"Bagaimana kalau 500 juta?" ucap Darren dengan serius.
Wajah tegas dengan rahang kokoh itu semakin memperjelas ekspresi yang tidak main-main. Walaupun saat ini usianya sudah 39 tahun, tapi Darren masih terlihat gagah dan tampan. Bahkan, banyak wanita yang mendambakan pria matang itu.
"Apa Bapak bilang? 500 juta? Bapak mau membeli saya, ya?" cetus Aluna, kesal.
Bagaimana tidak? Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, hampir semua karyawan sudah pulang. Tetapi, Aluna tertahan di sana karena ulah Darren--sang CEO--yang tidak lain bosnya sendiri.
Darren terkesiap mendengar pertanyaan gadis itu. Alis tebalnya saling bertautan. "Aku mau memberimu tawaran, bukan membeli kamu. Kalau kamu berpikiran begitu, silakan saja."
Mata indah Aluna membulat sempurna. Bosnya itu dengan enteng melontarkan kalimat terakhir dengan mudah. Ekspresinya juga sangat meremehkan Aluna, dan sang gadis tidak suka.
"Saya anggap seperti itu. Bapak pikir saya wanita murahan? Lagian, apa Bapak gila menginginkan hal seperti ini?" tanya Aluna, terdengar tak peduli akan posisinya saat ini.
Salah Darren sendiri. Sang pria tiba-tiba saja menawarkan pernikahan, seolah ikatan itu sebuah permainan. Tentu saja Aluna akan menolak.
Dari awal bekerja sebagai sekretaris Darren, Aluna sudah tidak suka pada pria itu. Selain bersikap dingin, Darren juga arogan. Selalu saja memaksakan kehendak. Meskipun berwajah tampan, tetapi selalu membuat Aluna sebal.
Banyak wanita tergila-gila, termasuk yang ada di kantor itu. Namun, semua itu malah membuat Aluna muak. Baginya, tampan itu tidak menjamin kebahagiaan dan sifat seseorang menjadi baik.
Itu juga sesuai dengan pengalamannya yang sudah bekerja beberapa bulan dengan Darren. Dari sekian banyak wanita yang tergila-gila pada pria itu, hanya Aluna seorang yang tidak terpesona akan ketampanan Darren. Hal itu dikarenakan sikap pria tersebut.
Lalu, tiba-tiba saja Darren memanggilnya dan melamar dadakan seperti ini. Tentu saja Aluna kaget. Bahkan perasaannya campur aduk. Pikiran buruk pun langsung berdatangan, termasuk mengira kalau Darren mau membeli dirinya.
"Ya, aku gila!" seru Darren tiba-tiba membuat Aluna terlonjak. Lamunannya pun langsung buyar.
"Ya Tuhan, orang ini membuatku kaget," gumam Aluna sangat pelan.
"Aku gila karena terus-terusan dituntut untuk menikah. Kenapa orang tua suka sekali menjodohkan anaknya? Aku tidak suka dijodohkan!"
"Tolong jangan curhat, Pak. Dan satu hal lagi, saya tidak berminat menerima tawaran itu," ujar Aluna, tidak peduli dengan ocehan Darren.
Baginya sekarang Aluna ingin segera menyudahi pembicaraan ini. Pria di depannya ini memang aneh. Mungkin efek usia yang sudah matang, sampai mencari calon istri lewat jalur instan.
"Kenapa tidak? Bukankah 500 juta itu banyak?" tanya sang CEO.
"Memang banyak, tetapi harga diri saya itu lebih tinggi dari uang 500 juta."
Darren terdiam sesaat mendengar ucapan Aluna. Mata pria itu menatap gadis di hadapannya dengan sorot tajam. Tak lama kemudian, terdengar gelak tawa membahana di ruangan itu.
"Kenapa Bapak malah tertawa? Saya serius!" seru Aluna, heran. Wajahnya tampak kesal sekali.
