Part 27
Silvi menggenggam tangan mungil putranya, Viyo tertidur lelap, rasanya tak kuasa melihat sang buah hati terbaring di belangkar. Seraya menatap wajah Viyo Silvi teringat saat 3 tahun lalu melahirkan Viyo. Ingatannya menjalar, waktu itu ibunya -Bu Teti, menelpon katanya dia ingin bertemu di pasar pusat kota sekalian belanja. Silvi yang saat itu merasa bosan di rumah menemui ibunya aetelah sebelumnya nya meminta izin kepada Yogi, suaminya."Mas, Ibu nelpon katanya ingin ketemu, tapi nggak bisa ke rumah sini. Boleh ya aku temuin ibu?" pinta Silvi."Sore-sore gini? Kamu yakin?" tanya Yogi.Silvi mengangguk, ia yakin tidak akan ada apa-apa lagipula jarak pasar dengan jarak rumah itu dekat hanya sekitar 5 KM."Ya udah hati-hati ya! Jaga diri dan bayi dalam perutmu itu baik-baik," Jawab Yogi, seakan berat untuk mengizinkan istrinya itu.Silvi melangkah pergi menuju pasar menemui ibunya yang sedang belanja di sana. Bu Teti melepas rindu pada putPart 28Pertemuan Terindah"Alhamdulillah Wa syukurillah, terima kasih atas karuniaMu ya Allah," Ucap Silvi. Dia menatap tangis putranya yang baru lahir itu, meronta-ronta di atas dadanya, ada yang menetes di pelipis matanya, tangis haru menyambut sang buah hati. "Sungguh, ini pertemuan terindah dalam hidupku, ya Allah," Lirihnya meneteskan airmata. Entah apa yang sedang para dokter dan perawat lakukan pada dirinya saat ini, rasa sakit perut yang sedang di keruk di bersihkan seusai melahirkan tak terasa saat melihat putra mungilnya. Setelah selesai di tindak dokter memberinya gelang yang bernama kan Ibu Silvi, gelang yang sama juga dilingkarkan pada pergelangan bayinya dan diberi nama bayi Ibu Silvi. "Bayinya laki-laki ya, Bu," Ucap dokter. "Iya, dok," Jawab Silvi lemas. "Lihat, Bu, gelangnya cocok ya!" Ujar donter. Silvi mengangguk, kemudian Bayinya dibawa ke ruangan bayi. badannya yang masih lemas itu dibersihkan oleh para mahasiswa
Part 29Seorang ibu muda berada di ujung jauh dari belangkar Silvi, di pojok dekat dinding sedang ditindak oleh dokter, tapi kata-katanya sangat kasar mungkin sangat kesakitan hingga membuat dia mengaum dan menggonggong. Rasa sakit saat melahirkan memang luar biasa hingga membuat dia berkata kasar. Silvi merasa risih, ia bergumam sendiri, "Untung aku udah melahirkan, kalau nggak pasti deh aku panik, seperti wanita itu." Waktu menunjukkan pukul 4 sore Silvi belum juga dipertemukan dengan bayinya, ia masih terbaring di ruang tindakan persalinan. Sudah banyak yang ia lihat disaba, rasanya ia tidak ingin melihatnya lagi, akhirnya dia meminta tolong kepada seorang perawat. "Suster, boleh antarkan saya ke toilet kataku?" Pinta Silvi. "Oh, Ibu mau buang air?" Tanta suster itu. "Iya," jawab Silvi. Ia berdiri seperti yang sudah sehat saja, suster menatapnya dengan senyuman. "Kalau Ibu sudah bisa berdiri begini, Ibu sudah boleh pindah ke ruanga
Part 30"Dek," suara Yogi membuat Silvi terbangun dari lamunannya. Kenangan saat melahirkan Vio memang kenangan yang paling indah bagi Silvi. "Kok bisa kayak gini sih, Dek? Kamu pasti meleng, nggak hati-hati, kan?" Cerocos Yogi. Ada amarah yang tumpah dari wajah Yogi. "Sttt..., Vito lagi tidur, Mas, jangan kenceng-kenceng." Pinta Silvi. Telunjuknya ya sentuhkan di bibir tipisnya itu. Silvi meraih lengan suaminya dan mengajak Yogi keluar dari ruangan itu. "Kamu jadi ibu kok nggak becus jaga anak sih?" Yogi marah. Matanya melotot, seakan-akan ingin lompat saja. "Maaf Mas Aku udah hati-hati tapi lubang itu nggak kelihatan, lagi pula jalanan itu licin." Sanggah Silvi. "Alah, ngeles aja kamu," Cerca Yogi. Yogi segera masuk kembali ke ruangan Viyo, dia ingin memastikan keadaan putra satu-satunya itu. Tubuh kecil Viyo yang terbaring di belangkar rumah sakit itu ia Pandangi dari ujung kaki sampai ujung rambut. Yogi mengelus kaki
