"Loh, memang harus seperti itu. Kalau aku menikahi orang yang tergila-gila akan harta dan tergila-gila padaku, akan susah," terang Darren.
"Maksudnya bagaimana? Jangan membuat alasan, Pak."
Pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya kalau Darren tidak langsung memberikan alasan jelas kepada Aluna.
"Kalau aku menikahi wanita yang gila harta, maka pasti dia akan mau melakukan berbagai cara untuk mengeruk hartaku."Aluna pun terdiam menyimak. Dia tidak berkomentar sama sekali. Kali ini, ia ingin mendengarkan semua alasan pria itu ingin menikahinya.
"Lalu, jika aku menikahi wanita yang menggilaiku, pasti sulit melepasnya."
"Ck!" Aluna berdecak keras, melihat bosnya dengan tatapan datar. "Lalu, untuk apa menikah? Tidak usah menikah saja! Gitu aja kok, repot!" seru Aluna, gemas sendiri.
"Aku inginnya seperti itu, tapi sayangnya tidak dengan orang tuaku. Ibuku terus-terusan meminta menantu."
Aluna terperangah. Wajahnya tampak terkejut. Melihat itu, Darren malah kesal.
"Benarkah? Lucu sekali. Hahaha." Gadis itu terbahak, sampai memukuli meja kerja Darren.
Tubuh pria itu menegang, otot rahangnya pun mengeras. Ditambah wajahnya yang memerah. Entah malu atau marah, yang pasti Darren tidak suka ditertawakan seperti itu.
"Jangan tertawa! Aku serius." Suara Darren terdengar berat dan tertahan. Mendengar itu, Aluna berusaha menghentikan tawanya.
"Baiklah, saya hanya kaget saja mendengar seorang CEO kewalahan karena dimintai menikah oleh ibunya."
"Bagiku pernikahan itu hanya akan menyiksa."
Tawa Aluna berhenti sepenuhnya saat mendengar perkataan bosnya. Dia malah penasaran dengan pemikiran Darren.
"Kenapa Bapak berpikir seperti itu? Sungguh, itu pemikiran yang sangat salah."
Bagaimanapun Aluna harus meluruskan jalan pikiran bosnya. Pernikahan itu ibadah, bukan sesuatu yang menakutkan.
"Pernikahan itu hanya akan mengikat dua orang dengan komitmen yang memberatkan, apalagi jika salah satunya berkhianat."
Aluna kembali terperangah. Menurutnya, Darren benar-benar salah presepsi.
"Maksud Bapak apa? Kenapa Bapak malah membicarakan tentang pengkhianatan?"
Darren terdiam. Dia sepertinya baru sadar sudah keceplosan bicara.
"Oh, atau jangan-jangan memang Bapak itu pernah dikhianati, ya? Sampai tidak mau menikah."
"Jaga mulutmu! Jangan pernah membicarakan masalah pribadiku dan jangan keluar batas!" sergah Darren.
Aluna seketika terdiam. Dia kaget melihat reaksi Darren yang berbeda sekali. Marah, kecewa, tertekan dan kesedihan tergambar jelas di raut wajah pria itu. Akan tetapi, Aluna berusaha mengabaikan. Itu bukan urusannya.
"Saya kan, hanya tanya. Lagian kalau memang Bapak ingin menikahi saya, berikan alasan yang jelas. Bukan karena saya dimanfaatkan Bapak. Tapi, alasan lain yang lebih masuk akal."
Darren menatap sang gadis dengan datar. Dia terdiam sesaat, sampai akhirnya menimpali perkataan Aluna. "Tidak ada alasan lain. Aku memilihmu untuk menjadi istri sementara, sampai Ibu benar-benar menghentikan aksinya."
"Hah, Bapak semakin membuat saya kesal."
"Seharian ini ibuku mogok makan. Dia mau menantu."
"Sungguh? Hahaha .... Bapak benar-benar lucu sekali." Aluna kembali tergelak. Entah mengapa, pembicaraan ini malah terdengar seperti lelucon. Sisi lain seorang CEO dingin dan arogan pun mulai terkuak. "Harusnya Bapak itu menjadi anak yang berbakti saja," ucap Aluna, kembali melanjutkan tawa.
"Jangan mengejekku!" ketus Darren tidak terima dengan tanggapan Aluna.
