Mencoba MemahamiSetelah tekanan demi tekanan, Hesti berusaha memahami dari hati kecilnya sendiri. Apa yang sebenarnya dia inginkan, dia harapkan, hingga menemukan benang merah terbaik.Hesti duduk di ruang tamu, setelah mengantar kedua anaknya pergi ke sekolah. Hesti melihat ponselnya terus berbunyi, beberapa diantaranya dari mantan ibu mertuanya, juga ada dari beberapa kerabat Hanung. Dia sudah bisa menebak, apa yang sekiranya ingin mereka katakan.“Seharusnya mereka tahu, tidak boleh menghubungiku,” gumam Hesti. Hesti meletakkan ponselnya di dalam mangkuk, lalu menutupnya dengan piring.Hesti melangkah menuju ke kamarnya, mengambil sebuah buku yang sudah dia baca sejak beberapa hari lalu, sebagai sebuah penyejuk, buku motivasi yang diharap mampu memberikan kekuatan.Tiba tiba dia mendengar pintu depan rumah digedor gedor oleh seseorang. Hesti segera melompat dari dari tempat tidurnya yang tadi dia duduki bersiap untuk melanjutkan bacaannya.“Siapa,” bisik Hesti, lalu dia bergegas k
Tidak Bisa BerkutikTania menemui Hanung di kantor polisi.“Aku sudah mendengar sidang pertamamu, cukup bagus,” ucap Tania.“Cukup bagus? Tidak, itu sangat buruk sekali. Dia dipermalukan, walaupun aku menyukai hasilnya, namun itu sangat tidak bagus untuk kondisinya,” ucap Hanung.“Apa sekarang kamu memikirkannya? Kamu memihaknya? Bukan dirimu sendiri?” tanya Tania kesal.“Bukan begitu, itu karena aku tidak bersalah, aku tidak bersalah, aku yakin akan dibebaskan, aku adalah korban. Apalagi Ema sudah di tangkap, wanita itu memang benar benar gila, aku tidak habis pikir dia akan melakukan hal gila itu,” ucap Hanung.“Apa kamu tahu kenapa dia melakukan hal seperti itu?” Tanya Hanung.‘A-apa? oh, ti-tidak, mungkin hanya iseng, sesuatu yang menyenangkan untuknya,” ucap Tania yang berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu sudah bertemu dengan Ema?” tanya Tania.“Belum, aku sebenarnya ingin bertemu dengannya, namun pak Yusuf tidak memperbolehkanku, biarlah semua berjalan seperti ya
PenyesalanHanung kembali ke ruangannya, lalu dia duduk meringkuk, di lantai, mencengkram kepalanya dengan begitu kuat. Dia mengingat lagi, segala hal yang terjadi di dalam hidupnya. Rumah tangganya bersama Hesti, awal mula pernikahan bagaia, lalu menjadi seorang ayah, pindah ke rumah baru, menjalani kehidupan normal, lalu tiba di waktu dia mulai mencoba berbuat sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan, bahkan memikirkannya pun tidak. Mendua, membawa orang lain ke dalam hatinya, sehingga rumah tangganya hancur, berantakan, meninggalkannya begitu saja, walau sebenarnya dialah yang meninggalkan.Hanung mulai meneteskan air mata, air mata tanpa suara, namun tiba tiba tangisnya pecah, dia menangis, tangisan yang begitu menyakitkan.“Apa yang telah aku lakukan,” gumam Hanung dalam tangisnya.Konon, ketika laki laki menangis, maka luka itu adalah luka yang begitu besar, terasa, menyakitkan.“Aku seharusnya tidak meninggalkanku, bersama wanita yang justru memberikan neraka bagiku,” ucap Han
BAB 159Terbelenggu Dalam Rasa“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Bram pada Ivanka yang sedang duduk di kursi presdir.“Aku? semua akan berjalan seperti biasanya, tidak ada masalah,” ucap Ivanka dengan santainya.“Tidak bisa begitu, siapa yang akan mengisi kekosongan jabatan? Kamu harus memilih orang yang benar benar kompeten. Perusahaan ini adalah hidupku, aku tidak ingin kamu menderita karena perusahaan ini dalam kondisi tidak baik baik saja,” ucap Bram yang berdiri di depan Ivanka, dengan kedua tangan menempel di atas meja, seolah menunjukkan betapa dia begitu khawatir.“Jangan khawatirkan hal itu, perusahaan ini akan bangkit dari krisis, lagipula penjualan masih cukup tinggi,” ucap Ivanka tetap dengan santai.“Tapi kamu tahu, citra perusahaan ini sudah berubah menjadi perusahaan penuh rumor, padahal sebelumnya citranya begitu baik,” ucap Bram khawatir.Ivanka terlihat menghela nafas panjang, lalu berdiri dari posisi duduknya. Dia mulai berjalan mendekat ke arah Bram.“Kamu mengkh
