"Mending kita chat dulu buat perjanjian. Kan orang sibuk kayak Capa," ucap Salma. Fariz gemas sekali mendengar ucapannya. Akhir-akhir itu kemanjaan Salma mulai meningkat. Sampai ingin lebih sedikit lagi waktu Fariz untuk di kantor, dan lebih dibanyakkan bersamanya. "Masih kurang jarah bersama kamunya?" gems Fariz yang menjawil pipinya dengan olesan buah naga. Tawa Hunaisa pun semakin kerasa mengetahui wajah Fsy yang ikut cemot. Orang tua Fariz hanya bisa mengikuti tawa Hunaisa. Sangat bahagia, sampai bingung mau berkata apa. Kebahagiaan dalam rumah tangga tentu menjadi sebuah hal yang diinginkan. Jalan mereka di setiap rumah tangganya pun berbeda-beda. Ada yang melalui jalur A tercipta sebuah kedamaian. Ada yang memakai jalur B bisa sampai kenyamanan. Ada pula yang pakai jalur C supaya tercipta keromantisan. Setiap rumah tangga pasti punya pegangan masing-masing. Itulah rumah tangga yang baik. Memiliki arah an tujuan tratur secara rapi dalam pernikahannya. Namun, kenapa per
"Yaaaa … Cap, kita keluar dulu, Cama mau bicara. Tolong yang lain bersihkan ruangan suami saya." Salma menarik tangan suaminya untuk keluar.Salma tahu, bahwa suaminya itu sangat sulit mengontrol emosi nya di saat seperti itu. Sepanjang jalan, Salma terus menggandeng tangan suaminya. Karena waktu juga siang, Salma mengajak Fariz untuk ke, restorannya Fariz dulu, sembari menenangkan pikiran."Capa, kita ke restoran Capa dulu," ucap Salma."Gak! Kamu tahu pikiran aku lagi kacau, Sayang. Tidak mungkin mau makan," ucap Fariz membuat Salma melongo, tumben tidak ingat istrinya yang juga sebenarnya waktunya makan.Salma masih tetap memandang kedua mata Fariz. Ia terdiam, menunggu kelanj
"Eaaa … mulai merajuk!" goda Fariz. Wajah Salma begitu menggemaskan, meskipun ia sudah berusia dua puluh tahun. Apalagi saat merajuk, wajahnya malah semakin lucu membuat suaminya selalu senang menggodanya. Salma terus saja mencebikkan bibirnya. "Tarik … senyum, kamu ingin apa gitu nggak sekarang," ucap Fariz. Salma masih terdiam. "Oooh, Capa tahu. Pasti kamu suka Capa bantu bersihin make upnya. Sebentar, Capa ambil dulu kapas dan kawan-kawannya." Fariz turun lagi dari ranjangnya. Namun, Fariz tidak menemukan pembersihnya Salma. Biasanya juga terpampang jelas di samping depan cermin. Salma masih tetap terdiam, menunggu kepekaan yang ia inginkan. "Cama, kok nggak ada? Kamu taruh mana?" tanya Fariz. Salma juga masih terdiam. "Sayang, kenapa jadi diam sih?" Sekalian mengerjai suaminya.Sakma melanjutkan diamnya dan langsung tertidur. Ya, meskipun dia memang kesal, tetapi, setelah muncul ide iseng, dia sudah tertawa dalam hatinya. "Yaaah … gak seru! Masa tidur tanpa persiapan, Capa
"Apa?" tanya Salma sambil terus dipegang tangannya oleh Fariz. "Namun, tidak mungkin aku membiarkanmu sakit. Capa ambil obat dulu," ucap Fariz. "Wait, memangnya Capa sudah paham dengan apa yang Cama katakan?" "Paham, dong. Maaf, Pura-pura aja tadi, wkwk …" tawa Fariz seraya mengecup kening istrinya. Perhatian suami itu sangat diinginkan oleh sang istri. Sikap manisnya, tentu membawa energi Salma menjadi lebih baik lagi. Hubungan mereka bisa semakin baik, meskipun dunia pekerjaan yang sedang tidak baik-baik saja. Fariz ini sudah sangat hebat. Entah yang memandang Salma, para karyawan apalagi orang tuanya. Orang tua yang tahu Fariz dari kecil sampai saat ini bagaimana sikapnya. Betapa ngenes sikap Fariz, di kala cintanya kandas dengan Clarissa. Sebenarnya Salma itu ingin menghargai suaminya. Ia paham, bahwasannya kenangan di jamannya dengan Clarissa itu memang dalam. Flashback "Sayang, kalau Fariz masih teringat dengan masa lalunya, kamu yang sabar ya," ucap Reva. "Iya, Mi. Insy
