“Lepaskan aku…” lirih Lila. Tarikan itu membuatnya pusing. “aku bisa mati jika kau terus seperti ini…” imbuhnya. Akhirnya Isabel melepaskannya. “Tapi aku juga ingin membuatmu mati…” Isabel menunduk. “Katanya kau bisa membawa keberuntungan. Tapi hingga kini aku tidak melihat itu…” “aku sendiri juga tidak tahu.” “tidak usah menjawab.” Isabel melotot. “Kalau begitu kau hanya sampah yang tidak berguna.” “Bagaimana kalau aku menghabisimu saja?” tanya Isabel. Isabel mengambil satu pistol dari dalam sakunya. “Haruskah?” Isabel menekan ujung pistol itu di samping kepala Lila. “Haruskah aku membunuhmu sekarang?” Lila hanya pasrah. Tidak ada perlawanan. Tidak mungkin juga melawan wanita gila ini. “Tujuan kalian membawaku ke sini hanya untuk membunuhku?” tanya Lila. “Kalau begitu kenapa repot-repot membawaku. Kenapa tidak langsung menembakku saja di sana…” “Aku ingin melihat keberuntungan yang dimaksud kekasihku.” Louis datang dan mengambil duduk di samping Isabel. Me
Memasuki area timur. Semuanya terjadi begitu saja. Baku tembak tidak bisa dihindari. Anak buah Lucas membabi buta menyerang anak buah Louis. Rencana mereka adalah secepatnya membawa Lila pergi dari daerah timur. Jika terlalu lama, pasti teman-teman Louis akan membantu menyerang Lucas. Untuk itu—mereka menggunakan kecepatan penuh untuk segera menyerag bangunan tempat Louis menyekap Lila. Lucas berada di dalam mobilnya. Dari tempatnya ia bisa melihat gedung tua itu. Dari jendela kaca itu ia bisa melihat beberapa orang di dalamnya. Satu wanita yang sedang duduk di kursi dengan tubuh yang terikat. Wanita itu memunggungi jendela. Meski Lucas tidak bisa melihat secara utuh wanita itu, tapi Lucas tahu siapa. Itu Lila…. Lucas menatap tajam Isabel yang sedang mengarahkan sebuah senapan pada Lila. Senapan itu mengarah pada kepala Lila. Lucas tersenyum miring. “Serang.” Lucas keluar dari mobilnya dengan cepat. Sebelum Isabel melepaskan peluru pada senapan itu. Ia l
Door Door Suara tembakan itu bersautan. Lucas mendengar Sam yang sedang di luar. “Sir, kita kalah jumlah. Pasukan mereka datang. Mereka menyergap kita..” “Sulit untuk menyerang kembali. Apalagi stok peluru yang kita bawa menipis.” Lucas menatap Louis yang sedang tertawa mengejeknya. “Jangan terlalu gegabah anak muda.” Louis sengaja menggores leher Lila untuk memancing Lucas. Ia ingin tahu seberapa cinta dan sukanya Lucas dengan gadis buta itu. Louis tersenyum miring. “Bagaimana kalau menukar harta kekayaan yang kau sembunyikan di ruang bawah tanah itu dengan wanita ini?” tanya louis. “kau sangat mencintainya kan?” tanyanya. “Kalau tidak kau bisa pergi dari sini. aku tidak akan mengejarmu. Aku akan membiarkanmu hidup bebas seperti tidak terjadi apa-apa.” “Apa yang kau inginkan?” tanya Lucas. “Semua harta yang kau simpan. Berikan padaku..” Louis tertawa. “Semuanya…” Mengeratkan kungkungannya pada leher Lila. Lucas mengepalkan tangannya. “Jika tidak…” Louis tida
