Kenikmatan yang pernah Slamet dan Kamila reguk karena pengaruh alkohol yang dikonsumsi Kamila, dilakukan tidak sepenuhnya sadar. Kali ini Slamet dan Kamila mengulang kembali dalam keadaan sesadar-sadarnya dan dalam status suami istri.Sentuhan tangan dan bibir yang terus bekerja merasakan kenikmatan yang tersaji, membuat Slamet seperti menggila. Gila karena cinta. Kamila yang berada dalam kungkungan sang pria, hanya bisa mendesah lirih merasakan sensasi kenikmatan yang dirasa.“Sla-met.”“Hm, tahan sayang. Kamu … nikmat banget.”“Slamet ….”Jika tidak ingat kalau Kamila sedang hamil muda, rasanya Slamet ingin begadang untuk mengulang lagi dan lagi penyatuan diri mereka.“Kamila, udah dulu ya. Kasihan yang di sini,” ujar Slamet mengusap perut Kamila yang masih rata.“Jadi kita tidur nih?”“Lah iya, masa upacara. Kamu suka aneh-aneh deh.”Berbeda dengan pasangan Kamila dan Slamet yang baru saja mereguk nikmat dunia, di kamar berbeda ada Kevin dan Rara. Sebenarnya Rara sudah terlelap sej
“Loh, ngapain di sini?” tanya Mihika melihat Kamila duduk di sofa beranda rumah. Apalagi saat ini sudah sore bahkan hampir maghrib.“Tunggu Slamet Mih.”“Sudah dihubungi belum? Mungkin masih di jalan,” ujar Mihika berusaha membuat putrinya tenang. Pernah mengalami apa yang dirasakan oleh Kamila, saat masih merasakan hangatnya awal pernikahan bersama Arka. Kekhawatiran ketika pria itu belum pulang atau terlambat pulang juga saat komunikasi mereka terhambat.Kamila hanya mengangguk pelan dengan tatapan menuju gerbang rumah.“Ayo masuk, tunggu di kamar atau di dalam saja. Kamu sedang hamil, tidak baik maghrib ada di luar.”Kamila patuh dan mengekor langkah maminya untuk masuk ke dalam. Menghempaskan tubuhnya pelan di sofa ruang keluarga dan memanggil asisten rumah tangga untuk menghangatkan sup pesanannya.Slamet sudah kembali beraktivitas sejak kemarin, berbeda dengan Kamila yang dilarang untuk melanjutkan magangnya. Setelah melahirkan nanti, dia akan bergabung di perusahaan Arka. Kedat
“Kamu suka atau ada yang perlu kita renovasi lagi?” tanya Kevin sambil memeluk Rara dari belakang.Rara menggeleng pelan dan mengusap tangan Kevin yang melingkar di perutnya yang membulat. Saat ini pasangan itu sedang mengecek rumah yang akan mereka tempati. Sebagian barang dan pakaian milik keduanya sudah dipindahkan.Belum pindah secara penuh karena masih ada perlengkapan dan furniture yang belum lengkap. Termasuk juga acara syukuran untuk kebaikan mereka ke depannya. Rara sebenarnya tidak masalah walaupun tetap tinggal di apartemen, apalagi unit yang mereka tempati cukup luas. Namun, Kevin memastikan kenyamanan untuk keluarga kecil mereka.Hunian di daerah elite meskipun tidak sebesar milik orangtua Kevin, tapi cukup besar untuk ditempati bersama dengan anak-anak mereka nanti.“Cukup Mas, aku suka kok,” jawab Rara yang sedang berada di balkon kamar menatap ke bawah di mana ada taman, gazebo dan kolam renang.“Bagaimana dengan kamar bayinya?”Rara memutar tubuhnya dan kini mereka sa
