“Rara, kamu ngapain?” tanya Ibu melihat Rara menyiram tanaman.“Nggak apa kali bu, Cuma berdiri arahkan selang doang. Aku bosan dikamar terus.”“Awas langkahmu, sendalnya licin nggak?”“Nggak bu.”Ibu Rara menghela nafasnya pelan, terus mengawasi putrinya. Baru beberapa hari ini Rara terlihat kembali ceria. Setelah kehadiran Mihika dua minggu lalu yang memarahi karena dianggap menyusahkan Kevin membuat wanita hamil itu terpuruk dan sempat jatuh sakit.Sudah lebih dari satu bulan kepergian Kevin ke luar kota dan tidak ada pulang diakhir pekan seperti yang direncanakan. justru Rara bersyukur karena kalau Kevin pulang dan melihat kondisinya yang tidak baik, pasti akan ragu untuk melanjutkan kegiatan di luar kota.“Bu Rara, ini ponselnya berbunyi,” ujar Bik Lela, salah satu asisten rumah tangga.Ibu langsung mengambil alih selang air dan Rara pun menerima ponselnya. Ternyata panggilan telepon dari Kevin. Tidak biasanya melakukan panggilan di waktu sore begini, biasanya malam sebelum istir
Rara merasa perjalanan dari rumah ke rumah sakit yang dituju sangat jauh, padahal begitu khawatir dengan kondisi suaminya. Ibu selalu menenangkan agar sabar dan berdoa kalau kondisi Kevin tidak parah. Sebelum berangkat, Arka sudah dihubungi oleh Rara dan mungkin saja dalam perjalanan juga.“Pak, bisa lebih cepat,” ujar Rara pada supir yang mengantarkan ke rumah sakit.“Hati-hati Pak, pastikan kita sampai dengan selamat,” sergah Ibu. “Ra, cepat atau lambat sampai di rumah sakit tidak akan merubah keadaan. Lagi pula Kevin sudah dalam perawatan.”“Saya usahakan tiba lebih cepat dan tetap hati-hati bu,” jawab supir sambil tetap fokus.Sampai di rumah sakit, Rara memeluk lengan ibunya menuju UGD. Kedatangannya memang ditunggu, karena pihak rumah sakit membutuhkan persetujuan tindakan untuk Kevin.“Kondisi suami saya bagaimana Dok?”“Harus segera tindakan Bu, kami akan lakukan operasi karena ada pendarahan dalam dan ada cedera juga. Silahkan tanda tangani berkas yang dibutuhkan.”Rara membu
Sudah dua hari Kevin dipindah ke kamar perawatan dengan alat medis terpasang di tubuhnya. Sebenarnya tidak ada hal yang mengkhawatirkan, hanya belum sadar semenjak operasi. Operasinya pun dikatakan berhasil, tapi Kevin masih nyaman menutup matanya.Rara setia menemani, bahkan enggan pulang. supir dan asisten rumah tangga yang kadang bergantian mengantarkan pakaian atau makanan. seperti saat ini, wanita itu duduk di samping ranjang di mana Kevin terbaring. Mengambil alih tugas perawat yang mengelap tubuh suaminya.“Nah, udah segar. Hm, wangi bayi,” ujar Rara lalu terkekeh karena mengoleskan minyak telon di kedua pergelangan dan telapak tangan suaminya.“Mas, anak kita sudah jarang berulah. Paling gerak sebentar-sebentar aja. Kata Ibu sudah mulai mapan ke jalan lahir jadi semakin sulit gerak. Mas bangun dong, katanya mau lihat kelahiran anak kita.”Sejenak hening, hanya terdengar suara mesin medis lalu Rara menghela pelan. Meraih tangan Kevin yang terbebas dari jarum dan selang infus. M
Rara memilin jemarinya mendengarkan Arka bicara. Kondisi Kevin yang bisa jadi akan membaik, kalau mendapatkan perawatan dengan teknis dan teknologi terbaru dan itu tidak ada di negara ini. Arka dan Mihika sepakat membawa Kevin ke Singapura untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan yang lebih baik.Konsultasi dengan dokter serta rekomendasi perjalanan dan kepastian selama dalam pesawat Kevin akan aman serta petugas yang akan mendampingi sudah ditentukan.“Kapan berangkat pih?” tanya Rara dengan suara bergetar menahan tangis.“Secepatnya, masih ada yang sedang kami urus.”“Saya ingin ikut.”“Kamu sadar dong Ra, kalau kamu ikut malah menyusahkan kami,” cetus Mihika dan Rara langsung menunduk menyusut air mata yang akhirnya luluh.“Mihika,” tegur Arka.Tentu saja Rara paham, dia akan menyusahkan kalau ikut serta. Bisa saja malah melahirkan di sana, karena tidak tahu selama berapa lama pengobatan akan dilakukan. Namun, Rara ingin tetap mendampingi dan ada saat Kevin membuka matanya.Bukan