“Sir, saya meminta bantuan Derrick. Saya melakukannya untuk keselamatan kita dan terutama nona Lila.” Itu suara Sam yang memberitahunya.Lucas mencabut alat yang menancap di telinganya. “Waah berani juga ya…” Louis tersenyum miring. “Bajingan itu menghianati orang-orang di daerahnya…” Louis masih menyergap Lila. Ia menoleh ke bawah. Semua anak buahnya kalah jumlah. Louis berdecih pelan. “Jika kalian mendekat. aku akan menghabisi kalian.” Derrick yang baru saja sampai di lantai dua menatap Lila yang sedang disergap oleh louis. Rasanya sudah lama tidak melihat wanita itu. “Menyerahlah.” Derrick mengangkat senapannya. Derrick menoleh ke samping. tepatnya pada Lucas. Lucas menyipitkan mata sembari menatapnya kesal. Seolah sedang berkata, Pergi saja aku tidak butuh bantuanmu. Derrick berdecik kesal. Melotot pada Lucas. Lucas mengartikan arti pelototan itu sebagai kata-kata. Jangan sombong!Nyatanya meski mereka tidak saling berbicara, tapi mereka bisa memahami perasaan masing-
“Derrick..” lirih Lila lagi. “Akh..” suara Derrick yang menahan sakit di dadanya. Lucas membawa Lila mendekati Derrick. “Dasar bajingan. Jangan mati dulu!” Lucas menyentuh lengan Derrick. Lila menyentuh lengan kemeja Derrick. “Kita harus segera ke rumah sakit. Kau harus bertahan.” “Ayo Lucas. Ayo bawa Derrick ke rumah sakit,” ucap Lila dengan gemetar. Derrick menggeleng. ia memejamkan mata menahan rasa sakitnya itu. “Tidak. Aku tidak bisa bertahan..” lirihnya. “Di sini saja. tunggu sampai aku mati…” “Derrick, aku mohon jangan seperti ini. ayo kita ke rumah sakit. Aku akan menemanimu di rumah sakit. Jangan seperti ini…” Lila mengguncang lengan Derrick. “Aku tidak bisa bertahan. Aku mohon, tetaplah di sini sampai aku mati…” Suara Derrick melemah. Dua orang kepercayaan Derrick terduduk lemas di depan tubuh Derrick. Salah satu dari mereka menatap Lila. “Derrick sudah lama didiagnosa kanker otak stadium akhir. Keinginannya hanyalah melihatmu..” Lila memejamkan mata.
Lila menyentuh perutnya sendiri. “apa kau akan memisahkanku dengan Leonard dan anakku kelak?” tanyanya. Hanya itu yang terlintas dalam pikiran Lila. Ketakutannya pada anaknya setelah rahasia itu terbongkar. Lucas menggeleng. “Bagaimana bisa aku memisahkan kalian. Kalian adalah… bagian dari hidupku.” Lila terdiam. mencerna ucapan Lucas yang terdengar tidak masuk akal. Bagaimana bisa pria itu berkata seperti itu. Apakah benar? apakah sungguh-sungguh… “Kau tidak berbohong?” tanya Lila lagi. Lucas mengambil tangan Lila. “Mari lupakan tentang perjanjian itu. Oh tidak….” “Bakar saja perjanjian itu. Kita bisa hidup bersama dan bahagia bersama. Aku akan berusaha menjadi ayah yang baik untuk Leonard dan calon bayi kita.” Lila tersenyum. ia tidak bisa menahan kebahagiaannya. Namun. Masih terasa janggal. “Bagaimana bisa kau ingin kita hidup bersama saat kau tidak mencintaiku? Kau hanya mencintai Isabel.” Lucas bangkit dan mengambil duduk di ranjang samping Lila. Set