Part 31"Jangan suka berfikir yang nggak-nggak, Dek," Pinta Yogi. "Entah lah, Mas, mau gimana lagi? Sikap dan tingkah lakumu itu selalu membuatku curiga," Jawab Silvi.. Nada bicaranya kesal, matanya sedikit melotot. "Kamu tuh ya, di bilangin selalu... aja ada jawabnya." Timpal Yogi. Silvi merasa Yogi telah kembali pada wujud asalnya, selalu ketus kalau bicara dengan Silvi, tidak ingin kalah dalam berbicara. Namun kali ini Silvi tidak tinggal diam dia sudah memiliki keberanian untuk menjaga dirinya sendiri. Sesampainya di rumah Viyo dirawat secara intensif oleh ibunya sendiri, seminggu lamanya Silvi tidak masuk karena merawat putra semata wayangnya itu. ***Silvi menatap foto besar di dinding kamarnya, ya, foto pernikahannya dengan Yogi memang menjadi salah satu bukti bahwa pernah dicintai.Dia menatap wajah suaminya yang masih segar saat itu, seorang pemuda tampan yang masih cukup mudah. "Ah, betapa indahnya pertemuan pertama kita
Part 32Hari ini Silvi terpaksa harus berpuasa menahan hasrat biologisnya, meski fia seorang wanita, Silvi juga seorang manusia biasa yang ingin kebutuhan biologisnya terpenuhi. "Buat apa aku punya suami kalau dia tidak pernah menyentuhku? Jangan-jangan aku ini tidak dianggap sebagai istri," Terka Silvi. "Oh, ya Rabb, Sampai kapan aku harus begini?" Keluh Silvi. Saat itu adalah dua hari menjelang Idul Adha, Silvi berpuasa sunnah di bulan Dzulhijjah. Selain itu Silvi pun berharap dengan puasanya itu dia dapat menahan hasratnya kepada suaminya. "Hmmm, sangat ironi sekali seorang wanita yang bersuami harus berpuasa demi menahan hasratnya?" Bisik Silvi tersenyum sinis. Fajar menjelang, Silvi sudah selesai santap sahur untuk melaksanakan pyasa tanggal 9 Dzulhijjah, saat dia menengadahkan kedua tangannya usai melaksanakan salat subuh, Silvi berdo'a. "Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku kebenaran meskipun itu pahit, aku ikhlas menerimanya, jika aku h
Part 33Jangan Bilang-bilangPOV Yogi"Yog, aku tadi ketemu sama istri kamu di rumah sakit," Ucap Firman saat kami bertemu di lapangan. "Ngapain Silvi ke rumah sakit?" Tanyaku heran. "Entahlah, Tadi aku ketemu di depan ruangan dr.Suhaila sepertinya Silvi mau menemui dr.Mahesa yang ruangannya bersampingan dengan dr.Suhailah." Jawab Firman. "Terus, dia nanya kamu nggak?" Tanyaku penasaran. "Boro-boro, mukanya asem banget, jangankan nanya, senyum aja kagak." Jawab Firman. "Sorry ya, istriku kayaknya masih nyimpen dendam sama kamu," Jawabku. "Terlalu cinta itu namanya," Goda Firman. "Ya elah, mulai deh ah, kerja! Kerja!" Ajakku yang memang hari itu ada kunjungan klien di jam kerja. "Kita ke mana dulu nih," Tanya Firman. "Kita ke klien yang terdekat aja deh," Jawabku. "Oke, Ayo!" Ajak Firman. Sepanjang jalan kami tak banyak mengobrol, sudah agak lama sejak aku dipindahkan ke divisi lain aku jarang ngobrol dengan Firman. "Kamu apa kabarnya? Kamu betah ya di devisi yang baru?" Tany