“Ra,” tegur Kevin karena istrinya terlihat melamun dan tidak mendengarkan kelanjutan ucapannya.“Eh, iya Mas.”“Atau kamu ikut aja, aku jadi lebih tenang. Kita bisa pulang ke Jakarta dua minggu sekali atau ketika dekat dengan hari perkiraan kelahiran.”“Jangan Mas, aku nggak pa-pa kok. Kalau aku ikut, bukannya malah bikin nggak konsen ya. Karena akan pikirin aku bosen atau nggak, apalagi di sana kita tidak ada saudara.”“Iya, tapi ….”“Mas, aku nggak masalah untuk sementara kita jauhan. Sudah konsekuensinya bagian dari tanggung jawab pekerjaan kamu dan aku sebagai istri hanya bisa mendukung. Kalaupun aku setuju ikut, belum tentu Ibu akan kasih ijin. Mamih juga sama. Dua bulan lagi, aku akan sabar kok. Akhir pekan kita masih bisa bertemu.”Kevin mengusap perut Rara, meski lega karena Rara akhirnya paham. namun, masih ada yang mengganjal di hatinya karena akan melewatkan kesenangannya berinteraksi dengan janin di perut sang istri.“Gimana shopping bareng Mami, aman?”“Aman Mas, aku mala
Sudah lebih dari satu minggu Kevin dan Rara terpisah, melepas rindu hanya lewat panggilan video. Saling tatap dan meluapkan perasaan. Kevin menyampaikan kondisi di sana tidak mengkhawatirkan seperti yang dia duga. Bahkan akan lebih cepat kembali ke Jakarta. Hanya saja menunda kepulangan saat weekend.“Iya, Mas. Aku nggak pa-pa, serius.”“Tapi aku yang kenapa-kenapa. Kangen banget sayang, ternyata benar ya kalau rindu itu … berat.”Rara tertawa membuat Kevin semakin gemas.“Anak kita nggak rewel ‘kan?”“Nggak mas, paling gerak-gerak dikit. Masih aman dan wajarlah.”“Ra, kalau kamu ke sini. Gimana?”Rara menggelengkan kepalanya pelan, usulan Kevin tidak akan disetujui oleh orang tua mereka. apalagi memasuki trimester ketiga, membutuhkan surat dokter untuk melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang.“Nggak bisa ya?” tanya Kevin lagi.“Sabar.”Panggilan video pun berakhir dan Rara sudah merebahkan diri di ranjangnya. Kadang Rara tidur bersama Ibunya ketika tidak bisa memejamkan mata
Mihika langsung pergi setelah bicara dengan Rara, bahkan tidak sempat bertemu atau menyapa besannya. Rara masih berada di ruangan Kevin, berusaha mencerna dan berpikir apa yang salah sampai dia disalahkan.Berkesimpulan kalau Mihika bersikap begitu karena sayang pada dirinya juga Kevin dan berusaha tidak membenci Ibu mertuanya.“Ra, ibu mertuamu sudah pulang?” tanya Ibu masih berdiri di tengah pintu.“Iya Bu, sepertinya bergegas karena ada keperluan lain.”“Ibu belum sempat ketemu, tadi lagi di dapur. Apa ada masalah?”“Tidak ada Bu.” Rara beranjak dan menghampiri Ibunya. “Sudah matang belum, aku sudah lapar.”“Sudah, tunggu di meja makan. Ajak Kamila juga,” seru Ibu dan disambut Rara dengan anggukan kepala.Rara pun mengajak Kamila makan siang. Padahal sedang selonjoran di sofa, tapi mendengar makanan gegas ia beranjak dan menuju meja makan.“Kak, Mami sudah pulang?”“Iya.”“Cepat amat, ada apa sih kayaknya serius.”“Oh, obrolin kakakmu. Pengen cepat pulang dia.”“Ya iyalah, udah buc
“Rara, kamu ngapain?” tanya Ibu melihat Rara menyiram tanaman.“Nggak apa kali bu, Cuma berdiri arahkan selang doang. Aku bosan dikamar terus.”“Awas langkahmu, sendalnya licin nggak?”“Nggak bu.”Ibu Rara menghela nafasnya pelan, terus mengawasi putrinya. Baru beberapa hari ini Rara terlihat kembali ceria. Setelah kehadiran Mihika dua minggu lalu yang memarahi karena dianggap menyusahkan Kevin membuat wanita hamil itu terpuruk dan sempat jatuh sakit.Sudah lebih dari satu bulan kepergian Kevin ke luar kota dan tidak ada pulang diakhir pekan seperti yang direncanakan. justru Rara bersyukur karena kalau Kevin pulang dan melihat kondisinya yang tidak baik, pasti akan ragu untuk melanjutkan kegiatan di luar kota.“Bu Rara, ini ponselnya berbunyi,” ujar Bik Lela, salah satu asisten rumah tangga.Ibu langsung mengambil alih selang air dan Rara pun menerima ponselnya. Ternyata panggilan telepon dari Kevin. Tidak biasanya melakukan panggilan di waktu sore begini, biasanya malam sebelum istir