Menaruh bunga di atas sebuah makam yang hijau. Seperti halnya manusia biasa. Meski seorang mafia yang terkenal kejam, Derrick dimakamkan di sebuah pemakaman mewah kelas atas. Di padang rumput yang hijau. Lila duduk di depan makam Derrick. Di sampingnya ada Lucas yang selalu memeluk pinggangnya. Sangat posesive meski Derrick sudah pergi. “Lucas…” panggil Lila. Menyentuh tangan Lucas yang berada di pinggangnya. bukan apa-apa. tapi Lucas terlalu erat memeluknya. Lucas menggeleng pelan. “Dia akan tersenyum senang di atas sana jika aku melepaskanmu.” Lila menghela napas. Ia menyentuh batu nisan Derrick. “Aku tidak tahu ternyata dia temanku dahulu. Saat pertama kali aku diculik olehnya, kita tidak banyak bicara. Aku kira dia psikopat yang mengincarku. Tapi ternyata tidak…” “Dia sahabatku. Sahabat kecilku…” “Dia juga mencintaimu.” Lucas mengecup pipi Lila dari samping. “hm.” Lila meraih tangan Lucas. “katanya dia bertahan karena dia ingin bertemu denganku lagi. Saat kit
“Tidak usah terlalu berlebihan.” Bahkan untuk memasang seatbelt saja tidak boleh. Lila sampai berdecak pelan. “Aku bukan lagi lumpuh loh..” Lila meraba sampingnya dan mengambil tangan Lucas. “Biarkan aku melakukan hal-hal seperti biasanya. Jika aku merasa lelah aku akan bilang dan minta bantuan orang lain.” “Baiklah.” Lucas menancap gasnya. “Aku akan berusaha.” Mobil berjalan dengan tenang. Tidak melaju dengan kencang seperti biasanya Lucas mengendarai mobil. Ia memang sangat berhati-hati menjaga istri dan anaknya. “Leonard sudah bisa memanggilku papa…” ucap Lucas dengan bangga. “Dia mulai lancar berbicara…” lirih Lila. “Tidak aku sangka aku akan berakhir denganmu.” “Maksudmu?” Lucas menoleh sebentar dengan kesal. “Maksudmu kau terpaksa bersamaku? Kau tidak ingin bersamaku?” “Dari awal aku tidak ada ekspektasi menjadi istrimu sungguhan. Perjanjian itu…” Jelas Lila. “Aku pikir aku akan bercerai denganmu. Menyerahkan anak kita yang kedua padamu. lalu merahasiakan tentang Leon
21++ “Katakan padaku sayang.” Ruby mendongak. “Aku bisa menjaga rahasia.” Leonard terdiam sebentar. “Kamu ingin tahu karena menghawatirkan Stormi?” Ruby mengangguk jujur. Ia takut kalau Diego tidak sebaik yang ia kira. Ia takut suatu saat Diego bisa menyakiti Stormi. Apalagi Stormi baru saja gagal menikah. diselingkuhi mantan kekasihnya. “Yang aku lihat hanya sekilas karena aku menahan diriku. Tapi kejadian itu tetap terlihat.” Leonard mengusap punggung Ruby. “Aku melihatnya banyak menembak orang…” lirih Leonard. Ruby mengerjap. “Sungguh?” Leonard mengangguk. “Seperti Papa dulu..” lanjutnya. “Dia banyak terlibat keributan. Hidupnya memang dipenuhi dengan bahaya.” Ruby melepaskan pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahu Stormi?” “Jangan.” Leonard menggeleng. “Di antara banyaknya kejadian yang terlintas di kepalaku. Aku tidak melihatnya menyakiti wanita.” “Dan juga…” Leonard menyipitkan mata. Ruby menunggu ucapan suaminya. “Dan juga?”