Part 34 POV SilviAku diantar Vina ke rumah sakit, kesehatan kaki Viyo sudah berangsur baik, aku bersyukur saat di rumah sakit bertemu dengan pria kemayu itu, aku jadi tahu bahwa dia memiliki penyakit yang tidak ada obatnya sampai sekarang. "Udah, Vi?" Tanya Vina. Aku mengangguk, pandanganku kosong. Teringat saat dokter mengatakan bahwa si Firman itu mengidap penyakit HIV stadium 2, pikiranku melayang kepada suamiku jangan-jangan dia juga tertular virus itu. "Apakah benar penyakit yang selama ini ia sembunyikan itu adalah penyakit HIV?" Aku bertanya-tanya dalam hati. "Woy..., bengong aja," suara Vina mengagetkanku menyadarkanku dari lamunan tak berarti. "Eh, sory, ayo kita pulang!" Ajakku. "Ayo," Vina meng-iyakan. Aku dibonceng oleh Vina menggunakan motornya, temanku yang satu ini benar-benar tomboy, caranya mengendarai motor seperti Valentino Rossi saja sampai beberapa kali aku berpegangan erat karena laju motornya ngebut selip sa
Part 35Kenyataan PahitMata Yogi semakin melotot, tatapannya tajam menatap wajahku, sepertinya amarah dalam hatinya pun membuncah padaku."Kenapa? Heran kamu, Mas? Aku tahu segalanya tentang kamu, bahkan aku tahu nomor-nomor teman kerja kamu. Jangan kau kira aku ini diam saja, Mas. Aku bukan Silvi yang dulu." Jawabku mantap. Tatapannya mereda, sepertinya Yogi terpojok olehku. Dia berpaling dari pandanganku, aku melihat tangannya mengepal ada amarah yang ditahan dalam hati. "Ini, Mas, lihat sendiri!" Aku menyodorkan ponselku, ku perlihatkan screenshot dari percakapan kami beberapa saat lalu. "Mau ngeles apa lagi kamu, Mas? Kamu tinggal mengakui aja susah amat, bukti-bukti udah aku pegang, mau lihat bukti-bukti yang lain?" Ujarku panas. Aku membuka pintu lemari, kutarik laci di bagian tengah lemari itu, aku ambil beberapa lembar kertas hasil print-an dari status-status suamiku sendiri di media sosial. Sebagian besar status dan komen-komen
Bu Teti adalah seorang ibu yang penuh perhatian dan penyayang. Dia selalu hadir untuk mendukung putrinya, Silvi, dalam setiap langkah kehidupannya. Bu Teti memiliki peran penting dalam keluarga dan merupakan sumber kekuatan bagi Silvi."Suatu hari, ketika ayah?mu sedang menjalankan ibadah haji di tanah suci, dia berdo'a dengan tulus. ayahmu sangat mengharapkan yang terbaik untukmu, Nak. Salah satu harapan terbesar yang dia sampaikan dalam do'a itu adalah agar kau mendapatkan pasangan hidup yang setia dan jujur." tutur bu Teti. "Ayahmu merasa sangat sedih ketika mengetahui bahwa suamimu, Yogi, telah mengkhianatimu. Ia ingin kau menemukan seseorang yang benar-benar mencintai dan setia kepadamu. Dia berharap agar kau dapat hidup bahagia dan mendapatkan kebahagiaan sejati dalam pernikahan." lanjut bu Teti. "Ibu sangat memahami perasaan ayahmu dan merasa berempati terhadap perjuangannya di tanah suci. Dia berusaha untuk menjadi pendukung utama bagimu, Nak. Ia ingin memastikan bahwa putri
Silvi kini dipenuhi dengan kesedihan, menghadapi situasi duka yang sangat menyedihkan saat upacara pemakaman ayahnya berlangsung. Dalam suasana yang hening dan penuh duka, Silvi mencoba menahan air mata yang mengalir deras di pipinya. Rasa kehilangan yang mendalam dan kekosongan yang dirasakannya begitu menghantamnya, membuat hatinya hancur dan terasa sangat berat."Pak..., " jerit bu Teti. ia jatuh tak sadarkan diri. "Bu, bu," warga membantu tubuh bu Teti yang terjatuh lemas ke tanah. Bu Teti, juga berada dalam keadaan yang sangat rapuh. Saat jasad suaminya disemayamkan dalam liang lahat terakhir, ia tidak mampu menahan emosi yang membanjiri dirinya. Beban kesedihan yang begitu besar membuatnya pingsan tak lama setelah upacara dimulai. Keadaan ini semakin memperdalam kepedihan Silvi dan menggambarkan betapa besar kehilangan yang dirasakan oleh keluarga mereka.Saat jasad pak Rahmat dimasukkan ke dalam liang lahat, suasana menjadi semakin hening. Suara tangis pecah dari antara kerab