Sudah lebih dari satu minggu Kevin mendapatkan perawatan di Singapura, Rara hanya mendapatkan kabar dari Arka. Tidak berani terus menerus menghubungi pria itu, hanya sesekali atau menunggu dikabari. Kondisi Rara tidak lebih baik, tidak bersemangat dan lemah.Kamila tidak bisa mensupport kakak iparnya karena sedang kurang sehat dan fokus pada kehamilannya juga. Hanya Ibu yang setia mendampingi dan terus menyemangati wanita itu.“Kita jalan-jalan, ke taman kompleks aja,” ajak Ibu pagi ini ketika menyibak tirai gorden dan membuka pintu balkon agar ada pertukaran udara.“Nanti aja Bu, aku masih ….”“Ra, kamu harus semangat. Jangan sampai kelelahan saat melahirkan nanti. Ibu tunggu di bawah, kita keluar kamu harus gerakan tubuh kamu.”Mau tidak mau Rara turun dari ranjangnya, membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan setelan maternity. Mengikuti keinginan Ibu yang juga kebutuhannya, berjalan menuju taman di tengah kompleks. Dengan perut yang sudah begitu membola, jalan sebentar pun me
“Ahhh.” Rara meringis sambil mengusap perutnya, sejak semalam beberapa kali merasakan sakit di bawah perut. Hal yang biasa dirasakan Ibu hamil trimester ketiga apalagi mendekati hari perkiraan lahir.Kontraksi palsu. Bedanya kontraksi yang dirasakan oleh Rara lumayan sering sejak tadi malam. Bahkan cukup membuat tidak nyaman dan tidak bisa tidur nyenyak.“Ra, sarapan dikamar saja ya.”“Jangan bu, bentar aku keluar. Ini masih agak kencang dan sesak.” Rara mengatur nafasnya, sesuai yang diajarkan di kelas hamil. dengan perut membola memang membuat nafasnya agak sesak.Ibu ikut duduk di samping Rara, mengusap perut di mana ada calon cucunya.“Sudah ada kabar dari mertuamu?”“Belum bu, sepertinya mereka sedang sibuk. Papi pasti kabari kalau ada kemajuan berarti, kalau aku hubungi terus malah nggak enak.”“Iya juga, jangan berhenti berharap dan berdoa ya.” Rara mengangguk pelan.Sedangkan di tempat berbeda, Kevin sudah membuka matanya. Meski masih dalam kondisi bingung dan belum bisa mengg
Kevin merasakan dilema dan memilih diam, tapi berusaha untuk semangat dan mengikuti terapi dan proses yang harus ditempuh agar kembali bugar. Tidak ingin berseteru dengan Maminya dan tetap membela Rara.Dia menganggap kalau ucapan sang Mami menyudutkan dan menyalahkan Rara, hanya karena rasa sayang seorang ibu pada putranya. Bukan karena ingin membuat dirinya dan Rara akhirnya berpisah. Meskipun kadang jengkel karena Mihika masih saja melarang dirinya menghubungi Rara.“Kamu boleh bertemu Rara kalau fisik kamu sudah pulih. Mami hampir gila melihat kondisi kamu kemarin Kevin, tidak berdaya dan tidak sadar.”Kevin menghela nafasnya. baru saja selesai dengan terapi otot dan syaraf agar tubuhnya kembali bugar dan bisa bergerak normal. Untuk luka dalam dan pendarahan yang pernah terjadi bahkan sampai dilakukan operasi, sudah dinyatakan aman.“Aku kangen Rara, Mih.”“Fokus saja pada penyembuhan kamu, Rara tahu kamu sudah lebih baik jadi dia tidak akan khawatir.”“Bayi kami, apa sudah lahir?