Rara merasa perjalanan dari rumah ke rumah sakit yang dituju sangat jauh, padahal begitu khawatir dengan kondisi suaminya. Ibu selalu menenangkan agar sabar dan berdoa kalau kondisi Kevin tidak parah. Sebelum berangkat, Arka sudah dihubungi oleh Rara dan mungkin saja dalam perjalanan juga.“Pak, bisa lebih cepat,” ujar Rara pada supir yang mengantarkan ke rumah sakit.“Hati-hati Pak, pastikan kita sampai dengan selamat,” sergah Ibu. “Ra, cepat atau lambat sampai di rumah sakit tidak akan merubah keadaan. Lagi pula Kevin sudah dalam perawatan.”“Saya usahakan tiba lebih cepat dan tetap hati-hati bu,” jawab supir sambil tetap fokus.Sampai di rumah sakit, Rara memeluk lengan ibunya menuju UGD. Kedatangannya memang ditunggu, karena pihak rumah sakit membutuhkan persetujuan tindakan untuk Kevin.“Kondisi suami saya bagaimana Dok?”“Harus segera tindakan Bu, kami akan lakukan operasi karena ada pendarahan dalam dan ada cedera juga. Silahkan tanda tangani berkas yang dibutuhkan.”Rara membu
“Mas, aku kok ragu ya.”“Ayolah, sesekali tidak masalah tinggalkan anak-anak. Ada Ibu dan Mamih, juga pengasuh mereka. Aku mau ditemani kamu, sekalian kita honeymoon. Kita belum pernah loh, tahu-tahu sudah punya anak dua.” Kevin memeluk Rara yang sempat terhenti mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa.Ada kegiatan di luar kota, kali ini Kevin mengajak Rara. Arka sendiri tidak masalah, begitu pun dengan Mihika. Kiya sedang berlibur di Surabaya, bersama eyang -- ibu Rara. Hanya Abimana dan Mihika tidak keberatan kalau bocah itu dititip bersamanya.Apalagi di kediaman Arka ada kedua anak Slamet dan Kamila, membuat Abimana tidak akan jenuh karena memiliki teman sebayanya.“Jangan bawa banyak pakaian, apalagi untuk malam. Aku lebih suka kamu tidak berpakaian,” bisik Kevin.“Masss.”“Aku tunggu di bawah ya, jangan kelamaan aku sudah lapar.”“Hm.”Saat Rara bergabung di meja makan, Kevin dan Abimana sudah siap di kursinya. Terlihat Kevin sedang menjelaskan kalau besok Rara dan dirinya a
Rara terjaga dari tidurnya. Menggeser pelan tangan Kevin yang memeluk pinggangnya lalu beranjak duduk dan bersandar pada headboard. Masih dengan suasana kamar yang cahayanya temaram, ia mengusap perut yang sudah sangat membola sambil mengatur nafas. Sudah beberapa malam merasakan sakit yang datang dan pergi, sepertinya kontraksi palsu. Namun, kali ini terasa lebih sering. Sedangkan hari perkiraan lahir bayinya masih minggu depan.“Ahhhh.” Rara mengerang pelan. Terdengar suara tangisan Kiya, meskipun ada Nani yang akan sigap sebagai Ibu tentu saja Kiya tidak tega. Beranjak pelan menuju kamar putrinya. Benar saja, Kiya sedang menenangkan putrinya.“Princess bunda kenapa nangis?”“Nda,” panggil Kiya sambil mengulurkan tangannya.Rara tersenyum lalu ikut naik ke ranjang Kiya yang saat ini berumur satu setengah tahun.“Bobo lagi ya, masih malam nih.”“Nda.”“Ssttt.” Rara memeluk Kiya dan menepuk bok0ng bocah itu dengan pelan. “Nani, tolong buatkan susu botol, mungkin dia haus.”Setelah me