Silvi, seorang ibu yang penuh kasih, kini mengalami perubahan drastis dalam sikap dan kehati-hatiannya sejak kasus penculikan terhadap putrinya, Zahra, beberapa hari yang lalu. Kejadian tragis ini telah mengguncang kehidupan Silvi secara mendalam membangkitkan rasa takut dan kekhawatiran yang mendalam dalam dirinya.Sebelum kasus penculikan terjadi, Silvi mungkin memiliki kehidupan yang relatif normal seperti ibu-ibu lainnya. Namun, setelah insiden tersebut, semua perhatiannya sepenuhnya tertuju pada Zahra. Ia tidak pernah melepaskan pandangannya dari putrinya yang berusia 7 bulan tersebut, khawatir bahwa bahaya mungkin mengancamnya kapan saja."Wanita itu berbahaya, aku tidak akan membiarkan dia menyakiti anak-anaku.Silvi tidak lagi merasa aman dalam lingkungan sekitarnya. Setiap gerakan, suara, atau kehadiran orang asing menjadi fokus perhatiannya. Ia berusaha melindungi Zahra dan Viyo dengan segala cara yang ia bisa, memastikan keamanan putra putrinya menjadi prioritas utama dalam
Silvi kini penuh kekhawatiran dan kecemasan, ia merasa curiga pada Zena, seorang teman lama yang diyakininya telah menculik putrinya, Zahra. Curiga tersebut timbul karena ada beberapa kejadian yang mencurigakan dan petunjuk yang mengarah pada Zena. Meskipun saat kejadian tidak memiliki bukti yang konkrit, Silvi merasa yakin bahwa Zena adalah dalang di balik hilangnya Zahra.Kelegaan dan syukur memenuhi hati Silvi saat mengetahui bahwa Zahra, yang pada saat itu berusia 7 bulan, berhasil diselamatkan dan tidak terluka. Namun, rasa marah dan kebingungan tak terhindarkan saat mengetahui alasan di balik perbuatan Zena."Kenapa, ya, Zena tega melakukan ini pada putriku?" tanya Silvi termenung. sore itu Azam sudah pulang dan baru selesai mandi. "Maafkan aku, Vi," ucap Azam. "Maaf untuk apa, Mas?" tanya Silvi heran. Azam, suami Silvi, mengungkapkan kepada Silvi bahwa Zena melakukan perbuatan tersebut karena dendam yang tak terungkap. Azam menceritakan bahwa Zena sebenarnya telah mencintai
Zena adalah seorang wanita yang memiliki dendam pada Azam karena telah menolak cintanya dulu sebelum menikahi Silvi ia berniat buruk dan melakukan penculikan terhadap Zahra, seorang bayi berusia 7 bulan. "Awas kalian, aku pasti akan menghancurkan rumah tangga kalian! Aku tidak akan membiarkan kalian hidup bahagia! " bisik Zena yang sedang memata-matai keluarga Azam. Kejadian itu terjadi di taman yang terletak dekat komplek perumahan, saat itu Silvi sedang pergi ke toilet. Pada saat itu, Zahra seharusnya dijaga oleh ayahnya, Azam, Namun, dalam kejadian yang tidak terduga, Azam malah berlari mendekati Viyo yang sedang bermain bola. Keadaan ini memberikan kesempatan kepada Zena untuk menculik Zahra tanpa diketahui. Dengan niat buruk yang dimilikinya, Zena mengambil kesempatan ini untuk melaksanakan rencananya.Zena melarikan diri dari taman dengan Zahra dalam pelukannya, menjauh dari area perumahan. Tujuan Zena dalam menculik Zahra adalah agar Azam dan Silvi bersedih, dapat disimpulk