"Lagian, saya yakin. Ibunya Bapak juga pasti sudah menawarkan beberapa wanita untuk dijodohkan, kan?"
Darren menautkan kedua alisnya. "Bagaimana kamu tahu?"
Aluna tersenyum, jumawa. "Itu adalah rahasia umum, Pak. Biasanya dalam bisnis itu untuk memperkuat usaha mereka, pasti akan menikahkan anak mereka. Pernikahan bisnis, begitu, kan?"
"Ck!" Darren berdecak keras. "Sudahlah, jangan mempermasalahkan hal itu. Sekarang berikan jawabanmu. Bagaimana? Kamu mau kan menikah denganku?"
"Tidak." Aluna menjawab dengan tegas dan lugas.
"Hah, kenapa?!"Darren masih tidak menyangka dengan penolakan gadis di depannya itu.
"Ya, tidak apa-apa. Saya tidak mau menikah dengan seorang pria dingin dan galak seperti Bapak. Ditambah, perbedaan usia kita sangat jauh."
Mata Darren membulat. Perkataan Aluna menohok, tepat di ulu hatinya.
"Lagian saya sudah bilang, kan? Pilih saja salah satu wanita yang sangat menggilai Bapak. Jangan saya."
"Aku juga sudah bilang. Alasan tidak memilih semua wanita itu, aku hanya ingin kamu."
Aluna menghela napas panjang. Pria di depannya ini terlalu keras kepala.
"Kalau saya tidak mau, bagaimana?"
Darren terdiam. Pria itu sepertinya mulai kehabisan kata-kata.
"Bapak diam, kan? Sudahlah, Pak. Ini sudah sore, Bapak membuang waktu saya saja. Saya pikir kenapa Bapak menyuruh saya menemui Bapak, ternyata hanya untuk membicarakan masalah ini."
Aluna pun berdiri. Dia tidak mau membicarakan masalah ini lagi. Darren akan tetap pada pendiriannya, begitupun dengan Aluna. Dia akan tetap menolak.
"Aluna, kamu mau ke mana?!" Darren kesal. Ia belum selesai berbicara, tapi gadis itu malah pergi. Pria tidak bisa membiarkan ini terjadi.
"Pulanglah, Pak. Pembicaraan kita sudah selesai."
"Kamu tidak boleh pulang!" seru Darren sembari bangkit. Langkahnya begitu cepat, sampai pria itu bisa menyusul Aluna dan menghadang jalan sang gadis.
"Loh, kenapa? Lalu ngapain juga Bapak menghadang jalan saya, awas!" seru Aluna, mulai terpancing emosi dengan kelakuan bosnya.
"Kamu tidak boleh pulang sebelum menerima lamaranku. Apa susahnya sih, jadi istri bayaran? Kamu tinggal berlagak seperti istri sah yang baik dan penurut. Kita hanya terlihat romantis di depan orang tua dan rekan kerja saja, selebihnya hidup masing-masing."
Aluna terperangah. Baginya pernikahan itu sakral. Tidak bisa untuk main-main. Dia tidak menyangka, ada pria yang bermain dengan hukum agama seperti Darren.
"Saya benar-benar tidak menyangka dengan Bapak."
"Apa maksudmu?"
Aluna mengembuskan napas kasar. Dia memalingkan wajah sejenak, lalu kembali menatap bosnya dengan sinis. Kalau saja Darren bukan atasannya, Aluna sudah memaki-maki pria itu.
"Pak, bagi saya pernikahan itu sangat sakral. Saya tidak bisa menggadaikan sebuah ikatan suci hanya untuk uang."
Darren menggelengkan kepala. Dia juga menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dia bisa menafsirkan, kalau Aluna itu penganut hubungan setia dan menjunjung adat istiadat juga tahu aturan agama, sampai bersikukuh seperti ini.
Darren pun paham akan hal itu. Namun, ada beberapa hal yang membuatnya tidak percaya dengan pernikahan. Maka dari itu, dia memberikan penawaran pada Aluna. Menurutnya tidak merugikan gadis itu. Bagaimanapun caranya, Darren harus mendapatkan Aluna.
"Tapi kamu butuh uang, kan? Mana ada orang yang tidak butuh uang. Benar, kan?" Darren masih berusaha untuk membujuk Aluna.