Pengadilan LagiEvan terlihat menguatkan Hesti, Hesti yang terlihat gugup sebelum masuk ruang persidangan. Evan menggenggam tangan Hesti, mendampinginya masuk ke ruang sidang yang sudah seperti arena perang yang dia tahu pasti akan meninggalkan luka mendalam.Evan mengangguk, seperti memberi kekuatan pada Hesti, meyakinkannya, bahwa dia pasti bisa menghadapi semua masalah ini, menyelesaikannya hingga akhir. Hesti dan Evan masuk ke ruang persidangan. Persidangan kali ini cukup ramai, juga menegangkan.Hesti duduk di tempatnya, dengan perasaan was was dna juga khawatir. Di sana ada bu Suseno yang merupakan orang tua Hanung, melihat ke arah Hesti dengan pandangan sengit, bibirnya bergerak gerak, seolah ingin sekali mengumpat, memaki, menyampaikan kekesalannya pada Hesti.Hesti terlihat menarik nafas panjang, berusaha menstabilkan perasaannya, menenangkan hati dan juga pikirannya.***Sidang dimulai, semua orang tegang, saksi saksi didatangkan, diantaranya Ema, pak Gunawan, sebagai salah
Tidak Menangisi Yang TerjadiHesti terlihat duduk diam di ruang tamu rumahnya, dia mengingat, betapa semua orang berusaha membuatnya tetap tenang, khawatir dengan kondisinya, namun Hesti justru mensyukuri hari ini.“Kamu tidak apa apa?” Tanya Evan pada Hesti.“Hem, aku? Ya tidak apa apa,” ucap Hesti sedikit bengong.“Kamu pasti masih sangat kecewa dengan keputusan hari ini,” ucap Evan.“Aku memahaminya, kamu butuh waktu untuk menenangkan diri.”“Ti-tidak, aku bahkan tidak memiliki kekecewaan sedikitpun, justru aku berpikir bahwa mungkin ini adalah hal yang sudah Allah persiapkan. Tadinya aku sangat khawatir sekali, anak anak akan memiliki ayah bekas narapidana, itu akan mempengaruhi mentalnya. Namun aku juga tidak bisa memungkiri, dia sangat keterlaluan,” ucap Hesti.“Ya, aku mengerti, kamu pasti berada pada dua hal yang membingungkan, di satu sisi dia adalah ayah dari anak anakmu, di satu sisi dia adalah mantan suami yang sudah menyakitimu,” ucap evan.“Ya, bagaimana lagi, keputusan
Bibir ManisHanung terlihat mendatangi sebuah apartemen, itu adalah apartemen milik Tania. Dia terlihat santai dengan celana jins hitam dan jaket warna biru. Hanung berdiri di depan unit apartemen Tania, mengetuk pintunya dan menunggu.“Kemana dia,” gumam Hanung. Setelah beberapa menit, akhirnya pintu itupun dibuka dari dalam.“Mas, mas Hanung,” ucap Tania gugup.“Kenapa kamu pergi begitu saja setelah persidangan, apa kamu tidak senang dengan kebebasanku?” Tanya Hanung.“Bu-bukan begitu, a-aku,” ucap Tania gugup.“Ah, masuklah dulu,” ucapnya seraya mempersilahkan Hanung masuk ke dalam unit apartemennya.Hanung dan Tania terlihat duduk di ruang tamu apartemen keluarga itu.“Ma-maafkan aku,” ucap Tania.“Apa kamu menghindari seseorang?” Tanya Hanung menelisik.“Seseorang?” Tanya Tania bingung.Tania terdiam, beberapa detik suasana menjadi hening.“Aku tidak bermaksud seperti itu.”“Aku hanya ingin memberimu waktu bersama kedua orang tuamu. Mereka pasti sangat bersyukur dengan kebebasanm
Keputusan Ivanka“Kita pulang?” bisik Bram pada Ivanka yang terlihat menunggunya di depan kantor. Ivanka mengangguk pelan, lalu bergegas menuju ke arah mobilnya, disusul Bram yang mengikuti langkahnya dari belakang. Mereka berdua masuk ke dalam mobil yang sama.Dari jauh terlihat Angela berdiri dengan mata mengarah pada dua orang yang terlihat sangat berhati hati juga dengan langkah sembunyi sembunyi.“Apa yang sedang mereka lakukan? Mereka pulang bersama?” Tanya Angela dalam hati.“Hah? Benarkah? Bu Ivanka dan juga Bram? Wah,” ucapnya yang mulai menyadari apa yang terjadi.“Wah, iya mereka pasti ada sesuatu, tidak mungkin mereka pulang dengan mobil yang sama, wah sangat mencurigakan,” ucap Angela.Angela terus mengawasi Bram dan juga Ivanka, bahkan hingga mobil yang mereka kendarai menghilang tidak terlihat.Angela mengerutkan dahi, berpikir sejenak.“Aku yakin mereka pasti memiliki hubungan yang lebih dari bawahan dan juga atasan,” ucap Angela seraya mengangguk anggukan kepala.Di