Beberapa bulan kemudian saat usia Zahra sudah menginjak 7 bulan semua curahan kasih sayang tertumpah kan pada cucu ke dua Bu Teti ini, kakeknya Pak Rahmat sangat menyayangi cucunya terutama Zahra yang saat ini sedang lucu-lucunya. "Cucu abah cantik banget," ucap Pak Rahmat, "Siapa dulu dong, neneknya," balas bu Teti centil. "Ciluuuk..., baaa...," pak Rahmat sedang asyik bermain dengan Zahra. tiba-tiba Silvi datang menghampiri Pak Rahmat dan bu Teti. "Bu, aku pamit ya," ucap Silvi. "Lho... emang kamu mau kemana, Nak?" tanya bu Teti kaget. "Ini, mama Rohimah pengen ketemu Zahra, aku nggak lama kok, paling cuman 3 hari. mumpung sekolah Viyo lagi libur. mas Azam juga lagi libur." pinta Silvi. "Yah, cucu nenek yang cakep ini bakalan pisah sama nenek, pasti nenek bakalan kangen sama kamu." ucap Bu Teti gemas sambil memeluk cucunya. "Pergilah, Nak, bu Rohimah kan juga neneknya Zahra, sudah pasti ia juga rindu sama cucunya." kata pak Rahmat mengerti. "Makasi, Ayah." ucap Silvi sambi
Azam merasakan kebahagiaan yang tak terkatakan saat ia berjumpa dengan putri pertamanya yang baru lahir. Detik-detik tersebut memancarkan kehangatan dan cahaya dalam hati Azam, memberikan perasaan penuh kasih sayang dan kegembiraan yang meluap-luap.Ketika Azam mengadzani putrinya, air mata haru mengalir di pipinya. Setiap tetesan air mata itu merupakan ungkapan perasaan campur aduk dalam hati Azam yang begitu mendalam. Air mata tersebut adalah bukti dari kekuatan emosi yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.Azam merasa sangat berterima kasih kepada Silvi, ibu dari putrinya, karena telah memberikan kehidupan baru yang tak ternilai harganya. Ia merasakan rasa syukur yang tak terbatas atas hadirnya sang putri, karena kehadirannya memberikan kehidupan baru yang penuh makna bagi Azam."Terimakasih, sayang," ucap Azam seraya mengecup kening istrinya. tangannya menggenggam tangan istrinya yang masih lemas terbaring di rumah sakit. Silvi tersenyum, dia bahagia bisa memberikan kebahag
Silvi termenung sebelum pergi tidur, kehamilannya sudah memasuki usia hampir 9 bulan, ia merasa bayi dalam perutnya aktif, lama kelamaan merasakan kontraksi yang mengguncang perutnya. Tanda-tanda persalinan sudah jelas terlihat, dan waktunya untuk melahirkan semakin dekat. Namun, suaminya, Azam, sedang berada di luar kota karena pekerjaan yang tidak dapat dihindari.Dalam situasi ini, Silvi tidak merasa sendirian. Ia didampingi oleh ayah dan ibunya yang dengan segera mengambil tindakan. Meskipun hari sudah larut malam dan ada mitos yang mengatakan bahwa seorang ibu hamil tidak boleh keluar di malam hari, mereka memutuskan untuk segera pergi ke bidan terdekat.Keputusan ini dibuat demi keselamatan calon cucu mereka. Mereka menyadari bahwa mitos itu hanya cerita tanpa dasar ilmiah, dan yang terpenting adalah memastikan bahwa Silvi mendapatkan perawatan medis yang dibutuhkannya saat ini. Mereka tidak ingin mengambil risiko dengan menunda perjalanan ke bidan hanya karena kepercayaan tak b
Part 133Setelah meninggalkan toilet, Silvi dan Azam merasakan kelegaan saat tiba di kamar mereka. Mereka dapat merasakan betapa amannya lingkungan di sekitar mereka ketika aura mistis yang menyeramkan perlahan mulai memudar dan menghilang.Silvi, seorang wanita yang berambut panjang dan mata cerah, merasa dadanya menjadi lebih lega. Dia bisa bernapas dengan tenang, merasa bahwa ancaman yang terasa di toilet tadi telah ditinggalkannya jauh di belakang. Setiap langkah yang diambilnya kini terasa ringan, tanpa rasa takut yang menghantui.Sementara itu, Azam, seorang pria bertubuh tegap dengan senyum lebar, juga merasakan perubahan suasana yang sama di sekitarnya. Dia merasa ketegangan yang sebelumnya meliputi setiap serat ototnya perlahan-lahan mengendur. Pikirannya menjadi lebih jernih, dan ia dapat merasakan kembali kehangatan dan kenyamanan di dalam kamar.Saat mereka duduk di tempat tidur, Silvi dan Azam saling pandang dengan lega. Mereka tahu bahwa mereka telah melalui pengalaman y