Rara mendengarkan curhatan adik iparnya mengenai sang suami yang dituduh selingkuh. Sungguh hal yang jauh dari sikap seorang Slamet. Apalagi pria itu terlihat begitu menyayangi Kamila dan putra mereka. Begitu pun kesempatan untuk macam-macam, sepertinya tidak ada.“Aku yakin dia selingkuh kak.” Kamila menyimpulkan setelah dia menceritakan bagaimana sikap Slamet yang dianggap tidak setia. “Iya ‘kan?”“Hm, gimana ya,” gumam Rara.“Gimana apanya?”“Kamila, gini loh. Ketika suami macam-macam, biasanya istri akan merasakan dan melihat perubahan sikap dari sang suami. Misalnya jarang di rumah atau mulai acuh. Kalau aku lihat, Slamet nggak ada indikasi begitu. Lihat saja tuh, dia malah asyik main dengan Kai dan Kiya.”“Ya bisa aja pas di kantor. Aku curiga mungkin saja perempuan itu teman satu divisinya.”“Kamila, curiga boleh ….”“Kak, aku bukan curiga,” ujar Kamila menyela ucapan Rara.Rara kembali mendengarkan ocehan Kamila dan sesekali mengangguk. Saran darinya untuk memastikan kebenaran
Ada rasa bahagia saat dokter mengatakan kalau Rara sedang hamil dan gejala yang muncul sangat umum untuk awal kehamilan. Tanpa harus mengikuti program kehamilan, ternyata istrinya sudah lebih dulu mengandung. Namun, ada kekhawatiran melihat Rara tergolek lemah karena tidak sadarkan diri.Bahkan saat kehamilan Kiya, Kevin tidak tahu dan tidak mendampingi karena mereka terpisah semenjak ada masalah. Pun saat Kiya lahir, Kevin malah dalam proses pengobatan di Singapura.“Maaf sayang, kali ini aku pastikan akan mendampingi kamu. Apapun yang kamu rasakan kita jalani bersama,” bisik Kevin sambil mengusap kepala istrinya.Akhirnya Rara pun siuman dan terkejut dengan keberadaannya saat ini, bukan di kamarnya.“Mas ….”“Jangan memaksa bangun,” ujar Kevin menahan tubuh Rara agar tetap berbaring.“Aku kenapa Mas?”“Kamu sempat pingsan waktu kita mau pulang. Bukannya aku sudah bilang kalau kamu sakit jangan memaksa untuk ikut denganku.”“Hanya sakit kepala saja Mas. Ayo kita pulang, aku takut Kiy
Ucapan Mami Mihika mengenai dirinya kemungkinan hamil, membuat Rara resah. Kevin menyangkal karena sering memakai pengaman, meskipun kadang lupa. Sebenarnya tidak masalah walaupun ia hamil, toh Kiya sudah hampir satu tahun. Hanya saja rencana Kevin untuk program hamil tentu saja gagal.“Sayang, hei.” Tepukan di bahunya membuat Rara tersadar dari lamunan.“Ya.”“Are you okay?” tanya Kevin dengan mengernyitkan dahi. Rara hanya mengangguk pelan dan menyadari mobil sudah berhenti di … rumah mereka.“Sudah sampai?” tanyanya sambil melepas seatbelt.“Bahkan Kiya sudah duluan turun,” jawab Kevin. “Kamu yakin baik-baik saja?”“Aku baik sayang, hanya saja tadi aku melamun mungkin. Ayo turun!”Menjelang tidur, pikiran Rara masih terkait antara hamil dan tidak hamil. Untuk memastikan dia hanya perlu tespek atau ke dokter. Masalah datang bulan agak sulit menjadi dasar ukuran karena sejak melahirkan Kiya, periode bulanannya tidak teratur. Seperti bulan ini, yang belum datang juga.“Sayang, besok a
Banyak berkah dan kemudian menjadi istri dari Kevin Baskara, yang awalnya bukan tujuan Rara kini ia bersyukur dengan segala yang dirasakan. Seperti saat ini, pulang ke Surabaya menggunakan pesawat dengan pilihan kelas bisnis agar Kiya tetap nyaman. Bahkan ketika tiba di bandara, mobil yang memang disiapkan untuk kebutuhan Ibu sudah menjemput.Rumah peninggalan almarhum bapak tidak berubah hanya diperbaiki kalau ada kerusakan, tapi Kevin membeli kavling di sebelah rumah Ibu dan dibangun untuk ia tinggal ketika berkunjung ke sana. Mobil sudah berhenti di depan pagar, Ibu keluar dengan antusias.“Cucu Uti sudah datang, ayo sini gendong sama uti.”Kiya yang dalam perjalanan dipangku oleh pengasuhnya pun berpindah ke gendongan Ib, bahkan tergelak saat Ibu menciumi pipinya.“Ayo masuk, istirahat dulu. Kamu pasti pusing ‘kan turun dari pesawat,” ujar Ibu pada Rara.Rara menganggukan kepala setelah mencium tangan ibunya, lalu menuju rumah mereka. Pak Budi membawakan koper dan tas milik Rara d