Waktunya pulang…. Ruby dan Leonard sudah berada di pesawat. Dengan menggunakan pesawat pribadi seperti ini, mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke kota. Ruby turun perlahan dibantu Leonard yang selalu menggenggam tangannya. “Perutku..” Ruby mengernyit. Lagi-lagi mual. “Aku sangat bosan…” Ruby mengernyit. “Aku selalu seperti ini setelah melakukan perjalanan.” Leonard menunduk. “Kita ke rumah sakit dulu.” Ruby menggeleng. “aku baik-baik saja. hanya sedikit mual. Tidak sampai ingin muntah.” Leonard mengusap punggung Ruby pelan. “Jangan menahannya.” Ruby mengangguk. mereka masuk ke dalam mobil. Perjalanan akan berlanjut sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah kakek neneknya. Tapi tujuan mereka bukan rumah dahulu. Tapi… Mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman. Ruby membawa bunga yang ia beli saat perjalanan ke sini. Ia menggandeng tangan Leonard—sampai berada di depan makam kakek neneknya. Makam yang sangat sejuk. Tidak seperti kebanyaka
Berkeliling mansion… Berkeliling peternakan hewan yang ada di Mansion lebih tepatnya. Di belakang Mansion ada bangunan yang khusus digunakan sebagai ternak hewan. Mereka berempat sedang berjalan ke sana. bangunan yang mirip dengan kebun binatang. “Kenapa kau membangun kebun binatang di belakang rumahmu?” tanya Leonard yang begitu heran. Ia memeluk pinggang Ruby dari samping. Diego dan Stormi berjalan lebih dulu memimpin perjalanan mereka dari berkeliling ini. “Ini bukan kebun binatang,” balas Diego. “Ini Peternakan.” Mereka sampai peternakan buaya. Bentuknya seperti rawa. Namun mereka berdiri di ruangan yang dilapisi dengan dinding dan kaca. Sehingga mereka bisa memantau para buaya yang berada di depan mereka. “Buaya?” tanya Leonard. “Waah..” Stormi mendekat. “Ini menakjubkan.” Di depan sana—ada beberapa petugas yang sudah ahli memberi makan buaya dengan daging ayam. Ruby mengerjap—ia tidak pernah melihat buaya secara langsung. Tapi ini—sungguh membuatnya m
“Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi makan dulu.” Diego memundurkan kursi untuk Stormi. Stormi mengangguk. ia duduk di samping Diego. “Kenapa barang-barang di bawa orang? Mau pindah?” tanya Stormi. “Pembangunan Mansionku yang baru sudah selesai. aku akan segera pindah ke sana. dan ada barang-barang yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku membawanya.” “Lalu bagaimana dengan Mansion ini?” tanya Stormi. “Mansion ini akan dijadikan sebagai Markas sekaligus kantorku.” Stormi mengerti. “Ooh…” “Makanlah. Jangan banyak berpikir.” Diego mengambil satu roti. “Mau pakai apa?” “Cokelat saja.” Diego mengoleskan selai cokelat di roti yang sudah dipanggang. Dengan pelan-pelan dan teliti. “Kau seperti pangeran,” ucap Stormi memperhatikan tingkah perilaku Diego. “Tidak ada pangeran yang memiliki banyak tato sepertiku.” Diego menaruh roti itu di atas piring Stormi. Tidak tanggung-tanggun. Ia melakukannya pada lima lembar roti. “Hanya perilakumu..” Stormi menyipitkan mata. “Wajahmu juga
Diego menghela nafas. ia memejamkan mata sebentar. Sekali lagi ia harus menyadarkan diri. Stormi memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. “Bilang saja menyelamatkanku.” Stormi menoleh. “Mana bisa…” “Kenapa tidak bisa?” “Aku memberitahu ibuku kalau aku dan kekasihku batal menikah. lalu bagaimana jika aku bilang kalau aku terluka karena menyelamatkan seorang pria lain….” Stromi berhenti bicara. Ia menoleh pada Diego yang sedari tadi menyimak ucapannya. Bukankah ini terlalu awal untuk menceritakan bagaimana kisahnya pada pria ini. Tapi mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. “Aku pasti sudah gila..” lirihnya. “Pria mana yang meninggalkanmu?” tanya Diego. “Pria mana yang menyia-nyiakan wanita secantik dirimu?” Tangan Diego terangkat mengusap pipi Stormi. “Dia memang brengsek. Aku menjalin hubungan dengannya 2 tahun. Tapi dia berselingkuh dengan teman kantorku. Kita sudah bertunangan dan berencana akan menikah di waktu dekat. Tapi dia