"Aku juga serius mengatakan ini, 500 juta itu hanya untuk maharnya," jelas Darren.
"Hah?!"
Sekarang giliran Aluna yang terdiam. Bedanya, gadis itu terperangah, kaget. Sesaat, Aluna hampir saja tergiur. Akan tetapi, dengan cepat gadis itu menghalau pikiran aneh di benaknya.
"Aku akan memberikanmu uang bulanan 100 juta setiap bulan."
"Apa?! Se-seratus juta?" Aluna langsung meneguk saliva mendengar penawaran lain dari Darren.
Kalau uang sebanyak itu bisa diterima oleh Aluna, dia tidak perlu bekerja lagi dan bisa menghidupi ibunya yang sudah tua. Satu hal yang paling penting, utang mendiang ayahnya pun akan segera lunas.
"Kenapa kamu diam seperti itu?"
Aluna terkesiap. Dia berusaha mengontrol ekspresi wajahnya. Tidak mau diejek apalagi diremehkan oleh Darren.
"Jangan membuatku ingin tertawa. Tadi saja kamu menolak mentah-mentah, sekarang malah diam, sampai tidak bisa mengedipkan mata pula. Bagaimana? Kamu mau, kan?"
"Tunggu dulu! Saya hanya kaget saja," kilah Aluna mencoba menetralkan perasaan.
"Benarkah?" tanya Darren, tatapannya terlihat mengejek gadis di depannya ini.
"Iya, benar. Memangnya tidak ada wanita lain selain saya?" tanya Aluna, penasaran.Sepengetahuan Aluna, banyak sekali wanita yang mengantri untuk bersanding dengan Darren. Bahkan, tanpa harus ditawari uang pun, pasti ada saja wanita yang mau menikah dengan pria dingin itu. Lalu, kenapa harus Aluna? Begitu pikir sang gadis.
"Sebenarnya banyak. Bahkan, mengantri."
"Kalau begitu, pilih saja dari salah satu dari wanita yang antri itu," cetus Aluna gengsi.
"Sayangnya tidak ada satu pun yang seperti kamu."
"Apa maksud Bapak?" tanya Aluna, terlihat bingung.
Dalam hati, Aluna merutuki pria di depannya ini. Bahkan mengatai Darren dengan sebutan pria tua. Tentu saja Aluna tidak berani mengucapkannya langsung, bisa-bisa dia disuruh lembur sampai larut malam kalau melakukan itu.
"Saya bukan wanita murahan."
"Kenapa kamu selalu bilang seperti itu? Aku tahu kamu bukan wanita murahan dan aku juga tidak membeli kesucianmu."
"Lalu, apa maksud Bapak?" tuntut Aluna, "lagian, perbedaan usia kita cukup jauh, harusnya Bapak itu berperan sebagai ayah saya."
"Apa kamu bilang?!" Tubuh Darren langsung menegang mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan gadis di hadapannya. Walaupun memakai susunan bahasa berbeda, tapi tetap saja secara tidak langsung Aluna mengatainya sudah tua.
Di sisi lain, Aluna juga kaget melihat reaksi bosnya. Kedua telapak tangannya kini terasa dingin, takut jika Darren murka. Sang gadis baru sadar kalau dirinya sudah mengucapkan kalimat yang salah.
"Coba bilang sekali lagi! Kamu bilang apa tadi?"
Aluna menutup mulutnya rapat-rapat. Dia hanya menggelengkan kepala. Tidak mau berkomentar apa pun, atau dirinya akan mendapat masalah besar.
"Denger, ya. Aku bukan tua, tapi matang," kilah Darren.
"Saya tidak mengatai Bapak tua, loh. Bapak sendiri yang bilang barusan."
Darren langsung melotot, membuat Aluna kembali bungkam. "Aku hanya ingin kamu menjadi istriku saja," ucap Darren, berusaha mengembalikan topik pembicaraan ke semula. Dia paling kesal kalau membicarakan usia.