"Benar, saya butuh uang. Semua orang juga butuh uang. Tapi bukan begini caranya ...." Aluna menjeda ucapannya sejenak. Dia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Berhadapan dengan Darren harus ekstra sabar.
Akan tetapi, Darren seakan tidak mau mengerti.
"Sekali lagi saya bilang, tolong jangan melakukan hal seperti ini." Kali ini Aluna memasang wajah memelas. Dia berusaha memohon, agar Darren menghentikan aksi gilanya.
"Kalau begitu satu miliar!"
Mata Aluna kembali membulat. 'Hah, satu miliar!' seru Aluna dalam hati.
"Kamu kaget, kan? Lihat! Wajahmu saja terlihat memerah dan tidak bisa bergerak sama sekali. Sudahlah, terima saja. Bagaimana?"
"Satu miliar?" tanya Aluna. Wajahnya masih syok, tampak tak percaya."Iya, itu maharnya saja. Kamu bisa meminta apa pun. Rumah, perhiasan, baju-baju bagus, tas branded atau mungkin kamu butuh mobil? Boleh. Kamu juga tidak perlu bekerja lagi sebagai sekretarisku. Gampang, kan?" jelas Darren. Dia tersenyum, percaya diri.Kali ini sang pria yakin, Aluna tidak akan menolaknya. Siapa yang bisa menolak jika diberi iming-iming harta dan kemewahan? Menurut Darren tidak ada. "Bapak bercanda, kan?"Aluna masih tidak percaya. Apalagi Darren terkenal arogan dan dingin. Mana mungkin memberikan semua itu kepada gadis biasa sepertinya."Tidak, aku serius mengatakan ini semua. Aku menawarkan ini hanya padamu saja, bagaimana?"Aluna terkekeh sembari menggelengkan kepala. Dia benar-benar kaget dengan sikap Darren saat ini. Pria yang berpikir kalau pernikahan sama dengan jual beli. Aluna tidak suka dan tentu saja akan tetap menolak. "Terima kasih, Pak. Saya tidak mau." Erangan keluar dari mulut Darre
"Bagaimana makanannya, Bu?""Enak sekali. Ini kamu pesan dari mana?" tanya Danita di sela suapannya."Tentunya dari restoran ternama. Katanya Ibu mau makan makanan dari luar. Jadi, aku pesan dari restoran yang paling mewah dan paling mahal."Sekarang, Darren dan Danita sedang makan malam. Ya, makan malam di saat yang kurang tepat. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tetapi, itu lebih baik daripada Darren membuat ibunya kelaparan.Walaupun sang Ibu berbohong, tapi Danita tidak akan menolak tawaran dari anaknya itu. "Kamu bisa saja bujuk Ibu, tetapi bukan berarti Ibu membatalkan tuntutan sama kamu, ya. Pokoknya kamu harus tetap mengenalkan gadis itu pada Ibu."Lama-lama Darren bosan mendengar permintaan ibunya. "Ya baiklah. Bisakah kita jangan membicarakan itu dulu? Kita kan baru selesai makan," ujar Darren, akhirnya bersuara. Padahal perutnya baru saja diisi. Bisa-bisa dia mual karena terlalu kenyang mendengar omelan ibunya."Loh, justru karena kita sudah selesai makan. I
"Ibu tidak akan tahu karena dia itu karyawan baru," jawab Darren.Sebenarnya Darren sudah bosan mendengar pertanyaan ibunya perihal Aluna. Karena, mau dijelaskan pun memang mereka belum pernah bertemu. Darren berharap, Danita segera mengakhiri pembicaraan ini. "Benarkah? Jadi, dia itu karyawan baru?" tanya Danita, memastikan lagi. "Iya, bukankah aku tadi sudah bilang, dia itu salah satu karyawanku.""Baguslah kalau begitu, tapi ngomong-ngomong siapa namanya?"Danita sampai lupa menanyakan nama calon menantunya. Semua itu karena dia terlalu senang mendapatkan kabar ini. "Namanya Aluna.""Aluna? Nama yang bagus. Tapi, kamu benar-benar yakin kalau Ibu belum mengenalnya?"Dalam hati Darren terus merutuk. Kalau berurusan dengan menantu dan pernikahan, ibunya itu terlalu bersemangat. Tetapi, itu malah membuat Darren pusing sendiri. Danita terlalu ingin tahu. "Iya, Bu. Ibu tidak mengenalnya. Dia baru 2 bulan bekerja di tempatku." "Oh ya, jadi jabatannya sebagai apa?" tanya Danita lagi.