Stormi memejamkan mata. Ia membiarkan Diego yang berusaha melepaskan pakaiannya. Ciuman mereka semakin dalam. Stormi tidak menolak sentuhan Diego. sama sekali tidak menolak. Sentuhan pria itu sangat hati-hati dan lembut. Memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Namun… “Akh!” Jari Diego tidak sengaja mengenai lukanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Diego segera melepaskan Stormi. Stormi mengangguk. Namun, sesungguhnya masih sedikit nyeri. “Biar aku lihat.” Diego melepaskan kancing piyama Stormi lagi. Kali ini bukan karena nafsu. Tapi karena ia mencemaskan wanita itu. ia ingin melihat luka Stormi apakah terbuka dan semakin parah. “Tidak parah kan?” tanya Stormi. Ia sedikit malu. pakaiannya berantakan karena dibuka Diego. Ia menggigit bibirnya lagi. tapi untungnya pria itu tidak fokus pada tubuhnya dan hanya fokus pada lukanya. Diego melihat Luka Stormi yang mengeluarkan darah. “Lukamu harus diperiksa dokter,” ucap Diego. Pria itu hendak berdiri. Namun Stor
Diego tersenyum lagi. Kali ini tertawa kecil. “Bagaimana kalau aku bilang aku juga tertarik denganmu?” tanyanya. Stormi menggigit bibirnya. “Kenapa? Karena kasihan padaku? atau karena aku menyelamatkanmu?” Stormi menggeleng. “Jangan merasa bersalah. Aku baik-baik saja kalau kau tidak tertarik denganku. Jangan memaksa dirimu hanya karena merasa bersalah padaku.” “Aku tidak pernah merasa bersalah pada orang.” Diego mendekat. “Kau tahu aku akan? Aku bahkan bisa membunuh orang dengan mudah. Untuk apa membohongi perasaanku sendiri.” “Aku juga tertarik denganmu.” Stormi mengerjap—menunjuk dirinya. “Denganku?” Diego mengangguk. “Bukankah kau suka dengan Ruby? Kau terlihat menyukai Ruby?” tanya Stormi. “Pada awalnya aku hanya penasaran dengannya karena wajahnya tidak asing. Aku semakin penasaran karena melihat kekuatannya. Hanya sebatas itu.. ketertarikanku hanya sebatas itu..” “Aku juga merasa kita khanya cocok menjadi teman. Dia juga sudah bersuami. Meskipun aku kejam. Aku tidak
“Ruby pergi bersama suaminya.” Suara itu membuat Stormi menoleh. Di sanalah—di sofa. Diego sedang duduk sembari mengusap wajah sebentar. Apa pria itu menunggunya? “Aku takut…” lirih Stormi. Hanya ada dua lampu tidur yang menyala. Sehingga cahaya di kamar ini gelap. Diego berdiri dari duduknya. Menyalakan saklar lampu sehingga semuanya menjadi cerah. “Aku pikir mematikan lampunya agar kau bisa tidur dengan nyaman.” Stormi menatap Diego… Sedikit takut.Masih takut. “Apa yang membuatmu takut? aku membuatmu takut?” tanya Diego berjalan mendekat. Stormi menggangguk namun segera menggeleng lagi. “Ti-tidak. Aku tidak takut padamu.” Diego nampak lebih santai. tidak sepergi biasanya yang selalu menggunakan pakaian formal. Kali ini, pria itu hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam. Memang tidak pernah jauh-jauh dari warna hitam. Diego mengambil duduk di samping ranjang Stormi. Menatap Stormi lekat. Stormi mengerjap—kedua tangannya meremas selimut yang membungkus tubuhnya
Ruby mendongak. “Jika minta maaf lagi. aku tidak akan mau dicium!” Leonard mengerjap. “Mana bisa seperti itu..” leonard melepaskan pelukan mereka. “Maka dari itu berhentilah meminta maaf.” Ruby tersenyum. menyentuh rahang Leonard yang begitu tegas. Rahang Leonard yang dipenuhi dengan bulu-bulu halus. “Baiklah.” Leonard menatap bola mata Ruby. “Aku jadi tahu kenapa aku tidak bisa melihat kejadian yang kamu alami.” Jemarinya menyentuh kelopak mata Ruby. “Karena mata ini bukan mataku yang asli?” tanya Ruby. Leonard mengangguk. “Mata ini yang membawaku padamu.” “Setelah operasi, apa mata kamu pernah sakit?” tanya Leonard. Ruby menggeleng. “Tidak, sayang. Aku baik-baik saja.” Ruby mengecup rahang Leonard singkat. “Berhentilah kawatir.” Leonard mengangguk. mengecup punggung tangan Ruby. “Kamu yang tidak bisa berhenti membuatku kawatir. Datang ke tempat berbahaya sendiri. berurusan dengan mafia.” Ruby memejamkan mata—menutup telinganya dengan kedua tanganya. Leonard se