"Mmm …" Fariz bingung menjelaskan."Kenapa diam? Gak bisa jawab karena, rahasia besar? Ya udah," rajuk Salma."Bukan begitu, Cama. Kamu minum obat dulu," ucap Fariz seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lovenya.Salma menerima dengan baik perhatian dari suaminya meskipun ia memang sedang kecewa dengan sikapnya bersama Reca. Namanya juga lagi jeles, pasti malas rasanya untuk ngobrol dan bersenda gurau."Cam, aku mau masakin khusus untk Cama nih. Mau dimasakin apa?" tanya Fariz.Salma tidak menggubris ucapan suaminya. Ia membelakanginya sambil melihat sosmed. Fariz berusaha untuk tetap menatap wajahnya istrinya biar dia berhenti jeles."Ehmmm … entar Capa beritahu, tapi ada syaratnya," ujar Fariz."Syarat apaan?" tanya Salma."Kamu gak boleh sedih," jawa
"Ikut aja ya," pinta Salma. "Kamu kok ngeyel, udah di kamar aja," ucap Fariz. "Huuuuhhhhh," kesal Salma. Fariz kembali menghampiri istrinya lagi. Sakit-sakit juga tetap bersikeras ingin membantu mertuanya memasak. Tentu Fariz tidak mengizinkan hal tersebut. *** "Sayang, jangan terlalu banyak aktivitas dulu ya di kampus, kamu kan baru sembuh," ucap Fariz. "Siap Capa," jawab Salma. Mereka berada di luar mobil depan kampus. Kebetulan, Clarissa lewat di situ. Setelah banyak titik diteliti oleh para orang kepercayaan Fariz, ternyata Clarissa bersengkokol dengan orang dalam. Tidak lain adalah OBnya. Dari kemarin dan kemarin mereka mencoba menghubungi Clarissa. Namun, tidak juga ada kabar. Fariz masih menjaga amarahnya kalau harus mendatangi rumahnya, karena dia juga putri pemilik perusahaan rekan Fariz. OB tersebut akhirnya jujur mengenai hal tersebut. Fariz menatap geram ke arah Clarissa. Tentang CCTV dan rangkaian hal tersebut, itu tujuan Clarissa untuk meneror Fariz sebe
"Cama, duduk dulu," ucap Fariz sembari mendudukkan istrinya. "Duduk juga, Cla," tambah Fariz. "Cama, maksud Capa sayang itu, bukan kok sayang mencintainya. Capa terap sayang karena Clarissa pernah memberi kebahagiaan Capa di masa lalu. Capa, sayang sebagai bentuk perikemanusiaan." "Cinta yang disembunyikan selama ini. Ini bukan lagi Capa yang disuruh mami untuk aku maklumin, jika Capa sekedar teringat masa lalu. Ini apa? Ini namanya membuka kulkas masa lalu." Salma berdiri dan langsung berjalan, tetapi malah kena bentakan Fariz. "Ini semua gara-gara kamu, Cla!" bentak Fariz. "Cama? Berhenti! Aku tidak suka kamu seperti ini! Sedikit saja tidak ada kedewasaannya! Terus saja berjalan dan temui laki-laki lain!" bentak Fariz lagi, kini ganti ke istrinya. Sejatinya, Fariz itu memang sudah tidak mencintai Clarissa. Hanya, rasa kasih sayang sebagai orang yang pernah ada untuknya itu tentu membuatnya tetap sayang kepadanya. Ia juga menyesal, kenapa kata sayang yang keluar dari mulutnya sa
"Masih pagi, aku cuma nata ini doang, terus, mau masuk. Malaslah, kalau ketemu tetangga yang seperti waktu itu," ucap Salma terdiam sejenak. "Bertemu mama? Boleh aja, kok. Memangnya mau bahas apa? Kok seperti serius gitu?" tanya Salma. "Ada deh. Capa mau minta maaf udah bikin putrinya mama menangis." Fariz dan Salma bergandengan tangan untuk ke depan. Mereka menemui Risa dan semua keluarga Salma yang sibuk di dapur. Antusias Asma tidak kalah cepat. Ia langsung menyambut datangnya Fariz dengan teriakan menggelegar. "Om Fariz!" teriak Asma sembari menghampirinya. "Hallo, Sayang, udah cantik aja nih pakai seragam," sapa Fariz. Mami Risa dan yang lain hanya bisa ketawa melihat kedatangan Fariz. Karena belum juga tujuh hari, mereka sudah bertemu saja. Fariz langsung bersalaman dengan mertua dan kakaknya Salma. "Ma, maaf. Udah bikin putri Mama nangis," ucap Fariz. "Maaf Pa, maaf Kak," lanjut Fariz. "Iya, Nak. Jangan diulang, ya. Jadinya kan kalian berdua yang menahan rindu, hahaha …