Ya, memang usia Darren sudah hampir kepala empat. Akan tetapi, ia merasa percaya diri. Perawakannya tidak berbeda dengan pria berusia dua puluh tahunan, masih gagah dan sangat tampan.
"Tetapi kenapa harus dibayar?"
"Karena aku hanya ingin sandiwara pernikahan, bukan pernikahan sungguhan."
"Hah?! Hahahaa ...." Aluna tertawa mendengar alasan Darren. Baginya ini sangat lucu dan mengherankan. Kalau tidak mau menikah, untuk apa menikah? Sampai mesti membayar orang pula. Begitu pikir Aluna.
"Kenapa kamu malah tertawa? Aku serius!" seru Darren, tegas.
Gadis di depannya ini ternyata sulit sekali berkompromi. Padahal, Darren pikir Aluna bisa diajak kerja sama. Akan tetapi, hasilnya malah nihil.
"Saya juga serius, Pak, dan merasa sedikit lucu–" Aluna menjeda ucapannya. Dia harus menghentikan tawanya dulu. Kalau tidak, Darren pasti terpancing emosi.
"Bapak itu seorang CEO kaya. Saya yakin, banyak sekali wanita yang ingin menjadi istri Bapak. Mereka itu pasti menginginkan Bapak. Jadi, bagi Bapak mudah saja, tinggal meminta salah satu di antara mereka untuk pura-pura menjadi istri," papar Aluna panjang lebar. Dia harus menolak tawaran Darren, bagaimanapun caranya. Karena, pria itu bukan tipe pria idamannya.
"Bukan. Aku tidak mau. Haduh, berbicara denganmu itu memang melelahkan!" seru Darren, wajahnya tampak frustrasi. Harusnya dia menyiapkan trik lain agar Aluna mau menerima tawarannya tanpa protes. "Pantas saja HRD bilang, kalau kamu itu jago bernegosiasi. Jadi, memang seperti ini kebiasaanmu."
"Apa maksud Bapak? Tolong jangan alihkan pembicaraan!" protes Aluna. "Tidak perlu menyindir tentang kepribadian saya. Ini urusan yang Bapak timbulkan sendiri." Aluna kesal. Pria ini tidak mengerti juga. Padahal sudah jelas Aluna menolak, tapi malah berbelit-belit.
"Dengar! Aku memilihmu karena kamu itu membenciku. Kalau sama yang lain, tidak bisa."
Aluna membulatkan matanya. "Hah? Kenapa begitu?" tanya gadis tersebut dengan sorot keheranan.
Aluna benar-benar bingung dan penasaran dengan alasan Darren. Sebenarnya, apa yang diinginkan bos besarnya ini?
"Loh, memang harus seperti itu. Kalau aku menikahi orang yang tergila-gila akan harta dan tergila-gila padaku, akan susah," terang Darren."Maksudnya bagaimana? Jangan membuat alasan, Pak." Pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya kalau Darren tidak langsung memberikan alasan jelas kepada Aluna."Kalau aku menikahi wanita yang gila harta, maka pasti dia akan mau melakukan berbagai cara untuk mengeruk hartaku."Aluna pun terdiam menyimak. Dia tidak berkomentar sama sekali. Kali ini, ia ingin mendengarkan semua alasan pria itu ingin menikahinya."Lalu, jika aku menikahi wanita yang menggilaiku, pasti sulit melepasnya.""Ck!" Aluna berdecak keras, melihat bosnya dengan tatapan datar. "Lalu, untuk apa menikah? Tidak usah menikah saja! Gitu aja kok, repot!" seru Aluna, gemas sendiri."Aku inginnya seperti itu, tapi sayangnya tidak dengan orang tuaku. Ibuku terus-terusan meminta menantu."Aluna terperangah. Wajahnya tampak terkejut. Melihat itu, Darren malah kesal."Benarkah? Lucu sekali.
"Satu miliar?" tanya Aluna. Wajahnya masih syok, tampak tak percaya."Iya, itu maharnya saja. Kamu bisa meminta apa pun. Rumah, perhiasan, baju-baju bagus, tas branded atau mungkin kamu butuh mobil? Boleh. Kamu juga tidak perlu bekerja lagi sebagai sekretarisku. Gampang, kan?" jelas Darren. Dia tersenyum, percaya diri.Kali ini sang pria yakin, Aluna tidak akan menolaknya. Siapa yang bisa menolak jika diberi iming-iming harta dan kemewahan? Menurut Darren tidak ada. "Bapak bercanda, kan?"Aluna masih tidak percaya. Apalagi Darren terkenal arogan dan dingin. Mana mungkin memberikan semua itu kepada gadis biasa sepertinya."Tidak, aku serius mengatakan ini semua. Aku menawarkan ini hanya padamu saja, bagaimana?"Aluna terkekeh sembari menggelengkan kepala. Dia benar-benar kaget dengan sikap Darren saat ini. Pria yang berpikir kalau pernikahan sama dengan jual beli. Aluna tidak suka dan tentu saja akan tetap menolak. "Terima kasih, Pak. Saya tidak mau." Erangan keluar dari mulut Darre
"Bagaimana makanannya, Bu?""Enak sekali. Ini kamu pesan dari mana?" tanya Danita di sela suapannya."Tentunya dari restoran ternama. Katanya Ibu mau makan makanan dari luar. Jadi, aku pesan dari restoran yang paling mewah dan paling mahal."Sekarang, Darren dan Danita sedang makan malam. Ya, makan malam di saat yang kurang tepat. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tetapi, itu lebih baik daripada Darren membuat ibunya kelaparan.Walaupun sang Ibu berbohong, tapi Danita tidak akan menolak tawaran dari anaknya itu. "Kamu bisa saja bujuk Ibu, tetapi bukan berarti Ibu membatalkan tuntutan sama kamu, ya. Pokoknya kamu harus tetap mengenalkan gadis itu pada Ibu."Lama-lama Darren bosan mendengar permintaan ibunya. "Ya baiklah. Bisakah kita jangan membicarakan itu dulu? Kita kan baru selesai makan," ujar Darren, akhirnya bersuara. Padahal perutnya baru saja diisi. Bisa-bisa dia mual karena terlalu kenyang mendengar omelan ibunya."Loh, justru karena kita sudah selesai makan. I
"Ibu tidak akan tahu karena dia itu karyawan baru," jawab Darren.Sebenarnya Darren sudah bosan mendengar pertanyaan ibunya perihal Aluna. Karena, mau dijelaskan pun memang mereka belum pernah bertemu. Darren berharap, Danita segera mengakhiri pembicaraan ini. "Benarkah? Jadi, dia itu karyawan baru?" tanya Danita, memastikan lagi. "Iya, bukankah aku tadi sudah bilang, dia itu salah satu karyawanku.""Baguslah kalau begitu, tapi ngomong-ngomong siapa namanya?"Danita sampai lupa menanyakan nama calon menantunya. Semua itu karena dia terlalu senang mendapatkan kabar ini. "Namanya Aluna.""Aluna? Nama yang bagus. Tapi, kamu benar-benar yakin kalau Ibu belum mengenalnya?"Dalam hati Darren terus merutuk. Kalau berurusan dengan menantu dan pernikahan, ibunya itu terlalu bersemangat. Tetapi, itu malah membuat Darren pusing sendiri. Danita terlalu ingin tahu. "Iya, Bu. Ibu tidak mengenalnya. Dia baru 2 bulan bekerja di tempatku." "Oh ya, jadi jabatannya sebagai apa?" tanya Danita lagi.
"Dasar pria gila! Dia pikir aku ini wanita murahan? Bisa dibeli dengan sejumlah uang? Harusnya dia beli saja wanita bayaran yang sudah jelas-jelas akan menyerahkan dirinya dan rela melakukan apa pun. Aku tidak paham dengan jalan pikiran pria itu!"Aluna menghempaskan diri di sofa dengan perasaan kesal. Dia masih ingat tentang permintaan pria dingin itu kepada dirinya. Padahal, Aluna yakin kalau Darren itu juga anti-pati kepadanya. Tetapi, siapa sangka? Tiba-tiba saja Aluna dilamar oleh orang yang sangat dia hindari. Gadis itu masih tidak habis pikir dan merasa kalau Darren sedang mempermainkannya. "Kenapa kamu datang-datang malah marah-marah?""Astaga! Ibu bikin aku kaget saja!" seru Aluna, terkejut.Lamunan gadis itu pun langsung buyar saat mendengar suara Amalia."Kamu yang bikin Ibu kaget, tiba-tiba saja datang sambil ngomel seperti itu. Memang ada masalah apa?" tanya Amalia, sembari duduk di sebelah anaknya. Aluna diam sejenak. Sempat terlintas ingin bercerita tentang Darren. Te
"Ibu, jangan pikirkan hal seperti itu, biar semua menjadi urusanku," ucap Aluna, masih berusaha menenangkan sang Ibu.Namun demikian, perkataan apa pun yang dilontarkan oleh anaknya, sama sekali tidak membuat wanita paruh baya itu merasa membaik."Tapi, uang 100 juta itu--" "Bu, percayalah kepadaku. Aku akan mencoba untuk mencari jalan keluarnya, yang penting Ibu jangan sampai sakit hanya karena memikirkan ini semua," ujar Aluna menyela."Ini bukan masalah sepele, Aluna. Seratus juta itu uang semua!" seru Amalia, berusaha menyadarkan anaknya kalau uang sebanyak itu tidak bisa didapatkan semudah membalikkan telapak tangan. "Aku tahu, Bu. Maka dari itu, aku mohon, Ibu tetap tenang dan doakan agar aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu."Mendengar itu, Amalia hanya bisa diam. Sekeras apa pun dirinya berusaha untuk menyadarkan Aluna, tapi anaknya juga bersikukuh bisa melunasi itu semua. Sang paruh baya pun hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. "Sekali lagi Ibu minta maaf kar
"Em, maksud lo Amar divisi exim itu?" tanya Aluna, memastikan.Karena setahunya nama Amar hanya pria itu. Lagi pula, memang Aluna sering berkomunikasi dengan Amar meskipun hanya tentang pekerjaan. Tetapi, memang Aluna selalu jutek dan terkesan galak. Aluna berpikir itu adalah cara dirinya melindungi diri. Setidaknya dia punya benteng pertahanan agar tidak ada pria yang meremehkannya atau memperlakukan semena-mena."Iya, memang lo pikir Amar yang mana lagi?" tanya Alika, gemas.Aluna terkekeh pelan. "Memang dia bilang apa?" tanya Aluna penasaran.Selama ini, Amar terlihat bersikap biasa saja. Padahal, kalau memang ada yang mau dibicarakan, pria itu tinggal bilang saja pada Aluna, tidak harus lewat Alika. Itulah yang membuat Aluna penasaran. "Katanya mau bertemu dengan elo, mau berbicara empat mata."Aluna kaget, dia bahkan sampai berdiri. "Benarkah? Hahaha." Sekarang giliran Alika yang keheranan. "Kenapa lo malah tertawa?" "Iya. Bagaimana gue tidak tertawa, kalau dia memang ingin b