"Dasar pria gila! Dia pikir aku ini wanita murahan? Bisa dibeli dengan sejumlah uang? Harusnya dia beli saja wanita bayaran yang sudah jelas-jelas akan menyerahkan dirinya dan rela melakukan apa pun. Aku tidak paham dengan jalan pikiran pria itu!"Aluna menghempaskan diri di sofa dengan perasaan kesal. Dia masih ingat tentang permintaan pria dingin itu kepada dirinya. Padahal, Aluna yakin kalau Darren itu juga anti-pati kepadanya. Tetapi, siapa sangka? Tiba-tiba saja Aluna dilamar oleh orang yang sangat dia hindari. Gadis itu masih tidak habis pikir dan merasa kalau Darren sedang mempermainkannya. "Kenapa kamu datang-datang malah marah-marah?""Astaga! Ibu bikin aku kaget saja!" seru Aluna, terkejut.Lamunan gadis itu pun langsung buyar saat mendengar suara Amalia."Kamu yang bikin Ibu kaget, tiba-tiba saja datang sambil ngomel seperti itu. Memang ada masalah apa?" tanya Amalia, sembari duduk di sebelah anaknya. Aluna diam sejenak. Sempat terlintas ingin bercerita tentang Darren. Te
"Ibu, jangan pikirkan hal seperti itu, biar semua menjadi urusanku," ucap Aluna, masih berusaha menenangkan sang Ibu.Namun demikian, perkataan apa pun yang dilontarkan oleh anaknya, sama sekali tidak membuat wanita paruh baya itu merasa membaik."Tapi, uang 100 juta itu--" "Bu, percayalah kepadaku. Aku akan mencoba untuk mencari jalan keluarnya, yang penting Ibu jangan sampai sakit hanya karena memikirkan ini semua," ujar Aluna menyela."Ini bukan masalah sepele, Aluna. Seratus juta itu uang semua!" seru Amalia, berusaha menyadarkan anaknya kalau uang sebanyak itu tidak bisa didapatkan semudah membalikkan telapak tangan. "Aku tahu, Bu. Maka dari itu, aku mohon, Ibu tetap tenang dan doakan agar aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu."Mendengar itu, Amalia hanya bisa diam. Sekeras apa pun dirinya berusaha untuk menyadarkan Aluna, tapi anaknya juga bersikukuh bisa melunasi itu semua. Sang paruh baya pun hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. "Sekali lagi Ibu minta maaf kar
"Em, maksud lo Amar divisi exim itu?" tanya Aluna, memastikan.Karena setahunya nama Amar hanya pria itu. Lagi pula, memang Aluna sering berkomunikasi dengan Amar meskipun hanya tentang pekerjaan. Tetapi, memang Aluna selalu jutek dan terkesan galak. Aluna berpikir itu adalah cara dirinya melindungi diri. Setidaknya dia punya benteng pertahanan agar tidak ada pria yang meremehkannya atau memperlakukan semena-mena."Iya, memang lo pikir Amar yang mana lagi?" tanya Alika, gemas.Aluna terkekeh pelan. "Memang dia bilang apa?" tanya Aluna penasaran.Selama ini, Amar terlihat bersikap biasa saja. Padahal, kalau memang ada yang mau dibicarakan, pria itu tinggal bilang saja pada Aluna, tidak harus lewat Alika. Itulah yang membuat Aluna penasaran. "Katanya mau bertemu dengan elo, mau berbicara empat mata."Aluna kaget, dia bahkan sampai berdiri. "Benarkah? Hahaha." Sekarang giliran Alika yang keheranan. "Kenapa lo malah tertawa?" "Iya. Bagaimana gue tidak tertawa, kalau dia memang ingin b