“Halo Mas, aku baru sampai nih. Kita ketemu di kamar Kamila aja ya.”Rara baru saja tiba di rumah sakit dan sempat menghubungi suaminya, janjian untuk menjenguk bayi Kamila dan Slamet. Menggendong Kiya berjalan di sepanjang koridor rumah sakit. supirnya menawarkan mengantar, tapi ditolak oleh Rara.Tidak terlalu memperhatikan sekitar karena hanya fokus menuju kamar rawat Kamila sesuai petunjuk arah, ternyata ada seseorang yang mengekor langkahnya.“Kemana ya?” gumam Rara sedangkan Kiya berceloteh dalam gendongan. “Ah ke sebelah sana.”“Rara.”Langkah Rara terhenti, lalu menoleh ke arah suara.“Kamu … Rara ‘kan?”Seorang wanita berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Wanita yang pernah hadir dalam hidup Kevin, yang menjadi alasan kenapa harus ada kesepakatan pernikahan dengan Kevin. Vanya, wanita itu adalah Vanya.Tidak berubah, Vanya selalu berpenampilan seksi dan glamour. Begitupun saat ini. Sama halnya dengan Vanya yang memindai penampilan Rara dari kepala sampai kaki.“Iya, aku R
“Hey, baby girl. Ini ayah, kamu cantik seperti bunda.” Kevin seakan enggan lepas dan pisah dengan putrinya. Sejak tadi malam bayi itu bahkan tidak berada di box bayi, tapi tidur di antara kedua orang tuanya.Setelah tadi dimandikan, Kiya masih diajak bicara. Rara yang baru keluar dari wardrobe, melihat putrinya masih berada di atas ranjang bersama sang suami dan terus diciumi juga disentuh pipi dan hidungnya. Hanya bisa menggelengkan kepala dan memaklumi. Kevin mengatakan akan mengganti kealpaannya karena tidak bisa mendampingi Rara melahirkan dengan memberikan yang terbaik untuk istri dan anaknya.“Mas, jangan di ganggu terus. Harusnya dia sudah tidur.”“Dia masih betah denganku. Kapan dia besar dan bisa aku bawa ke kantor atau jalan-jalan ke mall.”“Ck, kapan kamu mandi?”“Nanti dulu Ra, aku masih kangen. Lihat, jariku tidak dilepaskannya.”Jemari Kiya mencengkram ibu jari Kevin dan bibir bayi itu terus mengecap seakan masih lapar dan mencari sumber kehidupannya. Rara menghampiri me
“Mas … Kevin.”Kevin tersenyum dan merentangkan tangannya memberi kesempatan pada Rara untuk datang ke dalam pelukan. Seakan tidak percaya kalau yang ada di hadapannya adalah Kevin, Rara malah meneteskan air mata.“Mas ….”“Kemarilah, apa kamu tidak rindu denganku?”Rara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, memeluk erat membenamkan wajah di dada pria itu. Tubuhnya berguncang karena tangisan. Bukan hanya Rara yang begitu rindu, Kevin pun sama. Kedua tangannya mendekap erat tubuh sang istri bahkan berkali-kali mencium kepalanya.Sesaat dia menyadari kalau pelukannya sangat erat, tidak seperti sebelumnya yang selalu terhalang oleh perut Rara yang sedang hamil. Kevin mengurai pelukan dan menatap tubuh sang istri. Masih terlihat agak chubby dengan dada yang tampak membusung, tapi perutnya … tidak besar cenderung rata.“Rara, kamu sudah melahirkan?” tanya Kevin lirih.Rara masih dengan tangisnya hanya sanggup menganggukan kepala“Kamu melahirkan tanpa ada aku mendampingi?”Lagi-la