"Ya Allah … Cama … udah Capa bilang kan, kita ke dokter sekarang," ucap Fariz menangkap tubuh Salma yang hampir saja kejedot meja. "Sorry Cap. Cama malas ke rumah sakit, tidur ajalah. Cama tuh cuma mau pakaikan dasi ini tadi, sini Cama Pakaikan." Fariz pun duduk dan di bawah istrinya untuk menutupi apa yang istrinya mau. Masih sakit pun, dia selalu membuat Fariz terenyuh dengan sikapnya. Sayangnya, Fariz harus beribu kali membujuk supaya istrinya mau diajak ke dokter. "Thanks … kita ke dokter, Sayang," bujuk Fariz. "Ribet," jawab Salma yang malah menarik selimutnya. *** "Kamu lelah ya," tanya Fariz sembari mengusap-usap punggung Salma karena antri yang sangat lama. "Iya! Makanya aku bilang, aku malas ke rumah sakit, pulang aja yuk!" rengek Salma. "Loh, gak boleh begitu dong, Sayangku. Sini nyandar ke Capa." Fariz menadahkan tangannya untuk Salma sandari.Nyatanya, menunggu antrian itu memang butuh kesabaran. Ia perhatikan, Salma memang sangat bosan. Dia yang cerewet, tidak ada
"Cap, dadaku sakit." Salma merintih, seraya memegangi dadanya. "Ya Tuhan, kamu kok jadi dada juga yang sakit. Kita kembali ke rumah sakit pakai kursi roda aja!" pinta Fariz. "Maafin Cama, banyak merepotkan," jawab Salma. "Cama ... kamu harus segera sembuh, tidak perlu meminta maaf, sudah pasti ini bukan hal yang merepotkan." "Cap, semakin sakit." Fariz pun ikut menaruh telapak tangannya itu pada dada istrinya. Dengan kekuatan batin dan cintanya, Fariz harap bisa memberi sedikit pereda sakitnya. Fariz memanggil satpam dan memintanya untuk mengambilkan kursi roda. "Tapi boong," ucap Salma tersenyum. "Heh? Kamu jangan bercanda yang seperti ini, Astagfirullaah ... Cama Sayang, syukurlah kalau hanya bercanda," Fariz menghela napas lega. Namun, wajah istrinya itu menjadi pucat setelah senyumnya terulas bersama Fariz. Tentu, Fariz menjadi lebih khawatir lagi, karena bibir pucat kan tidak bisa dibohongi. "Cap, Cama lemas." Salma langsung pingsan ke pangkuan Fariz. "Cam ...
"Bakat," jawab Salma. "Iya, bakat apa?" tanya Fariz. "Bakat bikin istrinya terbang," jawab Salma. "Hahaha … itu harus dong, biar istrinya seneng. Menyenangkan istri kan, tentu hal baik," jawab Fariz. "Ya liat-liat, kalah menyenangkannya ke arah keburukan, dengan cara yang salah, tentu bukan hal baik," jelas Salma. "Tapi kan, yang Capa lakukan itu hal baik, Sayang." Fariz tidak Terima kalau dicap bukan hal baik. Salma hanya tersenyum, kemudian memeluk suaminya. Ia mengucapkan terima kasih kasihnya lagi, tanpa ada kata bosan. Semua yang dilakukan Fariz memang sangat membuat Salma bahagia. "Is the best," ucap Salma seraya memeluk suaminya. "Yaaa … kamu itu," "Aku kenapa?" tanya Salma dengan manja. "Dalam perspektif kamusku, kamu itu berada pada titik paling atas, dengan cahaya terang. Tidak ada yang mengalahkan cahayamu. Selama napas Capa ini masih bisa kau rasa, selama itu pula dunia ikut menyaksikanku, tentang seberapa besar mulianya dirimu dalam kamusku." Fariz mena
"Mmm …" Fariz bingung menjelaskan."Kenapa diam? Gak bisa jawab karena, rahasia besar? Ya udah," rajuk Salma."Bukan begitu, Cama. Kamu minum obat dulu," ucap Fariz seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lovenya.Salma menerima dengan baik perhatian dari suaminya meskipun ia memang sedang kecewa dengan sikapnya bersama Reca. Namanya juga lagi jeles, pasti malas rasanya untuk ngobrol dan bersenda gurau."Cam, aku mau masakin khusus untk Cama nih. Mau dimasakin apa?" tanya Fariz.Salma tidak menggubris ucapan suaminya. Ia membelakanginya sambil melihat sosmed. Fariz berusaha untuk tetap menatap wajahnya istrinya biar dia berhenti jeles."Ehmmm … entar Capa beritahu, tapi ada syaratnya," ujar Fariz."Syarat apaan?" tanya Salma."Kamu gak boleh sedih," jawa
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka