Cecil menatap nyalang pada Devan penuh kebencian. Mata elangnya menyorot tajam lelaki itu dengan dendam yang berusaha ia kendalikan."Omong kosong!" Meski diambang kemarahan, Cecil harus tetap terlihat tenang. Dirinya tidak boleh terpancing emosi, yang mungkin bisa membuatnya menyesal. Cecil mendorong tubuh Devan menjauh, lalu berkata, "Udah ah! Aku laper, mau makan.""Dih, aneh! Tadi marah-marah, sekarang minta makan!" tukas Devan. Tak menghiraukan, Cecil memilih meninggalkan Devan dan duduk di meja makan yang tersedia.Devan berjalan menghampiri Cecil. Menarik kursi lalu ikut duduk. Melihat mood gadis itu yang sedang tidak baik, Devan berinisiatif menawarinya makan. "Mau makan apa?""Menunya mana?" Tempat VVIP yang ia pesan, memang tidak menyediakan menu. Buat apa dibikin menu, kalau pelayanan dan kokinya saja sudah dipesan khusus melayani mereka."Gak ada menu. Sebutin aja yang kamu mau. Pasti dibikinin."Sempat takjub, Cecil menatap tak percaya. Baru pertama kali ia pergi ke tempa
Devan mengerang kesal dengan tangan mengepal emosi. Matanya memejam menahan perih, lalu mengelap wajahnya dengan tissue yang ada."Cecilia!!! Ceroboh sekali jadi orang! Jorok!" Devan memaki Cecil. Lelaki itu bahkan tak tahan dengan sang sekretaris."Ma'af. Aku gak sengaja," ujar Cecil lirih sambil berdiri dan menghampiri Devan. Membantu lelaki itu untuk membersihkan semburan minumannya."Menyingkir! Nanti tambah sial."Devan menyuruh Cecil untuk menjauh dari hadapannya. Bukan tanpa alasan, mengingat kecerobohan gadis itu, Devan merasa tidak yakin jika Cecil becus membantunya.Diperintahkan untuk menjauh, Cecil kembali ke tempatnya. Rasa bersalah belum sepenuhnya hilang. Dia memang ceroboh."Apa yang kamu lakukan, Cecil? Kamu sudah melakukan kesalahan besar! Tamatlah riwayatmu setelah ini." Cecil menggigit bibir bawahnya. Diam seribu bahasa tanpa berani memandang Devan. Gadis itu tertunduk lemah, sembari memainkan kaki."Ayo, pulang!" tukas Devan.Bukannya mematuhi, pertanyaan bodoh ma
Di dekat Cia, Devan dan Cecil saling melempar ledekan. Ketiganya tertawa lepas bak tak ada beban. Setelah melihat apa yang dialami Cia, Cecil merasa lebih bersyukur sekarang. Ternyata masih banyak orang yang masalahnya lebih besar. Cecil memanggil Cia. "Cia, sini deketan sama Kak Cecil. Kak Devan bau, belum mandi."Wajah Devan ditekuk masam. Tidak terima mendapat ledekan, Devan bangkit. Sengaja menghampiri Cecil, dan memiting perempuan itu di dalam ketiaknya. "Nih, Cium."Cecil meronta-ronta. Cia yang di dekatnya hanya tertawa cekikikan melihat ulah Cecil dan Devan. "Cia, tolongin Kakak. Kak Devan bau ketek."Setelah puas memberi pelajaran pada Cecil, barulah Devan melepasnya. Devan menatap Cecil tajam, lalu beralih menatap Cia. "Cia mau digituin juga?" Devan mengedipkan satu matanya.Cecil yang terlepas, akhirnya bernapas lega. "Jangan mau, keteknya bau, Cia."Dengan malas, Devan memutar bola mata. Dia tidak segan-segan memberi pelajaran pada Cecil. Devan kemudian merangkul gadis it
Di luar kamar, ibu pantai tidak berani mengganggu. Terlihat Cia tengah nyaman berada di pelukan Cecil."Cia tidur kah?" bisik Devan pada Cecil.Untuk memastikan Cia tertidur atau tidak, Cecil mengintip sekilas. "Belom, masih melek. Emang kenapa kalau dia tidur?" tanya Cecil penuh selidik.Devan acuh dan menjawab sekenanya. Lelaki itu kembali menenggelamkan wajahnya di rambut Cecil. "Cil, kamu bawa Hp? Hpku ketinggalan di mobil."Devan bangkit, duduk di sebelah Cecil, sambil menatap gadis itu yang masih setia memunggunginya.Cecil menolehkan lehernya. Terlihat Devan yang tengah merapikan kemejanya yang agak kusut. "Ada di depan. Buat apa?" "Aku mau telfon Zaki. Ada urusan penting. Ambilin sebentar!" Perintah Devan membuat Cecil berdecak."Ckck! Gak bisa lihat orang lain tenang apa?" Mau tidak mau, Cecil terpaksa melepas pelukannya pada Cia. Ikut duduk di sebelah Devan, lalu merangkak menuruni ranjang. "Sebentar ya, Sayang. Kak Cecil ambil ponsel dulu."Cia mengangguk. Setelah mendapa
Cecil dan Cia, kedapatan tengah asik mengobrol. Sementara Devan sendiri fokus mencari kontak Zaki di ponsel Cecilia.Sembari melirik Devan yang terlibat serius, Cecil bertanya. "Dah ketemu belom? Gitu aja lama." Ejek Cecil padanya.Tanpa menggubris, Devan hanya memutar bola mata malas. Lalu menyerahkan ponsel itu pada Cecil. "Bantuin kek. Yang punya ponsel siapa?"Cecil mendengkus, menyahut ponselnya kasar. Dilihatnya Cecil sedang mengetikkan sesuatu di sana.Setelah menemukan hasil, Cecil kembali menyerahkan ponselnya pada Devan. "Nih!""Terima kasih." Devan meringis dan menerima ponselnya. Tanpa berlama-lama, dia langsung menekan tombol dial dan menempelkannya di dekat telinga.Beberapa saat, sambungan terhubung.Suara dari seberang telepon, terdengar cukup nyaring. Devan menarik napas lega, ketika Zaki menyapanya."Hallo, Bos. Selamat Siang." Sapanya sopan."Siang ... masih di kantor kan, Zak?" tanya Devan memastikan."Siap, di tempat. Ada yang bisa dibantu, Kawan?" Zaki yang baru
Di dalam mobil, Cecil masih merajuk. Gadis itu memilih untuk memalingkan wajah, ketika tak sengaja tatapan keduanya beradu.Devan melirik Cecil, menghembus napas panjang untuk meredam emosinya. Terjebak dalam perseteruan seperti ini, membuat suasana menjadi canggung. Devan merasa tak enak, bila diabaikan terus menerus."Aku minta maaf," ujarnya meminta maaf. Tak merespon, Cecil memilih jurus andalannya, yaitu diam seribu bahasa.Merasa tak ditanggapi, darah Devan kembali mendidih. "Jangan kayak anak kecil dong! Tolong ngertiin aku. Aku juga punya tanggung jawab di kantor."Cecil menatap nyolot! Dia sudah tidak tahan dengan devannya yang kasar. "Kebiasan kamu mana yang gak aku ngertiin? Sibuk kamu mana yang gak aku pahamin? Kejelekan kamu mana yang gak aku maafin? Semua udah aku korbanin, Devan. Kamu memang egois! Maunya dimengerti, tapi gak mau ngertiin balik. Pantas gak, kamu bentak aku di depan anak sekecil Cia? Kamu keterlaluan, Dev! Cia sampai ketakutan loh!"Air mata Cecil akhirn
Langit yang biru, kini kelabu. Terangnya sang surya tergantikan gemerlap bintang rembulan.Di bawah tekanan alcohol, Cecil kembali menikmati manisnya anggur merah yang dipesan pada seorang barista. Dentuman musik keras juga turut berdisco mengiringi kehancuran Cecilia malam ini.Seteguk, dua teguk minuman durjana itu kembali meluncur di kerongkongan Cecilia. Cecil mulai meracau seiring dengan kesadaran yang menurun."Devan jancok! Bajingan! Keparat. Enyahlah dari hidupku! Aku membencimu!" Cecil menumpahkan semua uneg-unegnya dengan kebar-baran malam ini.Seolah menggila, Cecil justru terlihat sangat menikmati alunan musik dari seorang DJ sexy itu. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat beginian. Alhasil, tubuh elok Cecilia mulai dikerubungi gadun-gadun kegatelan.Seorang pria berperut buncit dengan wajah berumur, mendekati Cecilia dengan tatapan lapar. Tak lupa, dia menjebak korbannya dengan segelas wine yang sudah dicampur dengan obat perangsang.Pria itu d
Pagi menjelang. Di bawah selimut langit biru, kicauan burung menggema syahdu, saling bersahut menyambut mentari.Cecil menggeliat di pelukan Devano. Gadis itu mengerang kecil, merasakan rasa sakit pada tangan dan kaki. Perlahan, Cecil membuka mata. Mengerjap beberapa kali, sambil merentangkan tangannya.Sayangnya, semakin bergerak, dirinya semakin kesakitan. Seutas tali yang melilit di tubuhnya, membuat kulit Cecil memerah."Devano." ujar Cecil pelan.Gadis itu terkejut bukan main, melihat Devano tertidur nyenyak di sebelahnya. Cecil juga melihat ke bawah, melihat pakaiannya sudah berganti, pikiran negatif memenuhi otaknya. "Jangan-jangan ..."Cecil menggeleng lemas. Tidak mungkin Devan sejahat itu. Tapi kenapa pakaiannya bisa berganti? Apalagi, dengan ikatan tali seperti ini.Cecil berteriak histeris. "Bajingan! Jahat, keparat! Devan!"Teriakan Cecil membuat Devan terjaga. Lelaki itu menatap bingung pada Cecilia yang kini tengah menangis histeris. "Ada apa?" tanyanya dengan suara se