Aluna terdiam memandang lurus ke depan. Setelah pembicaraannya dengan Alika, dia pun berpikir matang-matang. Kalau misalkan Aluna meminjam uang kepada Darren, apakah mungkin pria itu memberikannya? Sementara sebelumnya sang pria menawarkan 500 juta untuk mahar agar dia mau menikah dengan Darren. Ini benar-benar memalukan untuknya.Bagaimana bisa dia mendatangi Darren dan meminjam uang 100 juta? Pasti pria itu akan menertawakannya dan sang pria akan menawarkan lagi 500 juta itu untuk mahar yang katanya demi menikahi gadis cuek seperti Aluna. "Yang benar saja! Masa aku harus nikah sama Pak Darren? Dia kan lebih tua dariku. Harusnya itu dia jadi pamanku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kalau misalkan menolak permintaan Pak Darren, tentu saja aku juga tidak akan mendapatkan 100 juta itu. Tapi, kalau aku tidak meminjam kepada Pak Darren, bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat?" Aluna mulai frustrasi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Jika menjual rumah
"Jadi, maksud Ibu aku akan jadikan barang jaminan untuk melunasi utang-utang Ayah? Ibu mau menjualku?" tanya Aluna dengan nada tak percaya. Karena dia pikir ibunya akan membahas masalah lain, ternyata malah menyuruhnya menikahi rentenir yang harusnya menjadi ayahnya sendiri. Amalia langsung menggelengkan kepala, menolak tuduhan yang dilayangkan oleh anaknya itu. "Bukan seperti itu, Nak. Ibu bukan bermaksud menyuruhmu menyerahkan diri untuk menjadi jaminan atas utang-utang kita. Ibu mengatakan ini karena dia itu duda. Dia tidak punya istri. Jadi, apa salahnya kalau kamu menikah dengannya? Kamu juga pasti akan terjamin hidup bersama pria itu. Ya, walaupun memang usianya sudah cukup tua. Tapi menurut Ibu itu lebih baik dibandingkan kamu berjuang mati-matian untuk mengumpulkan uang sebanyak itu," ungkap Amalia berusaha untuk memaparkan maksud baiknya. Walaupun memang ini sangat menyedihkan, tetapi itu adalah jalan satu-satunya yang terbaik. Mumpung rentenir itu berbaik hati untuk memb
Aroma makanan yang menyerang itu membuat rasa lapar semakin menjadi. Bahkan suara perutnya terdengar. Gadis itu meringis sembari memegangi perut. Kalau sudah begini, apakah dia harus menyerah untuk keluar? Tetapi bagaimana kalau ternyata benar Darren ada di sana? Yang ada dia gengsi dan malu sendiri, sebab tahu kalau dirinya kabur tanpa pamit kepada bosnya. Bagaimanapun Darren itu adalah bosnya sendiri. Pasti akan ada kata-kata yang membuat Aluna kembali merasa sakit hati, tapi kalau diam saja pun dia pasti akan kelaparan dan entah sampai jam berapa pria itu akan ada di sini. Darren melihat ke sekitar, berharap kalau Aluna datang. Tetapi tidak juga keluar. Dia berbisik kepada mertuanya, apakah rencana yang tadi itu berhasil atau tidak."Aluna belum keluar, Bu?" tanya Darren memastikan."Sudah tenang aja, sebaiknya kamu makan, ya?" Amalia terlihat santai.Dia malah menyendokan makanan di piring menantunya. Sebab Amalia mengatakan kalau Aluna pasti akan keluar. Entah cepat atau lambat
Entah berapa lama Aluna menunggu di kamar. Tetapi dia kesel dan juga lapar kalau terus-terusan berada di kamar. Masalahnya gadis itu tidak mendengar suara mobil Darren menjauh, artinya sang suami masih ada di sini.Kalau begitu, dia terjebak di kamar dan tidak bisa ke mana-mana. Lalu, bagaimana dengan urusan perut? Cacing-cacing yang ada di perutnya juga sudah protes untuk diberi makan.Gadis itu mencoba mencari sesuatu di kamarnya, mungkin saja ada camilan atau setidaknya permen yang bisa dikunyah. Tetapi tak ada, sejak pernikahan dirinya kamar ini sudah benar-benar dibersihkan oleh ibunya dan yang tertinggal hanya barang-barang milik pribadi. Gadis itu menghela napas pelan, tak tahu apa yang harus dilakukan kalau sudah begini. Sementara itu Amalia saat ini sedang sibuk di dapur. Dia berusaha untuk memasak apa pun yang spesial untuk menantunya, karena dia juga tahu mana mungkin Aluna kuat seharian di kamar, apalagi kalau sampai mencium aroma masakan sang wanita.Mana mungkin Aluna b