“Kevin.”Entah sudah berapa kali Mihika menegur Kevin yang melamun dan akhirnya tersadar. Hari ini perasaannya tidak tenang, wajah Rara selalu terbayang. Dalam benak Kevin memikirkan, apa mungkin istrinya akan melahirkan.“Kamu dengar Mami ‘kan?”Kevin hanya mengangguk lalu kembali berbaring dan menatap langit-langit kamar. Mihika kembali membuka suara, mengeluhkan dirinya yang hari ini tidak fokus saat terapi dan obat yang harus diminum pun disentuh.“Katanya mau cepat pulang, tapi semangat untuk sembuh low lagi.”“Aku ingin bicara dengan Rara Mih.”“KEvin, sabarlah dulu. Yang penting sekarang adalah kesehatan kamu. Ayo bangun, minum obatmu.”Kevin pun patuh, ingin segera pulih dan diperkenankan kembali ke Jakarta. Membujuk ibunya untuk menghubungi Rara tidak berhasil, ia pun berdalih ingin menghubungi bawahannya untuk mengetahui kondisi perusahaan.“Tidak usah khawatir, Papi kamu pulang salah satunya karena urusan ini.”“Kenapa aku merasa Mami sengaja menjauhkan aku dari Rara.”“Kam
“Mas, aku kok ragu ya.”“Ayolah, sesekali tidak masalah tinggalkan anak-anak. Ada Ibu dan Mamih, juga pengasuh mereka. Aku mau ditemani kamu, sekalian kita honeymoon. Kita belum pernah loh, tahu-tahu sudah punya anak dua.” Kevin memeluk Rara yang sempat terhenti mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa.Ada kegiatan di luar kota, kali ini Kevin mengajak Rara. Arka sendiri tidak masalah, begitu pun dengan Mihika. Kiya sedang berlibur di Surabaya, bersama eyang -- ibu Rara. Hanya Abimana dan Mihika tidak keberatan kalau bocah itu dititip bersamanya.Apalagi di kediaman Arka ada kedua anak Slamet dan Kamila, membuat Abimana tidak akan jenuh karena memiliki teman sebayanya.“Jangan bawa banyak pakaian, apalagi untuk malam. Aku lebih suka kamu tidak berpakaian,” bisik Kevin.“Masss.”“Aku tunggu di bawah ya, jangan kelamaan aku sudah lapar.”“Hm.”Saat Rara bergabung di meja makan, Kevin dan Abimana sudah siap di kursinya. Terlihat Kevin sedang menjelaskan kalau besok Rara dan dirinya a
Rara terjaga dari tidurnya. Menggeser pelan tangan Kevin yang memeluk pinggangnya lalu beranjak duduk dan bersandar pada headboard. Masih dengan suasana kamar yang cahayanya temaram, ia mengusap perut yang sudah sangat membola sambil mengatur nafas. Sudah beberapa malam merasakan sakit yang datang dan pergi, sepertinya kontraksi palsu. Namun, kali ini terasa lebih sering. Sedangkan hari perkiraan lahir bayinya masih minggu depan.“Ahhhh.” Rara mengerang pelan. Terdengar suara tangisan Kiya, meskipun ada Nani yang akan sigap sebagai Ibu tentu saja Kiya tidak tega. Beranjak pelan menuju kamar putrinya. Benar saja, Kiya sedang menenangkan putrinya.“Princess bunda kenapa nangis?”“Nda,” panggil Kiya sambil mengulurkan tangannya.Rara tersenyum lalu ikut naik ke ranjang Kiya yang saat ini berumur satu setengah tahun.“Bobo lagi ya, masih malam nih.”“Nda.”“Ssttt.” Rara memeluk Kiya dan menepuk bok0ng bocah itu dengan pelan. “Nani, tolong buatkan susu botol, mungkin dia haus.”Setelah me
