup bersama dan bahagia bersama. Aku akan berusaha menjadi ayah yang baik untuk Leonard dan calon bayi kita.” Lila tersenyum. ia tidak bisa menahan kebahagiaannya. Namun. Masih terasa janggal. “Bagaimana bisa kau ingin kita hidup bersama saat kau tidak mencintaiku? Kau hanya mencintai Isabel.” Lucas bangkit dan mengambil duduk di ranjang samping Lila. Set
Menaruh bunga di atas sebuah makam yang hijau. Seperti halnya manusia biasa. Meski seorang mafia yang terkenal kejam, Derrick dimakamkan di sebuah pemakaman mewah kelas atas. Di padang rumput yang hijau. Lila duduk di depan makam Derrick. Di sampingnya ada Lucas yang selalu memeluk pinggangnya. Sangat posesive meski Derrick sudah pergi. “Lucas…” panggil Lila. Menyentuh tangan Lucas yang berada di pinggangnya. bukan apa-apa. tapi Lucas terlalu erat memeluknya. Lucas menggeleng pelan. “Dia akan tersenyum senang di atas sana jika aku melepaskanmu.” Lila menghela napas. Ia menyentuh batu nisan Derrick. “Aku tidak tahu ternyata dia temanku dahulu. Saat pertama kali aku diculik olehnya, kita tidak banyak bicara. Aku kira dia psikopat yang mengincarku. Tapi ternyata tidak…” “Dia sahabatku. Sahabat kecilku…” “Dia juga mencintaimu.” Lucas mengecup pipi Lila dari samping. “hm.” Lila meraih tangan Lucas. “katanya dia bertahan karena dia ingin bertemu denganku lagi. Saat kit
“Tidak usah terlalu berlebihan.” Bahkan untuk memasang seatbelt saja tidak boleh. Lila sampai berdecak pelan. “Aku bukan lagi lumpuh loh..” Lila meraba sampingnya dan mengambil tangan Lucas. “Biarkan aku melakukan hal-hal seperti biasanya. Jika aku merasa lelah aku akan bilang dan minta bantuan orang lain.” “Baiklah.” Lucas menancap gasnya. “Aku akan berusaha.” Mobil berjalan dengan tenang. Tidak melaju dengan kencang seperti biasanya Lucas mengendarai mobil. Ia memang sangat berhati-hati menjaga istri dan anaknya. “Leonard sudah bisa memanggilku papa…” ucap Lucas dengan bangga. “Dia mulai lancar berbicara…” lirih Lila. “Tidak aku sangka aku akan berakhir denganmu.” “Maksudmu?” Lucas menoleh sebentar dengan kesal. “Maksudmu kau terpaksa bersamaku? Kau tidak ingin bersamaku?” “Dari awal aku tidak ada ekspektasi menjadi istrimu sungguhan. Perjanjian itu…” Jelas Lila. “Aku pikir aku akan bercerai denganmu. Menyerahkan anak kita yang kedua padamu. lalu merahasiakan tentang Leon
Seperti ada letupan bunga yang meledak di dada lucas. Letupan itu terisi oleh bunga yang indah dan semerbak harum. Hingga membuat bibir Lucas melengkungkan senyum. Namun… Belum usai juga kebahagiaannya. Justru Lila melanjutkan ucapannya. “Tapi aku takut melukai orang terdekatku.” Lila menggeleng pelan. “Aku takut kalau kesialan yang aku percayai sebagai mitos ini bisa menjadi sebuah fakta. Yang kemudian bisa menghancurkanmu…” “…dan menghancurkan kita.” “Berhenti.” Lucas menangkup wajah Lila. “Aku tidak ingin mendengar hal itu lagi.” Lucas membawa Lila ke atas pangkuannya dengan begitu mudah. Mengusap pinggang Lila pelan. “Mitos sialan itu tidak akan berpengaruh padaku. Aku akan melindungi keluarga kita. Leonard, kau dan aku…” “Aku akan memastikan jika keluarga kita akan aman.” Lucas menunduk dan mengecup pipi Lila. “Jangan mengatakannya lagi.” Lucas menunduk dan menaruh wajahnya di ceruk leher Lila. “Aku sangat senang dengan pernyataanmu.” “Artinya cintaku te