Amalia pun tidak bisa mengelak lagi kalau Darren sudah mengatakan hal seperti itu. Dengan senyuman tulus Amalia menganggukkan kepala, tetapi tidak mengatakan kalau Aluna ada di sini.Wanita paruh baya itu memberikan isyarat kepada Darren dengan menganggukan kepala dan mengacuhkan jari jempol ke arah kamar Aluna. Seketika pria itu tersenyum. Dia mengerti apa yang dikatakan oleh Amalia. Dengan suara pelan Amalia pun memberikan wejangan kepada menantunya itu. "Sepertinya dia masih merajuk. Kalau kamu mau, tunggu saja sampai sore di sini. Ibu akan siapkan kamar lagi di sini, kalau perlu kamu menginap saja. Lagi pula Aluna mana mungkin bisa tahan seharian di kamar. Bagaimana?"Mendengar itu Darren terdiam. Dia benar-benar takut dengan apa yang dikatakan oleh mertuanya. Pria itu pikir Amalia akan marah besar karena tahu mereka bertengkar. Padahal baru dua hari menjadi suami istri, tapi semua di luar dugaan. Amalia bahkan begitu bijak memberikan solusi terbaik. "Ibu tidak akan ikut campur
"Kamu mau makan sesuatu?" tanya Amalia saat melihat Aluna yang hanya berdiam diri."Tidak, Bu. Aku hanya istirahat sebentar, kok," ucap gadis itu. "Ya, sudah kalau begitu. Sebaiknya kamu ke kamar saja." Aluna setuju. Mungkin memang sebaiknya dia menjernihkan pikiran sebentar di dalam kamar, tempat ternyaman yang tidak ada siapapun mengganggu. Baru juga 10 menit wanita itu tiduran di kamar, tiba-tiba saja suara deru mobil terparkir di depan rumah Amalia. Sang wanita paruh baya langsung melihat dan yang keluar dari mobil ternyata Darren. Dengan cepat wanita itu menyambut kedatangan menantunya."Nak Darren? Tumben ke sini? Memang sudah pulang kerja?" tanya Amalia.Sebenarnya dia hanya basa-basi, sebab tahu kalau menantunya ini pasti akan menjemput Aluna. Tetapi dia tidak mau ikut campur terlalu jauh. Kalaupun memang ada masalah, biarkan saja seperti ini. Lagi pula mereka sudah berumah tangga, hal yang wajar jika ada pertengkaran kecil. Berharap ini tidak akan membuat hubungan mereka m
"Baiklah, Bu. Aku tidak akan menginap Aku hanya ingin istirahat di sini aja, boleh?" tanya Aluna, akhirnya memilih untuk mengalah. Dia tidak mau membuat ibunya semakin kepikiran. Aluna yakin, ibunya pasti mengatakan hal itu untuk meminimalisir pertengkaran antara dirinya dan Darren. Bisa gawat juga kalau Danita bertengkar dengan Amalia karena mengizinkan seorang menantu kabur dari rumah mertua tanpa mengatakan apa-apa. "Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kamu duduk saja dulu. Istirahatlah sebisanya. Setelah itu kamu kembali kepada suamimu, ya?" ucap Amalia yang membuat Aluna hanya bisa terdiam. Tampaknya sekarang dia harus mencari tempat persembunyian yang sekiranya tidak akan diketahui oleh siapa pun, terutama Darren. Karena kalau dia pergi ke rumah ibunya ataupun bersama dengan Alika, itu pasti akan mudah sekali terbaca oleh Darren. Gadis itu menghela napas panjang dan memilih untuk menyandarkan punggung. Dia akan istirahat dan menenangkan pikiran dulu, sampai benar-benar tahu baga
Sudah 10 menit berlalu, tapi tidak ada kabar dari Aluna. Darren mulai uring-uringan. Dia sudah berusaha untuk meminta Alika mencari Aluna, sayangnya belum juga ketemu. Kalau sudah begini maka kejadiannya akan benar-benar membuat Darren bahaya. Bagaimana kalau Danita tahu kejadian tadi? Bisa-bisa dia akan dimarahi habis-habisan, lebih parahnya warisan yang seharusnya milik Darren akan dibekukan. Membayangkannya saja membuat Darren tak kuasa, apalagi kalau jadi kenyataan. Darren mengerang dan mengacak-ngacak rambut yang sudah disusun rapi. "Ah, sial! Kalau sudah begini, aku harus turun tangan sendiri," ucap pria itu. Dia pun tidak mau menunggu kabar dari Alika ataupun Amarudin, dia akan mencari Aluna bagaimanapun caranya Darren harus bertemu dengan Aluna dan membawa gadis itu pulang. Sementara itu, Aluna sama sekali tidak kembali ke kantor dan memilih untuk pulang ke rumah ibunya. Dia akan berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan ibunya, berharap kalau di sana mendapat ketenang