Asma masih terdiam. Terlihat masih mencerna, permen pil? Setelah beberapa detik pun Asma mengiyakan. Fariz melambaikan tanga, kemudian pedagangnya, berjalan ke arah Salma, Fariz dan Asma. Melihat permen itu, mengingat kan masa kecil Salma dan Fariz. Orang tua mereka sering juga mengajak mereka ke acara pengajian dan dibelikan permen pil tersebut. "Belum lama kamu ingatin masa selewengan aku, Cam. Sekarang, jadi teringat masa bocil makan permen ini, Cama juga mau?" tanya Fariz. "Hahaha … Cama juga keinget, mau dong tapi dimakan entar aja di rumah," tawa Salma. *** 'Dalam udara, aku seperti tetap bisa memandangmu di awan itu. Pertama kali meninggalkanmu dalam jarak jauh, mana ada kata rindu tidak menghampiri? Seluruh jiwaku bergetar, batinku menjerit, ragaku meraung, ingin ada kehadiranmu duduk di sampingku. Bertahan dan menahan! Ya … itulah kalimat tajam yang harus terpaku untuk pejuang rindu.' Sangat lesu rasanya. Fariz terus memandang awan luar dari jendela pesawat. Ia berangkat
Janji suci Terlontar dalam rantaian penuh arti Aku menggali Penuh rasa percaya diri Menjadikanku sandaranmu Serta menjadi bahumu Lukisan indah mulai ketemu Dalam garis yang telah bersatu Duniaku begitu terang Saat mengenalmu dalam masa terkenang Kesuraman tersingkir bak perubahan arang Menjadikanku tahu akan pandang Cintaku Ku ukir semua dalam naungan qolbu Mengucap qobiltu Untuk merakit kebersamaan diiringi restu Janganlah kau meragu Jika mulut lupa akan ucapan manis Bukan berarti aku ingin membuatmu menangis Jika waktu membawa kita pada kejauhan Bukan berarti aku tidak merindukan Kau wanita terbaik untukku Tetaplah berdiri saat sandaranmu tidak bersamamu Tetaplah kuat di kala aku membuatmu sayu Capa, Cama … denyut malam tidak akan mengkhianati kita dalam selimut salju Itu puisi Fariz untuk Salma. Namun, kenapa puisi tersebut ditulis ulang oleh Salma? Ternyata, Salma menggabungkan dengan puisi miliknya. Fariz terharu membaca ulangnya. Itu baru puisinya dia se
"Nggak tahu di luar kamar. Cama lihat dulu," ucap Salma. Salma keluar dari kamar dan tetap menyalakan ponselnya. Suara jatuhan tadi adalah suara ulah dari putri kecil mereka. Hunaisa membawa satu gelas minuman coklat favorit Salma yang dibuatkan oleh omanya. Reva tidak menyuruh Hunaisa. Namun, dia ingin menafsirkan ke Salma saat Reva masih ke kamar mandi. Alhasil, tumpah di depan kamar Salma saat akan membuka pintu. "Huwaaaaaa … Ummah, maaf." Kata Hunaisa dengan tangisan dan tercyduk lemas di lantai. "Ya Allah, Sayang … sini-sini." Salma menggendong Hunaisa menyingkir dari pecahan gelas. "Ini mau buat Ummah, iya?" tanya lembut Salma. "Iyaaaa … huwaaaaa … tapi tapi, jatuh," jawab Hunaisa. "Masya Allah, niatnya baik ya Sayang. Ummah ucapin Terima kasih udah dibawain minumannya untuk Ummah. Ndak apa-apa kok terjatuh, entar bisa bikin lagi. Diam duku nangisnya, Nais di kamar, Ummah mau beresin dulu. Lain kali, kalau Nais bawa pakai tangan atom ya, minta ke oma," ucap Salma. "Anak D
"Nais mau itu, donat," jawab Naisa. "Kok donat? Mau makanan?" tanya Salma. "Bukan, itu yang macam-macam," jawab Naisa. Salma baru paham, yang dimaksud putrinya itu adalah mainan masak-masakan. Awalnya Salma berpikir yang dimaksud itu donat susun. Namun, langsung teringat beberapa hari yang lalu, Nais memang minta masak-masakan yang ada aneka ragam makanan, seperti salah satunya donat. "Oh, masak-masakan?" tanya Salma. "Yes," jawab Naisa. Hunaisa tidak suka beli dengan online. Dia pengennya datang langsung ke toko. Sangat hobi juga bercengkrama dengan kasirnya. Salma memandang Hunaisa dengan wajahnya senangnya. Ia ikut tersenyum bahagia, melihat Hunaisa juga bahagia. Hunaisa itu anaknya sangat membuat Salma terharu. Masih kecil, tapi dia itu ketara banget baiknya. Perhatiannya dengan Salma juga sangat dalam. Kalau melihat Hunaisa duduk di kursi mobil dengan tubuh mungil dan senyumnya yang tidak lari, ia jadi merasa seperti suaminya hadir di situ. Biasanya Hunaisa duduk