Seorang anak kecil yang tengah berlarian itu tiba-tiba berhenti dan menundukkan kepala. Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Suara tembakan itu terdengar begitu keras dan berulang kali. Hingga…. Burung-burung yang semula di udara itu berjatuhan. Dengan darah yang berlumuran di tubuh. Bocah itu membuka matanya. mengusap wajahnya yang terasa lengket karena cairan… Melihat tangannya yang berlumuran darah. Ketika ia mendongak. ia melihat banyak burung yang yang sudah mati tersangkut di batang pohon. Bocah itu diam ketakutan. “Kenapa kamu hanya diam di sini?” tanya seseorang dari belakang. Bocah itu memutar tubuhnya. tangannya terangkat dan menunuk burung yang berada di atasnya. Pria itu menatap bocah itu dengan datar. Lalu menunduk—menyentuh bahu anak itu dengan sedikit mencengkramnya. “Katakan padaku kenapa kamu begitu takut hanya melihat burung tidak berguna yang mati?” “Darahnya….” “Lucas!” mengguncang bahu anaknya. “Aku tidak mendidikmu sebagai le
Mendengar suara teriakan itu—Lucas terbangun dari mimpinya yang terasa begitu panjang. Lucas menatap Lila yang berada di sampingnya. Lampu masih menyala. Jadi inilah alasannya kenapa ia bermimpi buruk lagi. Ia lupa mematikan lampu ketika ia berbaring berpelukan dengan Lila. Sampai mereka ketiduran dengan posisi berpelukan. Lucas mengusap wajahnya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Lila. Lucas mengangguk. ia bangun—menyingkap selimut dan berjalan ke kamar mandi. Membasahi wajahnya dengan air. Kejadian itu berputar jelas di kepalanya. Bayang-bayang kejadian itu selalu menghantuinya. Lucas keluar dari kamar mandi—namun baru saja membuka pintu. Ia melotot melihat Lila yang sudah berada di hadapannya. “Aku takut…” lirihnya. “Terjadi sesuatu pada kamu.” Lucas mengambil tangan Lila. “aku baik-baik saja.” Sembari menggenggam tangan Lila. Lucas mengambil satu botol winsky dan membawanya ke balkon. Di sanalah mereka bisa melihat pemandangan laut yang masih gelap. Han
Di pinggir lautan. Lucas menggenggam tangan Lila. Mereka membawa kelopak bunga yang ditaruh di sebuah keranjang. Lila memeluk lengan Lucas dari samping. “Perjalanan terakhir ibu kamu di laut. Laut yang membawa ibu kamu pergi. jadi, mulai sekarang anggap saja laut adalah pemakaman ibu kamu.” “Aku yakin ibu kamu juga melihat kita dan mendengar kita sedang mengingatnya.” Lucas mengangguk. Mereka melangkah maju. Kaki mereka menyentuh air. Gelombang air itupun mengenai kaki mereka. Lucas mengambil kelopak bunga kemudian menghamburkannya ke air. Begitupun Lila… Sampai bunga-bunga itu habis. Lucas menundukkan kepalanya. Emosinya tiba-tiba meluap. Ia menunduk dengan air mata yang tidak bisa dicegah untuk jatuh. Selama ini, Lucas yang kejam dan katanya tidak punya emosi bisa menangis juga. Bukan tidak bisa menangis, Lucas hanya tidak tahu caranya meluapkan emosinya. Menangis itu adalah hal wajar. Dan Lila tahu itu. Dengan menangis, bisa mengangkat sedikit beban dari
21++ Diego mengusap puncak kepala Stormi. “Aku harus pulang.” Stormi mendongak. “Ibuku menghawatirkanku.” “Bagaimana lukanya?” “Tidak masalah. Aku akan menjelaskannya pelan-pelan.” Stormi tersenyum. “Haruskah aku ikut? Aku yang menyebabkanmu tertembak.” Stormi terkekeh pelan. “Tidak perlu.” Akan jadi bencana kalau Diego ikut bersamanya. “Bagaimana dengan hubungan kita?” tanya Stormi. “apakah akan berakhir saat aku pergi?” “Menurutmu bagaimana?” tanya Diego kembali. “Apa kau pikir aku bisa melepaskanmu dengan mudah?” Diego mengusap pipi Stormi pelan. “Kau sudah membuatku gila. tapi tiba-tiba ingin pergi. kau pikir aku bisa membiarkan hal itu terjadi?” Jemarinya menyentuh bibir Stormi. “Sudah aku bilang. Jangan menggigit bibirmu, biarkan aku yang menggigitnya.” Stormi berjinjit—memulai langkah lebih dulu. Mencium bibir Diego dengan tangan yang mengalun di leher pria itu. Diego menyambutnya dengan senang hati. Ia mengusap tengkuk Stormi dan memperdalam ciuman m