Rara mendengarkan curhatan adik iparnya mengenai sang suami yang dituduh selingkuh. Sungguh hal yang jauh dari sikap seorang Slamet. Apalagi pria itu terlihat begitu menyayangi Kamila dan putra mereka. Begitu pun kesempatan untuk macam-macam, sepertinya tidak ada.“Aku yakin dia selingkuh kak.” Kamila menyimpulkan setelah dia menceritakan bagaimana sikap Slamet yang dianggap tidak setia. “Iya ‘kan?”“Hm, gimana ya,” gumam Rara.“Gimana apanya?”“Kamila, gini loh. Ketika suami macam-macam, biasanya istri akan merasakan dan melihat perubahan sikap dari sang suami. Misalnya jarang di rumah atau mulai acuh. Kalau aku lihat, Slamet nggak ada indikasi begitu. Lihat saja tuh, dia malah asyik main dengan Kai dan Kiya.”“Ya bisa aja pas di kantor. Aku curiga mungkin saja perempuan itu teman satu divisinya.”“Kamila, curiga boleh ….”“Kak, aku bukan curiga,” ujar Kamila menyela ucapan Rara.Rara kembali mendengarkan ocehan Kamila dan sesekali mengangguk. Saran darinya untuk memastikan kebenaran
Ada rasa bahagia saat dokter mengatakan kalau Rara sedang hamil dan gejala yang muncul sangat umum untuk awal kehamilan. Tanpa harus mengikuti program kehamilan, ternyata istrinya sudah lebih dulu mengandung. Namun, ada kekhawatiran melihat Rara tergolek lemah karena tidak sadarkan diri.Bahkan saat kehamilan Kiya, Kevin tidak tahu dan tidak mendampingi karena mereka terpisah semenjak ada masalah. Pun saat Kiya lahir, Kevin malah dalam proses pengobatan di Singapura.“Maaf sayang, kali ini aku pastikan akan mendampingi kamu. Apapun yang kamu rasakan kita jalani bersama,” bisik Kevin sambil mengusap kepala istrinya.Akhirnya Rara pun siuman dan terkejut dengan keberadaannya saat ini, bukan di kamarnya.“Mas ….”“Jangan memaksa bangun,” ujar Kevin menahan tubuh Rara agar tetap berbaring.“Aku kenapa Mas?”“Kamu sempat pingsan waktu kita mau pulang. Bukannya aku sudah bilang kalau kamu sakit jangan memaksa untuk ikut denganku.”“Hanya sakit kepala saja Mas. Ayo kita pulang, aku takut Kiy
Ucapan Mami Mihika mengenai dirinya kemungkinan hamil, membuat Rara resah. Kevin menyangkal karena sering memakai pengaman, meskipun kadang lupa. Sebenarnya tidak masalah walaupun ia hamil, toh Kiya sudah hampir satu tahun. Hanya saja rencana Kevin untuk program hamil tentu saja gagal.“Sayang, hei.” Tepukan di bahunya membuat Rara tersadar dari lamunan.“Ya.”“Are you okay?” tanya Kevin dengan mengernyitkan dahi. Rara hanya mengangguk pelan dan menyadari mobil sudah berhenti di … rumah mereka.“Sudah sampai?” tanyanya sambil melepas seatbelt.“Bahkan Kiya sudah duluan turun,” jawab Kevin. “Kamu yakin baik-baik saja?”“Aku baik sayang, hanya saja tadi aku melamun mungkin. Ayo turun!”Menjelang tidur, pikiran Rara masih terkait antara hamil dan tidak hamil. Untuk memastikan dia hanya perlu tespek atau ke dokter. Masalah datang bulan agak sulit menjadi dasar ukuran karena sejak melahirkan Kiya, periode bulanannya tidak teratur. Seperti bulan ini, yang belum datang juga.“Sayang, besok a
Banyak berkah dan kemudian menjadi istri dari Kevin Baskara, yang awalnya bukan tujuan Rara kini ia bersyukur dengan segala yang dirasakan. Seperti saat ini, pulang ke Surabaya menggunakan pesawat dengan pilihan kelas bisnis agar Kiya tetap nyaman. Bahkan ketika tiba di bandara, mobil yang memang disiapkan untuk kebutuhan Ibu sudah menjemput.Rumah peninggalan almarhum bapak tidak berubah hanya diperbaiki kalau ada kerusakan, tapi Kevin membeli kavling di sebelah rumah Ibu dan dibangun untuk ia tinggal ketika berkunjung ke sana. Mobil sudah berhenti di depan pagar, Ibu keluar dengan antusias.“Cucu Uti sudah datang, ayo sini gendong sama uti.”Kiya yang dalam perjalanan dipangku oleh pengasuhnya pun berpindah ke gendongan Ib, bahkan tergelak saat Ibu menciumi pipinya.“Ayo masuk, istirahat dulu. Kamu pasti pusing ‘kan turun dari pesawat,” ujar Ibu pada Rara.Rara menganggukan kepala setelah mencium tangan ibunya, lalu menuju rumah mereka. Pak Budi membawakan koper dan tas milik Rara d