"Lo tahu ngga? Tadi itu Bu Aluna keluar dari ruangan Pak Darren dengan wajah marah. Terus tak lama kemudian Pak Darren juga keluar, dia malah kebingungan." Tak sengaja Alika mendengar pembicaraan salah satu rekan kerjanya yang tempat duduknya bersebelahan dengan dia. Sontak Alika pun menoleh dengan alis saling bertautan. "Tunggu, tunggu, tunggu! Kalian berdua lagi ngomongin apa?" tanya Alika membuat kedua wanita itu langsung menoleh. "Ini temen lo tuh, Aluna. Katanya udah keluar dari kantor Pak Darren dengan wajah marah. Apa mereka bertengkar, ya?" tanya salah satu di antara mereka kepada Alika, membuat sang gadis kaget. "Salah lihat kali," ucap Alika, karena nggak mau sampai salah bicara atau diam saja. Takut jika rekan-rekan kerjanya berpikiran macam-macam terhadap dua orang itu. "Mana mungkin salah lihat! Orang gue lihat sendiri, kok," timpal salah satunya yang sedang berdiri. "Bu Aluna kan teman lo, apa nggak sebaiknya lo cari tahu? Jangan-jangan mereka sedang bertengkar ata
Darren dan Aluna saling pandang. Pria itu tampaknya benar-benar baru sadar apa yang sudah dikatakannya barusan. Apalagi melihat Aluna yang marah dengan wajah memerah, dia itu juga melihat kalau sang gadis mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ini bahaya. Jika seorang Aluna bisa marah seperti ini, artinya dia sudah keterlaluan mengatakan hal tadi. "Aluna, dengarkan aku dulu. Tadi itu--" "Nggak, Pak. Cukup! Saya sudah mengerti. Bapak menilai saya serendah itu. Padahal Bapak sendiri yang membuat aturan, tapi Bapak yang melanggarnya. Harusnya Bapak sadar, kalau bukan karena saya mungkin saat ini Bapak masih dikejar-kejar untuk mencari jodoh." "Iya, aku tadi salah. Aku benar-benar minta maaf dan tidak sengaja mengatakan itu." "Tidak sengaja, Pak? Bapak spontan mengatakan itu sambil tertawa. Itu membuat harga diri saya diinjak-injak." "Loh, aku tidak menginjak harga dirimu. Aku benar-benar menghormatimu, bahkan aku khawatir terjadi sesuatu kepadamu. Sampai mencari ke mana-mana."Al
Darren langsung memundurkan tubuhnya, tapi dia masih menatap gadis itu dengan tajam. Entah kenapa reaksi yang diberikan oleh Darren membuat Aluna ketakutan sendiri. Mungkinkah pria itu tahu kalau dirinya tidak ada di pantry saat itu. "Jangan bohong! Aku tadi ke pantry dan tidak ada siapa-siapa." Seketika Aluna hanya bisa terdiam, suaranya tidak keluar sama sekali menandakan kalau dirinya benar-benar sudah terpojok. Gadis itu merutuki diri, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa-apa. Sebab dirinya malu jika berhadapan dengan Darren. Saat ini saja kalau Darren tidak memberikan ekspresi marah, mungkin kelebatan saat mereka melakukan adegan ciuman itu akan kembali terulang. "Katakan, Aluna. Kenapa kamu menghindariku? Apa gara-gara aku menciummu?"Tubuh Aluna menegang. Wajahnya saat ini benar-benar memerah. Haruskah Darren mengatakan hal seperti itu di depan gadis yang belum pernah tersentuh oleh pria manapun? Ini memalukan untuk Aluna. Gadis itu sampai menunduk karena malu. Melihat r