Aluna terdiam memandang lurus ke depan. Setelah pembicaraannya dengan Alika, dia pun berpikir matang-matang. Kalau misalkan Aluna meminjam uang kepada Darren, apakah mungkin pria itu memberikannya? Sementara sebelumnya sang pria menawarkan 500 juta untuk mahar agar dia mau menikah dengan Darren. Ini benar-benar memalukan untuknya.Bagaimana bisa dia mendatangi Darren dan meminjam uang 100 juta? Pasti pria itu akan menertawakannya dan sang pria akan menawarkan lagi 500 juta itu untuk mahar yang katanya demi menikahi gadis cuek seperti Aluna. "Yang benar saja! Masa aku harus nikah sama Pak Darren? Dia kan lebih tua dariku. Harusnya itu dia jadi pamanku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kalau misalkan menolak permintaan Pak Darren, tentu saja aku juga tidak akan mendapatkan 100 juta itu. Tapi, kalau aku tidak meminjam kepada Pak Darren, bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat?" Aluna mulai frustrasi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Jika menjual rumah
Karyawan itu sudah keluar untuk tanda tangan, tetapi Aluna masih enggan untuk masuk ke ruangan Darren. Gadis itu merutuki diri. Kenapa juga harus satu lingkup ruangan dan hanya disekat tembok kecil yang terbuat dari kayu itu? Sama saja bohong!Dia benar-benar harus bisa bertemu dengan Darren. Sementara saat ini tangan dan tubuhnya terasa dingin. Jantung juga berdetak dengan sangat kencang, karena benaknya tiba-tiba saja teringat dengan kejadian tadi. Gadis itu sampai memukul-mukul kepalanya sendiri."Apa sih yang sudah aku lakukan tadi?! Ngapain juga aku ciuman sama Pak Darren?" gumamnya dengan perasaan yang sangat malu. Sungguh, ini pertama baginya. Walaupun memang Darren adalah suami Aluna, tetapi mereka sudah berjanji untuk tidak saling menyentuh. Ini benar-benar membuat dirinya kikuk sekali.Untungnya saat dia merasa kacau, tiba-tiba saja bel istirahat berbunyi. Dengan cepat Aluna pergi ke kantin. Dia sama sekali tidak masuk ke dalam untuk membereskan beberapa berkas. Sekarang ya
Sepeninggalnya Danita, Darren hanya bisa terduduk lemah di kursi kebesarannya. Ada raut kekesalan sebab ternyata Danita sudah mengetahui semua yang terjadi kepada Aluna.Kalau masalah Aluna itu sih hal yang wajar. Tetapi bagaimana dia bisa mengaudit semua divisi dalam waktu 1 minggu? Sementara Darren tidak tahu siapa saja yang berkhianat kepadanya. Melihat itu Aluna pun mendekat. Saat ini dia harus berperan sebagai seorang istri yang baik, membimbing dan menemani Darren melewati semua ini. Walaupun agak canggung. Aluna menepuk pundak Darren, membuat pria itu menoleh dengan tatapan bingung. "Kalau misalkan Bapak butuh bantuan saya, saya akan lakukan itu," ungkap Aluna membuat Darren menautkan kedua alisnya."Maksud kamu apa?" "Iya, masalah audit itu. Kalau misalkan Bapak butuh bantuan, nanti saya dengan Alika akan mencoba mencari tahu siapa saja yang bermasalah di kantor ini," terang Aluna membuat Darren membulatkan mata tak percaya. "Ini beneran kamu, Aluna?" "Maksud Bapak?"Dar
"Nggak usah, Bu. Nggak usah lakukan apa-apa. Lagian Siska udah keluar dari perusahaan ini Pak, eh Mas Darren sudah memecatnya," ujar Aluna membuat Darren menoleh.Pria itu merasa tersentak saat Aluna tiba-tiba saja panggilan dengan kata Mas. Gadis itu sama sekali tidak canggung jika di depan Danita, tetapi kenapa di belakang semua orang Aluna selalu memanggilnya Pak? Alasannya tua. Ini benar-benar membuat Darren kesal. Namun, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau sampai menyakiti Aluna, bisa-bisa Danita juga melakukan hal yang sama kepadanya. Mungkin membuat Darren sengsara. Itu yang dipikirkan sang pria. "Tapi, itu tidak cukup, Sayang. Siska itu sudah keterlaluan, sampai menjambak kamu. Kalau misalkan dia menjambak harusnya kamu juga menjambaknya." Danita membuat Aluna terperangah sembari mengerjapkan mata. Dia tidak menyangka kalau wanita elegan seperti ini menyuruhnya balas dendam yang sama.Hanya saja Aluna tidak berpikir demikian."Tidak usah lah, Bu. Lagian menurutku ini
