"Apa?" tanya Salma sambil terus dipegang tangannya oleh Fariz. "Namun, tidak mungkin aku membiarkanmu sakit. Capa ambil obat dulu," ucap Fariz. "Wait, memangnya Capa sudah paham dengan apa yang Cama katakan?" "Paham, dong. Maaf, Pura-pura aja tadi, wkwk …" tawa Fariz seraya mengecup kening istrinya. Perhatian suami itu sangat diinginkan oleh sang istri. Sikap manisnya, tentu membawa energi Salma menjadi lebih baik lagi. Hubungan mereka bisa semakin baik, meskipun dunia pekerjaan yang sedang tidak baik-baik saja. Fariz ini sudah sangat hebat. Entah yang memandang Salma, para karyawan apalagi orang tuanya. Orang tua yang tahu Fariz dari kecil sampai saat ini bagaimana sikapnya. Betapa ngenes sikap Fariz, di kala cintanya kandas dengan Clarissa. Sebenarnya Salma itu ingin menghargai suaminya. Ia paham, bahwasannya kenangan di jamannya dengan Clarissa itu memang dalam. Flashback "Sayang, kalau Fariz masih teringat dengan masa lalunya, kamu yang sabar ya," ucap Reva. "Iya, Mi. Insy
"Ya Allah … Cama … udah Capa bilang kan, kita ke dokter sekarang," ucap Fariz menangkap tubuh Salma yang hampir saja kejedot meja. "Sorry Cap. Cama malas ke rumah sakit, tidur ajalah. Cama tuh cuma mau pakaikan dasi ini tadi, sini Cama Pakaikan." Fariz pun duduk dan di bawah istrinya untuk menutupi apa yang istrinya mau. Masih sakit pun, dia selalu membuat Fariz terenyuh dengan sikapnya. Sayangnya, Fariz harus beribu kali membujuk supaya istrinya mau diajak ke dokter. "Thanks … kita ke dokter, Sayang," bujuk Fariz. "Ribet," jawab Salma yang malah menarik selimutnya. *** "Kamu lelah ya," tanya Fariz sembari mengusap-usap punggung Salma karena antri yang sangat lama. "Iya! Makanya aku bilang, aku malas ke rumah sakit, pulang aja yuk!" rengek Salma. "Loh, gak boleh begitu dong, Sayangku. Sini nyandar ke Capa." Fariz menadahkan tangannya untuk Salma sandari.Nyatanya, menunggu antrian itu memang butuh kesabaran. Ia perhatikan, Salma memang sangat bosan. Dia yang cerewet, tidak ada
"Cap, dadaku sakit." Salma merintih, seraya memegangi dadanya. "Ya Tuhan, kamu kok jadi dada juga yang sakit. Kita kembali ke rumah sakit pakai kursi roda aja!" pinta Fariz. "Maafin Cama, banyak merepotkan," jawab Salma. "Cama ... kamu harus segera sembuh, tidak perlu meminta maaf, sudah pasti ini bukan hal yang merepotkan." "Cap, semakin sakit." Fariz pun ikut menaruh telapak tangannya itu pada dada istrinya. Dengan kekuatan batin dan cintanya, Fariz harap bisa memberi sedikit pereda sakitnya. Fariz memanggil satpam dan memintanya untuk mengambilkan kursi roda. "Tapi boong," ucap Salma tersenyum. "Heh? Kamu jangan bercanda yang seperti ini, Astagfirullaah ... Cama Sayang, syukurlah kalau hanya bercanda," Fariz menghela napas lega. Namun, wajah istrinya itu menjadi pucat setelah senyumnya terulas bersama Fariz. Tentu, Fariz menjadi lebih khawatir lagi, karena bibir pucat kan tidak bisa dibohongi. "Cap, Cama lemas." Salma langsung pingsan ke pangkuan Fariz. "Cam ...