“Mau membohongi ibu? Kenapa tidak kunjung pulang? kau pikir ibu tidak kawatir? Ibu tahu kau sudah keluar dari kantor tapi kenapa belum juga sampai? Ke mana kamu? tidak memberi ibu kabar sama sekali?” Stormi menjauhkan ponselnya dari telinganya. “Dari mana ibu tahu aku sudah keluar dari kantor?” tanya Stormi. “Coba pikir sendiri. kenapa ibu sampai tahu.” Stormi mengernyit kebingungan. “Dari mana…” Stormi menutup mulutnya. “kamu mendadak tidak bisa dihubungi. Ibu menyuruh adik kamu mencari tahu apa yang terjadi dengan kamu. kata adik kamu, kamu pergi jalan-jalan. tapi kenapa tidak kunjung kembali dan menghubungi ibu.” Stormi mendesah pelan. Benar, adiknya kan memang bisa mencaritahunya lewat sosial media. Salahnya juga kenapa update. Stormi mengetuk kepalanya. ia hanya ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia baik-baik saja setelah keluar dari kantor dan batal menikah. “Ibu, dengarkan aku..” Stormi berbicara pelan-pelan. “Saat ini aku sedang berlibur. Aku baik-baik sa
“Dia sibuk ke sana ke mari dengan lukisannya.” Leonard menatap langit-langit kamar ini. “Dia sama sekali tidak mau mengurus perusahaan. jadi semuanya dilimpahkan padaku.” Leonard menoleh. Ruby tertawa mendengarnya. “Kamu kakak yang baik ternyata. Kamu membiarkan Luna melakukan apa yang dia inginkan.” “Jika dikekang dia bisa memberontak.” Leonard memeluk Ruby semakit erat. “Kekuatannya juga menyebalkan. Dia pembawa keberuntungan seperti mama. Dia juga bisa melihat masa depan dan masa lalu dari sebuah tempat.” “Jika kita pergi bersama. Kekuatan mereka seakan sedang bersatu. Restoran yang kita datangi akan penuh dengan orang-orang. Kekuatan mereka itu seperti magnet keberuntungan bagi sebuah tempat yang didatangi.” Ruby mendongak. “sepertinya seru.” “Seru juga…” Leonard mengangguk. “Hanya saja sedikit melelahkan. Keluargaku beragam jenis. Untungnya Papa tidak memiliki kekuatan seperti itu.” “Tapi dia bisa membunuh orang dengan mudah,” lanjut leonard. Pertama kalinya Leo
“Ini rumah lama keluargaku.” Ruby dan leonard sampai di sebuah rumah. Rumah tua yang masih terawat. “Sudah lama. Tapi masih terawat.” Leonard mengamati rumah di hadapannya ini. “Ada orang yang membersihkannya setiap seminggu sekali. walaupun penghasilanku tidak banyak, tapi aku menyisihkan uangku untuk tetap merawat rumah ini.” Ruby menarik Leonard masuk ke dalam rumahnya. Semuanya masih begitu bersih. Meskipun memang terlihat tua. Ruby menunjuk beberapa foto di dinding. “Itu fotoku.” Ruby menunjuk foto masa kecilnya. Leonard menatap potret bocah kecil yang sedang tersenyum. gigi bocah perempuan itu ada yang hilang. “Matamu cokelat…” lirih Leonard. Ruby memeluk Lengan Leonard. menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. “Sekarang bisa melihatku?” tanya Ruby. Leonard memejamkan mata. “Kamu begitu aktif saat masih kecil…” Leonard membuka mata. “kamu juga pernah tercebur di danau.” Ruby tertawa. “Itu sudah sangat lama. Aku sering bermain di sana dengan kakakku.
21++ “Katakan padaku sayang.” Ruby mendongak. “Aku bisa menjaga rahasia.” Leonard terdiam sebentar. “Kamu ingin tahu karena menghawatirkan Stormi?” Ruby mengangguk jujur. Ia takut kalau Diego tidak sebaik yang ia kira. Ia takut suatu saat Diego bisa menyakiti Stormi. Apalagi Stormi baru saja gagal menikah. diselingkuhi mantan kekasihnya. “Yang aku lihat hanya sekilas karena aku menahan diriku. Tapi kejadian itu tetap terlihat.” Leonard mengusap punggung Ruby. “Aku melihatnya banyak menembak orang…” lirih Leonard. Ruby mengerjap. “Sungguh?” Leonard mengangguk. “Seperti Papa dulu..” lanjutnya. “Dia banyak terlibat keributan. Hidupnya memang dipenuhi dengan bahaya.” Ruby melepaskan pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahu Stormi?” “Jangan.” Leonard menggeleng. “Di antara banyaknya kejadian yang terlintas di kepalaku. Aku tidak melihatnya menyakiti wanita.” “Dan juga…” Leonard menyipitkan mata. Ruby menunggu ucapan suaminya. “Dan juga?”