"Ibu!" seru Darren dan Aluna saat mengetahui kalau Danita datang.Wanita paruh baya itu memakai baju branded, penampilan bak seorang konglomerat. Benar-benar elegan. Dia sengaja tidak menyamar dan ingin memastikan terlebih dahulu apakah benar kalau Siska sudah keluar dari perusahaan ini. Sebab dia mendapat kabar dari Amarudin kalau Siska langsung dikeluarkan setelah menyakiti Aluna."Ibu, ngapain di sini?" tanya Darren. Dia berdiri menghampiri Danita, begitupun dengan Aluna.Gadis itu langsung menyalami sang wanita paruh baya, membuat Danita tersenyum. Benar-benar perilaku yang menyejukkan hati. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Danita tiba-tiba saja kepada Aluna, membuat gadis itu menautkan kedua alis. Darren terdiam keheranan. Dia melihat pada kedua wanita berbeda usia tersebut. "Memang kenapa dengan Aluna?" Pertanyaan Darren yang salah membuat Danita langsung mendelik dengan tatapan marah. "Kenapa kamu bilang? Kamu tidak melaporkan apa yang sudah terjadi kepada menantu Ibu di sini, k
Raka semakin menggila. Dia bertanya kepada orang-orang yang tiba-tiba saja berkumpul mengelilingi pria itu. Dia seperti seseorang yang kemalingan sesuatu, sampai rasanya begitu menyakitkan. Tak tahu kalau ternyata anak yang begitu dicintainya menghilang tanpa jejak. Di saat keadaan kacau seperti ini, mata Raka menangkap sosok Bu Murni. Ya, tentu saja hanya wanita paruh baya itu yang sangat dekat kepada mantan istrinya. Tanpa diduga Raka langsung menghampiri Bu Murni. Membuat semua orang langsung mengalihkan pandangan mereka kepada dua orang itu. "Bu, Ibu tahu tidak ke mana Lusi dan Alia? Kenapa rumah ini tiba-tiba saja jadi kontrakan dan dikunci? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka tampak frustrasi.Melihat itu, Bu Murni begitu kasihan. Tampak sekali kalau Raka putus asa dan sangat sedih. Tetapi, dia sudah janji kepada Lusi tidak akan memberitahukan ke mana wanita itu pergi. Karena kalau tidak, maka bahaya mungkin saja menyertai Lusi dan Alia. Apalagi Bu Murni tahu kejadian sa
Siska mengepalkan kedua tangan dengan sangat erat. Dia benci dengan perkataan yang dilontarkan oleh Andri. mMeskipun memang dia tidak perawan saat melakukan hubungan itu dengan sang pria, harusnya Andri sadar diri kalau selama mereka berhubungan hanya dengan Andri lah Siska tidur. Tetapi ternyata pria itu sama sekali tidak memedulikannya dan malah mengejek wanita itu. "Iya, Mas. Memang aku akui, aku tidak perawan saat tidur denganmu. Tapi saat aku menjadi pacarmu, aku hanya melakukannya denganmu, Mas. Jadi, memang kamu yang harus bertanggung jawab!"Dari seberang sana terdengar tawa Andri yang begitu keras, membuat Siska bingung sendiri. "Itu mimpimu saja, Siska. Aku tidak akan pernah bertanggung jawab atas apa pun yang aku lakukan! Bukankah kita sama-sama saling suka? Kecuali aku merudapaksa kamu, itu baru aku akan bertanggung jawab." Mendengarnya Siska marah besar. Dia ingin sekali menampar pria itu. Sayangnya, tidak bisa karena mereka berjauhan."Kurang ajar kamu, Mas! Kamu ben