"Bakat," jawab Salma. "Iya, bakat apa?" tanya Fariz. "Bakat bikin istrinya terbang," jawab Salma. "Hahaha … itu harus dong, biar istrinya seneng. Menyenangkan istri kan, tentu hal baik," jawab Fariz. "Ya liat-liat, kalah menyenangkannya ke arah keburukan, dengan cara yang salah, tentu bukan hal baik," jelas Salma. "Tapi kan, yang Capa lakukan itu hal baik, Sayang." Fariz tidak Terima kalau dicap bukan hal baik. Salma hanya tersenyum, kemudian memeluk suaminya. Ia mengucapkan terima kasih kasihnya lagi, tanpa ada kata bosan. Semua yang dilakukan Fariz memang sangat membuat Salma bahagia. "Is the best," ucap Salma seraya memeluk suaminya. "Yaaa … kamu itu," "Aku kenapa?" tanya Salma dengan manja. "Dalam perspektif kamusku, kamu itu berada pada titik paling atas, dengan cahaya terang. Tidak ada yang mengalahkan cahayamu. Selama napas Capa ini masih bisa kau rasa, selama itu pula dunia ikut menyaksikanku, tentang seberapa besar mulianya dirimu dalam kamusku." Fariz mena
"Mmm …" Fariz bingung menjelaskan."Kenapa diam? Gak bisa jawab karena, rahasia besar? Ya udah," rajuk Salma."Bukan begitu, Cama. Kamu minum obat dulu," ucap Fariz seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lovenya.Salma menerima dengan baik perhatian dari suaminya meskipun ia memang sedang kecewa dengan sikapnya bersama Reca. Namanya juga lagi jeles, pasti malas rasanya untuk ngobrol dan bersenda gurau."Cam, aku mau masakin khusus untk Cama nih. Mau dimasakin apa?" tanya Fariz.Salma tidak menggubris ucapan suaminya. Ia membelakanginya sambil melihat sosmed. Fariz berusaha untuk tetap menatap wajahnya istrinya biar dia berhenti jeles."Ehmmm … entar Capa beritahu, tapi ada syaratnya," ujar Fariz."Syarat apaan?" tanya Salma."Kamu gak boleh sedih," jawa
"Ikut aja ya," pinta Salma. "Kamu kok ngeyel, udah di kamar aja," ucap Fariz. "Huuuuhhhhh," kesal Salma. Fariz kembali menghampiri istrinya lagi. Sakit-sakit juga tetap bersikeras ingin membantu mertuanya memasak. Tentu Fariz tidak mengizinkan hal tersebut. *** "Sayang, jangan terlalu banyak aktivitas dulu ya di kampus, kamu kan baru sembuh," ucap Fariz. "Siap Capa," jawab Salma. Mereka berada di luar mobil depan kampus. Kebetulan, Clarissa lewat di situ. Setelah banyak titik diteliti oleh para orang kepercayaan Fariz, ternyata Clarissa bersengkokol dengan orang dalam. Tidak lain adalah OBnya. Dari kemarin dan kemarin mereka mencoba menghubungi Clarissa. Namun, tidak juga ada kabar. Fariz masih menjaga amarahnya kalau harus mendatangi rumahnya, karena dia juga putri pemilik perusahaan rekan Fariz. OB tersebut akhirnya jujur mengenai hal tersebut. Fariz menatap geram ke arah Clarissa. Tentang CCTV dan rangkaian hal tersebut, itu tujuan Clarissa untuk meneror Fariz sebe
"Cama, duduk dulu," ucap Fariz sembari mendudukkan istrinya. "Duduk juga, Cla," tambah Fariz. "Cama, maksud Capa sayang itu, bukan kok sayang mencintainya. Capa terap sayang karena Clarissa pernah memberi kebahagiaan Capa di masa lalu. Capa, sayang sebagai bentuk perikemanusiaan." "Cinta yang disembunyikan selama ini. Ini bukan lagi Capa yang disuruh mami untuk aku maklumin, jika Capa sekedar teringat masa lalu. Ini apa? Ini namanya membuka kulkas masa lalu." Salma berdiri dan langsung berjalan, tetapi malah kena bentakan Fariz. "Ini semua gara-gara kamu, Cla!" bentak Fariz. "Cama? Berhenti! Aku tidak suka kamu seperti ini! Sedikit saja tidak ada kedewasaannya! Terus saja berjalan dan temui laki-laki lain!" bentak Fariz lagi, kini ganti ke istrinya. Sejatinya, Fariz itu memang sudah tidak mencintai Clarissa. Hanya, rasa kasih sayang sebagai orang yang pernah ada untuknya itu tentu membuatnya tetap sayang kepadanya. Ia juga menyesal, kenapa kata sayang yang keluar dari mulutnya sa
"Masih pagi, aku cuma nata ini doang, terus, mau masuk. Malaslah, kalau ketemu tetangga yang seperti waktu itu," ucap Salma terdiam sejenak. "Bertemu mama? Boleh aja, kok. Memangnya mau bahas apa? Kok seperti serius gitu?" tanya Salma. "Ada deh. Capa mau minta maaf udah bikin putrinya mama menangis." Fariz dan Salma bergandengan tangan untuk ke depan. Mereka menemui Risa dan semua keluarga Salma yang sibuk di dapur. Antusias Asma tidak kalah cepat. Ia langsung menyambut datangnya Fariz dengan teriakan menggelegar. "Om Fariz!" teriak Asma sembari menghampirinya. "Hallo, Sayang, udah cantik aja nih pakai seragam," sapa Fariz. Mami Risa dan yang lain hanya bisa ketawa melihat kedatangan Fariz. Karena belum juga tujuh hari, mereka sudah bertemu saja. Fariz langsung bersalaman dengan mertua dan kakaknya Salma. "Ma, maaf. Udah bikin putri Mama nangis," ucap Fariz. "Maaf Pa, maaf Kak," lanjut Fariz. "Iya, Nak. Jangan diulang, ya. Jadinya kan kalian berdua yang menahan rindu, hahaha …