“Halo Mas, aku baru sampai nih. Kita ketemu di kamar Kamila aja ya.”Rara baru saja tiba di rumah sakit dan sempat menghubungi suaminya, janjian untuk menjenguk bayi Kamila dan Slamet. Menggendong Kiya berjalan di sepanjang koridor rumah sakit. supirnya menawarkan mengantar, tapi ditolak oleh Rara.Tidak terlalu memperhatikan sekitar karena hanya fokus menuju kamar rawat Kamila sesuai petunjuk arah, ternyata ada seseorang yang mengekor langkahnya.“Kemana ya?” gumam Rara sedangkan Kiya berceloteh dalam gendongan. “Ah ke sebelah sana.”“Rara.”Langkah Rara terhenti, lalu menoleh ke arah suara.“Kamu … Rara ‘kan?”Seorang wanita berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Wanita yang pernah hadir dalam hidup Kevin, yang menjadi alasan kenapa harus ada kesepakatan pernikahan dengan Kevin. Vanya, wanita itu adalah Vanya.Tidak berubah, Vanya selalu berpenampilan seksi dan glamour. Begitupun saat ini. Sama halnya dengan Vanya yang memindai penampilan Rara dari kepala sampai kaki.“Iya, aku R
“Hey, baby girl. Ini ayah, kamu cantik seperti bunda.” Kevin seakan enggan lepas dan pisah dengan putrinya. Sejak tadi malam bayi itu bahkan tidak berada di box bayi, tapi tidur di antara kedua orang tuanya.Setelah tadi dimandikan, Kiya masih diajak bicara. Rara yang baru keluar dari wardrobe, melihat putrinya masih berada di atas ranjang bersama sang suami dan terus diciumi juga disentuh pipi dan hidungnya. Hanya bisa menggelengkan kepala dan memaklumi. Kevin mengatakan akan mengganti kealpaannya karena tidak bisa mendampingi Rara melahirkan dengan memberikan yang terbaik untuk istri dan anaknya.“Mas, jangan di ganggu terus. Harusnya dia sudah tidur.”“Dia masih betah denganku. Kapan dia besar dan bisa aku bawa ke kantor atau jalan-jalan ke mall.”“Ck, kapan kamu mandi?”“Nanti dulu Ra, aku masih kangen. Lihat, jariku tidak dilepaskannya.”Jemari Kiya mencengkram ibu jari Kevin dan bibir bayi itu terus mengecap seakan masih lapar dan mencari sumber kehidupannya. Rara menghampiri me
“Mas … Kevin.”Kevin tersenyum dan merentangkan tangannya memberi kesempatan pada Rara untuk datang ke dalam pelukan. Seakan tidak percaya kalau yang ada di hadapannya adalah Kevin, Rara malah meneteskan air mata.“Mas ….”“Kemarilah, apa kamu tidak rindu denganku?”Rara langsung menghambur ke dalam pelukan suaminya, memeluk erat membenamkan wajah di dada pria itu. Tubuhnya berguncang karena tangisan. Bukan hanya Rara yang begitu rindu, Kevin pun sama. Kedua tangannya mendekap erat tubuh sang istri bahkan berkali-kali mencium kepalanya.Sesaat dia menyadari kalau pelukannya sangat erat, tidak seperti sebelumnya yang selalu terhalang oleh perut Rara yang sedang hamil. Kevin mengurai pelukan dan menatap tubuh sang istri. Masih terlihat agak chubby dengan dada yang tampak membusung, tapi perutnya … tidak besar cenderung rata.“Rara, kamu sudah melahirkan?” tanya Kevin lirih.Rara masih dengan tangisnya hanya sanggup menganggukan kepala“Kamu melahirkan tanpa ada aku mendampingi?”Lagi-la