Saat ini Siska berjalan gontai memasuki kontrakan. Dia benar-benar tidak menyangka kalau akhirnya seperti ini. Padahal sudah dibayar besar oleh pihak perusahaan rival dari perusahaannya Darren, tetapi pada akhirnya semua harus hancur gara-gara perseteruannya dengan Aluna. Di sini Aluna yang salah, kenapa dia yang dipecat? Mentang-mentang istri bosnya. Seharusnya Darren yang bersikap adil dan bijaksana, begitu pikir Siska. Sang wanita pun merebahkan diri di kasur sembari melihat langit-langit. Dia tidak tahu harus berbuat apa, pasti sebentar lagi dirinya akan dicari oleh perusahaan yang mempekerjakan wanita itu. Entah akan dipecat atau diberikan hukuman, yang pasti Siska harus segera mengakhiri semua ini dengan cara pergi dari sini secepatnya. Di saat seperti itu, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Di sana ada nama Andri. Dengan cepat sang wanita menerima panggilan dari kekasihnya. "Halo, Mas. Kamu di mana? Aku tadi cari-cari kamu di kantor. Tapi, tidak ada.""Diam!" seru Andri den
Aluna terdiam sejenak. Dia berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk memberikan alasan, kenapa tidak mau memanggilnya Pak. "Sebenarnya, banyak alasannya, sih. Tapi sepertinya Bapak tidak usah tahu." "Kenapa? Kalau memang ada alasan, katakan saja." "Ya, saya takut Bapak marah dan malah menghukum saya lebih parah lagi." "Justru kalau kamu tidak mengatakannya, aku akan memberikan hukuman tiga kali lipat lebih dari sekedar mengganti panggilan." Mendengarnya Aluna terkesiap. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kalau seperti ini, tidak ada pilihan lain kecuali mengatakan apa yang dipikirkannya. "Begini, Pak. Pertama, usia Bapak itu lebih matang dari saya, jadi rasanya tidak pantas saja kalau misalkan saya memanggil Bapak dengan sebutan Mas." "Apa?!" Darren langsung berdiri, membuat Aluna terkesiap. "Jadi, menurutmu secara tidak langsung aku ini tua?"Dengan susah payah Aluna berusaha tenang. Dalam hati merutuk, tentu saja pria ini tua. 'Apa dia tidak sadar diri dengan usia
"Aluna, masuk!"Suara bariton dari dalam membuat Aluna terkesiap. Dia meneguk saliva dengan susah payah. Padahal dari tadi dirinya berusaha untuk menghindari Darren dan di luar saja. Walaupun memang banyak pekerjaan, dia tidak peduli. kKarena dirinya benar-benar takut jika sang suami marah besar kepadanya. "Aluna, aku bilang masuk! Kalau kamu tidak masuk, hari ini juga Alika aku pecat!" Mendengar itu, sang gadis terkesiap dan langsung masuk. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang kala melihat Darren tengah duduk membelakanginya. Bahkan gadis itu gemetar sekali.Dia sangat takut jika terjadi sesuatu kepadanya, karena Darren sudah membuat Aluna begitu ngeri dengan sikap dan suara itu.Tak lama kemudian Darren memutar kursi kebesarannya dan terlihat jika wajah sang pria tampak kesal. Tatapannya begitu tajam. Biasanya ini terjadi jika Darren sedang amarah. Saat masih jadi asistennya dan belum menikah, Aluna hafal betul jika bosnya ini kalau sudah memasang ekspresi seperti itu artin