Waktunya pulang…. Ruby dan Leonard sudah berada di pesawat. Dengan menggunakan pesawat pribadi seperti ini, mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke kota. Ruby turun perlahan dibantu Leonard yang selalu menggenggam tangannya. “Perutku..” Ruby mengernyit. Lagi-lagi mual. “Aku sangat bosan…” Ruby mengernyit. “Aku selalu seperti ini setelah melakukan perjalanan.” Leonard menunduk. “Kita ke rumah sakit dulu.” Ruby menggeleng. “aku baik-baik saja. hanya sedikit mual. Tidak sampai ingin muntah.” Leonard mengusap punggung Ruby pelan. “Jangan menahannya.” Ruby mengangguk. mereka masuk ke dalam mobil. Perjalanan akan berlanjut sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah kakek neneknya. Tapi tujuan mereka bukan rumah dahulu. Tapi… Mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman. Ruby membawa bunga yang ia beli saat perjalanan ke sini. Ia menggandeng tangan Leonard—sampai berada di depan makam kakek neneknya. Makam yang sangat sejuk. Tidak seperti kebanyaka
Berkeliling mansion… Berkeliling peternakan hewan yang ada di Mansion lebih tepatnya. Di belakang Mansion ada bangunan yang khusus digunakan sebagai ternak hewan. Mereka berempat sedang berjalan ke sana. bangunan yang mirip dengan kebun binatang. “Kenapa kau membangun kebun binatang di belakang rumahmu?” tanya Leonard yang begitu heran. Ia memeluk pinggang Ruby dari samping. Diego dan Stormi berjalan lebih dulu memimpin perjalanan mereka dari berkeliling ini. “Ini bukan kebun binatang,” balas Diego. “Ini Peternakan.” Mereka sampai peternakan buaya. Bentuknya seperti rawa. Namun mereka berdiri di ruangan yang dilapisi dengan dinding dan kaca. Sehingga mereka bisa memantau para buaya yang berada di depan mereka. “Buaya?” tanya Leonard. “Waah..” Stormi mendekat. “Ini menakjubkan.” Di depan sana—ada beberapa petugas yang sudah ahli memberi makan buaya dengan daging ayam. Ruby mengerjap—ia tidak pernah melihat buaya secara langsung. Tapi ini—sungguh membuatnya m
“Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi makan dulu.” Diego memundurkan kursi untuk Stormi. Stormi mengangguk. ia duduk di samping Diego. “Kenapa barang-barang di bawa orang? Mau pindah?” tanya Stormi. “Pembangunan Mansionku yang baru sudah selesai. aku akan segera pindah ke sana. dan ada barang-barang yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku membawanya.” “Lalu bagaimana dengan Mansion ini?” tanya Stormi. “Mansion ini akan dijadikan sebagai Markas sekaligus kantorku.” Stormi mengerti. “Ooh…” “Makanlah. Jangan banyak berpikir.” Diego mengambil satu roti. “Mau pakai apa?” “Cokelat saja.” Diego mengoleskan selai cokelat di roti yang sudah dipanggang. Dengan pelan-pelan dan teliti. “Kau seperti pangeran,” ucap Stormi memperhatikan tingkah perilaku Diego. “Tidak ada pangeran yang memiliki banyak tato sepertiku.” Diego menaruh roti itu di atas piring Stormi. Tidak tanggung-tanggun. Ia melakukannya pada lima lembar roti. “Hanya perilakumu..” Stormi menyipitkan mata. “Wajahmu juga
Diego menghela nafas. ia memejamkan mata sebentar. Sekali lagi ia harus menyadarkan diri. Stormi memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. “Bilang saja menyelamatkanku.” Stormi menoleh. “Mana bisa…” “Kenapa tidak bisa?” “Aku memberitahu ibuku kalau aku dan kekasihku batal menikah. lalu bagaimana jika aku bilang kalau aku terluka karena menyelamatkan seorang pria lain….” Stromi berhenti bicara. Ia menoleh pada Diego yang sedari tadi menyimak ucapannya. Bukankah ini terlalu awal untuk menceritakan bagaimana kisahnya pada pria ini. Tapi mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. “Aku pasti sudah gila..” lirihnya. “Pria mana yang meninggalkanmu?” tanya Diego. “Pria mana yang menyia-nyiakan wanita secantik dirimu?” Tangan Diego terangkat mengusap pipi Stormi. “Dia memang brengsek. Aku menjalin hubungan dengannya 2 tahun. Tapi dia berselingkuh dengan teman kantorku. Kita sudah bertunangan dan berencana akan menikah di waktu dekat. Tapi dia